June 19, 2013
- Catatan Tahanan Politik di Kamp Kerja Paksa Tangerang
Oleh: Hana Krisviana /
11140110250
Delegasi korban 1965 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban
Pembunuhan 65 (YPKP 65) tampak sedang berbicara dengan Tim Penyelidikan
Peristiwa 1965/1966 bentukan Komnas HAM untuk menanyakan hal-hal terkait usaha
penuntasan kasus tragedi kemanusiaan 1965/1966, Kamis (30/5). Roshikin (kedua
dari kiri) dan Bedjo Untung (keempat dari kiri) merupakan mantan tahanan
politik RTC Tangerang.
“Tegap berderap
barisan Sukarno
Di kota, di desa,
dimana-mana
Teguh bersatu
membenteng baja
Bagaikan banteng
gagah perwira.”
Suara Roshikin masih terdengar jelas dan merdu, kendati
giginya tampak sudah banyak yang tanggal dimakan usia. Lelaki berusia 73 tahun
ini menatap jauh ke dinding di depannya sembari mengingat bait berikutnya.
“Majulah maju barisan Soekarno. Rapatkan… ee… Rapatkan
barisan Soekarno. Terus kemudian apa lagi? Apa lagi? Saya lupa. Kalau kamu ke
rumah, mungkin saya masih ada catatannya.”
Roshikin terkekeh, memperlihatkan sisa giginya. Sedikit
banyak dirinya masih ingat ketika lagu itu didendangkan puluhan tahun silam,
oleh kawan-kawannya sesama tahanan politik di Rumah Tahanan Chusus Salemba.
Nadanya menyusup lewat celah-celah dinding, lantas menerakan jejak di dinding
ingatannya.
Roshikin baru berumur 25 tahun ketika dirinya diseret ke
Rumah Tahanan Chusus Salemba karena dituduh sebagai anggota Pemuda Rakyat,
organisasi pemuda dibawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pasca
peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965, memang sedang marak-maraknya
pembersihan PKI di berbagai tempat. Roshikin sendiri masuk ke bui pada tanggal
26 Oktober 1965.
“Hanya karena saya dekat dengan orang-orang Pemuda
Rakyat, terutama kerjanya juga dengan Pemuda Rakyat, dan tentu karena
stempelnya Pemuda Rakyat, saya dicekel. Dimasukkan ke dalam penjara
bersama-sama Pemuda Rakyat lainnya. Saya pemuda nasionalis dari Pemuda Demokrat[1] dijadikan
Pemuda Rakyat plus PKI.”
Mendekam di Rumah Tahanan Chusus Salemba selama beberapa
saat, Roshikin kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Chusus Tangerang hingga
dilepaskan pada tahun 1973.
“Saya tidak mendapatkan hadiah ke Pulau Buru, cukup di Tangerang saja bertahun-tahun.”
***
Terletak agak jauh dari bising jalan raya, Lembaga
Permasyarakatan Pemuda Tangerang berdiri tegak. Bertembok tebal dan berjendela
tinggi, eksterior lapas ini tampak tidak terlalu berubah sejak awal didirikan
oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927. Hanya saja, kini di bagian atas
pintu masuk lapas itu terpasang bannerelektronik, sesuatu yang tentu belum
ada ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Tulisan “Selamat Hari Raya Waisak
2557” bergerak dari kiri ke kanan dengan warna merah yang ceria, walaupun
peringatan Waisak sudah lewat berminggu-minggu lalu.
Dahulu, bangunan ini tidak dikenal sebagai Lapas Pemuda
Tangerang. Namanya berganti-ganti, sesuai dengan fungsi dan pemerintahan yang
menaunginya. Awalnya, bangunan ini dikenal sebagai Jeugd Gevangenis di masa
Hindia Belanda, dan difungsikan sebagai penjara bagi pemuda bangsa Belanda dan
Pribumi. Setelah itu fungsinya berganti menjadi tempat pelaksanaan pidana pada
masa penjajahan Jepang, kemudian sempat pula menjadi penampungan pengungsi Cina
Pedalaman pasca Agresi Militer Belanda. Barulah saat Republik Indonesia resmi
terbentuk, tempat ini kembali difungsikan sebagai penjara pemuda, hingga
meletus peristiwa di suatu malam September tahun 1965.
Pemerintah Orde Baru menyebutnya sebagai Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), untuk menyamakannya dengan Gestapo, polisi militer Nazi
yang terkenal kejam dan bengis. Pada hari terakhir di bulan September itu,
tujuh perwira tinggi Angkatan Darat diculik kemudian dibunuh oleh sekelompok
tentara yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Lewat Radio Republik
Indonesia (RRI), gerakan tersebut mengumumkan bahwa mereka adalah pendukung
setia Presiden Sukarno, dan tujuan dari aksi mereka adalah untuk melindungi
Presiden dari persekongkolan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta pada
Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), lima hari
kemudian.
G30S hancur secepat kemunculannya. Dalam satu hari, Mayor
Jenderal Suharto yang mengambil alih komando Angkatan Darat, melancarkan serangan
balik dan menumpas gerakan tersebut. Di daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah,
G30S paling banter hanya berumur tiga hari.
Kendati hanya seumur jagung, G30S menandai salah satu
bagian sejarah Indonesia yang paling penting sekaligus paling jarang dibicarakan.
Pasca peristiwa tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai
dalang G30S. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
menggelar Operasi Kalong dan Operasi Trisula di seluruh Indonesia untuk
menangkap dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI.
Tanpa proses pengadilan dan berbekal pengakuan yang
dipaksakan atau dipalsukan, orang-orang tersebut kemudian dibuang ke berbagai
kamp-kamp tahanan. Majalah Tempo dalam liputan khususnya tahun 2012 menyebutkan
bahwa mereka tidak hanya dibuang ke Pulau Buru, diantaranya juga ke Gunung
Sahari II (Jakarta), Plantungan (Jawa Tengah), Jalan Gandhi (Medan), Pulau
Kemaro (Palembang), dan Moncongloe (Sulawesi Selatan).
Tidak terkecuali Tangerang, Jawa Barat. Dibawah nama
resmi “Pusat Rehabilitasi Tahanan G30S/PKI”, bangunan yang kini menjadi Lapas
Pemuda ini difungsikan sebagai Rumah Tahanan Chusus (RTC) Sub Instalasi
Rehabilitasi (Sub Inrehab) Tangerang untuk menampung para tahanan politik.
Namun nama ‘Pusat Rehabilitasi’ tersebut terasa seperti sindiran jika melihat
realita yang ditawarkan RTC Tangerang.
RTC Tangerang mulai beroperasi pada tahun 1965. Menurut
Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65)
sekaligus ‘alumni’ RTC Tangerang periode 1972-1979, ada sekitar 6.000 orang
yang ditahan disana hingga akhir masa operasinya. Kebanyakan tahanan merupakan
limpahan dari RTC Salemba yang membludak, dan kemudian dipekerjakan paksa
selama 12 jam untuk menggarap lahan pertanian seluas 115 hektar yang berada di
Cikokol, Tangerang.
Bedjo masih ingat panasnya tanah yang berada dibawah
kakinya saat dirinya diberangkatkan ke lahan setelah apel jam 5 pagi. Tanpa
alas kaki, hanya berbekal baju compang-camping, rantang, dan peralatan
pertanian seadanya, para tapol berjalan kaki sekitar 3 km setiap harinya untuk
menggarap 2 areal lahan yang kini berada di area mall Tangerang City, SMA
Yuppentek, dan sekitarnya. Sebagian milik Departemen Kehakiman, sebagian
lainnya milik warga keturunan Tionghoa yang direbut paksa oleh militer. Areal I
diperkirakan seluas 60 hektar, sementara Areal II sekitar 55 hektar.
“Semua orang yang berpapasan dengan kita dihentikan, tidak boleh melihat,” kenang Bedjo saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Pinang, Tangerang.
Para pasukan peleton pengawal tidak akan memberi ampun
pada penduduk yang ketahuan memberi rokok atau makanan kepada tapol. Gebukan
demi gebukan akan mereka terima sebagai ganjaran atas rasa kasihan mereka.
Lahan pertanian itu semula akan difungsikan sebagai
proyek kesejahteraan tapol, namun pada kenyataannya proyek tersebut malah
dimanfaatkan oleh pasukan pengawal RTC untuk keuntungan pribadi mereka. Sekali
panen, satu hektar bisa menghasilkan 3 ton hasil tani, namun tidak ada yang
dipergunakan untuk memberi makan tapol. Hasilnya diduga dibagi-bagi sendiri
diantara militer penguasa. Hingga tahun 1974, tapol tidak diberi sarapan
sebelum berangkat mengerjakan proyek. Jatah makanan baru diberikan saat tapol
sudah pulang dari area lahan sekitar jam 4 atau 5 sore.
Sehari-hari tahanan hanya diberi jatah bubur yang saking
encernya, hampir seperti air keruh. Atau jika tidak, segenggam jagung atau nasi
yang jika ditakar, hanya sekitar 8 sendok penuh. Nasinya bervariasi, mulai dari
nasi busuk, nasi kotor, atau nasi yang berpasir. Udin, mantan tapol RTC
Tangerang dari tahun 1966-1972 yang pernah bekerja di dapur penjara, dalam
wawancaranya dengan pihak YPKP 65 mengatakan bahwa dalam sehari tapol memang
hanya mendapat jatah 300 gram beras, beserta lauk yang tidak lebih dari harga
Rp 4,-.
Untuk memenuhi gizi mereka, banyak tahanan yang
memanfaatkan waktu mereka di lahan pertanian untuk mencari dedaunan atau
berburu binatang untuk mereka makan. Ular, tikus, kadal dan lain sebagainya.
Ada yang dimakan mentah-mentah, ada pula yang curi-curi membawanya kembali ke
sel.
“Saya paling senang itu waktu membongkar-bongkar pematang, dapat cindil (anak tikus). Langsung saja saya makan mentah-mentah saking laparnya,” ungkap Bedjo. “Makanya lumayan kuat juga kita, seperti binatang.”
Seperti kebanyakan rumah tahanan politik lainnya, tapol
di RTC Tangerang juga menghuni sel pengap tanpa ventilasi memadai. Luas sel
sekitar 1,5x2m dan rata-rata diisi 4-6 orang. Padahal menurut Bedjo, ketika
dibangun pertama kali oleh Pemerintah Hindia Belanda, 1 sel dimaksudkan untuk
diisi 1 orang.
Dari hasil wawancara YPKP 65 kepada Eko Wardoyo, salah
satu tahanan politik periode 1972-1979, diketahui ada dua buah blok dalam RTC
Tangerang, yaitu Blok B dan Blok C. Masing-masing blok berisi 52 sel, yang menjadi
pembeda adalah Blok C diperuntukkan bagi tahanan ‘kelas berat’ yang dianggap
memiliki ideologi komunis tinggi dan mempunyai keahlian, sementara Blok B
diperuntukkan bagi tahanan yang dianggap lebih ringan dalam hal pemikiran
maupun keahlian. Perlakuan yang didapat pun berbeda.
Menurut Eko, penyiksaan terhadap tapol Blok C relatif
lebih berat dibandingkan mereka yang menghuni Blok B. Dalam penelitiannya yang
dimuat dalam Soeara Kita, buletin YPKP 65, Heru Suprapto mengatakan,
mengingat banyaknya jumlah tapol, selebihnya dipaksa menempati satu ruangan
besar yang disebut Ruang Sandiwara, atau yang dikalangan tapol lebih dikenal
sebagai Geladak Kapal.
Di dalam sel tidak ada tempat tidur. Satu-satunya dipan
peninggalan zaman Belanda sudah dicopot, tanpa diganti tikar atau alas tidur
apapun. Setiap malam, tapol tidur di lantai bagaikan ikan pindang yang
dijejalkan dalam satu tempat sempit. Begitu pintu dikunci, tapol tidak lagi
boleh keluar bahkan untuk buang air sekalipun. Eko menuturkan, dirinya harus
mengambil plastik yang tercecer di jalanan untuk kemudian digantungkan di dekat
pintu penjara sebagai pispot darurat. Bau kotoran dan kencing sudah menjadi
satu dengan udara, sehingga lama kelamaan tak lagi terasa memuakkan.
Hal itulah yang membuat para tapol rentan terhadap
penyakit; diantaranya disentri, beri-beri, dan TBC. Rumah tahanan ini memang
mempunyai blok rumah sakit, tetapi nyatanya blok tersebut hanya menjadi simbol.
Tanpa dilengkapi obat, tapol yang sakit hanya akan digeletakkan di tempat tidur
tanpa diberi perawatan. Melalui kesaksiannya, Udin mengutarakan bahwa dirinya
sempat mengalami sakit darah rendah dan gegar otak, akibat interogasi dan
kekerasan fisik yang kerap dia terima.
Dokter penjara, maupun dokter yang
bekerja di RS Gatot Subroto tempat dirinya akhirnya dibawa, sama-sama tidak ada
yang mau merawat pasien yang berstatus tahanan politik. Perawatan sebenarnya
justru dia dapatkan dari rekan-rekannya sesama tapol yang memiliki latar
belakang pengobatan akupuntur atau totok. Beruntung jika sembuh. Jika tidak
sembuh, mereka hanya akan menambah daftar panjang jumlah kematian di rumah
tahanan tersebut.
Bertahun-tahun mendekam di rumah tahanan ini, para tapol
menjadi karib dengan penyiksaan fisik dan mental dari penjaga yang bertugas.
Tendangan, siletan, gebukan, bahkan setruman kerap dialami tapol jika mereka
dinilai kurang sempurna dalam menjalankan tugas. Seperti misalnya ketika mereka
disuruh mengangkut drum air sebesar 100 m dengan diameter 1 m. Jika ada sedikit
saja air yang tumpah, tanpa ampun mereka akan digebuki. Sebagian tapol bahkan
dipaksa mengakui kembali keterlibatannya dalam Gerakan 30 September, kendati
mereka sudah pernah mengalami interogasi dengan pertanyaan serupa.
“Ada komandan namanya Kapten Sani Gonjo. Wah itu sadis sekali. Suka menendangi orang-orang kampung yang mau memberi garam buat lauk pada tapol.” Kata Bedjo, menggeleng-gelengkan kepala. “Setelah Sani Gonjo, ada Kapten Saud, lalu Kapten Koleman. Tapi mereka ini sudah mulai lunak.”
Seperti dilansir Heru Suprapto, Sani Gonjo bahkan pernah
murka hanya karena menemukan adanya tanaman genjer yang tumbuh di halaman RTC.
Dia menganggap para tapol masih mempertahankan ideologi komunis dengan merawat
tanaman genjer tersebut. Ketika tidak ada tapol yang bersedia mencabutnya, Sani
Gonjo dengan penuh amarah memerintahkan agar semua tapol masuk dan dipukuli.
Rata-rata 2 orang meninggal tiap harinya di RTC
Tangerang. Jumlah yang tidak pasti, tetapi diduga kuat karena faktor penyiksaan
fisik, mental, kelaparan, dan penyakit yang tidak tertangani. Belum lagi tapol
yang mati kelelahan di ladang atau tapol yang dibunuh sesama tapol lain karena
dianggap memihak penguasa atau militer. Jika sudah meninggal dan tak ada
keluarga yang mengambil, pasukan penjaga akan menumpuk mayatnya dan dikubur dalam
kuburan massal yang menurut selentingan yang beredar, terletak di daerah yang
kini menjadi Lapas Wanita Tangerang, di Jalan M. Yamin. Tentu saja tanpa nama,
tanpa juga tugu peringatan.
Pada tahun 1979, keberadaan RTC Tangerang rupanya menarik
dunia internasional, terutama Palang Merah Internasional. Di tahun tersebut,
delegasi Palang Merah mengunjungi RTC untuk menyelidiki adanya dugaan
pelanggaran HAM. Namun pasukan penjaga bukannya bodoh. Menurut Bedjo, sehari
sebelum delegasi Palang Merah datang, penjara disulap menjadi tempat yang lebih
manusiawi. Para tapol tiba-tiba diberi tempat tidur lengkap dengan kelambu,
diberi jatah makan yang layak berupa nasi dan telur, lokasi penjara dibersihkan
dari kotoran dan kencing.
“Saya beberkan itu semua pada Palang Merah waktu saya diwawancara, bahwa itu semua bohong. Tidak benar.” Tegas Bedjo, nada suaranya meninggi. “Setelah itu RTC ditutup. Tapi sebelum ditutup, waktu itu saya lihat militer membakar semua data, administrasi, berkas-berkas. Saya juga tidak berpikir panjang waktu itu.”
***
Roshikin sudah tidak lagi menyanyi. Kini dia sedang
bersiap untuk menghadiri Kamisan di depan Istana Negara bersama Bedjo Untung,
kawannya yang dia kenal semasa menghuni RTC Tangerang, juga beberapa kawan lain
sesama mantan tapol yang tergabung dalam delegasi Korban 65/YPKP 65 seluruh
Indonesia.
Beberapa saat yang lalu, 18 orang tersebut kembali datang
menghadap Komnas HAM untuk menanyakan beberapa hal terkait usaha penuntasan
kasus tragedi kemanusiaan 1965/1966, sekaligus ingin menyerahkan hasil
penelitian independen tentang pelanggaran HAM di wilayah Kabupaten Pekalongan,
Jawa Tengah, dan Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Komnas HAM telah membentuk Tim Penyelidikan Peristiwa
1965/1966 sejak tahun 2008, tetapi hingga kini masih belum dapat menuntaskan
kasus lawas ini. Sulitnya mendapatkan bukti dokumen, kesaksian, ditambah
kurangnya dukungan dari kementerian terkait membuat Nurkholis, ketua tim
tersebut, merasa jalan mereka masih panjang.
Sambil tertatih Roshikin berjalan melewati pintu.
Rambutnya sudah mengabu, kulitnya sudah berkerut. Nyaris 48 tahun telah lalu
sejak bulan September yang begitu merah itu. Belum seabad, tetapi bukan rentang
waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Dengan payung hitam dan kaus hitamnya,
Roshikin dan kawan-kawannya masih setia menanti di suatu sudut di depan Istana.
Entah untuk berapa lama lagi.
[1] Organisasi pemuda dibawah
naungan Partai Nasional Indonesia (PNI)
0 komentar:
Posting Komentar