12 Juni 2013 pukul 7:08
1. Kasus Pulau Buru 1965-1966
Dalam kasus Pulau Buru 1965-1966, alm. Soeharto dalam tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Buru sebagai panglima Komando operasi
pemulihan keamanan dan ketertiban yang disingkat Ko Ops Pemulihan Kam/Tib.
Melalui keputusan Presiden No.179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando
Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban(KOPKAMTIB). Sebagai Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban
pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke pulau Buru (Laporan
Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Suharto, Komnas HAM 2003).
2. Penembakan misterius 1981-1985
Pembunuhan tanpa melalui pengadilan terhadap
residivis, bromocorah, gali, preman yang dikenal sebagai “penembakan
misterius” pada tahun 1981-1985. Kebijakan Soeharto atas persoalan ini,
terlihat jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, ia mengungkapkan
bahwa pelaku kriminal harus
dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut
juga bagian dari shock terapy sebagaimana diakuinya dalam otobiografinya
yang berjudul Pikiran, Ucapan, dan tindakan saya (Ramadhan KH, hal 389,
1989)
Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban
jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang,
tersebar di wilayah JawaTimur, Jawa Tengah dan Bandung
(Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; Indonesia-Extra judicial
Executionsof Suspected Criminals) .
3. Tanjung Priok 1984-1987
Dalam peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 Soeharto
menggunakanKOPKAMTIB sebagai instrumen penting mendukung dan melindungi
kebijakan politiknya Selain itu alm. Soeharto juga selaku panglima
tertinggi telah mengeluarkan sikap, pernyataan dankebijakan yang bersifat represif
untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakanAsas
Tunggal yang dikeluarkan Orde Baru.
Dalam menangani persoalan ini, Soeharto kerap
membuat pernyataan dan kebijakan yang “membolehkan” dilakukannya kekerasan dalam
mengendalikan respons kyat atas kebijakan penguasa pada saat itu. diantaranya di depan Rapat
Pimpinan (RAPIM) ABRI di Riau, 27 Maret 1980, Soeharto sebagai Presiden dan penanggungjawab
seluluh kegiatan KOPKAMTIB mewajibakn ABRI
mengambil tindakan represif berupa perang (menggunakan senjata)
untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap olehnya
sebagaigolongan ekstrem lainnya yang harus dicegah kegiatannya dan ditumpas sisa-sisanya sama
seperti penanganan G30S (PKI). Akibat dari kebijakan ini, diantaranya dalam Peristiwa Tanjung
Priok1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36
terluka berat, 19 luka ringan (Laporan 5 Sub Tim
Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
4. Talangsari 1984-1987
Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap
kelompok-kelompokIslam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari
1984-1987mengakibatkan korban 130 orang meninggal, 77 orang mengalami Pengusiran atau
Pemindahan Penduduk Secara Paksa, 53 orang
Terampas Kemerdekaanya, 45 orang mengalami Penyiksaan,
dan 229 orang mengalami Penganiayaan
(Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran
HAMBerat Talangsari 1989, Komnas HAM, 2008)
5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998)
Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998).
Pemberlakukan Operasi ini adalah
kebijakan yang diputuskan secara internal oleh ABRI setelah mendapat
persetujuan dari Presiden
Soeharto (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto,
Komnas HAM,
2003). Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan
bagi masyarakat Aceh,
khususnya perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan hasilinvestigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh
tahun berlangsungnya operasi militertelah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang
hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/ penganiayaan dan 102 perempuan mengalami perkosaan.
Sementara itu Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM) mendokumentasikan
sebanyak 1.321 korban pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang mengalami penyiksaan
dan 128 orang perempuan mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah berdampak sangat buruk
kepada kehidupan sosial budaya dan juga kehidupan beribadah rakyat Aceh, yang sudah dijalani
dan dipraktikkan dengan baik selama bertahun-tahun sebelumnya (Komponen Masyarakat Sipil Aceh,
dalam Surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober
2010).
6. DOM Papua (1963-2003)
Pemberlakuan, dimaksudkan untuk mematahkan perlawanan Organisasi
Papua Merdeka (OPM).
Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai
peristiwaseperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan
hilang, Peristiwa Kebar 1965, 23 orang terbunuh, Peristiwa Manokwari 1965, 64
orang dieksekusi mati, dan operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa Sentani, 20 orang
menjadi korban penghilangan paksa,Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh,
Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi
Tumpas pada kurun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa, di Kabupaten
Jayawijaya, korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk wanita anak-anak dan
orang tua, dalam peristiwa Wamena 1977,14 warga terbunuh, dan sejumlah kasus-kasus
pelanggaran HAM lainnya yang belum disebutkan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim
Pengkajian Pelanggaran
HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
7. Peristiwa 27 Juli (1996)
Dalam Peristiwa 27 Juli (1996, alm Soeharto memandang Megawati
sebagai ancaman terhadap kekuasaan
politik Orde Baru. Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang
menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan berupa pembunuhan,
penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan
Megawati; peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama peristiwa 27 Juli. Dalam
peristiwa ini, 11 orang meninggal,
149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan. Berdasarkan analisa Komnas
HAM bahwa
peristiwa tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim
Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)
8. Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa
1997–1998, peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik
peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum (PEMILU) 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998. Di
masa ini wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan. Setidaknya 23 aktivis pro demokrasi
dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban
penculikan dan penghilangan paksa.
Komando Pasukan Khusus, (KOPASSUS) menjadi eksekutor lapangan,
dengan nama operasi “Tim Mawar” 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang
masih hilang (Laporan Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa,
2006)
9. Trisakti 1998
Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998,
masihbersambung dengan dengan latar belakang tuntutan aktivis dan mahasiswa pro demokrasi, untuk
mendorong reformasi total dan turunnya Soeharto dari jabatannya karena krisis
ekonomi dan maraknya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan
Soeharto.
Tindakan represif penguasa melalui kaki tangan
aparatur negara; ABRI dan Polisi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan
luka-luka, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru
aparat keamanan, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan
Hendriawan, Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan bahwa dalam peristiwa ini
telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat.
10. 13–15 Mei 1998
Peristiwa 13–15 Mei 1998, merupakan rangkaian dari
kekerasanyang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa.
Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan
tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspondengan sebuah “Penciptaan dan
pembiaran” kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei1998. Dalam peristiwa ini
terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan,pembakaran, penjarahan,
penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadapetnis tertentu,
pengusiran paksa yang terjadi diseluruh wilayah DKI Jakarta dandi beberapa
daerah di Indonesia oleh kelompok massa dalam jumlah besar, namuntidak
dilakukan upaya baik itu pencegahan, pengendalian maupun penghentian olehaparat
keamanan dibawah tanggungjawab alm Soeharto (laporan penyelidikan Komnas HAM)
Co-past: AndiFaisalNotes
Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap kelompok-kelompokIslam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987mengakibatkan korban 130 orang meninggal, 77 orang mengalami Pengusiran atau Pemindahan Penduduk Secara Paksa, 53 orang
0 komentar:
Posting Komentar