Sabtu, 02 Oktober 2010

Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-66 Demi Kebenaran, Keadilan dan Rekonsiliasi Nasional

Pidato sambutan pada Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965 di Diemen, Nederland pada tanggal 02 Oktober 2010

Oleh: MD Kartaprawira*
 
Ilustrasi: Sebagian dari para Eksil di Negeri Belanda [Foto: lpk65]

Hari ini kita memperingati peristiwa tragedi nasional 1965, yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua dan generasi mendatang, agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi.
Peristiwa G30S 1965 adalah suatu lembaran sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Sebab dampak peristiwa tersebut telah merobah 180 derajat peta politik dan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik negara yang digariskan Bung Karno untuk membangun Indonesia yang merdeka , berdaulat dan mandiri berdasarkan Trisakti, melawan nekolimisme-neoliberalisme dirobah oleh rejim Suharto menjadi politik pembudakan kepada kekuatan neoliberalisme, sehingga Indonesia praktis tidak berdaulat lagi. Inilah tragedy tata politik dan tata negara Indonesia. Di sisi lain peristiwa G30S berdampak terjadinya malapetaka yang mengerikan -- pelanggaran HAM berat  yang memakan korban jutaan manusia tak bersalah, di mana langsung atau tidak langsung terlibat rejim Suharto.  Inilah kejahatan kemanusiaan yang kekejamannya hanya bisa dibandingkan dengan kejahatan Nazi Hitler pada Perang Dunia ke II.
Kalau kita kilas balik peristiwa timbulnya G30S 1965 yang terjadi 45 tahun yang lalu maka tampak fakta kejadian-kejadian a.l. sebagai berikut.
Pada pagi hari 01 Oktober 1965 terjadilah suatu gerakan dari satuan Angkatan Darat (Cakrabirawa) yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Tigapuluh September melakukan penculikan terhadap  beberapa jenderal, yang akhirnya mereka dibunuh di Lubang Buaya. Kemudian  melalui RRI diumumkan berdirinya Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan bersamaan itu pula diumumkan pendemisioneran kabinet Bung Karno oleh Dewan Revolusi. Dalam waktu singkat kegiatan G30S dapat dihancurkan oleh tentara KOSTRAD  di bawah pimpinan Jenderal Suharto.
Peristiwa selanjutnya adalah maraknya gerakan anti Sukarno dari mahasiswa dan pelajar aliran kanan (KAMI dan KAPI) yang dibelakangnya  adalah tentara KOSTRAD- Suharto. Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga jenderal utusan Suharto (Brigjen. M.Jusuf, Brigjen. Amirmachmud, Brigjen. Basuki Rahmat) berhasil memaksa Presiden Soekarno untuk menanda tangani Surat Perintah yang terkenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Mayjen. Suharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu demi pemulihan keamanan dan ketertiban. Dengan Supersemar di tangannya Suharto berhasil melakukan kudeta merangkak, yang bermuara pada penggusuran kekuasaan presiden Soekarno oleh MPR ala Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Nasution..
Dari fakta-fakta sejarah tersebut timbul bermacam-macam versi tentang G30S, yang terus berkembang  sampai sekarang. Meskipun demikian kita yakin kepada hukum logika bahwa kebenaran hanya satu, sedang lainnya kebohongaan. Para pakar sampai sekarang masih berdebat tentang apa dan siapanya G30S, siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang bersalah dalam peristiwa tersebut. Sampai dewasa ini belum ada kebulatan pendapat dalam soal tersebut di atas. Sementara  tercatat beberapa versi antara lain G30S/PKI, G30S/Suharto, G30S/CIA, G30S/Soekarno dan lain-lain variasinya. Sampai kapan perdebatan tersebut berakhir dengan satu kesimpulan,  kita tidak tahu. Meskipun demikian, banyak fakta yang menjurus kepada kesimpulan bahwa Suharto bertanggung jawab atas timbulnya peristiwa G30S dan terjadinya tragedI nasional selanjutnya.  Maka dari itu,  terus menerus melakukan pencermatan masalah G30S demi pelurusan sejarah adalah mutlak penting.
Tanpa menunggu terbukanya isi kotak Pandora-G30S dan tanpa menunggu kesimpulan siapa yang bersalah dalam peristwa G30S kita sudah bisa menyatakan tanpa ragu-ragu tentang terjadinya tragedy nasional yang maha dahsyat, yaitu kejahatan kemanusiaan berupa pelanggaran-pelanggaran  HAM berat pada tahun 1965-66, yang dilakukan langsung atau pun tidak langsung oleh rejim militer Suharto. Pelanggaran HAM berat  tersebut terjadi di banyak daerah di Indonesia yang berwujud antara lain pembunuhan massal jutaan manusia yang tak bersalah tanpa proses hukum yang berlaku,  penahanan ribuan orang di pulau Buru, Nusakambangan, dan di banyak rumah tahanan lainnya.  Pembunuhan-pembunuhan massal tersebut tidak akan terjadi kalau ABRI (RPKAD) tidak berdiri dibelakangnya. Sedang penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan, penjara Plantungan dan lai-lainnya jelas-jemelas dilakukan oleh ABRI.  Inilah tragedy kemanusiaan, yang seharusnya tidak boleh terjadi pada abad XX yang merupakan abad kemajuan peradaban manusia dalam segala bidang, termasuk bidang hukum dan HAM.
Setiap manusia yang jujur akan heran melihat kenyataan terjadinya kasus kekejaman luar biasa tersebut di atas di negara Indonesia yang di dalam konstitusinya tercantum filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara. Setiap hati nurani yang berkemanusiaan akan terperanjat mengapa pelanggaran HAM berat demikian  tak  mendapat perhatian dari penyelenggaran negara, khususnya institusi penegak hukum Indonesia. Setiap manusia beradab akan bertanya mengapa suatu tindak pidana – kriminal/kejahatan, setelah kwalikasinya menjadi kejahatan kemanusiaan - pelanggaran HAM berat, penanganannya malah dipinggirkan sampai tidak ada batas kepastian sama sekali.
Indonesia menurut konstitusi adalah negara hukum, tapi kenyataan menunjukkan lain,yang menyangsikan bahwa Indonesia adalah betul-betul negara hukum. Sebab law enforcement-nya sangat menyimpang dari tuntutan keadilan layaknya di negara hukum: di mana terjadi kejahatan/pelanggaran hukum maka kasusnya diproses di pengadilan untuk mendapatkan keadilan sesuai bukti-bukti yang ada. Kesangsian kita akan hal tersebut tidak tanpa dasar, sebab fakta-fakta yang merupakan bukti sah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan penguasa rejim Suharto sudah lebih dari cukup untuk melakukan proses hukum terhadap kasus tersebut. Terutama, fakta penahanan ribuan orang di Pulau Buru, Nusakambangan dan rumah-rumah tahanan lainnya yang tanpa dibuktikan kesalahannya sesuai hukum yang berlaku, dilakukan oleh penguasa militer/ABRI. Di kawasan-kawasan tempat tahanan tersebut ABRI jugalah yang melakukan pengawasan dan penjagaan ketat.  Kemudian pembebasan mereka, setelah dunia internasional mengecam keras tindakan pelanggaran HAM yang memalukan tersebut, dilakukan oleh ABRI juga. Banyak para korban berhasil membuat kesaksian tentang pengalamannya sebagai korban pelanggaran HAM, yang berwujud buku, artikel, interview, foto, video dan lain-lainnya. Kalau penegak hukum di Indonesia mau melaksanakan tugasnya secara jujur  seharusnya sudah menemukan setumpuk bukti dokumen keterlibatan ABRI dalam pelanggaran HAM dari arsif KOPKAMTIB dan MBAD. Tidak ada dasar dan alasan untuk mengingkari terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66. Sebab bukti-bukti ada di depan mata.
Fakta-fakta pelanggaran HAM tersebut, tidak boleh tidak, harus dijadikan materi bagi usaha-usaha pelurusan sejarah yang selama 32 tahun dimanipulasi oleh rejim Orde Baru Suharto. Dari fakta-fakta tersebut negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto. Dan oleh karenanya pemerintah harus minta maaf kepada para korban dan keluarganya atas kejadian tersebut dan atas terabaikannya penuntasan kasus tersebut selama 45 tahun ini. Setelah itu pemerintah harus dengan segera mengambil kebijakan-kebijakan konkrit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut secara adil dan manusiawi, terutama yang menyangkut  masalah pemulihan kembali hak-hak sipil dan politik, kompensasi, restitusi dan lain-lainnya yang bersangkutan dengan usaha-usaha pengentasan penderitaan yang dialamai para korban.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 yang ideal adalah melalui proses pengadilan. Tetapi tampak akan dipaksakan oleh penguasa negara penuntasannya melalui proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sesungguhnya tidak akan menghasilkan  keadilan sebenarnya. Sebab KKR adalah suatu cara penuntasan kasus pelanggaran HAM secara kompromistik, melalui proses “take and give” – setelah para pelaku mengakui kesalahannya dan meminta maaf, mereka diberi amnesti. Sedang di pihak lain, para korban dipulihkan hak-hak sipil dan politiknya beserta restitusi dan kompensasi. Oleh karena itu keadilan yang ditimbulkan oleh proses KKR adalah keadilan kompromistik, yang sama sekali tidak melikwidasi impunitas terhadap para pelanggar HAM.  Maka para korban pelanggaran HAM dan para peduli HAM perlu sangat kritis terhadap RUU KKR yang baru, sebab RUU KKR ini tidak lebih baik dari pada UU KKR-lama yg telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, keadilan kompromistik tersebut mungkin akan bisa membantu tercapainya rekonsiliasi nasional, apabila KKR dilakukan secara adil dan manusiawi.  Secara adil berarti bahwa para korban yang telah lama menderita harus terpenuhi kepentingan-kepentingannya yang berkaitan dengan pemulihan hak-hak sipil-politik, kompensasi, restitusi dan lainnnya. Manusiawi berarti terhadap para korban yang telah lama menderita tersebut tidak akan diterapkan aturan berokrasi yang berliku-liku dan bertele-tele, agar mereka tidak merasa tersiksa karenanya. Jadi kepentingan para korban harus menjadi titik perhatian yang dominan.
Selama 45 tahun ini tidak ada pernyataan pemerintah secara resmi tetang terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66,  seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Keadaan yang demikian memberikan bukti bahwa negara telah mengabaikan Pancasila dan UUD 1945 – mengabaikan pelaksanaan tugas dan kewajiban menegakkan hukum dan keadilan, membiarkan terus berjalannya impunitas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan, dan dengan demikian menghindarkan tanggung jawab hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat 1965-66.  Sungguh kenyataan yang sangat memalukan, sebab norma-norma hukum tentang HAM yang tercantum di dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM (ad hoc), kovenan-kovenan PBB dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Parlemen Indonesia tidak diterapkan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat 1965-66. Jelas hal demikian membuktikan bahwa hukum dan keadilan tidak ditegakkan secara jujur dan konsekwen, tetapi secara sangat manipulatif dan diskriminatif.
Kita merasa bangga atas kesuksesan proses penegakan kebenaran dan keadilan di negara-negara Amerika Latin (misalnya Argentina dan Peru), dimana pengadilan-pengadilan nasional (tanpa menggantungkan  kepada bantuan PBB) berhasil melaksanakan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat. Di Argentina di bawah presiden Cristina Fernandez de Kirchne  (yang terpilih dalam pemilu 2007,  anggota  Partai Justicialist/Partai Peronist) penegakan hukum dan keadilan berjalan lancar. Para jenderal yang melakukan pelanggaran HAM berat 30 tahun yang lalu satu persatu dihadapkan ke pengadilan: jenderal Rafael Videla dan Jenderal Luciano Menendez divonis hukuman penjara seumur hidup, jenderal Reynaldo Bignone dihukum 25 tahun penjara, sedang kira-kira 20 jenderal lainnya menunggu giliran untuk divonis. Di Peru ketika presiden Alejandro Toledo memegang kekuasaan (2001-2006) atas nama negara  menyatakan permintaan maaf kepada para korban  pelanggaran HAM dan keluarganya. Kemudian mantan presiden Fujimori oleh pengadilan Lima divonis hukuman penjara 25 tahun.Tetapi penegak hukum di Indonesia ternyata tidak tergugah hati nuraninya atas korban tragedi nasional 1965-66 dan membuta atas kesuksesan penuntasan kasus-kasus pelanggran HAM berat di Argentina dan Peru tersebut.
Maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, rekonsiliasi nasional dan pelurusan sejarah, para korban pelanggaran HAM berat 1965-66 berhak penuh untuk MENUNTUT kepada  penyelenggara negara, cq. Pemerintah agar mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat 1965-66 yang dilakukan oleh rejim Suharto, meminta maaf kepada para korban dan keluarganya, secepatnya melakukan kebijakan-kebijakan untuk penuntasan kasus-kasus tersebut di atas beserta kasus2 HAM pada umumnya secara adil dan manusiawi tanpa diskriminasi -- tidak tergantung agama, ideology, etnik, suku, kepartaian dari para pelaku dan korban, dan selanjutnya mencabut semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif terhadap para korban.
Semoga Tuhan YME meridhoi dan membuka hati nurani para penyelenggara negara agar mampu melihat jalan benar menuju ke kebenaran dan keadilan. Amien.
Diemen, Nederland 02 Oktober 2010
___
MD Kartaprawira*, Ketua Peringatan 45 Tahun Tragedi Nasional 1965
 
http://lembaga-pembela-korban-1965.blogspot.co.id/2010/12/tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-berat.html 

0 komentar:

Posting Komentar