HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 31 Mei 2016

Top Secret: Apa yang Hendak Moskow dan Jakarta Sembunyikan dari CIA?

31 Mei 2016

Kesepakatan kerja sama antara badan intelijen Rusia dan Indonesia menjadi pertanda baik bagi kedua negara. Hal itu juga menunjukkan bahwa Moskow dan Jakarta telah belajar dari pengalaman buruk tahun 1960-an, ketika CIA memiliki akses untuk mendapatkan informasi rahasia mengenai pengiriman senjata Soviet ke Indonesia.

Rusia dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan perukaran informasi intelijen dan meningkatkan kontak antarlembaga penegak hukum. Sumber: Host Photo Agency 
 
Rusia dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan perukaran informasi intelijen dan meningkatkan kontak antarlembaga penegak hukum.

“Kami juga tertarik dalam pembangunan dan pengembangan kerja sama lebih lanjut untuk mengatasi tantangan dan ancaman, terutama di bidang antiterorisme,” kata Presiden Indonesia Joko Widodo kepada wartawan setelah percakapan panjang dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Sochi, 19 Mei lalu.

Perang Melawan Terorisme

Data spesifik milik Indonesia mana yang menarik perhatian intelijen Rusia masih diperdebatkan. Jokowi, meski demikian, menyatakan dengan jelas bahwa kedua negara akan berkerja sama dalam memerangi terorisme.

Indonesia merupakan negara dengan popoulasi muslim terbesar di dunia dan kerap menjadi target serangan teroris. Tak banyak informasi terkait pergulatan tersebut, sehingga Rusia sangat tertarik mengorek data semacam itu dari Indonesia. Kualitas, reliabilitas, dan manfaat informasi tersebut akan ditaksir satu-persatu oleh pakar, yang akan membandingkannya dengan masukan dari sumber lain.

Anehnya, Indonesia merupakan negara pertama di wilayah tersebut yang menandatangani kesepakatan dengan Rusia. Bahkan Vietnam belum menandatangani kesepakatan intelijen dengan sekutu lamanya ini.

Kunjungan Kepala FSB Rusia ke Jakarta

Pada awal Februari 2016, Kepala Badan Keamanan Federal Federasi Rusia (FSB) Nikolai Patrushev berkunjung ke Jakarta untuk bertemu dengan presiden RI di Istana Merdeka.

Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, Indonesia memandang perlunya bekerja sama dengan intelijen Rusia. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menilai kerja sama dengan intelijen Rusia akan memberi banyak manfaat
Menurut Luhut, selama ini Indonesia lebih fokus bekerja sama dengan intelijen Barat, khususnya Amerika Serikat.

Karena itu, pemerintah Indonesia dan Rusia akan bekerja sama dalam pertukaran informasi intelijen. Kerja sama di bidang intelijen ini terutama ditujukan untuk memberantas terorisme dan narkoba.


Mempertahankan Netralitas

Alasan lain di balik penandatanganan kesepakatan adalah keinginan Indonesia untuk mendiversifikasi ikatan militer dan intelijennya dan perlahan mundur dari CIA dan lembaga intelijen Australia.

Hal tersebut didorong oleh prinsip netralitas, yang dianut Indonesia dalam kebijakan luar negeri mereka.

Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, baik Moskow dan Indonesia harus mengambil pelajaran dari pengalaman buruk tahun 1960-an, ketika CIA mendapatkan akses informasi mengenai pengiriman senjata Soviet ke Indonesia. 

Dukungan untuk Soekarno

Pada 1960-an, Indonesia — yang kala itu dipimpin oleh Presiden Soekarno — terlibat dalam beberapa konflik dengan tetangganya.
Dalam waktu yang relatif pendek setelah Indonesia mengusir Belanda dari bagian barat Pulau Papua, mereka meluncurkan ‘Konfrontasi’, sebuah perang yang tak dideklarasikan dengan Malaysia. Konflik tersebut berakhir tiga tahun kemudian dengan pengakuan Indonesia atas Malaysia sebagai negara merdeka.

KRI Irian 201, Simbol Persahabatan Soviet dan Indonesia di Tahun 60-an
KRI Irian 201, Simbol Persahabatan Soviet dan Indonesia di Tahun 60-an
 
Soekarno mendapat dukungan militer dari Uni Soviet, yang tertarik dengan kecondongan sang pemimpin terhadap paham sosialisme. Jakarta menerima senjata bernilai miliaran dolar dari Uni Soviet.

Diyakini bahwa faktor penentu kalahnya Belanda di Irian Barat ialah karena bantuan kapal selam Soviet di sekeliling Pulau Papua. Kehadiran Soviet menumpulkan AL Belanda, yang kapalnya terkurung di pelabuhan.

Beberapa tahun kemudian, di bawah kepemimpinan Suharto, Portugal dipaksa meninggalkan Timor Timur, yang kemudian menjadi negara merdeka pada 2002. 

Mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi di wilayah tersebut, CIA meluncurkan Habrink, sebuah operasi skala besar di Indonesia. Tujuan Habrink adalah mengumpulkan informasi mengenai semua senjata yang ditransfer Uni Soviet pada Jakarta. 

CIA vs. KGB di Indonesia

Badan intelijen Indonesia saat itu masih terbilang muda dan dalam proses pertumbuhan. Lembaga tersebut mayoritas berisi para mantan pejabat militer Jawa yang dulunya merupakan bagian dari tentara kolonial Belanda.
CIA berhasil menyogok pejabat Indonesia, yang menyerahkan dokumen serta informasi mengenai senjata Soviet. 


Bagaimana Mata-mata Soviet Memperoleh Bocoran Pengembangan Bom Nuklir?
Bagaimana Mata-mata Soviet Memperoleh Bocoran Pengembangan Bom Nuklir?

Pada pertengahan 1970-an, agen CIA David Barnett, yang bekerja di Konsulat AS di Surabaya pada era Soekarno, berhasil merekrut warga Soviet.

Setelah pensiun dari CIA, Barnett pindah ke Indonesia dan membuka penangkaran udang, yang kemudian bangkrut. Ia lalu menjual data mengenai Operasi Habrink pada KGB senilai 100 ribu dolar AS.
Pada 1979, ia dikhianati oleh pengkhianat KGB, yang direkrut oleh CIA di Indonesia. 

Barnett dihukum 18 tahun penjara, tapi ia dibebaskan pada tahun 1990. Cerita ini masih sering terdengar hingga hari ini di kalangan komunitas intelijen.
Moskow kini hendak melindungi dirinya sendiri dari kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu. CIA tentu akan tertarik pada senjata Rusia yang diekspor Indonesia.

Apa yang Menarik Perhatian CIA Sekarang?

CIA mungkin tertarik pada banyak detail yang selalu mendampingi kontrak skala besar bagi pasokan senjata: skema pendanaan, perantara, lokasi pertemuan, dan kapal transport.

Dan pihak Rusia ingin Indonesia setidaknya mengabari mereka mengenai upaya Rusia untuk merekrut pejabat yang tergabung dalam kerja sama Rusia-Indonesia.


Kisah Persahabatan Jakarta dan Moskow: 65 Tahun Pasang-Surut Relasi Dua Negara
Kisah Persahabatan Jakarta dan Moskow: 65 Tahun Pasang-Surut Relasi Dua Negara

Jika pihak Rusia dan Indonesia mau berusaha, mereka bisa mempertahankan kerahasiaan transfer senjata tersebut. Di Amerika Latin, hal ini tak mungkin.
Sebuah kerja sama intelijen tak selalu didampingi kontrak pasokan militer. Jadi, Indonesia bisa menyatakan bahwa hal ini tak melanggar prinsip netralitas mereka.

Masalah yang terlihat jelas di negara tersebut adalah kekacauan lembaga intelijen Indonesia. Janji-janji posisi kunci kadang diberikan dengan prinsip kolusi dan nepotisme. Selain itu, badan intelijen Indonesia masih lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah internal, bukan memastikan kerahasiaan dan aktivitas intelijen yang sesungguhnya.

Mengamankan Rahasia Bisnis

Kesepakatan Rusia-Indonesia berisi sejumlah poin tambahan, yang kini umum bagi semua lembaga intelijen dunia. Hal yang paling penting ialah aspek ekonomi dalam badan intelijen dan memastikan kerja sama informasi keamanan.

Kontrak sipil bernilai miliaran dolar di bidang migas dan transportasi jalur kereta juga perlu dirahasiakan.

Hal lain yang perlu diperhatikan ialah keamanan kapal dagang dan kapal ikan di perairan Indonesia (terutama di Selat Malaka). Ancaman bajak laut di wilayah ini sama tingginya dengan di wilayah Yaman dan Somalia. 

Namun, kesepakatan kerja sama intelijen Rusia dan Indonesia sangat menjanjikan. Namun yang paling penting, kesepakatan ini perlu diimplementasikan dan berfungsi seperti yang diharapkan, tak hanya sekadar kata-kata kosong belaka.

Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia oleh Vzglyad

Hubungan Militer Rusia-Indonesia Semakin Kuat
Hubungan Militer Rusia-Indonesia Semakin Kuat


http://indonesia.rbth.com/politics/2016/05/31/top-secret-apa-yang-hendak-moskow-dan-jakarta-sembunyikan-dari-cia_598757

Simposium Anti-PKI Terkontaminasi Asas Praduga Tak Bersalah

Selasa, 31 Mei 2016 | 23:01 WIB 

Gubernur Lemhamnas, Agus Widjojo, sekaligus Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional: Membedah Tragedi 1965 di Hotel Arya Duta, Jakarta, 18 April 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis
 
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Agus Widjojo, menilai pelaksanaan Simposium Nasional Anti Partai Komunis Indonesia yang akan digelar di Balai Kartini, Jakarta, 1-2 Juni 2016, telah terkontaminasi Simposium Membedah Tragedi 1965 yang sebelumnya digelar pada 18-19 April lalu, di Hotel Aryaduta, Jakarta.

"Banyak terkontaminasi dengan asas praduga tak bersalah dan tak ada data," kata Agus, saat dihubungi via telepon, Selasa, 31 Mei 2016.

Agus mencontohkan asas praduga tak bersalah itu, seperti mereka menyebut simposium nasional 65 pada April lalu itu menyarankan adanya pengadilan projusticia. Padahal, itu tidak ada. "Coba lihat prestasi saya tidak pernah ada proses pengadilan. Semua nilai yang kami tawarkan adalah rekonsiliasi," ujarnya.

Dugaan lain yang mereka lontarkan, lanjut Agus, adanya anggapan bahwa Simposim April lalu itu hanya membahas peristiwa setelah 1965. Itu juga tidak benar. Pada simposium itu, kata dia, justru memberi keseimbangan sebelum dan sesudah peristiwa tragedi 1965 terjadi.

"Jadi simposium sudah tidak berdasarkan data dan fakta sehingga menjurus pada fitnah yang mengatakan simposium itu pro PKI dan menuduh saya adalah PKI," kata Agus.

Ia menegaskan pada Simposium 65 pada April lalu itu, telah memberikan fakta objektif dan faktual dengan menawarkan rekonsiliasi. "Rekonsiliasi akan diidentifikasi bahwa dalam peristiwa itu jatuh korban dalam jumlah besar di semua pihak. Ada objektivitas dan realitas sejarah," tuturnya.

Agus yang merupakan ketua panitia pengarah simposium 65 pada April lalu, mengatakan tetap akan hadir pada simposium anti-PKI. Dia telah menerima undangan itu pada siang tadi. "Saya akan datang untuk sesi pembukaannya saja," ucapnya.

ARKHELAUS W.

 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775656/simposium-anti-pki-terkontaminasi-asas-praduga-tak-bersalah

Dana Simposium Anti-PKI, Menteri Luhut: Kami Bantu Sebagian

Selasa, 31 Mei 2016 | 23:00 WIB 

Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan berbincang dengan sejumlah wartawan saat coffee morning di kantor Menkopolhukam, Jakarta, 21 April 2016. Menurut Luhut menyampaikan bahwa kondisi Indonesia semakin bagus. TEMPO/Aditia Noviansyah
 
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan ikut mendanai acara Simposium Nasional berjudul “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain”.
“Kami yang mendanai (simposium itu), kok, sebagian,” kata Luhut saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa, 31 Mei 2016. Namun dia enggan menyebut nominal dana yang diberikan.

Luhut menuturkan akan ke Bali esok sehingga tidak dapat mengikuti simposium itu. Menurut dia, kehadiran Menteri Pertahanan saja sudah cukup. “Menhan akan ke sana (simposium), enggak ada masalah,” ucapnya.

Nantinya, hasil simposium menjadi bahan masukan yang akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo. Menurut juru bicara presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, Presiden Jokowi tak akan menutup diri terhadap rekomendasi simposium 65 tandingan. Johan melanjutkan, masukan, baik pro maupun kontra, akan diterima Presiden.

Rencananya, simposium tandingan berjudul “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” berlangsung besok hingga lusa di Balai Kartini, Jakarta. Simposium itu diselenggarakan guna merespons simposium yang berlangsung pada 18-19 April 2016.

DIKO OKTARA
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775647/dana-simposium-anti-pki-menteri-luhut-kami-bantu-sebagian

Rekonsiliasi 1965 Dianggap Melebar ke Soal Politik

, CNN Indonesia
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160531205506-20-134867/rekonsiliasi-1965-dianggap-melebar-ke-soal-politik/
 

Kata Agus Widjojo Soal Simposium Tandingan

Selasa, 31 Mei 2016 | 20:52 WIB

Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18 April 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah
 
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional dan Ketua Panitia Pengarah Simposium Membedah Tragedi 65, Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo, mengatakan ada perbedaan pendekatan yang dilakukan antara penyelenggaraan Simposium Anti Partai Komunisme Indonesia dengan Simposium Membedah Tragedi 1965, yang digelar pemerintah pada April 2016.

Menurut dia, perbedaan itu adalah adanya pihak yang masih kokoh pada posisi bahaya laten komunis, dan yang ingin penyelesaian melalui rekonsiliasi. "Bukan berarti memberi angin untuk PKI, tetapi melalui 'pemaksaan sejarah'. Setiap pihak melihat dengan cara pandang penyelesaian yang berbeda," kata Agus saat dihubungi Tempo, Selasa 31 Mei 2016.

Pada Simposium yang digagas pemerintah di Hotel Aryaduta pada April 2016, kata Agus, mendesak agar PKI mengakui sejarah kekerasan sebelum 1965. Simposium tersebut, kata dia, memberi keseimbangan antara fakta objektif dan faktual. "Lalu kami mencari solusi pengkotakan atas dendam masa lalu, kami tanyakan, 'kapan berakhir'?" kata Agus.

Selain itu, simposium juga menawarkan rekonsiliasi dan bersepakat bahwa komunisme tidak dapat di Indonesia. "Tidak boleh ada ideologi lain yang ada di Indonesia,” katanya. Menurut Agus, melalui rekonsiliasi akan diidentifikasi bahwa ada korban dalam jumlah besar di semua pihak.

Pada 1945 dan sesudah kemerdekaan, ujar Agus, PKI memberontak dan membunuh pamong praja, polisi, kyai, dan pimpinan partai lain. "Ini berarti sebelum dan sesudah 1965, inilah yang ingin dicapai Aryaduta," kata dia.

Agus menilai pemerintah memiliki kewajiban moral dalam segi kebijakan untuk korban kekerasan masa lalu. Tujuannya, kata dia, bukan memberi peluang bangkitnya PKI atau memanjakan PKI."Tetapi untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia sebagai masyarakat baru yang sama," kata dia.

Agus menilai penyelenggaraan simposium perlu dilakukan di alam demokrasi. Kalau masih ada yang berbeda pendapat, kata dia, tidak ada yang bisa melarang. "Biar masyarakat yang menilai, nanti akan memperkaya khasanah masyarakat dalam memahami tragedi 1965," ujar Agus.

ARKHELAUS W.

 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775621/kata-agus-widjojo-soal-simposium-tandingan

Kivlan Zen Kembali Sebut Budiman Sujatmiko Antek PKI

Selasa, 31 Mei 2016 | 19:30 WIB 

Kivlan Zen memberi salam pada para laskar di Apel Siaga FPI Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, 31 Mei 2016. Mereka mengajak masyarakat bersatu mengganyang komunisme gaya baru di Indonesia. TEMPO/Prima Mulia
 
TEMPO.CO, Bandung -  Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen kembali menyebut Budiman Sudjatmiko sebagai antek PKI. Tuduhan Kivlan itu disampaikan dalam aple siaga FPI Jawa Barat di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa, 31 Mei 2016.
 
Selain Budiman, Kivlan juga melontarkan tuduhan yang sama kepada Ribka Tjiptaning, anggota DPRI dari daerah pemilihan Sukabumi. "Budiman itu sekolah di Rusia, pernah di Ceko dan kembali ke Indonesia membawa ideologi komunis," ujar Kivlan saat berorasi depan massa FPI.


Bukan hanya dua politkus PDI  Perjuangan itu saja, menurut Kivlan, antek-antek PKI telah menyusup hampir ke seluruh tubuh pemerintahan Indonesia. "Dari kementrian, anggota dewan, kepala daerah, hingga tingkat desa, telah disusupi oleh orang-orang keturunan PKI," ujarnya.

Kivlan juga menuding Indonesianis asal negeri Abang Sam, Benedict Anderson, sebagai orang yang menanamkan benih komunisme di kalangan anak muda Indonesia setelah reformasi. "Dia yang meracuni anak bangsa kita dengan komunisme. Salah satunya dengan menerbitkan Cornel Paper," ujar Kivlan.

Untuk itu Kivlan menyerukan agar FPI membantu TNI dan Polisi untuk memberantas benih-benih komunisme di tanah air.  "Sebelum mereka bangkit pukul duluan. Perang... Perang.. Perang," kata Kivlan.

Sebelumnya Budiman mengatakan sudah mendengar ihwal tuduhan Kivlan kepadanya. Namun dia tak ingin bereaksi lebih jauh. "Ya, pikiran-pikiran kuno-lah itu, enggak layak saya tanggapi. Saya santai saja," ucapnya.

Menurut Budiman, pendapat Kivlan tersebut tak berdasar dan tak layak dikonsumsi masyarakat. "Enggak perlu ditanggapi, malah mengurangi kecerdasan bangsa Indonesia. Ya kasihan saja saya."

Budiman menegaskan, yang dilakukan Kivlan hanya membuang waktu dan tak ada pihak lain yang mempermasalahkan persoalan tersebut. "Cuma satu orang yang teriak-teriak, sementara yang lain enggak ada tuh," ucapnya. "Bangsa ini sudah membangun, terus tiba-tiba ada orang yang sudah lewat zamannya ngomong hal yang enggak penting."
 
Reaksi serupa ditunjukan oleh Ribka. Menurut dia, isu tentang komunisme kembali diangkat oleh kalangan militer dan kelompok-kelompok pendukung Orde Baru. "Ini sudah meresahkan dan menghambat proses demokrasi yang sedang bergulir," ucapnya.

IQBAL T. LAZUARDI | GHOIDA RAHMAH | INGE KLARA SAFITRI
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775592/kivlan-zen-kembali-sebut-budiman-sujatmiko-antek-pki

Jimly Minta Hasil Simposium Tragedi 1965 Fokus pada Pelanggaran HAM Berat

Selasa, 31 Mei 2016 | 18:08 WIB

Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan bersama Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkum HAM Yasonna Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, tokoh masyarakat Buya Syafii Maarif serta Romo Franz Magnis Suseno dan mantan Danjen Kopassus Letjen Purnawirawan Sintong Panjaitan menghadiri Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, di Jakarta, Senin (18/4/2016). Foto: TRIBUNNEWS/HERUDIN

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, Simposium Tragedi 1965 saat ini sudah melebar maknanya.

Menurut Jimly, hal itu yang kemudian membuat gaduh publik dan akhirnya memunculkan simposium tandingan yang digagas oleh beberapa purnawirawan TNI.

"Saat ini kesan yang ditangkap dari Simposium Tragedi 1965 sudah melebar, ada yang bilang ini terkait PKI, neokomunisme, ada juga yang bilang ini terkait investasi Tiongkok di Indonesia," kata Jimly saat diwawancarai di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/5/2016).

Jimly mengatakan, Simposium Tragedi 1965 seharusnya berfokus pada pembahasan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Untuk itu pemerintah perlu mendinginkan suasana dulu, sekarang yang berkembang justru ke arah PKI-nya, bukan ke pelanggaran HAM di masa lalunya," ujar Jimly.

"Lebih baik ditunda dulu daripada tambah gaduh, apalagi sampai mau bongkar kuburan," kata dia.

Pemerintah saat ini diminta turut mendukung rencana purnawirawan TNI untuk menyelenggarakan simposium melawan PKI yang diselenggarakan awal Juni 2016.

Simposium melawan PKI ini dinilai sebagai tandingan Simposium Tragedi 1965 yang sebelumnya sudah digelar pemerintah.

Penulis: Rakhmat Nur Hakim
Editor : Bayu Galih
 
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/31/18084381/jimly.minta.hasil.simposium.tragedi.1965.fokus.pada.pelanggaran.ham.berat?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd

Kontras Anggap Simposium Anti-PKI Bentuk Kebangkitan Orba

Selasa, 31 Mei 2016 | 16:56 WIB 

Massa Gema Demokrasi memperingati 18 tahun jatuhnya orde Baru di Jakarta, 21 Mei 2016. TEMPO/Arkhelaus Wisnu

TEMPO.COJakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain” sebagai bentuk kebangkitan Orde Baru. 
“Dilihat dari tema dan peserta simposium terlihat bahwa acara itu bentuk kebangkitan orde baru,” katanya saat dihubungi pada Selasa, 31 Mei 2016.

Haris tidak melarang adanya simposium yang akan dilaksanakan selama dua hari itu. Ia menilai acara itu sebagai wadah bertukar pendapat para peserta simposium. Namun, melihat para peserta yang kebanyakan purnawirawan TNI, ia menganggap acara itu sebagai bentuk reuni para pelaku Orde Baru. 

“Saya rasa para teman sejawat itu akan membicarakan tindakan serta kejayaan kelompoknya pada masa Orde Baru itu,” tuturnya.

Ia pun mempersilakan adanya pertemuan itu. Ia menduga akan ada cerita bagaimana beberapa peserta itu melakukan kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukannya saat masih aktif sebagai tentara. “Kisah itu nantinya bisa jadi bukti bahwa memang terjadi kejahatan kemanusiaan pada masa Orde Baru,” katanya.

Walau mengkritik acara yang akan dilaksanakan di gedung Dewan Dakwah Indonesia tersebut, Haris juga mengkritik adanya simposium yang terjadi pada April lalu di Hotel Aryaduta. Sebagai salah satu peserta yang diundang di acara Aryaduta itu, Haris enggan datang. Ia pun menilai simposium yang terjadi di Aryaduta tersebut hanya sebagai ajang bertukar pendapat. “Walau ternyata diskusi di Aryaduta sempat membuat gerah para TNI yang terkait dengan Orde Baru,” ujarnya.

Menurut Haris, membela para korban pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa hanya dirumuskan pada sebuah simposium yang dibuat organisasi masyarakat. Ia mengatakan negaralah yang seharusnya menjadi pelopor untuk melakukan berbagai gerakan dan mengungkap sejarah peristiwa pelanggaran HAM yang  masih simpang-siur di kalangan masyarakat.

MITRA TARIGAN
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775548/kontras-anggap-simposium-anti-pki-bentuk-kebangkitan-orba

Agus Widjojo Bakal Hadiri Simposium Nasional Anti-PKI

Selasa, 31 Mei 2016 | 16:35 WIB 

TEMPO/Seto Wardhana
 
TEMPO.COJakarta - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo mengatakan dia diundang untuk menghadiri Simposium Tragedi 1965, yang bakal diadakan pada 1-2 Juni 2016. Ia pun menyatakan akan menghadiri simposium bernama Simposium Nasional Anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) itu.
"Baru saya terima undangannya siang ini, berarti saya diundang. Saya akan datang untuk sesi pembukaannya saja," kata Agus saat dihubungi Tempo di Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016.

Meskipun diundang, Agus menyatakan tak akan memberikan sambutan atau tanggapan terhadap pelaksanaan simposium tragedi 1965 itu. Simposium ini dianggap sebagai simposium tandingan atas simposium serupa yang diadakan pemerintah pada April lalu. "Saya hanya sebagai hadirin dan hadirat," kata Agus dengan nada santai.

Meskipun demikian, Agus menilai penyelenggaraan simposium ini perlu dilakukan di alam demokrasi. Kalau masih ada yang berbeda pendapat, kata dia, tidak ada yang bisa melarang. "Biar masyarakat yang menilai, nanti akan memperkaya khazanah masyarakat dalam memahami tragedi 1965," ujarnya.

Simposium bertema "Mengamankan Pancasila dari Bahaya PKI dan Ideologi Lain" ini rencananya akan dibuka Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. "Kedatangan Pak Menhan adalah dukungan formal untuk kegiatan ini," kata Ketua Pelaksana Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri, Senin kemarin.

Adapun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengaku tak berniat hadir dalam simposium tersebut, meski diundang. Alasannya, ia menilai kehadiran Menteri Pertahanan sudah cukup mewakili.

ARKHELAUS W
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775544/agus-widjojo-bakal-hadiri-simposium-nasional-anti-pki

Kivlan ke FPI: Sebelum PKI Bangkit, Kita Pukul Dulu, Perang!

Selasa, 31 Mei 2016 | 15:00 WIB 

Kivlan Zen berorasi di Apel Siaga FPI Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, 31 Mei 2016. TEMPO/Prima Mulia
 
TEMPO.COBandung - Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen mengatakan paham komunisme lebih berbahaya daripada terorisme. 
Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam kegiatan apel siaga Front Pembela Islam (FPI) Jawa Barat di halaman Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa, 31 Mei 2016.

"Santoso itu kecil, bom Thamrin itu kecil. Yang sesungguhnya teroris adalah komunisme," ujar Kivlan di depan ratusan anggota FPI.


Kivlan diundang FPI Jawa Barat untuk membuka apel siaga mewaspadai Partai Komunis Indonesia (PKI). Ratusan anggota FPI dari berbagai daerah di Jawa Barat datang memenuhi halaman Gedung Sate. 

Dalam orasinya, Kivlan terus memprovokasi massa FPI dengan sejarah PKI melalui pendekatan versi dirinya sendiri. Selain itu, dia membeberkan siapa saja yang dia anggap sebagai antek PKI yang saat ini bercokol di pemerintahan. 

Dia pun menyeru masyarakat agar mewaspadai kebangkitan PKI. "Sebelum mereka bangkit, pukul duluan. Perang... perang.. perang…!" ucapnya.

Ketua Dewan Tanfidzi FPI Jawa Barat Abdul Qohar mengatakan apel siaga tersebut diadakan untuk mengantisipasi bangkitnya paham komunisme di Indonesia. Ia memberi arahan kepada anggotanya di daerah untuk membantu tentara dan polisi mengawasi kegiatan masyarakat yang dicurigai sebagai kelompok komunis.

Selain itu, apel siaga tersebut merupakan persiapan aksi yang akan dilakukan FPI se-Indonesia di Jakarta pada 3 Juni 2016.

IQBAL T LAZUARDI
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775525/kivlan-ke-fpi-sebelum-pki-bangkit-kita-pukul-dulu-perang

Pelurusan Sejarah, dan Rekonsiliasi Tragedi 1965


31 May 2016


Upaya rekonsiliasi pelanggaran HAM berat yang dimulai dari rekonsiliasi tragedi 1965 mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Bahkan belakangan ini upaya rekonsiliasi tragedi 1965 yang diinisiasi oleh perwakilan pemerintah, akademisi dan LSM telah memunculkan wacana baru tentang kembalinya komunis atau PKI yang semakin marak diangkat oleh berbagai media.

Hal ini mengemuka sebagai akibat dari penyelenggaraan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang diadakan pada 18-19 April 2016 di Jakarta. Simposium tersebut didukung oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dengan panitia penyelenggara yang berasal dari Dewan Pertimbangan Presiden, Lembaga Ketahanan Nasional, Komnas HAM, Dewan Pers, berbagai LSM dan akademisi dari berbagai kampus.

Pengungkapan kebenaran merupakan langkah awal untuk menuju rekonsiliasi. Oleh karena itu, tujuan dari simposium ini adalah membahas tragedi 1965 dengan perspektif akademik ilmu sejarah dengan mengundang para sejarawan yang meneliti insiden 1965. Melakukan pembelajaran secara reflektif terhadap peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM dalam tragedi 1965 serta berusaha untuk menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Dalam refleksi di akhir acara juga disampaikan bahwa negara terlibat dalam insiden 65 dan hal ini dapat menjadi refleksi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kedepannya.

Berbagai aksi terjadi sebagai reaksi terhadap simposium nasional tragedi 1965. Di beberapa tempat, kepolisian dan tentara melakukan penyisiran, penginterograsian dan penangkapan terhadap warga yang mengenakan aksesoris atau pakaian yang diasosiasikan dengan lambang komunis. Selain itu, mereka juga merazia buku yang mempromosikan tentang komunisme. Hal ini juga didasari oleh pernyataaan Jokowi kepada pimpinan kepolisian, TNI AD, Badan Intelijen Negara dan Jaksa Agung untuk menindak segala bentuk penyebaran komunisme.

Sementara itu, di kalangan elit juga terjadi perdebatan khususnya ada beberapa petinggi militer dan menteri yang tidak setuju dengan simposium tersebut dan berusaha untuk menyelenggarakan simposium nasional anti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diadakan pada awal Juni 2016. Simposium mengambil tema “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain”.

Simposium ini bertujuan untuk menolak segala aspek yang dapat memicu kebangkitan PKI.  Simposium ini diinisiasi oleh Gerakan Bela Negara yang terdiri dari purnawirawan tentara, ormas Islam dan organisasi yang berlandaskan Pancasila. Meskipun simposium ini mengundang beberapa menteri dan perwakilan pemerintah namun yang dipastikan akan hadir dalam kegiatan adalah Menteri Pertahanan. Menkopolhukam menyatakan bahwa simposium ini dapat memberikan perspektif tambahan tentang tragedi 1965.

Upaya rekonsiliasi tragedi 1965 merupakan salah satu janji pemerintahan Joko Widodo untuk menuntaskan tujuh pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah dialami bangsa ini. Kasus HAM berat lainnya adalah kasus Trisaksi, insiden Semanggi 1, Semanggi 2, peristiwa Wasior di Papua, Insiden Talangsari, dan penembakan misterius.

Namun, upaya ini sepertinya tidak dapat berjalan dengan mudah karena harus mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, ada yang pro dan kontra. Berbagai perwakilan masyarakat sipil telah menyampaikan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo untuk tetap meneruskan upaya rekonsiliasi tragedi 1965 dan pelurusan sejarah.  Oleh karena itu, perlu ada langkah berani dari Presiden untuk tetap konsisten terhadap apa yang pernah disampaikannya kepada publik.

Pengungkapan kebenaran, pelurusan sejarah dan rekonsiliasi tragedi 1965 merupakan ujian awal bagi pemerintahan Joko Widodo untuk menuntaskan tujuh pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah menjadi beban sejarah bangsa ini. Apabila tragedi 1965 dapat diselesaikan pada masa pemerintahan saat ini maka hal ini dapat menjadi lesson learned untuk melakukan penyelesaian kasus HAM berat lainnya.

Lubendik Ramos, Research Associate The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Pendeta Nathan Pastikan Tak Hadir di Simposium Anti-PKI

Selasa, 31 Mei 2016 | 08:05 WIB

Konferensi Pers jelang pelaksanaan Simposium Anti PKI di Gedung Dewan Dakwah, Jakarta, 30 Mei 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis
 
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Nathan Setiabudi mengatakan dia tak mengetahui jika namanya sempat tercantum sebagai  pembicara dalam acara simposium nasional “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, 1-2 Juni 2016.
“Saya sendiri belum tahu kalau nama saya tercantum (sebagai pembicara),” kata Nathan kepada Tempo saat dihubungi, Senin, 30 Mei 2016.

Nathan mengatakan tak ada pihak dari penyelenggara acara itu yang menghubunginya untuk menjadi pembicara. Apalagi, pada hari yang sama dengan saat penyelenggaraan simposium itu, dia memiliki agenda kegiatan pribadi.

Apabila diundang pun, Nathan tak akan langsung mengiyakan undangan tersebut. Ia lebih dulu akan mempertanyakan mengenai acara tersebut kepada pengundang. “Siapa yang menyelenggarakan, siapa yang akan datang,” ujarnya.

Dalam susunan acara simposium tersebut, yang diterima Tempo pada Ahad kemarin, Nathan termasuk salah pembicara pada hari kedua seminar, Kamis, 2 Juni 2016. Nathan berbicara di sesi ketiga yang membahas ideologi komunis dalam perspektif agama.

Namun, sehari kemudian, susunan acara berubah. Nama Nathan tidak ada lagi. Pada sesi tersebut, pembicaranya tinggal Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud, Dewa Putu Sukardi, dan Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia Ignatius Suharyo.

Simposium tersebut merupakan acara tandingan dari Simposium Nasional 1965 yang digagas pemerintah dengan tujuan merekonsiliasi pemerintah dengan para korban peristiwa 1965. Sejumlah purnawirawan militer, salah satunya mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen, menjadi penggagasnya. Mereka ingin menggelar simposium tandingan karena merasa aspirasinya tidak terwakili pada Simposium Nasional 1965 pada 18-19 April lalu.

DIKO OKTARA
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775396/pendeta-nathan-pastikan-tak-hadir-di-simposium-anti-pki

Yudi Latif Tolak Undangan Simposium Anti-PKI, Ini Sebabnya

Selasa, 31 Mei 2016 | 07:10 WIB 

Pengamat Politik Yudi Latif. Tempo/Tony Hartawan
 
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Politik Yudi Latif menegaskan tak akan menghadiri Simposium Nasional Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain (Simposium Anti-PKI) yang digelar di Balai Kartini, Jakarta, 1-2 Juni 2016.
Ia mengaku sempat dihubungi pihak penyelenggara untuk menghadiri simposium anti-PKI itu. “Saya belum pernah menyatakan kesediaan,” kata Yudi kepada Tempo saat dihubungi lewat pesan pendek, Senin, 30 Mei 2016.

Yudi menuturkan ada pihak yang mengundangnya lewat telepon untuk hadir dalam pertemuan sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam. Namun ia mengaku tak tahu konsep acaranya dan siapa saja yang menjadi pembicara dalam acara tersebut. "Dasarnya saya enggak bisa, jadi langsung tutup (telepon) saja," ucapnya. Ia mengaku, saat itu, sama sekali tak berpikir jika acara tersebut adalah simposium 65 tandingan.

Ia sudah punya jadwal kegiatan di Bandung pada 1 Juni. Dia akan menghadiri peringatan Hari Lahir Pancasila di gedung Merdeka, Bandung. Sehari setelahnya, dia harus ke Blitar untuk menghadiri acara pemerintah daerah, yang juga berkaitan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila.

Nama Yudi Latif sempat tercantum sebagai salah satu pembicara sesi I yang akan membahas Partai Komunis dari aspek ideologi bersama Letjen TNI (purnawirawan) Sayidiman Soerjohadiprodjo dan Habieb Riziek. Hal itu termuat dalam susunan acara yang diterima Tempo, Ahad kemarin. Namun, sehari sebelum simposium, namanya tidak ada lagi di susunan acara.

Simposium ini merupakan acara tandingan dari Simposium Nasional 1965 yang digagas pemerintah dengan tujuan rekonsiliasi, 18-19 April lalu. Sejumlah purnawirawan militer, salah satunya mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (purnawirawan) Kivlan Zen, menggelar acara itu karena merasa aspirasinya tidak terwakili dalam Simposium Nasional 1965.

DIKO OKTARA
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775388/yudi-latif-tolak-undangan-simposium-anti-pki-ini-sebabnya

Dosen UGM: Fobia Komunisme Embrio Fasisme di Indonesia

Selasa, 31 Mei 2016 | 03:19 WIB

Pemutaran dan diskusi film memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia di AJI Yogyakarta 3 Mei 2016 dibubarkan polisi. 
 
TEMPO.COYogyakarta - Pengajar Sastra Roman di Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Muhammad Al-Fayyadl, mengatakan fobia terhadap komunisme merupakan pemanasan menuju fasisme. Situasi di Indonesia saat ini, kata Muhammad, disebut proto-fasisme atau pemanasan menuju fasisme. Orang menjadi terbiasa dengan ketakutan-ketakutan.

Bukan hanya militer yang menjadi ancaman, melainkan juga ketakutan-ketakutan terhadap ideologi tertentu yang sudah menjadi budaya masyarakat. "Situasi itulah yang menyuburkan fobia terhadap sesuatu," katanya kepada Tempo seusai bicara pada Forum Umar Kayam edisi Mei di Ruang Pameran PKKH UGM, Kamis, 26 Mei 2016.

Alumnus program Filsafat dan Kritik Kebudayaan di Université de Paris VIII (Vincennes-Saint-Denis), Prancis itu mengatakan proto-fasisme bisa menjadi fasis bila tidak diatasi. Fasisme mengarah pada kondisi ketika negara dan seluruh masyarakat saling berkolaborasi melarang ideologi tertentu.

Contoh fasisme adalah kekuasaan Hitler lewat Nazi yang menyebabkan tragedi kemanusiaan. Adapun saat ini di Indonesia baru sebagian kalangan masyarakat yang fobia terhadap paham tertentu.

Menurut Muhammad, razia buku-buku tentang komunisme menggambarkan mindset tentara yang tidak berubah seperti ketika Orde Baru berkuasa. Presiden Soeharto waktu itu menggunakan teknik intimidasi dan fobia untuk menekan rakyat.

Pemberangusan buku juga menggambarkan tentara tidak belajar ihwal perkembangan teknologi. Razia buku "kiri" itu sia-sia belaka karena orang sekarang mudah mengakses berbagai informasi lewat Internet. Buku-buku elektronik pun tersedia di Internet.

Cara mengatasi fobia terhadap komunisme dan ideologi lain, kata Muhammad, adalah membicarakan hal-hal yang ditabukan secara terbuka. Tentu hal itu perlu proses panjang. Apa yang membuat orang takut perlu dinetralisasi. Orang yang berani mengemukakan pendapat berbeda mesti diberikan ruang untuk bicara.

Cara lain adalah melepaskan berbagai intimidasi yang melanggengkan budaya kekerasan. Misalnya, tidak memposisikan penyintas sebagai korban yang punya relasi timpang dengan kalangan yang mengintimidasi. Muhammad melihat penyintas 65 mempunyai pengalaman traumatis yang beragam.

Muhammad juga mengkritik media yang tidak tuntas menjelaskan secara spesifik apa itu komunisme dan bagaimana bentuknya. Akibatnya, orang belum-belum sudah takut dengan komunisme dan menganggapnya sesuatu yang tidak baik.

Muhammad Al-Fayyadl merupakan alumnus Pesantren Annuqayah Madura dan kini menetap di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Ia merupakan satu di antara penggagas Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya (FNKSD) dan situs IslamBergerak.com. Ia juga kontributor indoprogress.com, literasi.co, dan nu.or.id. Karyanya di bidang Filsafat adalah Derrida (2005), Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2015), dan Filsafat Negasi (2016).
SHINTA MAHARANI
 
https://m.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775359/dosen-ugm-fobia-komunisme-embrio-fasisme-di-indonesia

Dosen UGM: Fobia Komunisme Embrio Fasisme di Indonesia

Selasa, 31 Mei 2016 | 03:19 WIB 

Pemutaran dan diskusi film memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia di AJI Yogyakarta 3 Mei 2016 dibubarkan polisi.
 
TEMPO.COYogyakarta - Pengajar Sastra Roman di Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Muhammad Al-Fayyadl, mengatakan fobia terhadap komunisme merupakan pemanasan menuju fasisme. Situasi di Indonesia saat ini, kata Muhammad, disebut proto-fasisme atau pemanasan menuju fasisme. Orang menjadi terbiasa dengan ketakutan-ketakutan.
Bukan hanya militer yang menjadi ancaman, melainkan juga ketakutan-ketakutan terhadap ideologi tertentu yang sudah menjadi budaya masyarakat. "Situasi itulah yang menyuburkan fobia terhadap sesuatu," katanya kepada Tempo seusai bicara pada Forum Umar Kayam edisi Mei di Ruang Pameran PKKH UGM, Kamis, 26 Mei 2016.

Alumnus program Filsafat dan Kritik Kebudayaan di Université de Paris VIII (Vincennes-Saint-Denis), Prancis itu mengatakan proto-fasisme bisa menjadi fasis bila tidak diatasi. Fasisme mengarah pada kondisi ketika negara dan seluruh masyarakat saling berkolaborasi melarang ideologi tertentu.

Contoh fasisme adalah kekuasaan Hitler lewat Nazi yang menyebabkan tragedi kemanusiaan. Adapun saat ini di Indonesia baru sebagian kalangan masyarakat yang fobia terhadap paham tertentu.

Menurut Muhammad, razia buku-buku tentang komunisme menggambarkan mindset tentara yang tidak berubah seperti ketika Orde Baru berkuasa. Presiden Soeharto waktu itu menggunakan teknik intimidasi dan fobia untuk menekan rakyat.

Pemberangusan buku juga menggambarkan tentara tidak belajar ihwal perkembangan teknologi. Razia buku "kiri" itu sia-sia belaka karena orang sekarang mudah mengakses berbagai informasi lewat Internet. Buku-buku elektronik pun tersedia di Internet.

Cara mengatasi fobia terhadap komunisme dan ideologi lain, kata Muhammad, adalah membicarakan hal-hal yang ditabukan secara terbuka. Tentu hal itu perlu proses panjang. Apa yang membuat orang takut perlu dinetralisasi. Orang yang berani mengemukakan pendapat berbeda mesti diberikan ruang untuk bicara.

Cara lain adalah melepaskan berbagai intimidasi yang melanggengkan budaya kekerasan. Misalnya, tidak memposisikan penyintas sebagai korban yang punya relasi timpang dengan kalangan yang mengintimidasi. Muhammad melihat penyintas 65 mempunyai pengalaman traumatis yang beragam.

Muhammad juga mengkritik media yang tidak tuntas menjelaskan secara spesifik apa itu komunisme dan bagaimana bentuknya. Akibatnya, orang belum-belum sudah takut dengan komunisme dan menganggapnya sesuatu yang tidak baik.

Muhammad Al-Fayyadl merupakan alumnus Pesantren Annuqayah Madura dan kini menetap di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Ia merupakan satu di antara penggagas Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya (FNKSD) dan situs IslamBergerak.com. Ia juga kontributor indoprogress.com, literasi.co, dan nu.or.id. Karyanya di bidang Filsafat adalah Derrida (2005), Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2015), dan Filsafat Negasi (2016).

SHINTA MAHARANI
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775359/dosen-ugm-fobia-komunisme-embrio-fasisme-di-indonesia

Luhut Jawab Kivlan: Jangan Bilang Komunis, Ini Kemanusiaan

Selasa, 31 Mei 2016 | 01:17 WIB 

Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan saat dilantik sebagai komisioner Kompolnas oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 13 Mei 2016. TEMPO/Subekti.
 
TEMPO.COJakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan meminta masyarakat dan media massa mencerna ucapannya secara utuh tentang penertiban atribut berlambang palu arit. Luhut mengatakan hal ini karena ia diprotes sejumlah pihak setelah menyebut kaus simbol arit merupakan tren.
"Jangan nanti dibilang Pak Luhut menyebut itu tren. Kalau oleh satu-dua orang itu tren, tapi kalau dalam kelompok besar, itu mengarah (pada PKI) dan melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999," katanya di Gedung Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Senin, 30 Mei 2016.

Luhut menampik pemerintah disebut kurang tegas menghadapi penyebaran atribut itu. Namun dia menekankan perlunya penanganan yang tepat, tanpa sikap represif.
"Soal baju-baju itu, kalau terlalu kencang, orang luar (asing) nanti bilang ini negara demokrasi, tapi bentuknya kok otoriter? Harus ada strategi," katanya.

Luhut mengatakan organisasi masyarakat mana pun tak boleh sembarangan melakukan sweeping. "Kami tegas, di Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 itu disebutkan bukan cuma PKI, melainkan ormas yang tak berideologi Pancasila pada waktunya akan ditindak."

Luhut mengatakan pemerintah ingin meluruskan semua prasangka atas kejadian kelam masa lalu agar isu ini tak berlanjut ke generasi mendatang. "Ini bukan masalah benar-salah, ini masalah kemanusiaan. Jadi jangan bilang lagi soal komunis tak komunis," ujarnya.

Penanganan isu kebangkitan PKI, menurut Luhut, sudah memiliki patokan hukum yang jelas. "Patokannya Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 25 Tahun 1966, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, dan Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003. Itu jelas hukumnya." 

Protes keras itu muncul salah satunya dari Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen. "Kata Luhut itu baju trendi. Justru itu awal PKI, di permukaan baru bunga-bunga saja, tapi di bawah mereka sudah siap menyerang," kata Kivlan dalam diskusi yang diadakan di Jakarta, 25 Mei lalu.

Kivlan menganggap Luhut gamblang menerima kebebasan berpikir, yang kemudian mengurangi ketegasan dalam menertibkan atribut PKI. Sebuah kutipan Luhut yang kurang lengkap disalahartikan Kivlan.

"Itu dilihat-lihatlah. Kalau ada satu atau dua kaus, bisa juga itu tren anak muda juga. Yang posting di media sosial itu juga mana? Saya cek, tak ada," begitu kata Luhut pada 9 Mei 2016.

YOHANES PASKALIS
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/31/078775354/luhut-jawab-kivlan-jangan-bilang-komunis-ini-kemanusiaan

Senin, 30 Mei 2016

Niat Pemerintah Selidiki Pembantaian 1965-66 Hadapi Banyak Rintangan

30.05.2016 

Presiden Joko Widodo menginstruksikan penyelidikan kuburan massal dan pengungkapan pembantaian anti komunis 1965-66. Tapi instruksi itu tidak mudah dijalankan karena penentangan aparat keamanannya sendiri.  

 
Sejak penyelenggaraan Simposium 1965 yang diwadahi pemerintah dan didukung langsung oleh Presiden Jokowi, polisi dan militer Indonesia mendadak bergerak cepat justru untuk menghantam segala hal yang dianggap berbau komunisme. Antara lain menyita t-shirt, buku-buku dan membatalkan berbagai acara.

Reaksi sebagian aparat keamanan dan perwira tinggi militer mendapat dukungan dari sebagian kubu konservatif di Indonesia, yang masih menganggap tulisan dan pembahasan tentang komunisme bisa mengembalikan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali menjadi kekuatan politik.

Kekhawatiran terhadap PKI yang sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang terutama disulut oleh aksi-aksi kelompok militan dan pernyataan-pernyataan keras para petinggi polisi dan militer, termasuk dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, pensiunan Jendral yang punya pengalaman tempur ketika mengejar anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Gelombang isu yang mencuat tentang "kebangkitan PKI" tidak terjadi secara kebetulan, kata beberapa pengamat politik Indonesia. Penyebaran isu itu dipersiapkan dan dilansir secara terarah.

Analis politik Paul Rowland mengatakan, sebagian kalangan militer memang "ingin menghidupkan kembali ancaman komunis, karena hal ini yang efektif untuk membenarkan aksi pembantaian 50 tahun yang lalu".

Di Pulau Ternate, empat aktivis Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Maluku Utara sempat ditahan aparat TNI karena dituduh mengoleksi dan memiliki kaus serta buku berbau kiri. Salah satunya, Adlun Fiqri, 20 tahun.

"Saya pikir ini konyol," kata Fiqri kepada kantor berita AFP. "Ini konyol bahwa membaca buku untuk mendapatkan pengetahuan dan mengenakan T-shirt bisa Anda ditangkap."


Tentara Indonesia menangkap anggota GAM di Aceh Timur dimasa Daerah Operasi Militer (DOM) 2003 

Dalam kasus lain, kali ini di Jakarta, seroang pedagang kaos ditahan karena menjual T-Shirt dengan motif band metal asal Jerman Kreator. Dalam cover albumnya, Kreator memasang gambar palu arit. Di banyak tempat lain, polisi melarang acara diskusi dan pemutaran film, diantranya pemutaran film dokumenter tentang Pulau Buru.

"Mereka menunjukkan paranoia berlebihan," kata Renno Krisna, guru musik berusia 34 tahun. "Tidak mungkin komunisme akan membuat comeback di Indonesia."

Pembantaian 1965-66 adalah salah satu bab paling gelap dalam sejarah Indonesia. Sedikitnya 500.000 orang dibunuh oleh kelompok-kelompok lokal yang dipersenjatai dan dikendalikan unit-unit militer.

Aksi pembunuhan massal dimulai setelah Jenderal Suharto menggagalkan apa yang disebut "upaya kudeta yang dilancarkan PKI". Suharto kemudian naik ke tampuk kekuasaan dan memimpin Indonesia dengan tangan besi selama tiga dekade, ditopang oleh sebuah rejim militer dengan dukungan Golkar, yang sejak reformasi berubah menjadi Partai Golkar.

Bulan lalu, pemerintahan Jokowi mengambil langkah-langkah menuju rekonsiliasi. Untuk pertama kalinya digelar diskusi terbuka dalam Simposium 1965 dengan menghadirkan keluarga para korban. Ketika itu, Presiden Jokowi juga mengumumkan akan menyelidiki situs-situs kuburan massal.

Tapi, langkah itu sekarang terhenti oleh gerak cepat kalangan militer garis keras, yang masih tidak setuju peristiwa 1965-66 diungkap. Penolakan dan perlawanan militer garis keras juga pernah terjadi dalam isu lain.

Ketika berkunjung ke Papua Mei tahun lalu, Jokowi sempat mengumumkan bahwa kawasan itu terbuka bagi jurnalis asing yang ingin meliput. Pernyataan itu segera dibantah oleh beberapa petinggi militer. Presiden akhirnya harus mengalah.
hp/rn (afp, rtr)
 
http://www.dw.com/id/niat-pemerintah-selidiki-pembantaian-1965-66-hadapi-banyak-rintangan/a-19293373

Menteri Luhut Tak Hadir di Simposium Anti-PKI, Ini Alasannya

Senin, 30 Mei 2016 | 23:01 WIB

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan saat coffee morning dengan sejumlah wartawan di kantor Menkopolhukam, Jakarta, 21 April 2016. Dalam acara ngobrol santai tersebut Luhut menyampaikan pesan kepada sejumlah wartawan. TEMPO/Aditia Noviansyah
 
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan membenarkan bahwa ia diundang dalam acara simposium pembahasan tragedi 1965 pada 1-2 Juni 2016. Namun ia tak berniat hadir. Alasannya, kehadiran Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu saja sudah cukup.
"Tak usah lah, kan sudah ada Pak Ryamizard. Tadi sore beliau ke kantor saya untuk membahas simposium itu," kata Luhut di kantornya, Senin, 30 Mei 2016.

Kedatangan Ryamizard memang tercantum dalam jadwal yang diedarkan panitia simposium bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Bahaya PKI dan Ideologi Lain” tersebut. Ketua panitia, Letnan Jendral purnawirawan Kiki Syahnakri, mengatakan kedatangan Ryamizard merupakan bentuk dukungan moril terhadap pelaksanaan simposium itu.

"Tim saya sudah menyerahkan berkas lengkap kegiatan ini kepada Pak Menhan. Saya rasa (beliau) akan datang," kata Kiki, Senin, 30 Mei 2016.

Kiki menambahkan, simposium yang mereka selenggarakan itu terbuka untuk para aktivis hak asasi manusia dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Panitia pun mengundang panitia simposium tragedi 1965 sebelumnya. "Semua diundang. KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Imparsial, Agus Widjojo juga."

YOHANES PASKALIS
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2016/05/30/078775333/menteri-luhut-tak-hadir-di-simposium-anti-pki-ini-alasannya