Rabu, 12 Juni 2013

Daftar Kejahatan HAM Soeharto

12 Juni 2013 pukul 7:08

1.  Kasus Pulau Buru 1965-1966

Dalam kasus Pulau Buru 1965-1966, alm. Soeharto dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Buru sebagai panglima Komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban yang disingkat Ko Ops Pemulihan Kam/Tib. Melalui keputusan Presiden No.179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban(KOPKAMTIB). Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke pulau Buru (Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Suharto, Komnas HAM 2003).

2. Penembakan misterius 1981-1985

Pembunuhan tanpa melalui pengadilan terhadap residivis, bromocorah, gali, preman yang dikenal sebagai “penembakan misterius” pada tahun 1981-1985. Kebijakan Soeharto atas persoalan ini, terlihat jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, ia mengungkapkan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga bagian dari shock terapy sebagaimana diakuinya dalam otobiografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan, dan tindakan saya (Ramadhan KH, hal 389, 1989)

Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah JawaTimur, Jawa Tengah dan Bandung (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; Indonesia-Extra judicial Executionsof Suspected Criminals) .

3. Tanjung Priok 1984-1987

Dalam peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 Soeharto menggunakanKOPKAMTIB sebagai instrumen penting mendukung dan melindungi kebijakan politiknya Selain itu alm. Soeharto juga selaku panglima tertinggi telah mengeluarkan sikap, pernyataan dankebijakan yang bersifat represif untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakanAsas Tunggal yang dikeluarkan Orde Baru.

Dalam menangani persoalan ini, Soeharto kerap membuat pernyataan dan kebijakan yang “membolehkan” dilakukannya kekerasan dalam mengendalikan respons kyat atas kebijakan penguasa pada saat itu. diantaranya di depan Rapat Pimpinan (RAPIM) ABRI di Riau, 27 Maret 1980, Soeharto sebagai Presiden dan penanggungjawab seluluh kegiatan KOPKAMTIB mewajibakn ABRI
mengambil tindakan represif berupa perang (menggunakan senjata) untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap olehnya sebagaigolongan ekstrem lainnya yang harus dicegah kegiatannya dan ditumpas sisa-sisanya sama seperti penanganan G30S (PKI). Akibat dari kebijakan ini, diantaranya dalam Peristiwa Tanjung Priok1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36
terluka berat, 19 luka ringan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)

4. Talangsari 1984-1987

Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap kelompok-kelompokIslam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987mengakibatkan korban 130 orang meninggal, 77 orang mengalami Pengusiran atau Pemindahan Penduduk Secara Paksa, 53 orang
Terampas Kemerdekaanya, 45 orang mengalami Penyiksaan, dan 229 orang mengalami Penganiayaan

(Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAMBerat Talangsari 1989, Komnas HAM, 2008)

5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998)

Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998). Pemberlakukan Operasi ini adalah kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003). Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak.

Berdasarkan hasilinvestigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasi militertelah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/ penganiayaan dan 102 perempuan mengalami perkosaan. Sementara itu Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM) mendokumentasikan sebanyak 1.321 korban pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang mengalami penyiksaan dan 128 orang perempuan mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah berdampak sangat buruk kepada kehidupan sosial budaya dan juga kehidupan beribadah rakyat Aceh, yang sudah dijalani dan dipraktikkan dengan baik selama bertahun-tahun sebelumnya (Komponen Masyarakat Sipil Aceh, dalam Surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober 2010).

6. DOM Papua (1963-2003)

Pemberlakuan, dimaksudkan untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwaseperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang, Peristiwa Kebar 1965, 23 orang terbunuh, Peristiwa Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati, dan operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa,Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh,
Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa, di Kabupaten Jayawijaya, korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk wanita anak-anak dan orang tua, dalam peristiwa Wamena 1977,14 warga terbunuh, dan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum disebutkan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)

7. Peristiwa 27 Juli (1996)

Dalam Peristiwa 27 Juli (1996, alm Soeharto memandang Megawati sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati; peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama peristiwa 27 Juli. Dalam peristiwa ini, 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan. Berdasarkan analisa Komnas HAM bahwa peristiwa tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)

8. Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998

Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998, peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum (PEMILU) 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998. Di masa ini wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan. Setidaknya 23 aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.

Komando Pasukan Khusus, (KOPASSUS) menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi “Tim Mawar” 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang (Laporan Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa, 2006)

9. Trisakti 1998

Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998, masihbersambung dengan dengan latar belakang tuntutan aktivis dan mahasiswa pro demokrasi, untuk mendorong reformasi total dan turunnya Soeharto dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan Soeharto.

Tindakan represif penguasa melalui kaki tangan aparatur negara; ABRI dan Polisi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat keamanan, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan, Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan bahwa dalam peristiwa ini telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat.

10. 13–15 Mei 1998

Peristiwa 13–15 Mei 1998, merupakan rangkaian dari kekerasanyang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.

Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspondengan sebuah “Penciptaan dan pembiaran” kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei1998. Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan,pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadapetnis tertentu, pengusiran paksa yang terjadi diseluruh wilayah DKI Jakarta dandi beberapa daerah di Indonesia oleh kelompok massa dalam jumlah besar, namuntidak dilakukan upaya baik itu pencegahan, pengendalian maupun penghentian olehaparat keamanan dibawah tanggungjawab alm Soeharto (laporan penyelidikan Komnas HAM)

Co-past: AndiFaisalNotes 

0 komentar:

Posting Komentar