Senin, 23 Mei 2016

Ini Lho, Jokowi [1]

Di Tengah-tengah Atmosfer Nasionalis Indonesia: Perubahan Politik dari Kebijakan Ekonomi Jokowi 
 
 
Oleh Max Lane [1]

Ringkasan Eksekutif

1). Presiden Joko Widodo terus membuat kebijakan politik yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang prioritas politik utamanya berpusat pada upaya untuk investasi di bidang infrastruktur. Isu-isu lainnya, seperti "Revolusi Mental", atau rekonsiliasi atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia, hanya lah mendapatkan sedikit perhatian.

2). Strategi utama Joko Widodo untuk menarik investasi dikemas dalam dua paket perubahan kebijakan, yang bertujuan untuk memapas peraturan yang dapat menghambat investasi bisnis, terutama bisnis investasi asing.

3). Suatu strategi yang dengan sangat jelas menunjukkan ketergantungan pada penawaran terbuka terhadap pendanaan oleh pihak luar negeri, dan pada deregulasi yang dapat membuat investasi lebih mudah, mengambil risiko terhadap adanya kritik nasionalisme, karena sebelumnya mengembar-gemborkan atmosfer nasionalistik saat berkampanye pada pemilu 2015 dan adanya kritik yang luas atas kebijakan deregulasi neo-liberal sebagai kebijakan anti-nasional.

4). Pemerintah Joko Widodo, secara simbolik, memperkenalkan beberapa kebijakan awal dengan muatan nasionalistik—tetapi mereka memainkannya kembali dengan gaya nasionalis yang cerminannya sekadar diangkatnya masalah-masalah yang minor atau “sub-teks”, dan ini telah menjadi fitur politik yang ditampilkan sehari-hari.

5). Gaya nasionalisme tetap terlihat stabil, namun hanya pada kadar yang rendah karena tampaknya tidak memiliki isian ideologi—bahkan pada yang berifat taktis—oleh oposisi di dalam parlemen dalam mengritik kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Kredibilitas oposisi parlemen sendiri sebagai kritikus anti-asing telah melemah oleh beberapa tindakan mereka sendiri.

6). Kebijakan ekonomi nasional yang lebih mendasar—penggunaan wajib rupiah (dalam transaksi dengan pihak asing) dan perpanjangan Daftar Negatif Investasi[2] - berjalan di tempat, menyebabkan beberapa investor asing negeri-negeri Barat tetap berhati-hati.

Pengantar

Ekonomi masih menjadi prioritas utama Presiden Joko Widodo. Sementara dia tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan atau mengulangi serentetan pembukaan proyek infrastruktur yang dapat dilihat awal tahun ini,[3] pada bulan Agustus dan September pemerintah mengeluarkan sejumlah besar kebijakan baru bersamaan dengan paket substansi deregulasi. Paket deregulasi ini, sangat jelas diharapkan, akan mendorong investasi swasta asing, terutama dalam proyek infrastruktur—dan Joko Widodo telah menyimpulkan, benar atau salah, harapan utamanya untuk merangsang kegiatan ekonomi dan kemudian menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Luasnya paket deregulasi (lihat di bawah) memperlihatkan sentralitas pertumbuhan ekonomi melalui infrastruktur dalam program politik Joko Widodo—program yang akan mendasarkan popularitasnya, dan yang masih berada dalam penolakan.[4] Area lain kepemimpinan yang dibicarakan oleh Joko Widodo selama kampanyenya, seperti “Revolusi Mental”, yang seharusnya mengubah mentalitas birokrasi, tetap sulit dipahami. Beberapa dari mereka yang berkampanye untuknya juga berasumsi, atau berharap, bahwa ia akan mengambil inisiatif rekonsiliasi dan keadilan dalam pelanggaran HAM besar masa lalu. Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, pada satu saat dikabarkan telah siap menyatakan permintaan maaf negara untuk para korban pembantaian 1965-1966 namun, kemudian, hal tersebut tak pernah diwujudkan. Banyak pendukung Joko Widodo berharap bahwa Presiden baru akan melakukan sesuatu pada peringatan 50 tahun pembantaian massal tersebut, yaitu pada tahun 2015. Namun, juru bicara Presiden menyatakan bahwa tidak ada pikiran mengenai hal tersebut dan, menurutnya, isu utama dalam pikiran presiden ialah pengelolaan ekonomi.[5] Hal tersebut selalu menjadi pusat orientasi Joko Widodo.

Penekanan pada infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi muncul sebagai penyempitan agenda kepemimpinan politik Joko Widodo. Memang, bahkan pada saat ini kebijakan-kebijakan unggulannya mengenai jaminan sosial, yakni Kartu Sehat Indonesia dan Kartu Pintar Indonesia, masih tidak tampak diprioritaskan dalam peluncuran mendesak dan perluasannya. Mungkin hal itu sedang direncanakan melalui anggaran berikutnya, yakni bulan Januari, tapi hingga kini belum ada kemajuan yang substansial.

Infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi tampak menghabiskan semua perhatiannya hingga saat ini. Artikel ini akan menilai tekanan tambahan pada Joko Widodo yang terus mendorong agenda yang menjurus tersebut. Hal itu juga akan menggambarkan karakter nasionalistik dalam politik yang diciptakan oleh deregulasi ekonomi dalam kegiatan bisnis asing dan keputusasaan dalam pencarian modal asing.

2015: tekanan baru terhadap pertumbuhan ekonomi
Pada bulan Juli 2015, terlihat jelas bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia melambat. Laporan Triwulan-an Bank Dunia mengenai Indonesia pada bulan Juli menilai bahwa Indonesia memasuki masa "penurunan keuntungan".[6] Pertumbuhan diperkirakan telah turun dari 5,2% menjadi 4,7%, laju paling lambat sejak 2009. Pada saat yang sama, pada bulan Juli, angka investasi langsung (asing) menunjukkan penurunan, bahkan sangat sedikit, bila diukur dalam dolar AS. Selama periode ini rupiah juga mulai menurun secara substansial terhadap dolar AS, seperti yang terjadi pada berbagai mata uang negara-negara lain di seluruh dunia. Lembaga seperti Bank Dunia, serta ekonom pemerintah, tidak melihat beberapa perkembangan tersebut sebagai masalah yang tak dapat diselesaikan. Namun, di luar diskusi teknokratis, tiga indikator mengenai penurunan pertumbuhan, penurunan investasi asing dan pergeseran nilai rupiah telah menciptakan suasana politik yang meningkatkan tekanan pada Joko Widodo untuk menunjukkan bahwa ia mengelola ekonomi dengan baik. Joko Widodo sendiri juga telah menyatakan bahwa pada bulan Oktober ekonomi akan meroket.[7] Tekanan politik tersebut juga, dalam hal substantif, merupakan suatu tekanan ekonomi. Pencarian dana habis-habisan, baik dengan memanfaatkan dana pensiun dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),[8] serta mencari investasi asing dan pinjaman luar negeri tidak mendukung strategi ekonomi Joko Widodo. Memaksimalkan investasi di bidang infrastruktur merupakan kebutuhan bagi Joko Widodo, membuat semuanya menjadi lebih mendesak secara politis dengan adanya atmosfer tiga indikator penurunan yang telah disebutkan sebelumnya. Hingga Oktober, meskipun rupiah telah mengalami sedikirt penguatan, ketiga indikator tersebut masih berdampak pada suasana politik. Pelaporan mengenai tingkat pertumbuhan yang melambat dan investasi yang menurun, tentu saja, semakin meluas. Penyamaan penurunan nilai rupiah layaknya krismon (krisis moneter) yang terjadi pada tahun 1997 silam juga menimbulkan sentimen negatif. Media, termasuk melalui media sosial, mengejek beberapa pejabat pemerintah yang mengklaim bahwa "rakyat” tidak khawatir tentang penurunan rupiah. Kritikus nasionalis pun menjadi lebih vokal mempertanyakan kemampuan Joko Widodo dalam mengelola ekonomi.

Ditekan oleh kedua kebutuhan objektif (mengingat strategi berbasis infrastruktur nya) dan suasana politik, Joko Widodo telah memulai perluasan deregulasi. Meskipun ia tidak pernah benar-benar menggunakan istilah "deregulasi" dalam kampanyenya saat Pemilu yang lalu, ia telah memperjelas diri bahwa ia sedang mendukung perampingan regulasi yang dapat memudahkan para pebisnis "untuk melakukan bisnis". Contoh paling jelas dari orientasi tersebut adalah dorongan yang cepat untuk membuat sebuah sistem satu atap bagi perusahaan untuk mendapatkan izin yang diperlukan dan memuaskan berbagai masalah pengaduan. Joko Widodo telah berhasil mendirikan semacam izin bisnis satu atap di Solo ketika dia dulu menjabat sebagai Walikota Solo.

Di luar skenario pusat satu atap tersebut, hal-hal yang ada, bagaimanapun, lebih rumit lagi. Beberapa keputusan pertama pemerintahan Joko Widodo dikonfirmasi atau bahkan lebih lanjut diwujudkan dalam regulasi, yang sangat tidak populer di mata investor asing, terutama mereka yang berasal dari “Barat”, Amerika Serikat dan Eropa. Peraturan-peraturan kunci yang tidak populer tersebut di antaranya:

1. Persyaratan bahwa semua transaksi yang terjadi di Indonesia harus dilakukan dalam rupiah. Penggunaan dolar AS tidak dimungkinkan lagi. Perusahaan-perusahaan internasional sekarang harus membayar staf internasional mereka dalam rupiah, serta untuk semua pembelian lainnya. Hal itu adalah, pertama-tama, tidak bisa diwujudkan dalam pratik dan, karena itu, tidak diinginkan, sebagaimana juga masalah-masalah yang timbul terkait dengan pergeseran nilai rupiah. Ada hukuman satu tahun penjara yang akan dikenakan bagi penggunaan dolar AS dalam transaksi domestik.[9]

2. Persyaratan bahwa semua ekspor dan transaksi impor dilakukan melalui Letter of Credit. Hal itu sangat populer di kalangan perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia, yang dapat memaksakan hambatan birokrasi dan potensi penundaan dalam pembayaran transaksi. Ada fasilitas untuk membebaskan hal tersebut, tetapi membutuhkan diskresi dari Menteri.[10]

3. Revisi Daftar Negatif Investasi pada bulan Mei, 2015. Daftar tersebut, yang dikenal sebagai DNI, adalah daftar area-area ekonomi dimana investasi asing dilarang atau sangat dibatasi. Sebuah perpanjangan daftar untuk “lebih berat membatasi investasi asing di sejumlah sektor lainnya, termasuk telekomunikasi, pertanian, minyak, gas, listrik dan daya”[11] dipandang oleh, misalnya, American Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Amerika, sebagai dis-insentif umum bagi penanaman Modal Asing. Beberapa pelunakan kecil dalam hal peraturan, misalnya, dalam hal obat-obatan tidak dipandang sebagai usaha untuk menyeimbangkan pembatasan yang lebih berat.[12] Ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan menarik beberapa pembatasan tersebut, ketika Menteri Perdagangan mengumumkan review dan menyerukan keterlibatan publik untuk mengisi daftar. The Jakarta Globe melaporkan bahwa “Menteri koordinator perekonomian Indonesia, Darmin Nasution, telah menyebutkan bahwa suatru revisi daftar negatif investasi akan menjadi bagian dari langkah-langkah dalam menstimulus ekonomi yang dijalankan pemerintah”.[13] Sebuah pelonggaran pembatasan akan menjadi kemunduran bagi pendirian nasionalistik sebelumnya.

4. Persyaratan bahwa semua staf asing harus lulus ujian Bahasa Indonesia pada awal penugasan mereka di Indonesia.

Semua persyaratan tersebut memiliki daya tarik nasionalis yang populer. Saat memiliki daya tarik tersebut, mereka semua berupaya melawan kampanye yang meyakinkan investor, terutama yang dari negeri-negeri Barat, untuk membawa dana dalam skala besar ke Indonesia. Investor-investor asing, melalui perusahaan-perusahaan mereka dan badan perwakilan seperti Kamar Dagang (Chambers of Commerce), telah menjadikan kritik tersebut dikenal.

Selanjutnya, terutama investor-investor yang berasal dari negeri-negeri Barat, termasuk mereka yang sudah beroperasi di Indonesia, menganggap meningkatnya regulasi sosial menyebabkan kekecewaan lain bagi investasi selanjutnya. Selain itu, terdapat peningkatan peraturan sosial, terutama yang didorong oleh inisiatif dari partai-partai Islam yang konservatif, termasuk larangan penjualan alkohol di berbagai supermarket, pengenalan RUU di parlemen yang melarang semua konsumsi alkohol, undang-undang baru yang melarang seorang pria dan seorang wanita yang tinggal bersama-sama jika belum menikah. Ketika aturan-aturan tersebut masih berupa rancangan pun, rancangan tersebut dilihat sebagai gejala dari kecenderungan yang akan menciptakan lingkungan yang kurang menarik bagi sejumlah besar pekerja ekspatriat/asing.[14]

Di bawah tekanan untuk memaksimalkan masuknya dana asing, Joko Widodo kini memperkenalkan dua paket kebijakan deregulasi.[15] Sebelum kita memahami politik dari paket-paket kebijakan tersebut, penting untuk mencatat bahwa pembalikan dari beberapa kebijakan sebelumnya membuat kebijakan-kebijakan nasionalistik menjadi lebih jelas hanyalah sekadar simbolik. Pada bulan Agustus, persyaratan bagi ekspatriat untuk lulus tes Bahasa Indonesia—persyaratan ditegaskan pada bulan Juni—dibatalkan, bersamaan dengan janji bahwa izin tinggal untuk pekerja asing akan lebih mudah didapatkan.[16] Segera, setelah itu, peraturan yang melarang penjualan alkohol di supermarket juga dicabut.[17]

Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I diluncurkan pada tanggal 9 September.[18] Tahap Kedua diluncurkan pada tanggal 29 September.[19] Tahap ketiga dilucurkan pada tanggal 8 Oktober, yang menekankan penurunan harga bahan bakar, listrik dan gas untuk industri serta ‘perampingan’ birokrasi dalam mengakses lahan untuk keperluan investasi. Dorongan utama dari tiga paket tersebut adalah untuk mengurangi masalah regulasi untuk bisnis, dan juga menurunkan beberapa biaya. Ada juga beberapa langkah-langkah yang lebih spesifik di luar area tersebut. Misalnya, visa masuk gratis diperpanjang bagi lebih dari 70 negara, meskipun terdapat ‘penyimpangan’ nasionalis lainnya—termasuk bahwa Australia masih dikecualikan dari rezim bebas visa[20]—meskipun aturan tersebut kini juga sudah dicabut.[21] Ada juga peraturan-peraturan yang diduga ampuh sehingga dapat mempercepat aliran dana pembangunan desa ke desa-desa.

Deregulasi muncul dalam skala besar, dengan ratusan peraturan yang dibatalkan atau diubah kembali. Ketika beberapa retorikanya menekankan keharusan meningkatkan daya saing perusahaan nasional, namun sebenarnya tekanannya lebih berat ada pada bagaimana menarik investasi asing. Ada juga perubahan yang dapat memudahkan investor asing masuk dalam pasar properti.[22] Menurut Sekretaris Kabinet, Pramono Anung:

“Ini semua untuk memberikan sinyal positif kepada negeri-negeri tetangga dan masyarakat bahwa Indonesia adalah teman untuk siapa yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.”[23]

Fokus yang jelas untuk membuat Indonesia menjadi lebih mudah bagi investor asing untuk berinvestasi telah mulai mewujud, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Suharto di tahun 1960-an dan 70-an, seperti itulah fitur utama dari strategi ekonomi Joko Widodo. Target utama—meskipun bukan satu-satunya—adalah investasi asing untuk proyek-proyek infrastruktur, yang diharapkan akan menarik investasi lainnya dalam kegiatan produktif.

Kegiatan pemerintah yang begitu seksama untuk menarik investasi asing sebagian karena ketidakmampuan untuk memobilisasi modal besar-besaran dari dalam Indonesia sendiri. Ketidakmampuan ini, pertama-tama, merupakan cerminan dari kurangnya modal relatif yang tersedia di Indonesia sebagaimana tercermin dalam rendahnya pendapatan per kapita, yang hanya sebesar 4.000 dollar AS. Selain itu, pemerintah, yang terdiri atas pihak yang berhubungan dekat dengan konglomerat swasta besar, dan menghadapi oposisi parlemen (yang, namun, juga menjalin hubungan koneksi dengan baik), tidak siap untuk meningkatkan pajak untuk sektor konglomerat swasta, baik asing maupun dalam negeri. Pemerintah juga belum memenuhi target pengumpulan pajak dari tingkat pendapatan menengah dan bawah. Menurut Bank Dunia: “Pendapatan yang ditargetkan oleh anggaran akan ditingkatkan menjadi 30 persen, namun turun 1,3 persen pada sampai Mei, 2015.”[24] Sebagaimana ditunjukkan di ISEAS Perspective, Joko Widodo telah menginstruksikan berbagai kementerian untuk menilai apakah ada uang yang tersedia dalam dana sosial dan asuransi lainnya yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur.[25]

Kontradiksi terhadap sentimen nasionalistik

Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh Presiden Joko Widodo selayaknya lah bukan hal yang mengagetkan. Selama kampanyenya dalam pemilu lalu, yang paling jelas dalam dialognya di televisi nasional dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN) ialah ketika Joko Widodo menjanjikan sebuah pendekatan yang bertujuan untuk mendorong proses pertumbuhan di sector swasta/privat. Dia menunjukkan bahwa kunci untuk mendorong proses tersebut adalah melalui janjinya untuk “memotong, memotong, memotong” ketika berkaitan dengan regulasi. Dalam dialog yang sama dengan KADIN tersebut, ia juga menunjukkan bahwa ia ingin menarik investor dan terbuka untuk mendekati para pemberi pinjaman asing. Itulah perspektif kebijakan yang jelas didukung oleh Joko Widodo, ia harus melakukannya dalam iklim di mana retorika nasionalis juga tinggi, termasuk penolakan nasionalis dari apa yang disebut sebagai neo-liberalisme. Di Indonesia, kebijakan ekonomi neo-liberal sering dilihat sebagai kebijakan deregulasi yang membuat kemudahan bagi investasi asing untuk beroperasi di Indonesia, terkadang, ada klaim, dengan mengorbankan bisnis domestik. Organisasi Non-Pemerintah, sejumlah besar ekonom, serta politisi, telah menggunakan retorika nasionalis anti-neoliberal tersebut untuk menyerang pemerintahan sebelumnya (Megawati dan S.B. Yudhoyono). Ada sentimen yang luas bahwa Sumber Daya Alam Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, dan bahwa Indonesia adalah wilayah yang sangat strategis bagi kepentingan-kepentingan tersebut.

Pada 2015, isu semacam itu mendapat sorotan yang cukup tinggi, terutama karena lawan utama Joko Widodo, Prabowo Subianto, mengambil retorika-retorika nasionalis dan membuat tuduhan bahwa ratusan miliar dollar telah tersedot ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Kritik muncul dalam hal pajak yang dibayar oleh perusahaan pertambangan raksasa, Freeport, di Papua Barat, yang telah menjadi salah satu yang simbolik, namun hanya sebatas gaungnya saja, merupakan perwujudan dari sentimen tersebut. Selama Oktober, telah ada diskusi lebih lanjut, bahkan perselisihan di Kabinet mengenai bagaimana perpanjangan kontrak Freeport harus ditangani. Menteri Koordinator Kelautan, Rizal Ramli—yang memiliki reputasi panjang sebagai seorang ekonom nasionalis—telah menegaskan bahwa Freeport harus diminta untuk membayar lebih banyak royalti.[26]

Keberadaan sentimen nasionalistik seperti itu saat ini terkonsolidasi dalam politik Indonesia. Setelah Soeharto membuka pintu investasi asing yang begitu luas pada tahun 1967, politik nasionalis telah benar-benar kalah, seperti yang terlihat dalam kehancuran fisik dari nasionalis. Kiri. Pada 2015, Joko Widodo menghadapi sentimen nasionalis yang dihidupkan kembali. Namun, bagaimana pun, penting untuk dicatat bahwa sentimen tersebut tidak berada dalam kendaraan politik yang efektif.[27]

Seperti yang ditunjukkan di bawah ini, bagaimanapun, oposisi parlemen, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, mempelopori retorika anti-“kebocoran” dalam kampanyenya semasa pemilu yang lalu, belum dapat sepenuhnya menggunakan isu tersebut, karena beberapa wataknya sendiri terhadap (perusahaan) “asing”.

Situasi yang dihadapi oleh Joko Widodo tersebut telah menghasilkan berbagai pemutarbalikkan nasionalis. Meskipun telah ada penarikan mundur kebijakan pengujian bahasa Indonesia bagi ekspatriat, pelonggaran pembatasan visa bagi pekerja asing, penghapusan peraturan/regulasi tentang penjualan alcohol, dan paket deregulasi 9 dan 29 September, ada juga beragam sikap untuk mengimbangi gaya nasionalistik—meskipun, sekali lagi, dalam praktinya, terkadang sulit dipertahankan. Sebagian besar gaya nasionalistik ini juga disajikan sekadar sebagai sub-teks, sekunder bagi resep kebijakan utama, dan lebih untuk menciptakan atmosfer. Untuk saat ini, bagaimanapun, harus tetap dicatat bahwa ketegasan pemerintah tentang penggunaan rupiah dalam semua transaksi, penggunaan Letter of Credit, dan perluasan Daftar Negatif Investasi belum dicabut secara eksplisit meskipun, sekarang, Daftar Negatif Investasi sedang ditinjau dan dapat dipandang sebagai kemunduran.

Gaya nasionalistik dapat dilihat dalam laporan awal pejabat yang berkaitan dengan protes Singapura atas kebakaran hutan yang berasal dari Sumatera. Wakil Presiden Jusuf Kalla telah bersikap sangat meremehkan. Baru-baru ini, mantan aktivis demokrasi dan anti-korupsi, yang sekarang menjabat sebagai Kepala Staf Presiden Joko Widodo, Teten Mazduki, membuat komentar bahwa Singapura sebenarnya harus bersyukur atas 9 bulan oksigen yang dipasok Indonesia untuk Singapura.[28] Namun, walaupun pada awalnya meremehkan tawaran bantuan Singapura untuk melawan kebakaran, Joko Widodo akhirnya menerima tawaran tersebut, bersama dengan bantuan dari negeri-negeri lainnya.[29]

Gaya nasionalistik lain dihubungkan pada negosiasi dengan China dan Jepang tentang pembangunan kereta cepat antara Jakarta dan Bandung. Proyek tersebut akhirnya diberikan kepada Cina setelah melalui negosiasi yang alot dan setelah adanya pernyataan awal bahwa proyek tersebut tidak akan diberikan sama sekali.[30] Cina memenangkan kontraknya dengan meyakinkan Indonesia bahwa hal itu bisa mendanai proyek tanpa dana anggaran dari Indonesia. Jepang memprotes keputusan tersebut, sebagian dengan alasan bahwa Indonesia telah mengubah beberapa syarat.[31] Sementara pejabat Indonesia menjanjikan bahwa investasi Jepang akan diterima di daerah lain, termasuk untuk kereta cepat yang lain, media, termasuk media sosial, berperan dalam keputusan Indonesia dalam menegaskan kekuatannya untuk melawan pemain besar seperti Jepang yang ingin Indonesia berkontribusi secara finansial untuk proyek tersebut. Pada saat yang sama, banyak yang memprotes kerjasama dengan Cina, sebagian dimobilisasi atas dasar sentiment lokal anti-Cina, tetapi juga menempel pada sentimen umum karena, bagaimanapun juga, Indonesia adalah memang kawasan perahan bagi bisnis asing.

Seperti dapat dilihat, banyak sekali retorika nasionalistik terbatas sekadar di tingkat “sub-teks”. Isu-isu yang tidak substansial, dan kadang-kadang perlu ditarik-balik. Retorika nasionalistik tersebut tetap berada sekadar di tingkat "sub-teks" karena dua alasan utama. Pertama, tentu saja, retorika nasionalistik yang akan dijalankan bertentangan langsung dengan landasan fundamental strategi ekonomi Joko Widodo, yang bertujuan memaksimalkan peran investasi asing dalam perekonomian dan telah mendapatkan dukungan luar biasa dari seluruh elit. Hujatan awal terhadap Joko Widodo di kalangan kritikus neoliberalisme di Indonesia adalah penjajaan langsung ke perusahaan asing di beberapa negeri untuk datang dan melakukan bisnis di Indonesia. Pembalikan langsung dari beberapa kebijakan, seperti tes bahasa Indonesia untuk ekspatriat, merupakan gejala kontradiksi.

Orientasi untuk membuka ekonomi (dalam negeri terhadap asing) juga diwujudkan ketika Joko Widodo menunjuk manajer dana investasi sektor swasta di Singapura, Thomas Lembong, sebagai Menteri Perdagangan. Lembong mendampingi Presiden Widodo selama kunjungannya ke Amerika Serikat, di mana ia mengumumkan bahwa Indonesia akhirnya ingin bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang tentunya akan membutuhkan keterbukaan lebih lanjut.[32]

Alasan kedua adalah tidak adanya kekuatan politik yang efektif di Indonesia yang mencoba untuk menggunakan retorika nasionalistik tersebut sebagai fokus utama dalam menentang Joko Widodo. Potensi yang paling jelas adalah Koalisi Merah Putih (KMP), yang secara resmi dipimpin oleh Prabowo Subianto, dan yang menggunakan kartu nasionalis selama kampanye pemilu presiden yang lalu. Fadli Zon, anggota parlemen dari partai Prabowo, Gerindra, telah menjadi kritikus tetap Joko Widodo pada berbagai isu. Pada kebijakan ekonomi yang mendasar, seperti dua Paket Kebijakan Ekonomi, kritik yang diberikan relatif lunak, mengambil sikap “tunggu dan lihat”.[33] Fadli Zon lebih aktif mempromosikan dirinya sebagai seorang politisi anti-korupsi, terpilih sebagai kepala badan internasional parlemen melawan korupsi, dan membela eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (KPK). Kritik lunaknya terhadap kebijakan ekonomi konsisten dengan gaya KMP sejak awal Kepresidenan Joko Widodo. 
KMP, yang telah mendukung amandemen anggaran Joko Widodo dan kebijakan lainnya, tampaknya ingin memastikan bahwa setiap kegagalan ekonomi yang dihasilkan oleh Jokowi Widodo pada akhirnya akan dilihat sebagai kesalahannya sendiri, dan bukan hasil dari pelecehan yang dilakukan oleh oposisi di parlemen.
Selain itu, tampaknya tidak ada perbedaan baik ideologis maupun kebijakan fundamental antara KMP dengan kebijakan ekonomi Joko Widodo. Dalam hal apapun, kredibilitas setiap potensi agitasi anti-asing yang dilancarkan oleh Fadli Zon dan politisi KMP lainnya terganggu oleh tindakan mereka sendiri termasuk ketika mereka berfoto selfie dengan Donald Trump dalam kampanye Trump di Amerika Serikat. Biaya tinggi yang dibebankan kepada wajib pajak Indonesia, dari study tour anggota parlemen, yang di dalamnya termasuk biaya untuk pasangan dan anak-anak, juga merusak kredibilitas umum mereka.
 
Kesimpulan

Pola peningkatan keterbukaan terhadap investasi asing, terutama untuk infrastruktur, akan tetap menjadi yang utama dalam Kepresidenan Joko Widodo. Dan hal itu, akan terus menghasilkan kontradiksi dengan sentimen nasionalistik yang juga menyebar luas. Kontradiksi tersebut akan mesyaratkan kelanjutan sikap nasionalis di tingkat bawah. Tidak adanya kendaraan politik nasionalis yang efektif, meskipun partai-partai baru terbentuk, akan memungkinkan sikap tersebut tetap berada pada tingkat yang rendah, sampai ada kegagalan utama dalam program infrastruktur, atau terjadi pertumbuhan yang memburuk, atau ada penurunan yang serius dalam angka-angka FDI.

Catatan Kaki:

1. Max Lane merupakan peneliti senior (tak tetap) pada Program Studi Indonesia di ISEAS-Yusof Ishak Institute, dan telah menulis ratusan artikel untuk majalah dan Koran di Indonesia. Dia menulis juga di blognya: maxlaneonline.com.

2. Sebuah daftar tentang area ekonomi yang melarang atau membatasi investasi asing.

3. Max Lane, The Politics of Widodo's Prioritisation of Accelerated Infrastructure Construction, http://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2015_43.pdf





8. Lihat Max Lane, The Politics of Widodo's Prioritisation of Accelerated Infrastructure Construction, http://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2015_43.pdf






14. Komunikasi dengan ekspatriat dari negeri-negeri Barat di kawasan bisnis Jakarta.

15. Paket kebijakan lainnya diluncurkan pada tanggal 15 Oktober, yang bertujuan untuk mengatur upah. Paket kebijakan tersebut membatasi kenaikan upah minimum tahunan yang didasarkan pada rumusan kenaikan upah yang ketat dan peninjauan atas upah minimum hanya diizinkan setiap lima tahun sekali. Paket kebijakan ini ditolak oleh seluruh serikat buruh dan disambut oleh para pengusaha.






21. Ini bukanlah hal yang baru bagi pemerintah Indonesia untuk mempertahankan beberapa sanksi dalam melawan pemerintahan Australia semenjak adanya seri skandal yang melibatkan mata-mata Australia di Indoenesia dan pernyataan mantan Perdana Menteri Tony Abbott yang dinilai tidak diplomatik.




25. Max Lane, op cit.


27. Beberapa parati baru telah didirikan, semuanya juga menggunakan gaya nasionalistik, meskipun hingga saat ini belum ada yang dapat terangkat ke tingkat nasional sebagai unsur yang serius menggarapnya.




31. http://www.ft.com/intl/cms/s/0/eca4af84-67fa-11e5-97d0-1456a776a4f5.html#axzz3oJI3Cr9s (Jepang meradang setelah Indonesia memenangkan Cina dalam tender proyek pembangunan rel kereta api.)


 
_____
https://www.facebook.com/notes/danial-indrakusuma/ini-lho-jokowi/10155023821283538

0 komentar:

Posting Komentar