Rabu, 19 Juni 2013

Rumah Kenangan Peristiwa 1 Oktober 1965


Oleh: Dita Anggreani/11140110041

Dor, dor, dor! Dor, dor, dor! Berondongan peluru itu ditembakan oleh tentara Cakrabirawa di depan kamar tidur AH. Nasution. Empat diantaranya mengenai Ade yang saat itu digendong oleh Mardiah, adik Pak Nas. Peluru itu menghancurkan limpa anak perempuannya yang masih berusia lima tahun itu, dua lainnya mengenai tangan Mardiah.
Hari masih terlalu pagi untuk sebuah keributan dalam rumah sederhana yang berlokasi di Jalan Teuku Umar no. 40, Menteng, Jakarta Pusat. Namun, taktik itulah yang digunakan para pasukan saat menyerang kediaman Jendral Besar Abdul Haris Nasution. Rumah yang menjadi saksi bisu peristiwa empat puluh delapan tahun silam itu sekarang telah dijadikan museum. Tempat ini mudah dikenali, dari balik pagar itu ada patung Jendral Nasution yang setinggi dua meter dan diapit meriam.
Bangunan utama rumah adalah rumah Nasution, bentuknya tidak berubah sejak peristiwa
1 Oktober 1965, yang menewaskan putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution. Lebih dalam lagi, ada ruang kerja Nasution dan terlihat diorama Nasution sedang menulis di ruangan ini. Di sebelah kiri akan ditemukan satu ruangan yang serba kuning, disebut Ruang Kuning. Ruangan ini dulunya khusus menerima tamu-tamu VIP yang datang. Disebelah kanannya merupakan kamar tidur Nasution “Di sini Cakrabirawa melepaskan enam kali tembakan, tepat ke kamar Pak Nas,” kata Kopasus Angkatan Darat, Hadi Saputro. Hari itu tentu menjadi sejarah yang tak mungkin dilupakan oleh bangsa ini. Surat kabar memberitakan pembantaian tujuh Jendral pada era Soekarno. Sebagian menyebutkan Beliau adalah dalang dibalik peristiwa berdarah tersebut karena para tentara yang menyerang  menggunakan seragam Cakrabirawa, pasukan Istana.
Jaraknya hanya sekitar 1,5 meter dari depan kamar tidur, Pak Nas pagi itu merasa terganggu dengan dengingan nyamuk. Istrinya, Yohana Sunarti, ikut terbangun mendengar suara berisik tersebut. Pukul 04.00 Ade masih tertidur pulas, meskipun ayah dan ibunya terbangun karena suara nyamuk. Saat Pak Nas sibuk mengibas-ngibaskan nyamuk, Yohana mendengar keributan lain dari lua kamar tidurnya.
Brak, brak, brak, brak, brak suara langkah tentara terdengar jelas. Seketika firasat Yoana merasa ada yang tak baik. Terlebih diikuti suara tembakan yang disusul oleh dibukanya pintu depan dengan paksa. “Cakrabirawakah itu?” bathin Yohana. Dibukanya sedikit pintu kamar untuk mengintip, lalu segera ditutup lagi.
“Pak, ada Cakrabirawa di situ!” ucap Yohana.
“Baik, biar saya keluar dan menemuinya,” kata Pak Nas sambil berusaha membuka pintu yang telah dikunci lagi oleh istrinya.  Namun, belum sempat pintu dibuka, Pak Nas dikejutkan oleh suara tembakan lagi. Pak Nas yang terkejut sontak bertiarap. Yohana yang sebelumnya sempat mencegah Pak Nas membuka pintu itu, segera menutup rapat dan mengunci pintu itu kembali.
Di ruangan ini masih terlihat bekas tembakan pasukan Cak­ra­birawa yang mengenai pintu, tembok serta meja di dalam ka­mar. Di dalam kamar tersebut juga ditampilkan beberapa ko­leksi pakaian dan kursi roda yang digunakan Nasution.
Ade masih tertidur tenang saat kedua orangtuanya panik menghadapi pasukan Cakrabirawa. Yohana segera membuka pintu belakang kamar tidurnya dan menyuruh Pak Nas bersembunyi dibalik tembok Kedutaan Iran, letaknya tepat dibelakang kamar tidur mereka. Tak lama kemudian, Mardiah terbangun karena suara berisik. Dia berjalan menuju kamar Pak Nas dan mendapati Ade Irma yang ketakutan, terbangun dari tidur lelapnya. Kamar Mardiah berdekatan letaknya dengan kamar Nasution, karena merasa ada yang tidak beres dia masuk lewat pintu belakang. Melihat Ade yang duduk sendirian di tempat tidur itu, Mardiah langsung menggendongnya.
“Nasution, keluar!” teriakan tersebut mambuat Mardiah penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa sepengetahuan Pak Nas dan Ibu Yohana, dia membuka kembali pintu kamar yang telah dikunci oleh Yohana.
Pintu itu baru dibuka sedikit, tapi Mardiah dan Ade langsung diberondong peluru. Yohana yang telah berada dibelakang kamar terkejut mendengar suara tembakan, dia kembali ke kamarnya dan berusaha mengunci lagi pintu itu. Pintu berhasil dikunci kembali oleh Yohana.
Mardiah menyerahkan Ade kepada Yohana yang sedang membantu suaminya melewati tembok batas ke Kedutaan Iran. Mereka menatap Pak Nas yang sudah ada di atas tembok. Diorama ini bisa dilihat, di sana Yohana sudah menggendong Ade yang berlumuran darah sambil menatap suaminya.
“Pak, Ade kena,” ucap Yohana memberitahukan bahwa anaknya terkena tembakan. “Papaaa… Ade salah apa? Kenapa Ade ditembak?” kata Ade. Ucapan itu juga tertulis di foto Ade Irma yang terdapat di kamarnya. Menurut Sertu Royen Sunarto, Petugas Administrasi Museum ini, kalimat tersebut diucapkan Ade ketika dia dalam gendongan ibunya saat tertembak. Saat itu Pak Nas menoleh ke arah anaknya yang sudah lemah, bathinnya bergejolak melihat anak bungsunya yang berlumuran darah. Dia ingin turun dan menghadapi pasukan Cakrabirawa itu, namun istrinya tetap mencegah.
“Jangan hiraukan kami, Pak. Selamatkan dirimu, kamulah yang diincar oleh mereka. Saya bersama Ade, selamatkan dirimu, Pak,” kata Yohana.
Dor! Suara tembakan kembali terdengar, Pak Nas yang pada data itu masih berada di atas tembok terkejut mendengar suara tembakan dan terjatuh ke kedutaan Iran. Kakinya terkena pot hingga luka. Pak Nas bersembunyi di dalam drum selama penyerangan yang terjadi di rumahnya. Setelah Pak Nas bersembunyi di Kedutaan Iran, Yohana keluar menghadapi para tentara yang masih mengobrak-abrik rumahnya subuh itu.
“Ade, masih hidup?” tanya Yoana yang menggendong Ade dalam pelukannya.
“Hidup, Mama..” jawabnya.
“Ade hidup terus?” sekali lagi Yoana bertanya.
“Hidup terus, Mama,” kata Ade. Pelukan erat dari tangan Ade masih melingkari leher ibunya. Adegan tersebut tergambar dari patung di kediaman Jendral Besar bintang lima ini. Yohana pergi ke ruang makan untuk menelepon, meminta bantuan Pangdam Jaya Umar Wirahadikusuma, telepon hitam itu pun masih bisa dilihat saat ini, bentuknya masih utuh dan terawat.
“Percuma, kabel telah kami putus. Katakan dimana Nasution?!” bentak salah satu tentara sambil mengarahkan tembakan ke arah istri dari sang pengagas Dwi fungsi ABRI.
“Bapak tidak ada di sini! Bapak sedang ada di Bandung. Kalian ke sini hanya membunuh anak saya!” kata Yohana tak kalah keras suaranya untuk membungkam bentakan tentara. Para tentara mulai gusar melihat Yohana saat menggendong putrinya yang berlumuran darah.
“Ade masih kuat?” Yohana khawatir pada putrinya yang sudah mulai melemahkan pelukan ke lehernya itu.
“Masih, Ma..” jawab Ade sekali lagi. Adegan dramatis ini membuat saya merinding saat berada di ruang makan Pak Nas. Saya berdiri di sebelah telepon yang digunakan Bu Yohana saat ingin meminta bantuan. Di ruangan itu terlihat ada enam tentara bersenjata dihadapan Bu Yohana, hanya dipisahkan sebuah meja makan yang masih lengkap dengan delapan buah kursinya.
Sesaat kemudian adegan lain diceritakan lagi oleh Hadi, masih berada di ruang makan. Dor! Sekali lagi peluru ditembakan dari senapan Cakrabirawa. “Nasution tertangkap!” seru Cakrabirawa. Para tentara yang berada di ruang makan menoleh ke arah sumber suara, termasuk Yohana.
“Bapak tertangkap?” pikir Yohana. Kemudian dilihatnya sosok Ajudan Pak Nas. Itu adalah Pierre Andres Tendean. “Sudah dianggap seperti anak sendiri,” kata Hadi menambahkan. “Mereka memang memiliki kemiripan, banyak yang bilang begitu. Ditambah hari itu masih subuh, jadi tentara percaya ketika melihat foto dan mereka menyatakan itu Pak Nas, karena tidak terlalu jelas,” lanjutnya.
Saya berjalan keluar ruangan dan menuju tempat Ajudan Pierre yang saat itu tinggal di rumah Pak Nas, letaknya berada di sebelah kiri dari bangunan utama. Ruangan ini telah berubah, bukan lagi sebuah kamar, melainkan replika-replika tentara dan Pak Nas dalam menjalankan tugasnya. Pada hari penyerangan itu, sebenarnya Pierre sudah meminta izin untuk pergi ke acara pernikahaan kerabatnya. Namun, Pak Nas melarang karena hari itu sudah malam dan memintanya untuk beristirahat saja sampai besok pagi.
Pierre yang subuh itu terbangun tidak belum sempat menyiapkan diri dengan serbuan Cakrabirawa. Ajudan yang seharusnya berjaga pada hari itu disuruhnya bersembunyi di kolong tempat tidur bersama Harianti Nasution, putri sulung Pak Nas.
“Di mana Nasution?!” todongan senjata yang sudah dikokang itu diarahkan tepat ke wajahnya.
“Saya Nasution,” ucapnya. Para tentara memeriksa wajahnya dan menyamakannya dengan foto Nasution yang mereka pegang.
Pierre dibawa oleh pasukan Cakrabirawa dengan mata tertutup kain dan tangannya diikat. Dia berjalan dengan dituntun pasukan tentara. Yohana hanya bisa terdiam melihat itu, rasa iba dan khawatir terus berkecimpung dipikirannya. Dia menatap Ajudan yang sudah dianggapnya sebagai anak itu sampai langkah terakhirnya naik ke mobil dan dibawa pasukan Cakrabirawa. Tatapan yang juga pengatar perpisahan dengan pada Ajudan itu.
Ketika pasukan Cakrabirawa meninggalkan kediamannya, Yohana langsung menyuruh Pak Bob Sugondokusumo, kakak ipar Pak Nas, untuk mengantarnya ke rumah sakit Gatot Subroto. Kondisi Ade saat itu sangat lemah, namun masih sadar. Sebelum ke rumah sakit Yohana meminta Pak Bob mampir ke Kedutaan Vietnam dan memberitahu ada penyerangan di rumahnya.
Sesampainya di rumah sakit Ade masih sadar dan mendapat pertolongan dengan cepat. Dokter Rubino menyarankan Ade harus dioperasi secepatnya. Sambil menunggu persiapan operasi, Ade melihat kakaknya, Yanti -panggilan akrabnya-  sedang menangis.
“Mengapa kakak menangis? Kakak jangan menangis!” katanya, lalu melihat ke arah ibunya dan kembali bertanya.
“Kenapa Ayah ditembak, Mama?” mendengar pertanyaan itu Yohana heran, dalam keadaan yang payah bungsu kelahiran 19 Februari 1960 itu masih mengingat pemberondongan tembakan yang ditujukan pada Ayahnya. “Ade sakit?” tanya Yohana mengalihkan pertanyaan, karena putrinya masih sadar meski telah kehilangan banyak darah. “Sakit, Mama. Sakit perut!” kata Ade.
Sesudah dioperasi oleh Dr. Eri Sudewo, Ade sadar terus. “Putri bungsu ini sangat kuat dan tabah meskipun fisiknya sudah melemah dia tetap dapat menggerakan bibirnya untuk minum obat,” kata Hadi menceritakan menurut kesaksian Yohana.
Saya kembali menuju kamar tidur Ade Irma, saat kejadian kamar tersebut diisi oleh Yanti dan Mardiah. Dalam kamar itu ada foto-foto Ade Irma, di sebuah lemari kaca terlihat ada gaun dan seragam jendral kecil milik Ade. Ternyata sosok Pak Nas menjadi idola putri kecilnya juga, karena dia ingin menjadi Jendral saat besar nanti.
Ketika saya berjalan ke satu sisi kanan ruangan, ada sebuah foto yang mengharukan. Di sana terlihat Ade Irma dan Ajudan Pierre Andres Tendean sedang berfoto bersama. “Foto ini diambil lima hari sebelum peristiwa penembakan,” Kata seorang pemandu museum, Imam.
Tepat di sebelah kiri ada sebuah foto Ade Irma dengan tulisan yang diulis oleh Ibunya. Di sana tertera kata-kata yang diucapkan Ade sebelum akhirnya dia meninggal.
“Ade sayang Mama, Ade sayang Papa. Tapi kenapa Ade ditembak? Salah Ade Apa, Ma?”
Pada 6 Oktober 1965 pukul 02.00 jiwa Ade dipanggil Tuhan. Selama masa perawatan, Yohana hanya dapat menangis melihat keadaan Ade yang kian melemah. “Ade… Mama ikhlaskan Ade Pergi,” bisik Yohana hari itu. Kepergian Ade diikhlaskan Yohana untuk menjadi saksi menghadap Tuhan Yang Maha Adil pada peristiwa 1 Oktober 1965 itu.
“Ade Irma dimakamkan keesokan harinya pada 7 Oktober 1965,” kata Sekertaris dari Bu Yanti, yakni Ita, sehari-hari dia berada di Kantor Yayasan Kasih Ade Irma yang berada di samping kanan belakang dari rumah Nasution. Sepanjang perjalanan Yohana memangku Ade sampai mengantarkannya ke liang lahat, itu adalah terakhir kalinya seorang ibu dapat bersama anaknya dan hanya hal itu yang dapat diperbuat oleh Yohana.
Ribuan pelajar dan rakyat Ibukota turut mengiringi Ade untuk mengantarnya sampai ke tempat peristirahatan terakhir di Blok P, Kemayoran. Sebenarnya, Ade diusulkan untuk dimakamkan di Kalibata. Akan tetapi, Pak Nas dan Bu Yohana ingin Ade berada di tengah-tengah rakyat agar rakyat dapat mengenal Ade.
Peristiwa 1 Oktober 1965 bukan hanya menyebabkan duka atas meninggalnya putri bungsu Pak Nas dan Ibu Yohana. Dalam sejarah merah itu mereka juga harus kehilangan pula Kapten Pierre Tendean, Ajudan Pak Nas yang sudah dikenalnya sejak masih bayi. Meski berat hati Yohana mengikhlaskan hal itu, tapi itulah takdir yang harus dilalui. Seolah-olah keduanya gugur sebagai pengganti Pak Nas.
Sementara Pak Nas baru dapat keluar dari persembunyiannya pukul 19.30 dari kedutaan Irak, dia diketemukan oleh Kolonel Hidayat dan Pak Bob. Setelah itu, Pak Nas langsung dibawa dengan menaiki mobil dan bersembunyi di jok belakang karena pasukan Cakrabirawa masih berjaga-jaga di depan rumahnya. Pak Nas dibawa menuju ke persembunyian barunya di Mabes AD tak jauh dari sana selama enam hari. Keesokan harinya pukul 06.30 Pak Nas baru keluar tepat saat hari di mana Ade Irma Suryani akan dimakamkan.
Dalam peristiwa yang merenggut nyawa anggota keluarganya tersebut, Pak Nas bersama keluarga membangun sebuah Yayasan Kasih Adik. Yayasan ini dibangun untuk mengenang Ade Irma dengan cara memberikan beasiswa pendidikan kepada anak-anak yang tidak mampu. Selepas kepergian orangtauanya, kini yayasan ini dipegang oleh Yanti. Sedangkan sampai saat ini juga Museum Nasional Jendral Besar AH. Nasution masih berdiri kokoh, rumah kenangan peristiwa 1 Oktober itu masih menyimpan sejarah merah pada bangsa ini melalui diorama dan sebuah cerita yang akan terus menemaninya.
Akan kuingat selalu Ade irma suryani
Waktu dipeluk dipangku ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring dipangkuan tuhan
Senang dan bahagia hatinya
Kini ia terlena tertidur terbaring
Nyenyak dipelukan Tuhannya

(Ade Irma Suryani, pencipt. AT. Mahmud)

0 komentar:

Posting Komentar