Bandung Mawardi | Jumat, 14 Juni 2013
Aku tak cuma
terharu. Airmata menetes untuk derita Rukiah sebagai pengarang, istri, ibu…
Rukiah mengalami teror. Pelarian ke pelbagai kota tak memberi keselamatan.
Aparat terus memburu. Rukiah menjelma “musuh” negara melalui arogansi Orde
Baru. Rukiah enggan lelah meski tetap menanggung hukuman. Aku mengingat Rukiah
bermula dari buku Tandus: kumpulan
puisi dan cerita. Buku ini pernah mendapat penghargaan oleh BMKN di tahun 1952.
Rukiah dalam puisi berjudul Buku Kosong menulis
tentang misi manusia berliterasi. Bait awal mengesankan ada kehendak menulis di
buku kosong mengacu ke peristiwa perpisahan. Buku diniatkan menjadi
representasi “menulis” diri dan hidup.
Sewaktu kita mau berpisahKau berikan dulu buku kosong seribu lembarDengan mata jang meminta,Sinarmu lunak berkata:Masukkan semua isi hidupmuPenuhi ini lembaran kertas seribuDengan tinta dan tulisan berbunga-bunga
Aku menganggap
bait ini menjelaskan dalil berpuisi Rukiah: tak muluk dan terang. Puisi-puisi
Rukiah memuat peristiwa-peristiwa biasa. Tabiat merumitkan pesan tak
dimunculkan oleh Rukiah. Puisi adalah pengabaran. Aku membaca mirip menghadapi
tukang cerita tanpa propaganda.
Puisi Rukiah
mungkin jarang terbaca oleh pujangga-pujangga di abad XXI. Aku cuma menduga
bahwa para pujangga perempuan mutakhir tak mengenal Rukiah. Mereka mungkin
memang tidak tahu jika dalam sejarah perpuisian di Indonesia pernah ada
perempuan bernama Rukiah. Aku pernah mengutip puisi-puisi Rukiah untuk sajian
esai tapi belum ada pembaca mengajukan penasaran bagi pengarang perempuan di
masa 1950-an. Aku memberi propaganda untuk cerpenis di Jakarta saat mengajak
obrolan tentang kesejarahan pengarang perempuan dalam kesusastraan modern di
Indonesia. Aku lekas ajukan nama Rukiah.
Puisi berjudul Dengan Satu Batjaan bisa mengajak pembaca
mengetahui kelihaian Rukiah dalam “bercerita-berpesan”. Puisi ini tak
mengesankan “intelektuil”. Rukiah tak sungkan berpesan hampir klise jika
terbaca oleh mata filsafat.
Hari ini – kawandjangan kita samakan lagi dengan hari jang sudah lepastapi djangan dulu kita sambungkandengan hari jang belum datang ditangan.Hari ini kita hadapi satu buku sadjadimana tertulis tentang hidup kebengisandan kepahitan perdjuangandimana thermin tentang tuntutan kemanusiaan petjah-petjahdan ini pula jang mendjadikan dunia kitaberkerut ketjil kembaliterkurung dalam batas lingkaran buta!
Aku jarang menemukan tulisan-tulisan “apresiatif” untuk puisi dan
cerpen Rukiah. Aku cuma mengingat ada tulisan HB Jassin. Rukiah memang jarang
dibincangkan di kalangan sastrawan. Pesona Rukiah tak terwariskan di masa Orde
Baru. Rukiah seolah bait pendek dari masa silam. Aku masih mengingat dan
membaca meski belum memiliki pengertian-pengertian komplet tentang Rukiah.
Aku terpikat oleh cerita berjudul Antara Dua Gambaran. Rukiah menghadirkan tiga tokoh
terjerat dilemat: Ati, Irwan, Tutang. Mereka berteman tapi memiliki kiblat
berbeda mengenai ilmu, hidup, asmara, politik, revolusi, buku… Cerita garapan
Rukiah terasa sederhana saat terbaca melalui sorotan manusia-manusia Indonesia
berlatar revolusi: 1940-an. Tokoh perempuan bernama Ati memiliki gambaran berbeda
tentang dua lelaki: Irwan sebagai lelaki revolusi dan Tutang sebagai lelaki
intelektual.
Mula-mula aku haflakan gambaran
Irwan. Sedjak proklamasi kemerdekaan, kelihatan ia seperti satu raksasa jang
bernafsu kuat untuk menerkam dunia seluruhnja. Aku katakan padanja bahwa ia
sudah terlalu gila politik negara, gila kebangsaan, dan gila pembelaan rakjat….
Sedjak proklamasi kemerdekaan, kelihatan muka Tutang
berseri tidak putjat-putjat lagi. Mulanja ia akan terus menanti sekolahnja
dibuka kembali…. Ia pergi ke Djkarta dan berkumpul dengan teman-temannja jang
sama berminat kepada pendjundjungan ilmu pengetahuan tentang kebudajaan,
politik dan lainnja jang sebagian besar mengenai pergantian lesu ke dinamik.
Demikianlah tidak lama ia sudah mempunjai penerbitan surat kabar dan madjalah
sendiri dan pertjetakan sendiri.
Ati berada di antara dua lelaki dengan perbedaan hasrat
dan peran. Aku tak ingin berpihak ke Irwan atau Tutang. Aku bukan perempuan.
Imajinasiku tentang Ati, Irwan, Tuntang digoda oleh dua lagu pop: Mendua dari Astrid dan Janji di Atas Ingkar dari
Audi. Dua lagu ini tak memiliki hubungan dengan nasib Ati. Aku cuma mendengar
dua lagu itu saat menulis di kamar berserakan buku. Dua lagu picisan saat
seharian hujan. Oh! Hujan tidak aku temukan dalam cerita Rukiah. Cerita ini
melulu membuat perbandingan antara dua lelaki. Aku tak berhasrat jadi Irwan
atau Tutang. Lho!
Buku Tandus termasuk
bacaan pilihanku demi mengetahui kebermaknaan pengarang perempuan dalam
kesusastraan modern di Indonesia. Buku ini jarang aku dapati lagi saat belanja
buku-buku bekas. Buku Tandus mesti
ada di pelukanku untuk tak terlupakan. Begitu.
Sumber: BandungMawardi
0 komentar:
Posting Komentar