HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 17 Oktober 2010

Aktivis dan Korban Pelanggaran HAM Gelar 'Pasar Lupa'

17/10/2010 | Wella Sherlita 

Demonstrasi mahasiswa di kampus Trisakti, 8 Maret 1998. Tragedi Semangi dan Mei 1998 termasuk kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum dituntaskan pemerintah.

Aksi damai ini memrotes penanganan pemerintahan SBY atas hak dan tuntutan para korban dan keluarganya. Aksi digelar dalam rangka setahun Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Di depan Istana Negara, Minggu siang, mereka menggelar lapak-lapak lazimnya di pasar tradisional, lengkap dengan payung hitam untuk peneduh, serta gambar-gambar, poster, dan potongan artikel majalah dan surat kabar, yang memberitakan sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat. Alunan musik dangdut sesekali ikut meramaikan suasana.

Pasar itu mereka namakan “Pasar Lupa”, ditujukan kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap “lupa dan mengabaikan” hak dan tuntutan para korban pelanggaran HAM berat, beserta keluarganya.

Koordinator aksi “Pasar Lupa," Yati Andriyani, dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mengatakan kepada VOA, transaksi politik hari ini jelas telah meminggirkan kepentingan rakyat yang jadi korban.

“Transaksi politik inilah yang menyebabkan arti politik terpinggirkan. Jangan-jangan memang ada transaksi politik antara pemerintahan SBY dan parlemen, untuk mengamankan kekuasaan. Kita curiga karena ini (kasus-kasus pelanggaran HAM berat) didiamkan saja.” ungkap Yati.

Setiap payung peneduh lapak masing-masing diberi nama dengan cat putih. Maka berderet peristiwa terbaca; mulai dari kejadian tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, Penembakan Misterius (Petrus), kasus Talangsari, hingga Tragedi Mei dan Semanggi, tahun 1998.

Aksi "Pasar Lupa" di gelar dalam rangka setahun pemerintahan SBY tahap II.

Kontras yang telah mendampingi korban dan keluarganya lebih dari 10 tahun, semakin kehilangan rasa optimis, karena para mantan Jenderal, yang terlibat langsung dalam berbagai operasi di lapangan, sekarang memiliki fraksi di DPR. Kondisi ini sangat disesalkan oleh Yati Andriyani.

“Mereka masih punya kekuatan yang cukup kuat, bahkan mereka punya fraksi di parlemen. Mengapa ini bisa terjadi? Karena memang politik kita memberikan ruang untuk itu, dan tidak pernah ada upaya untuk membongkar peristiwa di masa lalu,” kata Yati.

Berbeda dengan pesimisme para aktivis, keluarga korban masih terus berdoa dan berharap kepada Presiden Yudhoyono.

Ruyati, ibunda dari Eten Karyana, yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998, di Jogja Plasa, Klender, Jakarta Timur, menuturkan kepada VOA,“Sampai sekarang, saya sebagai orangtuanya, ibunya, saya kuat menunggu sampai 12 tahun, Tapi kami tetap menuntut kepada Pak SBY, 'lihatlah kami-kami ini, ibu-ibu yang sudah tua ini masih berjuang di tengah panas dan hujan, demi diselesaikannya kasus ini'”

Sementara itu, salah satu korban peristiwa 65, Saunar Ahmad, berharap pemerintah bersedia merehabilitasi mereka. Saunar dan Mansur, abangnya, sempat menjadi kader PKI, tetapi keburu ditangkap meskipun belum sempat aktif di partai. Mansur tewas dalam kejaran aparat, dan Saunar bersyukur ia masih hidup.

“Supaya kami ini direhabilitasi, diberikan jaminan sosial. Lalu itu dihapuslah Tap MPRS No. 25 (Tahun 1966) dan No. 33 (Tahun 1967), itu kan tidak sah (karena PKI secara politik sudah dibubarkan pemerintah Indonesia). Seharusnya kami menghadap MK lagi untuk menguji materi UU itu,” kata Saunar.

Saunar Ahmad sekeluarga dipaksa pindah dari Padang. Mereka sempat tinggal di Pekanbaru dan Bandung puluhan tahun, hingga akhirnya kembali ke kota Padang tahun 1990-an. Namun, cap sebagai bekas anggota PKI diakuinya sulit dihilangkan.

http://www.voaindonesia.com/a/aktivis-dan-korban-pelanggaran-ham-gelar-pasar-lupa/84969.html

Rabu, 13 Oktober 2010

Mahkamah Konstitusi: Pelarangan dan Penyitaan Buku Langgar Konstitusi

13/10/2010 | Fathiyah Wardah

Kejaksaan Agung beberapa waktu yang lalu melarang peredaran sejumlah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan UU No.4 PNPS tahun 1963 soal pelarangan buku bertentangan dengan konstitusi Indonesia.

Mahkamah Konstitusi, Rabu mengabulkan permohonan uji materil undang-undang Nomor 4/PNPS tahun 1963 tentang pengamanan barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum yang diajukan sejumlah penulis, penerbit dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan undang-undang No.4 PNPS tahun 1963 yang digunakan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan dan penyitaan buku sangat bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Menurut Mahfud, ini karena setiap orang berhak untuk berkomunikasi, menyimpan dan menyatakan fikirannya melalui pembuatan buku.

Kejaksaan Agung harus melalui proses peradilan terlebih dahulu apabila ingin melakukan pelarangan buku yang dinilainya mengganggu ketertiban umum.

Dan jika ingin melakukan penyitaan buku maka kepolisian maupun Kejaksaan Agung harus meminta ijin kepada ketua Pengadilan Negeri setempat yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyidikan, penuntutan dan penyidangan yang sesuai dengan undang-undang yang ada.

“Undang-undang no.4/PNPS/1963 tentang pengamanan barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum tercantum dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 1963 No.23 tambahan lembaran negara Republik Indonesia No.2533 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Mahfud.

Dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang ada, hanya satu hakim yang memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting opinion, yaitu Hamdan Zoelva. Menurutnya, kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan buku yang dinilai melanggar ketertiban umum merupakan tindakan yang tidak bertentangan dengan konstitusi.

“Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat plural, ancaman atas keamanan dan ketertiban umum yang ditimbulkan oleh suku, ras dan agama masih menjadi persoalan yang belum dapat diatasi dengan baik,” kata Hamdan Zoelva.

Ia menambahkan, tulisan bisa menimbulkan ganguan keamanan, karena,”Sebuah tulisan, barang cetakan yang menyinggung perasaan suku, agama dan ras atau kelompok tertentu, dapat menimbulkan perkelahian, perang antar suku atau agama yang pasti mengancam keamanan dan ketertiban umum.”

Atas putusan Mahkamah Konstitusi itu, sejumlah penulis yang mengajukan judicial review merasa senang. Menurut Muhidin M. Dahlan,” Ini kabar baik bagi buku. Selama sejarah Indonesia, tidak ada kabar segini baik bagi seorang penulis. Dia ( kejaksaan) harus melewati sebuah prosedur yang agak panjang dan tidak singkat, ringkas untuk melakukan penindakan atas sebuah buku.”

Penulis lainnya, Darmawan mengungkapkan,” Kita mulai saat ini berani menulis buku dan kalau ada orang tidak sependapat, kita tantang tulis buku lagi, tidak lagi dengan kekuasaan.”

Muhidin M. Dahlan adalah penulis buku “Lekra Tidak Membakar Buku” sedangkan Darmawan menulis buku “Enam Jalan Menuju Tuhan”. Kedua buku ini dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Sumber: VoA Indonesia 

Jumat, 08 Oktober 2010

Dulu Soeharto, Sekarang Yudhoyono

Jum'at 08 Oktober 2010 WIB

Historia

Ini bukan kali pertama presiden Indonesia batal ke Belanda. Kalau sekarang karena RMS, dulu karena Purwodadi.

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan kunjungannya ke Negeri Belanda pada menit-menit terakhir. Tersiar kabar aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda mengajukan gugatan ke pengadilan lokal di Den Haag atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap aktivis RMS di Indonesia. Mereka pun menuntut agar Presiden Yudhoyono ditahan demi kepentingan peradilan. Walhasil Yudhoyono membatalkan kunjungannya kendati berbagai pihak mengatakan kalau pembatalan itu malah makin membesarkan RMS saja.

Itu bukan cerita baru. Presiden Soeharto pun pernah menunda kunjungannya ke Belanda. Seharusnya Soeharto terbang ke Belanda April 1969 dan mengundurkan jadwal kunjungannya sampai dengan tahun 1970. Ia menunda kunjungan bukan saja karena RMS yang saat itu sedang marak-maraknya menuntut kemerdekaan melainkan pula karena skandal pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kurun tahun 1965-1969 yang tercium oleh media massa asing.

Mulanya adalah Romo Wignyosumarto, pastor gereja Katolik di Purwodadi, Grobogan yang mendengar pengakuan dosa Mamik, anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang mengaku terlibat dalam pembunuhan 50 lebih anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. Kabar itu kemudian diteruskan kepada Poncke Princen yang berkunjung ke Purwodadi bersama dua wartawan Belanda, Henk Colb dan E. van Caspel.

Berdasarkan informasi awal dari Romo Sumarto, mereka bertiga mengunjungi berbagai kamp penahanan yang ada di Purwodadi, termasuk di Kuwu, di mana mereka menemukan bukti-bukti pembantaian terhadap 860 tahanan. Poncke dan dua wartawan Belanda itu pun mengumpulkan keterangan dari warga sekitar yang memperkuat informasi tentang adanya pembunuhan massal di Purwodadi. Di antara mereka ada yang bercerita bahwa pelaku membunuh orang-orang PKI dengan cara memukul tengkuk korban dengan tongkat besi.

Kabar itu pun segera tersiar. Poncke mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26 Februari 1969. Berdasarkan pengakuan Poncke dalam memoarnya Kemerdekaan Memilih ia tak berencana membeberkan persoalan Purwodadi itu di hadapan wartawan nasional. Kepada Henk Colb ia berjanji untuk membiarkan berita ekslusif itu jadi milik koran De Haagsche, tempat Colb bekerja. Namun batin Poncke bergejolak. Ia memutuskan untuk membuka saja kasus itu di Jakarta betapapun sangat berbahayanya. 

“Kemanusiaan jauh lebih penting,” kata dia dalam bukunya. Colb pun sempat kecewa pada Poncke yang membocorkan berita ekslusifnya itu. Sementara itu Mamik, anggota Hanra yang mengaku pada Romo Sumarto, ditangkap oleh tentara dan tak jelas bagaimana nasibnya.

Sehari setelah jumpa pers media nasional memberitakan tentang peristiwa di Purwodadi. harian KAMI yang dikelola oleh para aktivis mahasiswa angkatan 1966 menurunkan headline “Purwodadi dalam Ketakutan”. Berbagai media massa yang terbit di ibukota pun segera berlomba-lomba menyiarkan kabar ihwal skandal pembunuhan massal yang dibongkar oleh Poncke. 

Wartawan Sinar Harapan Yopie Lasut dan wartawan Indonesia Raya Maskun Iskandar menuliskan serial laporan langsung dari Purwodadi.

Seperti disiram bensin, berita panas skandal Purwodadi pun menjalar kemana-mana. Henk Colb menurunkan tulisannya di koran De Haagsche. Ia menyoroti soal tahanan politik di kamp Purwodadi yang memprihatinkan: berdesak-desakkan dalam kamp dan diperlakukan tidak manusiawi. Laporan Colb membuat sejumlah kelompok di Belanda geram. Mereka pun turut menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggap menjadi dalang pembantaian massal jutaan kaum kiri.

Suratkabar Trouw, 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari Het Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang dipimpin oleh sosiolog terkemuka W.F. Wertheim menyebutkan bahwa kalangan rakyat Belanda merasa resah atas niat beberapa pengusaha Belanda dan pemerintahnya yang bermaksud mengadakan hubungan kerjasama ekonomi dengan Indonesia. Menurut komite tersebut, menjalin kerjasama berarti melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia.

W.F. Wertheim dalam sebuah wawancara dengan majalah Vrije Nederland juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, dia kembali menegaskan, “Tidak ada kerjasama dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik.” Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim melarangnya mengunjungi Indonesia.

Tulisan tentang skandal Purwodadi di De Haagsche itu juga mengundang reaksi keras sekelompok mahasiswa Belanda. Kemarahan mereka tumpahkan kepada Menteri Keuangan RI Drs. Frans Seda saat datang memberi ceramah dalam rangka lustrum pada tanggal 17 April 1969 di Universitas Katolik Nijmegen. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk berceramah, seorang mahasiswa, Y. van Herte menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI. Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata Herte menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Suasana jadi kacau, bahkan mahasiswa meneriaki Frans Seda sebagai moordenaar (pembunuh) dan lafaard (pengecut). Ceramah pun dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan aula universitas lewat pintu belakang .

Melihat perkembangan situasi di Belanda dan pemberitaan yang semakin kritis kepada pemerintah Orde Baru, Soeharto memutuskan untuk membatalkan lawatannya ke Belanda dan negara Eropa lainnya yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Kunjungan ke Belanda baru dilakukan Soeharto pada awal September 1970 dan itu pun bukan berarti sepi dari demonstrasi. Sejumlah demonstran RMS berunjukrasa setelah beberapa hari sebelumnya sempat menduduki gedung Kedutaan Besar RI di Wassenaar dan menyandera keluarga duta besar.

Dalam kunjungannya ke parlemen Belanda, Soeharto yang didampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik pun tak lepas dari pertanyaan para anggota parlemen soal tahanan politik. Tentu saja pertanyaan itu dilontarkan setelah koran-koran Belanda ramai memberitakan temuan Poncke Princen dan dua wartawan Belanda di Purwodadi. Video kunjungan Soeharto itu masih bisa disaksikan di situs Youtube berjudul "Bezoek van President Soeharto (1970)."
Persoalannya sekarang apakah penundaan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda akan menyurutkan langkah para aktivis RMS untuk menuntut keadilan atas kematian saudara-saudaranya di Maluku? Kita lihat saja nanti.

https://youtu.be/g5x6buGs51c

Sumber: Historia.Id

Senin, 04 Oktober 2010

Tragedi 1965?

Historia 

Sabtu, 02 Oktober 2010

Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-66 Demi Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi Nasional

Pidato sambutan pada Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 di Diemen, Nederland pada tanggal 02 Oktober 2010

Oleh: MD Kartaprawira*
 
Ilustrasi: Sebagian dari para Eksil di Negeri Belanda [Foto: lpk65]

Hari ini kita memperingati peristiwa tragedi nasional 1965, yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua dan generasi mendatang, agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi.
Peristiwa G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Sebab dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung Karno untuk membangun Indonesia yang merdeka , berdaulat dan mandiri berdasarkan Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto menjadi politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia praktis tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan -- pelanggaran HAM berat  yang memakan korban jutaan manusia tak bersalah, di mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim Suharto.  Inilah kejahatan kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.
Kalau kita kilas balik peristiwa timbulnya G30S 1965 yang terjadi 45 tahun yang lalu maka tampak fakta kejadian-kejadian a.l. sebagai berikut.
Pada pagi hari 01 Oktober 1965 terjadilah suatu gerakan dari satuan Angkatan Darat (Cakrabirawa) yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Tigapuluh September melakukan penculikan terhadap  beberapa jenderal, yang akhirnya mereka dibunuh di Lubang Buaya. Kemudian  melalui RRI diumumkan berdirinya Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan bersamaan itu pula diumumkan pendemisioneran kabinet Bung Karno oleh Dewan Revolusi. Dalam waktu singkat kegiatan G30S dapat dihancurkan oleh tentara KOSTRAD  di bawah pimpinan Jenderal Suharto.
Peristiwa selanjutnya adalah maraknya gerakan anti Sukarno dari mahasiswa dan pelajar aliran kanan (KAMI dan KAPI) yang dibelakangnya  adalah tentara KOSTRAD- Suharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga jenderal utusan Suharto (Brigjen. M.Jusuf, Brigjen. Amirmachmud, Brigjen. Basuki Rahmat) berhasil memaksa Presiden Soekarno untuk menanda tangani Surat Perintah yang terkenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Mayjen. Suharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu demi pemulihan keamanan dan ketertiban. Dengan Supersemar di tangannya Suharto berhasil melakukan kudeta merangkak, yang bermuara pada penggusuran kekuasaan presiden Soekarno oleh MPR ala Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Nasution..
Dari fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang terus berkembang  sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada hukum logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas. Sementara  tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan tersebut berakhir dengan satu kesimpulan,  kita tidak tahu. Meskipun demikian, banyak fakta yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab atas timbulnya peristiwa G30S dan terjadinya tragedI nasional selanjutnya.  Maka dari itu,  terus menerus melakukan pencermatan masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah mutlak penting.
Tanpa menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa menunggu kesimpulan siapa yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa menyatakan tanpa ragu-ragu tentang terjadinya tragedy nasional yang maha dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran-pelanggaran  HAM berat pada tahun 1965-66, yang dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh rejim militer Suharto. Pelanggaran HAM berat  tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa proses hukum yang berlaku,  penahanan ribuan orang di pulau Buru, Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya.  Pembunuhan-pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri dibelakangnya. Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan, penjara Plantungan dan lai-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI.  Inilah tragedy kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang merupakan abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk bidang hukum dan HAM.
Setiap manusia yang jujur akan heran melihat kenyataan terjadinya kasus kekejaman luar biasa tersebut di atas di negara Indonesia yang di dalam konstitusinya tercantum filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara. Setiap hati nurani yang berkemanusiaan akan terperanjat mengapa pelanggaran HAM berat demikian  tak  mendapat perhatian dari penyelenggaran negara, khususnya institusi penegak hukum Indonesia. Setiap manusia beradab akan bertanya mengapa suatu tindak pidana – kriminal/kejahatan, setelah kwalikasinya menjadi kejahatan kemanusiaan - pelanggaran HAM berat, penanganannya malah dipinggirkan sampai tidak ada batas kepastian sama sekali.
Indonesia menurut konstitusi adalah negara hukum, tapi kenyataan menunjukkan lain,yang menyangsikan bahwa Indonesia adalah betul-betul negara hukum. Sebab law enforcement-nya sangat menyimpang dari tuntutan keadilan layaknya di negara hukum: di mana terjadi kejahatan/pelanggaran hukum maka kasusnya diproses di pengadilan untuk mendapatkan keadilan sesuai bukti-bukti yang ada. Kesangsian kita akan hal tersebut tidak tanpa dasar, sebab fakta-fakta yang merupakan bukti sah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan penguasa rejim Suharto sudah lebih dari cukup untuk melakukan proses hukum terhadap kasus tersebut. Terutama, fakta penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan dan rumah-rumah tahanan lainnya yang tanpa dibuktikan kesalahannya sesuai hukum yang berlaku, dilakukan oleh penguasa militer/ABRI. Di kawasan-kawasan tempat tahanan tersebut ABRI jugalah yang melakukan pengawasan dan penjagaan ketat.  Kemudian pembebasan mereka, setelah dunia internasional mengecam keras tindakan pelanggaran HAM yang memalukan tersebut, dilakukan oleh ABRI juga. Banyak para korban berhasil membuat kesaksian tentang pengalamannya sebagai korban pelanggaran HAM, yang berwujud buku, artikel, interview, foto, video dan lain-lainnya. Kalau penegak hukum di Indonesia mau melaksanakan tugasnya secara jujur  seharusnya sudah menemukan setumpuk bukti dokumen keterlibatan ABRI dalam pelanggaran HAM dari arsif KOPKAMTIB dan MBAD. Tidak ada dasar dan alasan untuk mengingkari terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66. Sebab bukti-bukti ada di depan mata.
Fakta-fakta pelanggaran HAM tersebut, tidak boleh tidak, harus dijadikan materi bagi usaha-usaha pelurusan sejarah yang selama 32 tahun dimanipulasi oleh rejim Orde Baru Suharto. Dari fakta-fakta tersebut negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto. Dan oleh karenanya pemerintah harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya atas kejadian tersebut dan atas terabaikannya penuntasan kasus tersebut selama 45 tahun ini. Setelah itu pemerintah harus dengan segera mengambil kebijakan-kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut secara adil dan manusiawi, terutama yang menyangkut  masalah pemulihan kembali hak-hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-lainnya yang bersangkutan dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan yang dialamai para korban.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses pengadilan. Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara penuntasannya melalui proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sesungguhnya tidak akan menghasilkan  keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah suatu cara penuntasan kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses â€Å“take and give” – setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf, mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban dipulihkan hak-hak sipil dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh karena itu keadilan yang ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan kompromistik, yang sama sekali tidak melikwidasi impunitas terhadap para pelanggar HAM.  Maka para korban pelanggaran HAM dan para peduli HAM perlu sangat kritis terhadap RUU KKR yang baru, sebab RUU KKR ini tidak lebih baik dari pada UU KKR-lama yg telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, keadilan kompromistik tersebut mungkin akan bisa membantu tercapainya rekonsiliasi nasional, apabila KKR dilakukan secara adil dan manusiawi.  Secara adil berarti bahwa para korban yang telah lama menderita harus terpenuhi kepentingan-kepentingannya yang berkaitan dengan pemulihan hak-hak sipil-politik, kompensasi, restitusi dan lainnnya. Manusiawi berarti terhadap para korban yang telah lama menderita tersebut tidak akan diterapkan aturan berokrasi yang berliku-liku dan bertele-tele, agar mereka tidak merasa tersiksa karenanya. Jadi kepentingan para korban harus menjadi titik perhatian yang dominan.
Selama 45 tahun ini tidak ada pernyataan pemerintah secara resmi tetang terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66,  seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Keadaan yang demikian memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan Pancasila dan UUD 1945 – mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban menegakkan hukum dan keadilan, membiarkan terus berjalannya impunitas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66.  Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang HAM yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Parlemen Indonesia tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Jelas hal demikian membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat manipulatif dan diskriminatif.
Kita merasa bangga atas kesuksesan proses penegakan kebenaran dan keadilan di negara-negara Amerika Latin (misalnya Argentina dan Peru), dimana pengadilan-pengadilan nasional (tanpa menggantungkan  kepada bantuan PBB) berhasil melaksanakan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat. Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne  (yang terpilih dalam pemilu 2007,  anggota  Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara  menyatakan permintaan maaf kepada para korban  pelanggaran HAM dan keluarganya. Kemudian mantan presiden Fujimori oleh pengadilan Lima divonis hukuman penjara 25 tahun.Tetapi penegak hukum di Indonesia ternyata tidak tergugah hati nuraninya atas korban tragedi nasional 1965-66 dan membuta atas kesuksesan penuntasan kasus-kasus pelanggran HAM berat di Argentina dan Peru tersebut.
Maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, rekonsiliasi nasional dan pelurusan sejarah, para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 berhak penuh untuk MENUNTUT kepada  penyelenggara negara, cq. Pemerintah agar mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto, meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, secepatnya melakukan kebijakan-kebijakan untuk penuntasan kasus-kasus tersebut di atas beserta kasus2 HAM pada umumnya secara adil dan manusiawi tanpa diskriminasi -- tidak tergantung agama, ideology, etnik, suku, kepartaian dari para pelaku dan korban, dan selanjutnya mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif terhadap para korban.
Semoga Tuhan YME meridhoi dan membuka hati nurani para penyelenggara negara agar mampu melihat jalan benar menuju ke kebenaran dan keadilan. Amien.
Diemen, Nederland 02 Oktober 2010
___
MD Kartaprawira*, Ketua Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965
 
http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.co.id/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html 

Keluarga Tragedi 65 Ikrar Akhiri Konflik

Sabtu, 02 Oktober 2010 – 07:50 WIB

JAKARTA - Tragedi kemanusiaan tahun 1965 merupakan salah satu sejarah kelam Republik Indonesia. Para korban dan pelaku pemberontakan era revolusi itu hingga kini masih memiliki garis keluarga. Dalam forum silaturahmi nasional yang diinisiasi MPR RI kemarin (1/10), para keluarga korban dan keluarga pelaku berikrar sepakat untuk mengakhiri konflik diantara mereka.
 
Puluhan keluarga korban dan keluarga pelaku peristiwa sejarah Indonesia berkumpul di gedung Nusantara IV MPR, Jumat (1/10). Diantaranya yang hadir, Putri Mayjen TNI (anumerta) DI Pandjaitan, Catherine Panjaitan; putra almarhum Ketua Central Comittee (CC) PKI DN Aidit, Ilham Aidit; putra Imam Besar DI/NII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Sarjono Kartosuwiryo; putri Jenderal TNI (anumerta) Ahmad Yani, Amelia Ahmad Yani; putra mantan KASAU Marsekal (purnawirawan) Omar Dani, Perry Omar Dani; dan putri almarhum Wakil Ketua CC PKI Nyoto, Svetlana Nyoto. Mereka selama ini telah tergabung dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).

"Ikrar kami, berhenti mewariskan konflik, dan tidak akan membuat konflik baru," kata Amelia Yani selaku ketua panitia silaturahmi nasional kemarin. Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie,Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid, dan Ketua DPD Irman Gusman juga hadir dalam silaturahmi nasional itu.
  
Menurut Amelia, FSAB menjadi bukti bahwa tidak ada lagi pertentangan antara keluarga korban dengan keluarga para pelaku. Sejak tahun 2003 lalu, FSAB terus berusaha mengumpulkan para keluarga korban dan keluarga pelaku berbagai sejarah Indonesia. "Kami ingin menunjukkan bahwa tidak ada lagi permusuhan, semua ingin menatap ke depan," ujarnya.
  
Berbagai bukti bahwa sudah tidak ada lagi permusuhan diantara para keluarga itu diwujudkan dalam berbagai testimoni. Chaterine Panjaitan yang didapuk memberikan testimoni pertama kali, mengungkapkan betapa berat kehidupannya pasca kejadian 1 Oktober pagi itu. "Saya menjadi pribadi yang trauma saat itu," kata Catherine.

Betapa tidak, Chaterine menjadi saksi hidup kematian ayah yang dicintainya. Pasukan Cakrabirawa suruhan DN Aidit saat itu mengeksekusi DI Pandjaitan di depan mata Catherine. "Saya menyaksikan ayah saya ditembak dan (maaf, red) isi otaknya keluar. Saya hanya bersembunyi takut ketika itu," kenangnya dengan suara tersendat. 

Ibu rumah tangga itu merasa saat itu hanya menjadi pribadi yang gagal, pasca kejadian itu. "Hidup saya melanglang buana, kerja sana sini tidak jelas," jelasnya.
  
Hidup yang sulit dijalani Catherine. Dia mengaku tidak pernah menyaksikan film G30SPKI yang diputar pada era Orde Baru itu. "Saya merasa pedih, karena selalu teringat jika melihat film itu," ujarnya. Selama berpuluh tahuan, Catherine mengalami trauma. "Butuh 20 tahun bagi saya saat timbul perasaan maaf itu," tuturnya.
  
Pertemuan Catherine dengan Ilham Aidit terjadi dalam forum FSAB. Catherine mengaku, dirinya melihat sosok Ilham sebagai anak dari gembong terbesar PKI. "Namun, saat bertemu, hilang semua dendam saya. Karena saya juga tidak ingin mengajarkan dendam pada anak saya," jelasnya.
  
Masa kelam juga diceritakan oleh Ilham Aidit. Pasca pembantaian tujuh perwira TNI yang dikomandoi oleh ayahnya, kehidupan Ilham berubah. Itu bermula saat dirinya bangun pagi, mendapati sebuah tulisan bernada teror di tembok rumahnya. Tulisan itu berisi "gantung Aidit, bubarkan PKI, bantai Soebandrio". "Tulisan itu merubah hidup saya, karena bapak saya menjadi musuh bangsa," kata Ilham dalam testimoninya.
  
Kehidupan pun menjadi tidak mudah bagi Ilham yang ketika itu masih berusia enam tahun. Dirinya selalu menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Pribadi Ilham pun berontak. Sejak SMP, Ilham selalu menantang siapapun yang mengejek ayahnya berkelahi. "Saya sering kalah berkelahi, karena lawannya lebih besar," ujarnya.
  
Di luar kebiasannya berkelahi, Ilham memiliki prestasi bagus di sekolahnya. Seorang pastur dari AS memintanya untuk berhenti berkelahi. Pastur itulah yang menceritakan sejarah terkait ayahnya, beserta sisi lain yang tidak pernah terungkap oleh sejarah. "Tragedi di pulau Buru misalkan, itu harus menjadi bagian sejarah," pintanya.
  
Selama 44 tahun, Ilham mengaku tidak pernah menggunakan nama belakang Aidit. Dia bertutur, setiap akan menuliskan nama lengkapnya, dia selalu berhenti saat akan menuliskan Aidit. "Namun, saat di FSAB, mereka memperkenalkan nama lengkap saya. Dan saya ternyata masih bisa hidup," kata pria yang aktif sebagai arsitek itu.
  
Sarjono Kartosuwiryo juga memiliki kisah tersendiri. Pria yang kini jadi juragan sebuah angkutan kota itu mengaku nama Kartosuwiryo telah ditenggelamkan lawan politiknya. Semua harta benda yang ditinggalkan ayahnya, telah dirampas oleh sejumlah pihak. "Saya hanya dapat bagian 10 persen saat itu," kata Sarjono.
  
Meski hidup di garis kemiskinan, Sarjono mengaku menikmati kehidupannya. Selama bertahun-tahun, dirinya mencari kuburan sang ayah. Simpang siur kuburan Kartosuwiryo dikabarkan di mana-mana. Namun, bukti yang paling otentik membuktikan bahwa kuburan sang ayah berada di Pulau Onrus, Kepulauan Seribu. "Saya juga tidak terbayang bisa berada di tengah-tengah sini," ujarnya bangga.
  
Silaturahmi nasional itu juga mengundang keluarga Presiden Soekarno dan keluarga Presiden Soeharto. Dari Presiden Soekarno diwakili oleh Sukmawati Soekarno, sementara keluarga Presiden Soeharto diwakili oleh Hutomo Mandala Putra. Tommy Soeharto -sapaan akrab Hutomo- sempat belum hadir hingga acara dimulai. 

Namun tiba-tiba, putra sulung Soeharto itu hadir di tengah-tengah acara. Tommy langsung diberi giliran untuk menyampaikan testimoni. "Kejadian sejarah ini adalah hukum sebab akibat yang kita terima," kata Tommy. 

Dia meminta agar kejadian sejarah itu menjadi pelajaran berharga. Memang sejarah tidak bisa dirubah, namun masa depan masih bisa direncanakan dan dibentuk. Tommy juga mengajak seluruh perwakilan yang hadir untuk membangun negara agar lebih baik. "Saya atas nama pribadi dan keluarga mohon maaf lahir dan batin," ujarnya. (bay)


http://www.jpnn.com/news/keluarga-tragedi-65-ikrar-akhiri-konflik

Jumat, 01 Oktober 2010

Ketetapan MPRS no 25/1966 tentang larangan PKI harus dicabut

Mengenang peristiwa 30 September 1965

 

Pada tanggal 2-3 Oktober 2010, bertempat di Diemen Amsterdam telah dilangsungkan peringatan 45 tahun peristiwa 30 September 1965. Peringatan ini diadakan oleh sebuah Panitia yang didukung berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Negeri Belanda. Di samping dari negeri Belanda, dalam pertemuan ini juga hadir perwakilan berbagai komunitas orang Indonesia dari Jerman, Perancis dan Swedia. Beberapa sambutan disampaikan dalam pertemuan penting yang meliputi beberapa  negeri di Eropa ini. Juga telah diputar film-film dokumenter yang berkaitan dengan masalah HAM di sekitar peristiwa tersebut.

Di bawah ini adalah sambutan Sdr. A. Umar Said, yang dibacakan oleh  Sdr Sujoso, yang datang dari Paris untuk menghadiri pertemuan yang mendapat sukses besar tersebut.

Teks lengkap sambutan tersebut adalah sebagai berikut :

Ketetapan MPRS no 25/1966 tentang larangan PKI harus dicabut

Demi persatuan bangsa dan kebaikan anak-cucu kita

« Saya merasa senang dapat ikut berpatisipasi dalam Peringatan 45 tahun Tragedi Nasional 1965 yang diadakan di negeri Belanda sekarang ini, walaupun saya tidak dapat hadir secara fisik dalam pertemuan yang amat penting ini., berhubung dengan masalah kesehatan.
Pertemuan di Holland ini sangat penting, karena memperingati peristiwa 30 September 1965 merupakan kewajiban yang perlu dilakukan, dengan berbagai cara dan bentuk, oleh  semua orang yang menjadi korban diktatur militer Suharto. Sebab, sebagai akibat  atau kelanjutan peristiwa 30 September 1965, negara dan bangsa Indonesia telah dijerumuskan oleh pimpinan Angkatan Darat ke dalam kegelapan selama 32 tahun, kegelapan yang penuh penderitaan, yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia.

Perlu diingat bersama oleh kita semua bahwa korban rejim Orde Baru sebenarnya adalah besar sekali, bahkan boleh dikatakan sebagian terbesar dari rakyat Indonesia telah menjadi korban, dalam bentuk dan kadar yang berbeda-beda, dan dalam berbagai situasi yang berlain-lainan pula.
 Sebab, rejim militer Suharto telah menjalankan diktatur yang menyeluruh di segala bidang dan dalam jangka waktu yang lama sekali, yang meliputi seluruh Indonesia, dan juga di luar negeri. Diktatur militer Suharto ini telah melakukan banyak sekali kejahatan terhadap kemanusiaan, dan telah merusak sendi-sendi negara kita, yaitu Pancasila dan Bhinneka  Tunggal Ika.

Dengan dalih menumpas Gerakan 30 September, dimana 6 jenderal Angkatan Darat terbunuh dalam pertentangan intern sesama tentara, Suharto bersama konco-konconya  -- di dalam negeri maupun di luarnegeri, terutama di kalangan imperialis AS  --  telah melakukan serentetan panjang tindakan yang penuh dengan pelanggaran kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap presiden Sukarno, dan seluruh kekuatan revolusioner pendukung Bung Karno dan PKI.

Kejahatan atau dosa-dosa Suharto bersama jenderal-jenderalnya terhadap Bung Karno dan terhadap seluruh kekuatan revolusioner di Indonesia ini sudah mulai terbongkar sedikit demi sedikit, setelah selama kurang lebih 32 tahun digelapkan atau disembunyikan dengan berbagai cara. Selama puluhan tahun itu telah diadakan larangan terhadap tersiarnya berita-berita yang tidak menguntungkan rejim Suharto dibarengi dengan berbagai intimidasi, terror, persekusi, ancaman « bahaya laten PKI », yang semuanya dilakukan sistematis, menyeluruh, intensif, terus-menerus dan dalam jangka lama sekali.
Itu semua perlu diketahui oleh sebanyak mungkin rakyat kita, dan usaha ke arah ini, dengan mengadakan pertemuan di Holland ini adalah langkah penting untuk selalu ingat kepada kejahatan Suharto yang banyak sekali serta dosa-dosa Orde Barunya yang sangat berat. Kegiatan semacam ini sangat penting sebagai sumbangan untuk  pendidikan politik dan pendidikan moral bagi bangsa kita, termasuk terutama sekali untuk anak-cucu kita di kemudian hari.

Berbagai generasi kita di kemudian hari perlu tahu bahwa negara dan bangsa kita pernah mengalami pengkhianatan besar-besaran oleh seorang yang bernama Suharto, dan yang  telah melakukan  bermacam-macam  kerusakan dan pembusukan yang parah sekali di hampir segala bidang kehidupan.

Pertemuan-pertemuan seperti yang diadakan di Holland  ini perlu sesering mungkin diadakan selanjutnya di kemudian hari, juga di tempat-tempat lainnya, terutama di Indonesia. 
Sebab, melalui pertemuan semacam ini kita tidak saja dapat mengenang segala kejahatan Suharto melalui Orde Barunya, melainkan juga melawan segala kejahatan dan kebusukan yang diteruskan oleh pemerintahan di bawah SBY sekarang ini.
Sebab, banyak sekali kebobrokan, kebusukan, kerusakan yang kita sama-sama saksikan dewasa ini adalah produk dari sistem pemerintahan diktatur militer Orde Baru beserta sisa-sisanya yang masih bercokol kuat di banyak bidang ekskutif, legislatif, dan judikatif sekarang ini.

Jadi, membongkar kejahatan Orde Baru bukanlah perbuatan yang sudah kedaluwarsa untuk mengutik-utik persoalan lama dan membuka luka-luka lama saja. Sebab, luka lama bangsa kita adalah besar sekali dan parah sekali. Sisa-sisanya sampai sekarang masih terdapat banyak sekali di seluruh Indonesia. 
Di antara luka-luka lama ini adalah masalah korban rejim Orde Baru yang jumlahnya puluhan juta orang, berikut keluarga mereka, yang sampai sekarang masih mengalami berbagai macam  penderitaan. Dalam hal ini termasuk penderitaan para eks-tapol beserta keluarga mereka.
Membongkar terus kejahatan Suharto beserta Orde Barunya justru adalah penting untuk menghadapi masa kini, dan juga masa depan. Masa kini erat hubungannya dengan masa lampau yang telah dirusak oleh Suharto beserta para konconya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri.

Di antara dosa besar Suharto yang banyak menimbulkan kerusakan itu  adalah Ketetapan MPRS no 25/1966, yang telah diputuskan oleh MPRS gadungan,  dengan penuh rekayasa yang dibarengi dengan paksaan oleh penguasa militer di bawah Suharto. Ketetapan MPRS no 25/1966 ini melarang kegiatan PKI beserta ormas-ormasnya serta melarang disebarkannya Marxisme Leninisme.

Dengan dalih melaksanakan Ketetapan MPRS 25/1966  yang melarang kegiatan PKI itu maka rejim militer Suharto telah melakukan berbagai pelanggaran HAM yang sangat berat, tidak hanya terhadap golongan PKI melainkan juga golongan revolusioner lainnya, termasuk para pendukung Bung Karno.  
Bung Karno telah di-kudeta oleh Suharto beserta pimpinan Angkatan Darat lainnya,  karena dianggap terlibat dengan PKI dan tidak mau membubarkan PKI walaupun didesak keras oleh pimpinan Angkatan Darat.
Ketetapan MPRS no 25/1966 ini adalah undang-undang yang telah dipakai (dan disalahgunakan) oleh rejim militer Orde Baru untuk melakukan terror fisik dan mental secara besar-besaran, membungkem mulut rakyat banyak, dan menginjak-injak kehidupan demokratis, sambil sekaligus melakukan korupsi serta berbagai kebijakan yang merugikan  orang banyak dan hanya menguntungkan segolongan orang yang mendukung Suharto beserta Orde Barunya.
 
Karenanya, bisalah dikatakan bahwa ketetapan MPRS 25/1966 telah merupakan alat terror yang telah  mengekang kebebasan banyak orang,  tidak saja bagi golongan PKI serta simpatisan-simpatisannya, melainkan juga bagi golongan non-PKI yang tidak menyetujui Orde Baru. Slogan « Awas bahaya laten PKI » atau « Cegah come-backnya PKI » dipakai untuk meng-intimidasi atau menakut-nakuti semua orang yang berani mempunyai sikap kritis terhadap rejim militer Suharto.

Ketetapan MPRS no 25/1966, resminya saja hanya ditujukan kepada golongan PKI beserta simpatisan-simpatisannya, namun dalam prakteknya mempunyai dampak negatif yang luas juga bagi kebebasan berbagai golongan yang non-PKI. Undang-undang yang merugikan kebebasan demokratis atau menginjak-injak HAM ini berlangsung selama 32 tahun Orde Baru, dan diteruskan sampai sekarang, artinya sudah berlangsung selama 44 tahun.
 
Kalau selama Orde Baru Ketetapan MPRS 25/1966 ini bisa merupakan senjata ampuh sekali dalam terror untuk menjaga keselamatan kekuasaan Suharto, maka sejak runtuhnya Orde Baru dan meningggalnya Suharto perannya sudah mulai berubah atau berkurang. Meskipun sisa-sisa Orde Baru  dalam berbagai kalangan terkadang-kadang masih juga bisa menggunakannya untuk menghalang-halangi kebebasan demokratis (ingat, antara lain peristiwa Banyuwangi mengenai gangguan pertemuan Dr Tjiptaning oleh FPI, dan larangan Kejaksaan Agung terhadap buku « Lekra tak membakar» karya pengarang dan sejarawan  muda Rhoma Juliantri).

Ketetapan MPRS no 25/1966 adalah salah satu  di antara banyak monumen buruk yang merupakan  simbul kejahatan dan pelanggaran HAM rejim Suharto, yang masih diteruskan sampai sekarang oleh pemerintahan SBY. 
Karenanya, setelah Suharto dijatuhkan oleh gerakan generasi muda dalam tahun 1998, dan dijalankannya reformasi di berbagai bidang, maka masih terus dipertahankannya sampai sekarang undang-undang yang menyengsarakan begitu banyak orang itu adalah sesuatu yang harus dipersoalkan dan harus dilawan oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan dalam masyarakat.

Bagi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia adanya Ketetapan MPRS 25/1966 tidak ada manfaatnya atau gunanya, atau tidak membawa kebaikan sama sekali. 
Situasi negara dan bangsa sekarang ini sudah berlainan sekali dengan situasi di era Orde Baru, ketika Suharto memerlukan adanya undang-undang yang bisa digunakan (atau disalahgunakan) untuk melakukan terror demi kestabilan atau keselamatan rejim militernya
.
Ketetapan MPRS 25/1966,  meskipun masih belum dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya sekarang sudah makin tidak ditakuti, bahkan di-« cuweki » saja oleh berbagai kalangan.  Memang, pertemuan atau kegiatan-kegiatan tidak ada (atau belum ada) yang diselenggarakan secara resmi dengan menggunakan nama PKI atau simpatisan-simpatisannya. Tetapi, siapakah  bisa melarang orang mempunyai pandangan atau fikiran yang berhaluan komunis, marxis atau sosialis ? Dan lagi, orang-orang  semacam ini bisa saja melakukan berbagai macam kegiatan, tanpa menggunakan nama organisasi PKI.

Banyak penerbit yang sejak beberapa tahun yang lalu sudah mengedarkan bahan bacaan yang isinya bisa diartikan mengandung Marxisme atau berbau Leninisme, termasuk  buku Das Kapitalnya Karl Marx. Sudah banyak juga tulisan-tulisan dalam majalah atau suratkabar yang menyajikan segi-segi positif PKI dalam perjuangan untuk bangsa di masa-masa yang lalu. Larangan penyebaran Marxisme atau Leninisme masih berlaku, namun dalam prakteknya sudah banyak dilanggar oleh banyak orang. Ini menunjukkan bahwa undang-undang yang melanggar HAM ini sudah kedaluwarsa dan sudah  tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi di Indonesia dan kemajuan jaman.

Larangan yang dicantumkan dalam Ketetapan MPRS no 25/1966 itu kelihatan makin tidak berfungsi dengan adanya kemungkinan untuk menggunakan Internet secara bebas bagi siapa saja yang mau menulis tentang PKI atau menyiarkan Marxime dan Leninisme. Bahkan, bahan bacaan tentang Partai-partai komunis sedunia pun bisa diperoleh dengan mudah melalui Internet, termasuk berbagai ajaran-ajarannya.  
 
Ketetapan MPRS tersebut, yang dalam masa-masa Orde Baru bisa digunakan sebagai senjata ampuh,  sekarang ini sudah tidak bisa lagi mencegah tersebarnya bahan bacaan yang bisa dianggap mengandung  propaganda PKI dan Marxime Leninisme.

Dan lagi, semboyan-semboyan anti-PKI  yang pernah terdengar gegap gempita di seluruh negeri dan dipakai sebagai alat mujarab oleh rejim militer Suharto selama puluhan tahun, antara lain « Awas bahaya laten PKI », sudah tidak banyak terdengar lagi sejak runtuhnya Orde Baru dan meninggalnya Suharto. Perkembangan situasi di Indonesia sejak pembunuhan massal di seluruh negeri dan secara besar-besaran terhadap golongan PKI beserta simpatisan-simpatisannya  menunjukkan dengan jelas sekali bahwa « Bahaya laten PKI », sebenarnya tidak ada pada waktu itu.  
 
 
Slogan itu terutama dipakai untuk melakukan terror dalam usaha penyelamatan diktatur militer Suharto.

Perkembangan situasi di Indonesia sekarang ini, makin menunjukkan dengan jelas sekali bahwa bahaya yang sesungguhnya bagi negara dan rakyat Indonesia bukanlah PKI atau datang dari kalangan PKI. Bahaya yang besar dan laten bagi negara dan bangsa Indonesia justru terutama datang dari kalangan atau golongan Islam fundamentalis, dan dari kalangan teroris ,  yang  s u d a h, s e d a n g   dan juga  a k a n  t e r u s   melakukan berbagai kegiatan yang merusak negara Republik Indonesia.

Golongan PKI dan simpatisan-simpatisannya pada umumnya adalah pendukung politik atau ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Dan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno yang anti-kapitalisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan pro-sosialisme adalah sikap yang cocok dengan perjuangan rakyat menentang neo-liberalisme yang mencengkam negara dan bangsa kita dewasa ini.
 
Jadi jelaslah  bahwa Ketetapan MPRS no 25/1966 itu sudah kedaluwarsa dan merupakan duri besar yang menyakitkan sekali dalam tubuh bangsa. Selama undang-undang ini belum dicabut maka akan tetap menyakitkan hati banyak orang, terutama kalangan kiri pendukung ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Karenanya, undang-undang yang sudah kedaluwarsa dan tidak ada gunanya  ini juga hanya merupakan sumber dendam banyak golongan, terutama golongan  kiri.

Ketetapan MPRS no 25/1966 yang tidak ada gunanya lagi ini hanya merupakan sisa-sisa yang buruk dari rejim militer Suharto, yang merusak jiwa bangsa menjadi terpecah belah dan saling membenci,  sehingga menggoyahkan persatuan dan kesatuan rakyat yang didasarkan kepada Päncasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
 
Jadi, jelaslah bahwa Ketetapan MPRS no 25/1966 tidak mendatangkan kebaikan apa pun bagi bangsa dan negara, melainkan hanya menguntungkan kepentingan musuh-musuh negara dan rakyat yang sebenarnya, yaitu kaum reaksioner pendukung setia Suharto, atau kekuatan pro neo-liberalisme baik yang di dalam negeri maupun yang datang dari luar negeri.

Oleh karena itu, adalah jelas sekali bahwa undang-undang yang merupakan noda besar dan sumber penyakit jiwa bangsa ini perlu sekali segera dicabut oleh MPR sendiri bersama pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya yang berkepentingan. Penghapusan Ketetapan MPRS N0 25/1966 adalah penting tidak hanya bagi golongan PKI atau eks-PKI, melainkan juga untuk kepentingan seluruh bangsa, termasuk anak-cucu bangsa kita di kemudian hari.
 
Kalau undang-undang yang  selama 44 tahun telah menjadi sumber penyakit  bagi persatuan rakyat ini toh tetap terus dipertahankan, maka akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang lebih besar lagi bagi jiwa bangsa. Juga bisa dipertanyakan oleh generasi-generasi yang akan datang, mengapa generasi pendahulu mereka bisa melakukan kesalahan yang begitu besar dan dalam jangka waktu yang begitu lama.
Sudah waktunya bagi MPR dan DPR atau berbagai lembaga perwakilan rakyat lainnya untuk bersama-sama seluruh kekuatan rakyat menghilangkan undang-undang yang dipakai oleh Suharto bersama pimpinan Angkatan Darat lainnya untuk mengangkangi negara dan bangsa dengan diktaturnya.

Mencabut atau menghapus Ketetapan MPRS 25/1966 adalah tindakan yang berdasarkan nalar yang waras, rasa keadilan, keluhuran jiwa bangsa, dan demi persatuan berbagai golongan rakyat. Sedangkan tetap meneruskannya adalah sikap politik yang keliru, sikap moral yang tidak sehat, dan juga sikap iman  yang sesat !!!

  1. Umar Said      
Paris, 1 Oktober 2010