HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 01 Oktober 2004

Perlunya keadilan di Indonesia, 39 tahun ke depan


1 Oktober 2004 - Carmel Budiardjo, TAPOL


Tiga puluh sembilan tahun yang lalu, pada 1 Oktober 1965, suatu peristiwa terjadi yang memicu pergolakan yang menghancurkan bumi di Indonesia. 

Pada hari itu, tujuh perwira militer diculik dan ditembak mati. Rincian kejadian itu sudah dikenal luas di Indonesia dan telah menjadi bagian penting dari sejarah yang diajarkan di sekolah dan diperingati setiap tahun di media. 

Namun, sedikit perhatian telah diberikan pada peristiwa yang jauh lebih mengerikan yang terjadi kemudian. Seperti yang dikatakan oleh penulis sebuah buku yang diterbitkan baru-baru ini, pembunuhan para perwira Angkatan Darat mengambil tempat dengan bangga melebihi penangkapan massal dan pembunuhan sebagai tragedi utama bangsa. Menghubungkan memori sosial dengan monumen, museum, upacara dan buku dilakukan sedemikian rupa untuk mengingatkan orang-orang akan September.

Dalam beberapa hari dari tujuh pembunuhan, Angkatan Darat Indonesia melakukan pembersihan, dengan bantuan beberapa kelompok politik yang salah arah, yang menyebabkan penangkapan dan pemenjaraan puluhan ribu orang, anggota organisasi pemuda dan perempuan, organisasi petani dan serikat pekerja , dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), menuduh (tetapi tidak pernah dituntut secara resmi) karena terlibat, secara langsung atau tidak langsung, dalam apa yang disebut gerakan G-30-S. 

Lebih buruk lagi, selama enam bulan dari akhir Oktober 1965, ratusan ribu orang disita dari rumah mereka dan dihukum mati di sepanjang jalan dan jalan raya, dan di hutan Jawa Tengah dan Timur, di Bali dan di tempat lain. Tubuh mereka diam-diam dikubur atau dibuang ke sungai.

Sementara pembunuhan masih berlangsung, pada bulan November 1965, Presiden Sukarno mengirim tim penyelidik ke daerah-daerah yang paling parah untuk menyelidiki skala bencana. Sebelum akhir tahun, tim tersebut menemukan 78.000 orang terbunuh, tahu betul bahwa ini jauh di bawah besaran sebenarnya dari pembantaian itu. Menurut beberapa pengamat pada saat itu, angka sebenarnya kemungkinan sepuluh kali lipat.

Ketika saya ditangkap pada September 1968, jumlah total tahanan politik diperkirakan sekitar 70.000 meskipun pemerintah Soeharto menolak memberikan angka. Saya langsung jatuh ke dunia yang menakutkan, dihantui oleh jeritan orang-orang di bawah interogasi setiap malam, bersama dengan wanita yang ditelanjangi untuk mempermalukan mereka dan memaksakan pengakuan dari mereka. Saya melihat orang-orang berjuntai dari pohon-pohon di pergelangan tangan mereka, tubuh mereka ditutupi dengan luka-luka yang baru ditimbulkan.

Menjadi orang Inggris sejak lahir, saya terhindar dari penderitaan karena disiksa secara pribadi. Saya juga lebih beruntung daripada sebagian besar wanita yang saya ajak berbulan-bulan dan bertahun-tahun di balik jeruji besi karena tampaknya pemerintah takut bahwa pemenjaraan saya yang berkelanjutan akan memalukan. Atas dorongan keluarga saya di London dan dengan bantuan Dewan Gereja-Gereja Sedunia, saya dibebaskan setelah tiga tahun dipenjara dan diperintahkan untuk meninggalkan negara itu.

Almarhum suamiku jauh kurang beruntung. Dia menghabiskan dua belas tahun di tahanan sebelum dibebaskan tanpa tuduhan. Namun dia juga bisa berterima kasih kepada bintang-bintangnya yang beruntung bahwa dia tidak dibuang ke pulau Buru yang terkenal buruk di mana setidaknya 10.000 tahanan politik pria, menghadapi kondisi biadab dan kelaparan, ditahan hingga sepuluh tahun.

Pada masa itu, Indonesia berada di puncak liga untuk Amnesty International, sebagai negara dengan tahanan politik yang lebih bebas dan belum dicoba daripada negara lain mana pun di dunia.

Pembuangan saya sendiri ke Inggris terbukti menjadi berkah tersembunyi karena memberi saya kesempatan untuk berkampanye bagi mereka yang telah saya tinggalkan. 

Bahkan hari ini, lebih dari tiga puluh tahun kemudian, gambar wanita yang saya bagikan bersama masih kuat. Beberapa adalah anggota organisasi perempuan Gerwani, sementara yang lain adalah gadis-gadis muda yang dipaksa untuk membuat pengakuan palsu tentang memutilasi mayat para jenderal yang dibunuh (yang kemudian mereka tarik kembali ke pengadilan setelah menghabiskan lebih dari enam tahun di penjara). 

Mereka juga termasuk istri-istri para pemimpin PKI yang dipenjara tanpa alasan lain selain itu, dan juga para wanita menyita jalanan sambil menjual barang-barang di pasar lokal tanpa alasan lain selain diduga menjadi ketua cabang Gerwani setempat.

Saya ingat dengan jelas teman dokter saya, mendiang Sumiarsih, yang dituduh memberikan perawatan medis kepada pria dan wanita muda yang ditangkap di sebuah lokasi di luar Jakarta yang dikenal sebagai 'Lubang Buaya', di mana mayat para jenderal telah diambil. Seperti banyak wanita lain yang saya habiskan bertahun-tahun dalam tahanan, Sumiarsih, yang dijuluki 'Dokter Lubang Buaya' oleh para penculiknya, dibuang ke Plantungan, sebuah kamp terpencil untuk para tahanan politik wanita di Jawa Tengah, dan ditahan tanpa pengadilan sampai pertengahan 1970-an.

Sekarang Indonesia telah mencapai sesuatu yang mendekati negara demokratis, bukankah sudah waktunya untuk diselidiki secara menyeluruh dan mereka yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut dibawa ke muka? Keputusan baru-baru ini untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sepertinya bukan cara yang tepat untuk menghadapi bencana sebesar ini. 

Tetapi jika ini membuka jalan bagi para korban untuk maju dan berbicara tentang pengalaman mereka, untuk mengidentifikasi orang-orang yang menganiaya atau menyiksanya, ini bisa menjadi awal menuju penyembuhan luka yang terkubur di dalam hati begitu banyak orang Indonesia, yang selamat, kerabat dari mereka yang terbunuh atau yang hilang, dan keturunan para korban.

Yang menonjol dalam tragedi itu adalah Soeharto, yang perannya dalam peristiwa-peristiwa ini harus menjadi bagian utama dari penyelidikan ini. Dengan Pinochet di Chili sekarang menghadapi prospek proses pengadilan selama bertahun-tahun tirani, dan Saddam Hussein sekarang ditahan di Baghdad dan kemungkinan akan diadili, mengapa Soeharto diizinkan untuk hidup dalam pesona kehidupan, menikmati hasil dari kekayaan keluarganya yang diduga ilegal?

Adalah keyakinan saya yang kuat bahwa klaim Indonesia sebagai negara demokrasi tidak akan pernah benar-benar sah selama noda sejarahnya tidak dihilangkan dengan investigasi yang jujur ​​dan jujur.

Penulis adalah direktur TAPOL, Kampanye Hak Asasi Manusia Indonesia, yang berbasis di London.


Selasa, 14 September 2004

Korban Tragedi '65: Segera Implementasikan UU KKR

Selasa, 14 September 2004

Forum Koordinasi Tim-Tim Advokasi dan Rehabilitasi Korban Peristiwa '65 menyambut baik rentang waktu pengungkapan pelanggaran HAM dalam Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Presiden akan disomasi. Mengapa?
Mys
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 



Wadah koordinasi para korban tragedi '65 itu berpandangan bahwa untuk melaksanakan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), prioritas utama yang harus dilakukan adalah menghapuskan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif. Baik diskriminasi politik, sosial maupun budaya.

Forum Koordinasi berpendapat, penghapusan aturan diskriminatif akan mendudukkan semua warga negara setara. Ini menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka rekonsiliasi nasional. Barulah kemudian bangsa ini dapat secara bersama-sama melaksanakan rekonsiliasi nasional yang secara tulus dan didasarkan pada upaya penegakan kebenaran, demikian antara lain pernyataan Forum Koordinasi atas pengesahan RUU KKR menjadi undang-undang.

Pernyataan sikap itu ditandatangani tidak kurang dari 15 lembaga yang menangani para korban peristiwa G.30.S tersebut. Termasuk di dalamnya Forum Komunikasi Ex-Menteri Kabinet Dwikora, Tim Advokasi Jajaran TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU dan Polri, Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, Komite Aksi Pembebasan Tapol/Napol, dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan '65-'66.

Witaryono S. Reksoprodjo, Koordinator Forum, mengungkapkan penghargaan pihaknya atas sikap pembuat undang-undang yang tetap mempertahankan kata �kebenaran' pada judul Undang-Undang KKR. Namun hal yang lebih penting di mata Forum Koordinasi adalah implementasi dari Undang-Undang yang baru disahkan DPR pada 7 September lalu. Salah satu caranya adalah segera menerbitkan peraturan-peraturan organik (PP) yang diperintahkan Undang-Undang KKR.

Somasi

Menurut rencana, hari ini (14/9) korban dan keluarga tragedi '65 akan melayangkan somasi kepada Presiden Megawati, mantan Presiden Soeharto dan BJ Habibie. Somasi ini terkait dengan keinginan korban agar Pemerintah mengembalikan harkat dan martabat para korban yang mendapat stigma PKI.

Para korban merasa sudah mendapat tanggapan positif dari Mahkamah Agung dan DPR, bahkan dari Mahkamah Konstitusi. Tinggal lembaga eksekutif yang sampai sekarang belum menanggapi saran-saran yudikatif dan legislatif mengenai rehabilitasi korban '65.
 
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11146/korban-tragedi-65-segera-implementasikan-uu-kkr