HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 25 November 2016

Percakapan Tentang Ateis, Komunis dan Ingat 65

 by: Iit Boit

Photograph: Iit Boit
Percakapan ini terjadi suatu hari di dapur rumah, saat kami bertiga sedang memasak mie rebus.

Bunga, anak saya yang pertama, 11 tahun, duduk di kelas 5 SD, yang memulai dengan kisah ibu gurunya yang pernah bercerita bahwa katanya ada orang yang tidak percaya agama.

Lalu dia bertanya, “Apa ya namanya?” Saya dan ayahnya pada saat yang bersamaan menjawab, “Agnostik?”

“Bukan, apa ya pokoknya ga percaya Tuhan gitu.”

“Oooh, ateis.”

“Iya, iya, ateis. Terus kalau ateis itu katanya pasti komunis.”
Saya yang kemudian menjawab, “Belum tentu, Teh, yang komunis itu belum tentu ateis.”

“Emang komunis itu apa, Ma?” tanya Bunga lagi.

“Komunis itu aliran politik, keyakinan, atau ideologi. Yang bukan komunis tapi ateis juga ada. Yang komunis beragama Islam juga ada. Terus Kristen juga ada, macam-macam. Mungkin ibu guru salah ngasih pengertian.”
Bunga saat itu hanya mengangguk-angguk.

Saya tidak yakin dia paham atau tidak, tapi saat itu saya dan suami saya langsung sadar bahwa perjalanan untuk mengembalikan paham dan ingatan tentang kebenaran itu masih sangat panjang.
Dan untuk saya, saat itu juga saya ingat tentang 65.



Peristiwa 65 memang tidak pernah menyentuh saya secara langsung. Ia datang dalam bentuk pelajaran sejarah, tentang betapa kejamnya PKI ketika melakukan percobaan kudeta pada pemerintah yang berkuasa saat itu.

Saya ingat ketika SD, saat tanggal 30 September, kami satu sekolah berbondong-bondong digiring ke bioskop terdekat dari sekolah untuk menonton film Pengkhianatan G30/S. Kami berdesakan menonton sembari tidak mengerti apa yang ditonton.

Pesan film tersebut hanya satu: komunis itu kejam, PKI itu jahat. Biasanya setelah menonton, ada saja di antara teman kami yang mereka-ulang adegan penembakan atau penyiksaan. Saya sendiri tidak pernah betah menonton dan bahkan bertahun-tahun sesudahnya, ketika film yang sama selalu ditayangkan di TV nasional setiap tanggal yang sama. Saya hanya ingat kalau saya menonton sampai adegan di rumah Jenderal Nasution. Sesudah itu ingatan saya buram.

Saya bernafas lega saat penayangan film itu dihentikan setelah 1998. Saat 1998, saya sedang kuliah tingkat dua. Saya ikut demonstrasi menggulingkan Soeharto. Saya membaca banyak buku yang dilarang beredar. Saya melahap banyak buku sejarah alternatif yang tidak didapat di sekolah, yang membolak-balik apa yang dipercaya dan diajarkan selama di sekolah dasar, menengah, dan atas. Saya mulai tahu kalau ternyata ada idiom bahwa sejarah ditulis oleh pemenang. Saya mulai benar-benar sadar bahwa ternyata Indonesia tidak seindah apa yang diajarkan selama ini.

Selama saya mencari tahu tentang sejarah 65 saya merasa semakin saya tahu soal apa yang terjadi semakin saya takut akan hal yang saya ketahui.
Setelah lulus kuliah pun, saya merasa bahwa pengetahuan soal pembunuhan massal, penyiksaan dan penahanan paksa tidak selalu bisa didiskusikan dengan terbuka dan dengan sembarang orang.

Saya hanya bisa tersenyum kecut setiap kali obrolan keluarga atau misalnya obrolan dengan teman-teman yang tidak sepaham kembali ke arah yang sempit. Bagi mereka, sejarah hanya sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolah, titik.

Di 2012, film Jagal rilis. Lalu film Senyap rilis pada 2014. Saya menonton kedua film dokumenter soal 1965 itu baru awal tahun lalu lewat YouTube di rumah. Sendirian dan tercekam. Sebelumnya saya hanya menonton keriuhan yang terjadi di banyak tempat dari bacaan di koran dan internet.

Di satu sisi, banyak pikiran mulai terbuka tapi ketika orang-orang mulai berdiskusi mengenai apa yang terjadi di 1965, banyak pihak memanfaatkan untuk mengembalikan ketakutan ke tengah-tengah massa. Berita diembuskan: komunisme kembali dengan gaya baru.

Saya melihat dan mengikuti keriuhan yang banyak terjadi, sampai puncaknya pada tahun lalu, saat ada pengadilan rakyat internasional 1965 (IPT65) di Den Haag dan simposium nasional soal 65 di Jakarta awal tahun ini. Negara kukuh pada sikapnya menolak untuk meminta maaf atas tragedi yang terjadi.
Para penyintas mulai hilang satu persatu dimakan zaman. Rekonsiliasi masih sebatas mimpi yang entah kapan terwujud.

Dan itu semua mengembalikan saya ke dapur rumah saya, pada kenyataan bahwa sejarah yang saya baca di sekolah dua dekade lalu masih sama salahnya dengan apa yang anak saya dapat saat ini: PKI itu komunis dan komunis itu ateis.
 
https://medium.com/ingat-65/percakapan-tentang-ateis-komunis-dan-ingat-65-67968cde0841#.6b9y8wl9x

Pulau Buru: Dulu Hutan Belantara, Kini Menjadi Surga


Nudia Imarotul Husna - 25 November 2016 16:53 WIB


Masih ingatkah dengan Pulau Buru? Pulau yang sempat dijadikan tempat perasingan para tahanan pemerintah orde baru yang diduga terafiliasi PKI ini terletak di kepulauan Maluku dan menjadi salah satu pulau terbesar ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan Pulau Seram di Maluku Tengah. Tercatat, sang punggawa sastra bangsa, Pramoedya Ananta Toer, pernah diasingkan ke pulau yang dirimbuni pohon-pohon minyak kayu putih ini lantaran ketajaman karya-karya sastranya yang dianggap dapat merobek kekuasaan orde baru pada waktu itu.

Pulau Buru dulunya merupakan hutan belantara-- penuh dengan tumbuh-tumbuhan liar dan juga ilalang di sekitarnya. Namun, gersangnya Pulau Buru lantas disulap menjadi daerah pertanian luar biasa oleh para tahanan politik masa orde baru, di antaranya para seniman bangsa yang diduga memiliki hubungan kedekatan dengan PKI pun ikut mengubah pulau ini menjadi daerah sumber budaya. Selama 10 tahun mereka bertahan hidup di sana menghasilkan sebuncah hasil bumi yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar.

Pantai Sanleko, pendaratan pertama para tahanan politik di Pulau Buru www.bbc.com

Rawa-rawa, padang rumput yang luas, hutan belantara dengan pohon rotan di sana sini, itulah gambaran awal daerah Pulau Buru, pemandangan awal yang menjadi suguhan para tahanan politik pertama kali mereka menginjakan kaki di tanah Buru. Pohon salak yang dikira bisa menjadi asupan makanan untuk beberapa hari ternyata hanya ujung pohon rotan kering sehingga mereka harus bekerja keras untuk menyulapnya menjadi lahan yang bisa ditanami untuk bertahan hidup.

Akhirnya, tepat setelah para tahanan itu sampai di Pulau Buru, mereka mengerahkan segenap tenaga untuk menciptakan lahan perkebunan baru sebagai sumber makanan mereka. Pada minggu-minggu awal, para tahanan sempat mulai menanam singkong dan ubi-ubian di sekitar Buru dan menggemburkan tanah-tanah yang tandus akibat jarang diolah. Namun, lantaran musim kemarau yang masih menyelimuti Buru pada waktu itu membuat semua tanaman tidak dapat tumbuh dengan subur.

Para tahanan politik mulai menanam tanaman untuk bahan makanan mereka www.kkpk.org

Lambat laun, ketika musim penghujan sudah mulai datang, tanah mulai gembur dan tanaman singkong mulai bertunas, para tapol menambahi tanaman pisang dan beberapa bibit buah-buahan yang dapat membantu asupan gizi mereka selama hidup di sana. Sawah Buru yang awalnya penuh dengan rerimbunan pohon minyak kayu putih yang kerap mengering karena panas terik matahari dan juga ilalang yang tak terurus itu kini menjadi area persawahan hijau dengan luas lebih dari 1.700 hektar yang dijadikan para tahanan politik untuk bertahan hidup selama mereka dalam masa penahanan.

Gedung kesenian yang dibangun oleh para tahanan politik di Pulau Buru yang sudah direnovasi www.bbc.com

Selain menghasilkan makanan dan lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan, beberapa tahanan politik yang notabene adalah seniman dan budayawan berinisiatif untuk membangun sebuah gedung kesenian yang bisa dijadikan wadah mereka untuk tetap berkarya dan produktif menghasilkan berbagai kesenian yang dapat mereka berikan untuk warga sekitar.

Tercatat seorang anggota Sekretariat Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Oey Hay Djoen bersama para rekannya yang juga seorang seniman membangun sebuah gedung kesenian di Pulau Buru. Gedung itu digunakan untuk menampilkan berbagai aktivitas kesenian seperti pertunjukan seni ludruk, tari cakalele, dan seni drama asal Surabaya ditampilkan dengan panggung yang dihias dengan ukiran-ukiran kayu artistik. Orkestra dari komponis besar kala itu bernama Subronto. K. Atmojo juga dipertunjukan untuk menghibur para tahanan.

Beberapa peninggalan tahanan politik kini masih dimanfaatkan oleh warga sekitar, seperti gedung kesenian yang kini telah direnovasi dan tetap kokoh untuk dijadikan segala aktivitas kebudayaan, dan juga lahan pertanian yang semakin hijau banyak menghasilkan bahan makanan untuk warga sekitar. Kini Pulau Buru mengubah wajahnya, yang tadinya rawa dan penuh dengan hutan belantara kini bernuansa surga.

Sumber- BBC Indonesia

Kamis, 24 November 2016

Kisah Partai-Partai Komunis Palestina Melawan Israel

Reporter: Aulia Adam 
24 November, 2016 

Pendukung dan simpatisan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), organisasi perlawanan rakyat Palestina berideologi Komunis. FOTO/Mustafa Hassona

Perjuangan rakyat Palestina melawan Israel adalah cerita kaya warna. Ada banyak gerakan terlibat. Dari faksi Islam, Kristen bahkan sampai kelompok kiri berhaluan komunis.
 
tirto.id - Ketika George Habash, pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina atau Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) yang berhaluan Marxis-Leninis, wafat pada 2008, seluruh faksi politik di Palestina pun berkabung. Kematian Habash, sang komunis yang konsisten, dianggap sebagai duka bagi seluruh anak bangsa Palestina.

Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyeh yang berasal dari Hamas menyampaikan duka cita yang mendalam. “Sekarang sekali lagi,” kata Haniyeh, “kita kehilangan orang yang mendermakan seluruh hidupnya untuk pembebasan Palestina.”

Palestinian Islamic Jihad, organisasi perlawanan berbasis Islam Sunni di Palestina, juga mengakui kehilangan Habash. “Kami memuji amal George Habash yang seluruh hidupnya terus berjuang dan melawan pendudukan Israel,” kata mereka dalam rilis resminya.

Pemakaman Habash dihadiri oleh hampir semua tokoh-tokoh penting Palestina dari berbagai faksi dan golongan. Mahmoud Abash, Presiden Palestina saat itu, mengumumkan perkabungan resmi di seluruh wilayah Palestina selama tiga hari.

Habash, seorang yang dilahirkan dari keluarga beragama Kristen Ortodoks, adalah salah satu bukti nyata betapa perjuangan kemerdekaan Palestina adalah cerita perlawanan yang penuh warna. Bahwa kemerdekaan Palestina diperjuangkan oleh seluruh warga Palestina, dari yang kiri maupun kanan, dari yang moderat sampai radikal, dari yang Islam sampai Kristen, dari yang ateis sampai agamis.

PFLP yang didirikan Habash pada 1967 menjadi salah satu kelompok terbesar yang bergabung dalam Palestine Liberation Organization (PLO). Pada 1969, FPLP mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang berhaluan Marxis-Leninis sembari tetap mengakui Pan Arabisme. PFLP memandang perjuangan kemerdekaan Palestina adalah bagian tak terpisahkan dari usaha membebaskan dunia Arab dari imperialisme Barat.

Habash sering dianggap sebagai antitesis Yasser Arafat, pemimpin Fatah sekaligus pemimpin PLO. Jika Arafat sering dianggap terlalu moderat, Habash adalah kebalikannya: radikal, tak sudi berkompromi.

Pada 1993, menyusul disepakatinya Persetujuan Oslo,  Habash dan PFLP memutuskan meninggalkan PLO dan Arafat. Mereka menganggap Arafat dan PLO terlalu banyak memberi konsesi kepada Israel. Habash dan PLO kemudian berkongsi dengan kelompok perlawanan non-PLO, seperti Hamas dan Palestinian Islamic Jihad.

Habash bukan hanya berkata-kata. Kelompoknya memperlihatkan komitmen yang kuat betul untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Tindakan-tindakan perlawanan bersenjata mereka lakukan. Pada September 1970, mereka membajak empat pesawat. Tiga pesawat mendarat darurat di landasan dekat Zarka, Yordania, bekas pangkalan Angkatan Udara Kerajaan Inggris, yang oleh PFLP dideklarasikan sebagai "Bandara Revolusi".

Sejarah komunisme di tanah Palestina bahkan sudah jauh lebih tua dari itu. Partai Komunis Palestina (PKP) sudah berdiri pada 1919 dan diakui oleh Cominter pada 1924. Awalnya Comintern enggan mengakui karena tidak yakin PKP dapat membebaskan diri dari pengaruh zionisme. Namun Comintern akhirnya bersedia mengakui PKP karena organisasi tersebut mendeklarasikan zionisme sebagai borjuasi Yahudi yang bersekutu dengan kekuatan imperialisme Barat.

Partai Komunis Palestina sempat tidak kedengaran namanya karena bertahun-tahun menyebar dalam berbagai faksi. Salah satu organ perjuangan berhaluan komunis, persisnya Marxis-Leninis, ya PFLP yang didirikan Habash.

Pada Februari 1982, tokoh-tokoh penting komunisme Palestina bertemu dalam sebuah konferensi. Dari sanalah mereka sepakat untuk mendirikan kembali Partai Komunis Palestina (PKP). Partai baru menjalin hubungan dengan PLO, dan bergabung dengan PLO pada 1987. Anggota PKP termasuk dalam Komite Eksekutif PLO pada bulan April tahun itu juga.

PKP merupakan salah satu dari empat komponen utama Intifada pertama. Mereka memainkan memainkan peran penting dalam memobilisasi dukungan akar rumput untuk bangkit melawan pendudukan Israel.

Setelah Uni Sovyet bubar, PKP menghadapi dilema teoritis yang tidak mudah. Di bawah kepemimpinan Bashir Barghouti, PKP kemudian merumuskan ulang identitasnya. Dari sanalah mereka mengubah namanya menjadi Partai Rakyat Palestina (PRP). Mereka meniadakan “komunis” sebagai nama partai.

Mereka beralasan bahwa perjuangan kelas di Palestina harus ditunda karena situasi yang khas Palestina. rakyat Palestina masih melancarkan perjuangan pembebasan nasional di mana unsur-unsur dari semua kelas harus bersatu. Kendati demikian, Marxisme masih diakui sebagai ideologi partai.

Adapun PFLP akhirnya mulai ikut pemilihan legislatif Palestina pada 2006 silam. Tiga orang dari partai ini berhasil menang dan duduk di parlemen Palestina. Salah satunya adalah Ahmad Sa’adat, pemimpin ketiga PFLP setelah Habash, dan Abu Ali Mustafa, yang mati diledakan misil di kantornya.

Kini, di bawah pimpinan Ahmad Sa’adat, tampang garang PFLP belum lekang. Gerakan bersenjata mereka masih sering jadi agenda. Serangan terhadap Israel jadi target utama mereka. Sa’adat sendiri kini masih ditahan oleh pemerintah Israel karena tuduhan sebagai teroris.

Di sana, PFLP tentu bukan satu-satunya partai yang sekaligus kelompok pergerakan yang terus berjuang demi Palestina. Tercatat, ada 16 partai lainnya yang masih tumbuh di sana. Selain PFLP dan PKP, rupanya ada dua lagi partai berbasis ideologi kiri di antara partai-partai itu yaitu Barisan Demokratis Pembebasan Palestina atau Democratic Front for the Liberation of Palestine (DFLP), yang merupakan pecahan PFLP.

DFLP sempat kehilangan pamor karena kepemimpinannya yang bertempat di Damaskkus. Persetujuan Oslo juga berdampak serius pada kekuatan DFLP. Kapasitas militer DFLP merosot drastis karena gencatan senjata antara PLO dan Israel sebagai buah Persetujuan Oslo .

Namun mereka berperan kembali terutama sejak dimulainya Intifada kedua pada 2000. DFLP melakukan banyak sekali serangan bersenjata terhadap militer Israel. Pada 25 Agustus 2001, mereka melakukan serangan serius terhadap pangkalan militer Israel di Gaza.

(tirto.id : aad/zen)


https://tirto.id/kisah-partai-partai-komunis-palestina-melawan-israel-b5Ax

Kisah Partai-Partai Komunis Palestina Melawan Israel

Reporter: Aulia Adam | 24 November, 2016

Pendukung dan simpatisan Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP), organisasi perlawanan rakyat Palestina berideologi Komunis. FOTO/Mustafa Hassona
Perjuangan rakyat Palestina melawan Israel adalah cerita kaya warna. Ada banyak gerakan terlibat. Dari faksi Islam, Kristen bahkan sampai kelompok kiri berhaluan komunis.

Ketika George Habash, pendiri Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina atau Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) yang berhaluan Marxis-Leninis, wafat pada 2008, seluruh faksi politik di Palestina pun berkabung. Kematian Habash, sang komunis yang konsisten, dianggap sebagai duka bagi seluruh anak bangsa Palestina.

Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyeh yang berasal dari Hamas menyampaikan duka cita yang mendalam. “Sekarang sekali lagi,” kata Haniyeh, “kita kehilangan orang yang mendermakan seluruh hidupnya untuk pembebasan Palestina.”

Palestinian Islamic Jihad, organisasi perlawanan berbasis Islam Sunni di Palestina, juga mengakui kehilangan Habash. “Kami memuji amal George Habash yang seluruh hidupnya terus berjuang dan melawan pendudukan Israel,” kata mereka dalam rilis resminya.

Pemakaman Habash dihadiri oleh hampir semua tokoh-tokoh penting Palestina dari berbagai faksi dan golongan. Mahmoud Abash, Presiden Palestina saat itu, mengumumkan perkabungan resmi di seluruh wilayah Palestina selama tiga hari. 

Habash, seorang yang dilahirkan dari keluarga beragama Kristen Ortodoks, adalah salah satu bukti nyata betapa perjuangan kemerdekaan Palestina adalah cerita perlawanan yang penuh warna. Bahwa kemerdekaan Palestina diperjuangkan oleh seluruh warga Palestina, dari yang kiri maupun kanan, dari yang moderat sampai radikal, dari yang Islam sampai Kristen, dari yang ateis sampai agamis. 

PFLP yang didirikan Habash pada 1967 menjadi salah satu kelompok terbesar yang bergabung dalam Palestine Liberation Organization (PLO). Pada 1969, FPLP mendeklarasikan diri sebagai organisasi yang berhaluan Marxis-Leninis sembari tetap mengakui Pan Arabisme. PFLP memandang perjuangan kemerdekaan Palestina adalah bagian tak terpisahkan dari usaha membebaskan dunia Arab dari imperialisme Barat.

Habash sering dianggap sebagai antitesis Yasser Arafat, pemimpin Fatah sekaligus pemimpin PLO. Jika Arafat sering dianggap terlalu moderat, Habash adalah kebalikannya: radikal, tak sudi berkompromi. 

Pada 1993, menyusul disepakatinya Persetujuan Oslo,  Habash dan PFLP memutuskan meninggalkan PLO dan Arafat. Mereka menganggap Arafat dan PLO terlalu banyak memberi konsesi kepada Israel. Habash dan PLO kemudian berkongsi dengan kelompok perlawanan non-PLO, seperti Hamas dan Palestinian Islamic Jihad.

Habash bukan hanya berkata-kata. Kelompoknya memperlihatkan komitmen yang kuat betul untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Tindakan-tindakan perlawanan bersenjata mereka lakukan. Pada September 1970, mereka membajak empat pesawat. Tiga pesawat mendarat darurat di landasan dekat Zarka, Yordania, bekas pangkalan Angkatan Udara Kerajaan Inggris, yang oleh PFLP dideklarasikan sebagai "Bandara Revolusi". 

Sejarah komunisme di tanah Palestina bahkan sudah jauh lebih tua dari itu. Partai Komunis Palestina (PKP) sudah berdiri pada 1919 dan diakui oleh Cominter pada 1924. Awalnya Comintern enggan mengakui karena tidak yakin PKP dapat membebaskan diri dari pengaruh zionisme. Namun Comintern akhirnya bersedia mengakui PKP karena organisasi tersebut mendeklarasikan zionisme sebagai borjuasi Yahudi yang bersekutu dengan kekuatan imperialisme Barat.

Partai Komunis Palestina sempat tidak kedengaran namanya karena bertahun-tahun menyebar dalam berbagai faksi. Salah satu organ perjuangan berhaluan komunis, persisnya Marxis-Leninis, ya PFLP yang didirikan Habash. 

Pada Februari 1982, tokoh-tokoh penting komunisme Palestina bertemu dalam sebuah konferensi. Dari sanalah mereka sepakat untuk mendirikan kembali Partai Komunis Palestina (PKP). Partai baru menjalin hubungan dengan PLO, dan bergabung dengan PLO pada 1987. Anggota PKP termasuk dalam Komite Eksekutif PLO pada bulan April tahun itu juga. 

PKP merupakan salah satu dari empat komponen utama Intifada pertama. Mereka memainkan memainkan peran penting dalam memobilisasi dukungan akar rumput untuk bangkit melawan pendudukan Israel.

Kisah Partai-Partai Komunis Palestina Melawan Israel


Setelah Uni Sovyet bubar, PKP menghadapi dilema teoritis yang tidak mudah. Di bawah kepemimpinan Bashir Barghouti, PKP kemudian merumuskan ulang identitasnya. Dari sanalah mereka mengubah namanya menjadi Partai Rakyat Palestina (PRP). Mereka meniadakan “komunis” sebagai nama partai.

Mereka beralasan bahwa perjuangan kelas di Palestina harus ditunda karena situasi yang khas Palestina. rakyat Palestina masih melancarkan perjuangan pembebasan nasional di mana unsur-unsur dari semua kelas harus bersatu. Kendati demikian, Marxisme masih diakui sebagai ideologi partai. 

Adapun PFLP akhirnya mulai ikut pemilihan legislatif Palestina pada 2006 silam. Tiga orang dari partai ini berhasil menang dan duduk di parlemen Palestina. Salah satunya adalah Ahmad Sa’adat, pemimpin ketiga PFLP setelah Habash, dan Abu Ali Mustafa, yang mati diledakan misil di kantornya.

Kini, di bawah pimpinan Ahmad Sa’adat, tampang garang PFLP belum lekang. Gerakan bersenjata mereka masih sering jadi agenda. Serangan terhadap Israel jadi target utama mereka. Sa’adat sendiri kini masih ditahan oleh pemerintah Israel karena tuduhan sebagai teroris.

Di sana, PFLP tentu bukan satu-satunya partai yang sekaligus kelompok pergerakan yang terus berjuang demi Palestina. Tercatat, ada 16 partai lainnya yang masih tumbuh di sana. Selain PFLP dan PKP, rupanya ada dua lagi partai berbasis ideologi kiri di antara partai-partai itu yaitu Barisan Demokratis Pembebasan Palestina atau Democratic Front for the Liberation of Palestine (DFLP), yang merupakan pecahan PFLP. 

DFLP sempat kehilangan pamor karena kepemimpinannya yang bertempat di Damaskkus. Persetujuan Oslo juga berdampak serius pada kekuatan DFLP. Kapasitas militer DFLP merosot drastis karena gencatan senjata antara PLO dan Israel sebagai buah Persetujuan Oslo .

Namun mereka berperan kembali terutama sejak dimulainya Intifada kedua pada 2000. DFLP melakukan banyak sekali serangan bersenjata terhadap militer Israel. Pada 25 Agustus 2001, mereka melakukan serangan serius terhadap pangkalan militer Israel di Gaza. 
Sumber: Tirto.Id 

Selasa, 22 November 2016

Minta Maaf, Gereja Katolik Akui Terlibat Genosida di Rwanda

Oleh : 

Presiden Rwanda Paul Kagame dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon (kiri-tengah) menyalakan api untuk upacara peringatan genosida Rwanda, di Genocide Memorial Center, Kigali, Rwanda (7/4). (AP/Ben Curtis)

TEMPO.COKigali - Gereja Katolik membuat kejutan pada hari Minggu, 20 November 2016 dengan meminta maaf atas perannya dalam genosida (pembantaian suku atau kelompok tertentu dengan tujuan memusnahkannya) di Rwanda tahun 1994. Gereja menyesalkan partisipasinya dalam pembantaian terhadap ratusan ribu orang tak berdosa.
Pernyataan meminta maaf  dibacakan oleh Konferensi Uskup Katolik di paroki-paroki seluruh Rwanda itu. Gereja mengakui bahwa anggotanya terlibat dalam perencanaan, membantu dan melakukan genosida yang menewaskan  lebih dari 800 ribu etnis Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh kelompok Hutu garis keras.
"Kami mohon maaf atas semua kesalahan gereja. Kami mohon maaf atas nama semua orang Kristen. Kami menyesal bahwa anggota gereja melanggar sumpah [mereka] kesetiaan kepada perintah-perintah Allah," ujar pernyataan Konferensi Uskup Katolik seperti yang dilansir Al Jazeera pada 21 November 2016.
Lebih lanjut pernyataan itu memuat permintaan maaf yang mendalam karena gereja telah menebarkan kebencian dan tidak menjadi pemersatu tetapi justru menjadi pembunuh.
Uskup Phillipe Rukamba, Juru bicara Gereja Katolik di Rwanda, mengatakan  pernyataan itu dikeluarkan bertepatan dengan berakhirnya Minggu Tahun Kudus Pengampunan yang dinyatakan oleh Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus untuk mendorong rekonsiliasi yang lebih besar dan pengampunan di gereja dan di dunia.
Berdasarkan laporan dari penggiat HAM dan korban perang saudara itu, banyak nyawa warga tak berdosa yang melayang di tangan pada imam, pendeta dan biarawati. Bahkan pemerintah Rwanda melaporkan bahwa banyak yang justru tewas di lingkungan gereja saat mereka meminta perlindungan di rumah Tuhan tersebut.
Gereja sebelumnya menolak upaya dari pemerintah dan korban untuk mengakui keterlibatannya dalam pembunuhan massal. Gereja mengatakan anggotanya yang melakukan kejahatan bertindak secara individual bukan mengatasnamakan lembaga.
Pengamat genosida di Rwanda mengatakan bahwa pernyataan maaf Gereja Katolik dipandang sebagai perkembangan positif dalam upaya rekonsiliasi di Rwanda. Tom Ndahiro, pengamat genosida Rwanda, mengatakan bahwa ia berharap pernyataan gereja akan mendorong persatuan di antara penduduk Rwanda.
"Saya juga senang mengetahui bahwa dalam pernyataan mereka, para uskup meminta maaf karena tidak mampu mencegah genosida," katanya.
Peristiwa genosida di Rwanda pada 1994 tersebut dipicu oleh kecelakaan pesawat yang kemudian menewaskan presiden yang berasal dari suku Hutu.
CBS NEWS|AL JAZEERA|YON DEMA | Tempo.Co 

Sabtu, 19 November 2016

Bangkitnya Militerisme Gaya Baru

19 November 2016
Titin Jayalangkara*

Militerisme tidak hilang di Indonesia, malahan kembali unjuk gigi dengan lebih percaya diri!

Paska reformasi Mei 1998, militer Indonesia berupaya kembali menginvasi ruang-ruang sosial. Ditandai banyaknya bekas petinggi militer yang ikut bertarung dalam pemilihan umum atau pilkadal, dengan berjualan nasionalisme melalui jargon “asing” versus “pribumi”. Militer juga giat membubarkan kegiatan-kegiatan publik seperti diskusi, pemutaran film di beberapa kota, menangkapi orang-orang bertato di Makassar, dan merepresi perpustakaan jalanan di Bandung.

Pembentukan klub sepakbola tentara, Persatuan Sepakbola Tentara Nasional Indonesia (PS TNI), merupakan satu contoh lucu bagaimana militer telah masuk lebih jauh dalam ruang-ruang sosial masyarakat sipil. Beberapa bulan lalu suporter PS TNI, yang tidak lain adalah militer aktif, bentrok dengan pendukung Gresik United dalam laga Indonesia Soccer Championship A 2016, karena menganggap spanduk bertuliskan “Stop Arogansi Cops” serta yel yel “aparat keparat” dari suporter sebagai tindakan penghinaan dan rasis. Pihak militer Indonesia seperti lupa ingatan, bahwa pembantaian dan pelecehan orang-orang Papua yang mereka lakukanlah yang merupakan tindakan rasisme keji.

Di sektor pertanian, militer tak ketinggalan dengan turut serta melakukan penyuluhan kepada petani-petani di desa. Babinsa diturunkan ke sawah mengawasi petani. Tahun 2015 lalu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa tidak mungkin ketahanan nasional bisa tercapai tanpa ketahanan atau swasembada pangan. Pernyataan ini menegaskan bahwa urusan pangan dalam negeri adalah juga urusan TNI. Bagi militer dan Jokowi, swasembada pangan harus dicapai meskipun harus dengan menekan petani untuk menggenjot produksi.

Sementara di bidang pendidikan, wacana kurikulum bela negara dan hegemoni militerisme membayangi dunia pendidikan Indonesia. Bahkan di beberapa kampus, kuliah-kuliah umum diselenggarakan dengan mendapuk petinggi militer sebagai pembicara utama. Sebelumnya, Universitas Hasanuddin di Makassar pula telah bekerja sama dengan TNI menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata.

Situas-situasi tersebut menggambarkan bahwa militer Indonesia pelan tapi pasti merambah kembali ranah sosial, mengembalikan “fungsi sosial” sebagaimana yang pernah dikendalikannya melalui Dwi Fungsi ABRI di masa Orde Baru.


Musuh yang Diciptakan

Gatot Nurmantyo lewat pemberitaan di Kompas (26/08/2016) mengatakan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi perang tanpa bentuk. Salah satu di antaranya adalah perang melawan narkoba, katanya. Pernyataan Gatot tersebut diikuti dengan seruan untuk “mewaspadai tiap ancaman yang akan menghancurkan kesatuan negara”.

Jika diperhatikan secara seksama, ini seperti pernyataan siaga perang. Hanya saja, perang melawan musuh yang mana, Gatot sendiri menggambarkannya tidak jelas. Militer malah nampak hendak terlibat dalam urusan penegakan hukum lebih jauh, seperti penyitaan barang bukti, penindakan kerusuhan sipil, yang secara normatif bukan fungsinya. Dengan mengobarkan perang terhadap musuh yang tidak jelas, militer bisa seenaknya menghantam rata siapa saja yang dianggapnya musuh, yakni apapun yang mengancam NKRI dan Pancasila. 
Logika yang hendak dibangun adalah bila narkoba dianggap bisa membahayakan negara, militer merasa berhak ikut campur memberantas narkoba. Begitu pun terhadap terorisme atau bahkan sebuah pemikiran, bila hal-hal tersebut mengancam NKRI dan Pancasila, militer ingin mengambil peran lebih jauh.

Dengan kata lain, Gatot sebenarnya sedang menegaskan kembalinya militer ke dalam ranah-ranah sipil. Perang yang dinyatakan sebenarnya adalah perang melawan rakyat, khususnya kaum pekerja, dengan cara menciptakan musuh untuk mendapatkan legitimasi.

Beberapa bulan lalu, publik di Indonesia dihebohkan berita kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia. Wacana ini dikembangkan sedemikian rupa hingga berubah menjadi teror, terutama bagi masyarakat yang tidak mengetahui sejarah, korban pembantaian peristiwa 65, hingga gerakan-gerakan progresif. 
Dan dengan segala prosesnya, “PKI sebagai musuh” berhasil memenangkan pengaruh militer ke dalam beberapa situasi sosial. Gelombang pembubaran diskusi dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta”, penanganan diskriminatif terhadap protes sosial, pelarangan buku-buku bertema komunis, hingga penangkapan terhadap seorang aktivis di Maluku Utara hanya karena memakai baju berakronim PKI (pencinta kopi Indonesia), menggambarkan bagaimana musuh-musuh yang dibentuk tersebut berhasil menjalankan fungsinya mendapat legitimasi dari masyarakat.

Musuh-musuh tersebut dibentuk dalam sebuah kerangka konspirasi. Untuk tetap menguatkan pengaruh, musuh-musuh tersebut dipelihara dalam sebuah budaya ketakutan. Dengan begitu, aktifnya militer dalam kehidupan sosial masyarakat nampak wajar dan diperlukan.


Militerisasi Sipil

Sebagai antisipasi terhadap ancaman musuh, dibuatlah program-program yang berbau militeristik. Program Bela Negara misalnya, yang diresmikan Presiden Jokowi akhir 2014 lalu, bahkan telah disosialisasikan dan dijalankkan hingga ke kampus-kampus. Ini kemudian diikuti aturan-aturan terkait semisal larangan aktifitas malam dan demonstrasi bagi mahasiswa. Ormas-ormas sipil juga direkrut dan disokong sebagai pemukul yang bergerak tanpa seragam. Untuk memamerkan kekuatan ini, digelar Apel Bela Negara di Jakarta, sebagai bentuk perang psikologis.

Dalam bentuk harian, hak-hak normatif masyarakat sipil seperti berkumpul, berdiskusi, menyuarakan kritik sosial dan membaca buku dengan sistematis dipangkas. Melalui represi fisik maupun non-fisik, aparat negara mengatur apa yang boleh dibaca, jam berapa kita bebas berkumpul dan berdiskusi, pakaian apa saja yang bisa dipakai, film apa yang bisa kita tonton dan hal apa saja yang bisa kita sampaikan di muka umum. Bahkan dalam beberapa peristiwa, alasan-alasan moral seringkali dipakai untuk membelenggu kebebasan sosial, misalnya pembubaran aktifitas dan agenda LGBT sebagai ekspresi penyeragaman orientasi seksual.


Otoritarian Negara dan Kapitalisme yang Totaliter

Bangkitnya militerisme dan makin kuatnya keterlibatan tentara dalam kehidupan sosial menunjukkan gejala otoritarianisme yang menguat. Sebagai perangkat kekerasan negara, militer berfungsi untuk memastikan kekuasaan negara, dengan mengikut ke dalam kepentingannya. Tujuannya untuk tetap menjaga rakyat tetap tunduk pada sentralisme kekuasaan. Gejala-gejala ini semakin menunjukkan karakter dasar negara: menindas dan otoritarian. Ruang-ruang sosial sebagai wadah aktifitas dan solidaritas, hubungan sosial dan kemasyarakatan diisi dan dikacaukan oleh kekuatan represif.

Meskipun konsolidasi modal sudah menghapuskan batas-batas negara, demi memastikan kelancaran perpindahan modal dari satu wilayah ke wilayah lain, namun peranan dan keterlibatan aparatus negara justru lebih kencang menekan ke bawah. Semakin banyak perjuangan dan gerakan rakyat yang dihantam oleh popor senapan, dan kebebasan sipil yang dikekang oleh sepatu lars. Hal tersebut merupakan respon negara dan kapitalis terhadap gerakan dan perjuangan rakyat.

Bila negara semakin totaliter, kapitalisme makin otoritarian, bukankah ini tanda-tanda fasisme?

Penulis adalah anggota Perhimpunan Merdeka.
*) Artikel ini telah dipublikasikan di Koran Bersyarekat #3
 
http://anarkis.org/bangkitnya-militerisme-gaya-baru/ ·

Jumat, 18 November 2016

Shalat Berjamaah dan Relasi Sosial Komunisme

|  Roy Murtadho


SHALAT merupakan salah satu butir rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh tiap muslim mukallaf (seorang lelaki atau perempuan yang telah akil baligh) selain syahadat, puasa, zakat dan pergi haji bagi yang mampu. Shalat juga berarti penyempurna syahadat (bersaksi bahwa tidak ada Allah selain Allah dan Muhammad sebagai utusannya) seorang muslim. Jika syahadat adalah kesaksian seorang hamba pada ke-esa-an Allah dan Muhammad sebagai utusannya, maka Shalat merupakan salah satu bukti dari kesaksian tersebut. Dengan ini, bagi kaum muslim yang telah bersyahadat namun tidak mengerjakan shalat maka dianggap sia-sia kesaksiannya, begitupun sebaliknya.

Betapa penting posisi shalat dalam Islam sehingga ada sebuah hadis yang mengatakan “Shalat sebagai tiang agama”. Jika kita bertolak dari hadis tersebut, maka seseorang yang mengaku muslim, sementara dirinya tidak mengerjakan shalat—di luar debat teoritik—secara dogmatik sesungguhnya ia tengah meruntuhkan tiang agama. Dengan ini shalat menjadi salah satu fondasi beragama dalam Islam. Maka sulit kita bayangkan ada seseorang yang lagi-lagi, mengaku muslim, namun menolak wajibnya Shalat. Bahkan, banyak para fuqaha (ahli hukum Islam) yang berbeda pendapat mengenai berbagai hal, namun tak ada satupun dari mereka yang berbeda pendapat mengenai perintah wajibnya shalat bagi kaum muslim.

Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar wajibnya shalat adalah QS. Al-Baqarah: 43 yang berbunyi: ‘Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’ lah bersama orang-orang yang ruku’. Mengenai ayat ini, ada perbedaan di antara Ulama. Ada yang menganggap sebagai perintah wajibnya Shalat berjamaah. Ada yang menafsiri bahwa yang wajib hanya shalat-nya bukan jamaahnya. Artinya shalat jamaah hanya sunnah dan diutamakan, namun tidak wajib untuk dikerjakan. Salah seorang penafsir Al-Qur’an (mufassir) yang berpendapat bahwa shalat jamaah hanyalah anjuran adalah Ibn Katsir. Ia menafsirkan ayat ini sebagai perintah pada kaum muslim untuk bersama orang-orang beriman melakukan berbagai perkara kebaikan, dan di antara semua perkara kebaikan tersebut yang paling utama adalah shalat jamaah.[1]

Dalam ayat yang lain, QS. Al-‘Ankabut: 45, dijelaskan bahwa shalat bisa mencegah seseorang dari perilaku keji (tidak manusiawi) dan mungkar. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.”

Jadi, selain sebagai medium berhubungan dengan Allah, shalat mempunyai fungsi sosial yang oleh Al-Qur’an sendiri disebut sebagai pencegah dari perbuatan keji atau sesuatu yang tidak manusiawi. Dengan kata lain, secara intrinsik, melalui shalat, Allah hendak menggaransi bahwa siapapun kaum muslim yang mengerjakan shalat maka dengan sendirinya menjadi manusia yang utama: manusia yang sanggup menghargai manusia lainnya; manusia yang bisa mewujudkan keadaban; manusia yang mampu melawan kesenangan dirinya (syahawat) demi kepentingan bersama; manusia yang berhimpun untuk saling bekerjasama secara adil dan demokratis untuk mencapai kebahagiaan bersama.

Mungkin kita segera bertanya-tanya: jika benar Shalat mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji, kenapa kita justru mendapati yang sebaliknya: semakin taat beragama seseorang, justru menjadi semakin sempit rasa kemanusiaannya? Banyak kaum muslim yang mengerjakan Shalat justru bertindak keji. Kita masih ingat beberapa waktu lalu sepasang suami istri yang dalam kehidupan sehari-harinya rajin mengerjakan shalat jamaah, namun tega melakukan pemalsuan vaksin anak. Atau seseorang yang sangat taat beragama namun justru menjadi pelaku pengeboman rumah ibadah agama lain. Intinya, mengapa meningkatnya ibadah ubudiyah (devotional) tidak ada korelasinya (munasabah) dengan kehidupan sosial sehari-hari?

Di sini kita akan mendiskusikan lebih lanjut perihal Shalat, khususnya Shalat jamaah sehubungan dengan perilaku sosial kaum muslim Indonesia. Ada beberapa poin utama yang akan kita bahas: membaca shalat jamaah secara materialis; menggugat tafsir konservatif yang lebih menonjolkan aspek simbolik dalam beragama; dan melakukan ikhtiar penyegaran dan aktualisasi makna Shalat, khususnya Shalat jamaah dengan kondisi dan tantangan hari ini dengan menunjukkan kesesuaian Shalat jamaah dengan komunisme .

***

Bila didefiniskan secara sederhana, Shalat adalah doa atau ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sedangkan kata jamaah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-Jam’u yang bermakna menyusun hal yang tercerai berai, kemudian menyatukannya dengan mendekatkan satu sama lain untuk tujuan yang satu. Jamaah bisa juga berarti sekumpulan orang yang menyatukan diri atau saling mendekatkan diri untuk tujuan yang satu.

Dilihat dari definisi di atas, shalat sejak semula, selain berorientasi Ilahiah juga berorientasi kepada manusia. Bahkan secara intrinsik, shalat merupakan pelajaran kemanusiaan bagi mereka yang mengerjakannya. Shalat diawali dengan ‘takbir’, yang berarti tak ada yang lebih besar ketimbang Allah dan diakhiri ‘salam’, yang berarti solidaritas pada sesama manusia.

Meski tidak kita temukan istilah ‘Shalat jamaah’ dalam Al-Qur’an, namun sangat dianjurkan dalam Islam. Berbeda dengan shalat yang dikerjakan sendiri, shalat jamaah mengandung banyak hikmah. Sebagian besar ulama melihat setidaknya ada tiga hikmah shalat berjamaah diantaranya: memakmurkan masjid; sebagai simbol persatuan; dan dilipatgandakan pahalanya menjadi 27 derajat dibanding dengan shalat yang dikerjakan sendiri.
Dalam salah satu hadis dijelaskan mengenai pentingnya shalat berjamaah,
‘aku tinggal bersama Nabi saw selama dua puluh hari dan beliau sangatlah kasih sayang dan bersahabat. Ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda: ‘Kembalilah dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka, dan shalatlah. Apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan yang paling tua mengimami kalian’[2].
Sebagaimana pertanyaan sebelumnya, mengapa orang yang rajin shalat jamaah di masjid dan mushalla tidak mendorongnya menjadi manusia yang baik? Karena sejauh ini shalat jamaah hanya dilihat sebagai sesuatu yang berorientasi ukhrawi, individualistik dan sekedar menjadi ruang akumulasi atau pelipatgandaan pahala yang dipahami secara material.

Disinilah letak persoalannya. Pahala dilihat sebagai upah, atau imbalan bagi seseorang yang telah melaksanakan ibadah. Lebih dari itu, pahala dianggap tak jauh berbeda dengan kupon undian atau koin-koin uang yang bisa dipertukarkan kelak di akhirat; sebagai tiket memasuki surga loka yang penuh dengan kenikmatan tiada batasnya. Cara beragama semacam ini tumbuh subur seiring dengan makin menjamurnya para ustad yang menawarkan keberagamaan infantil, individualistik (pada batas tertentu bisa dikatakan hedonistik) yang hanya dipakai sebagai alat menyenangkan kelas menengah yang sedang mabuk (sampul) agama. Sehingga kalau kita tanya motif atau dorongan kaum muslim yang rajin shalat jamaah di masjid dan musholla, sudah bisa diterka, sebagian besar mereka akan menjawab seragam: mencari pahala 27 derajat.

Kaum beragama, khususnya kaum muslim, seringkali terjebak pada perilaku me-material-kan sesuatu yang sebenarnya immateri dan sebaliknya, meng-immateri-kan sesuatu yang material. Misalkan, orang sibuk menjelaksan surga dan neraka seolah-olah keduanya terang dengan sendirinya. Atau menganggap pahala sebagai suatu upah berupa koin-koin yang bisa dipertukarkan kelak di akhirat. Jika koinnya mencukupi maka akan masuk surga nomor atau level tertentu. Jika tidak mencukupi maka akan masuk surga nomor atau level tertentu yang lebih rendah, persis seperti orang yang sedang memesan kamar hotel dengan kelas-kelas tertentu.

Apa yang hilang dari cara beragama semacam ini adalah pesan sosial shalat jamaah sebagai medium membangun solidaritas dan tindakin sosial kolektif untuk menciptakan kehidupan yang adil dan demokratis. Shalat jamaah sebagai proto kolektivisme dan komunalisme dalam Islam secara pelan digerogoti dan hilang dari kesadaran historis kaum muslim.

impunitas
Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto (kerja.pembebasan)

***

Apa simpul yang mentautkan shalat jamaah dengan komunisme? Bukankah keduanya menempuh trayek yang berbeda, bahkan berseberangan dan bertabrakan? Aspek sosial pada shalat (khususnya yang dilaksanakan dengan berjamaah) dan komunisme yang mempertautkan keduanya. Komunisme terkait dengan beberapa kata berikut: ‘Common’ berarti umum atau sesuatu yang dimiliki atau digunakan bersama-sama. ‘Communal’ berarti sesuatu yang berhubungan dengan yang umum, misalnya, pada masa dahulu di Nusantara sebagian besar tanah dimiliki dan dikelola secara bersama-sama (communal land); ‘Commune’ berarti kelompok yang hidup bersama; ‘Communion’ (komuni) yang berarti kerukunan dan hubungan erat satu dengan yang lain; ‘Community’ (koinoia) berarti masyarakat, persamaan dan himpunan. [3] Terang, secara bahasa komunisme berhubungan dengan kegiatan positif-aktif membangun komunitas bersama, yang dalam bahasa Al-Syatibi dalam Maqasid al-Syariah (tujuan syariah), sebagai instrumen menuju kemaslahatan bersama. Jadi, secara sedarhana komunisme bisa dilihat sebagai tindakan sosial kolektif, dimana solidaritas dan persaudaraan dijunjung tinggi diatas segala-galanya.
Lebih dari pengertian bahasa, Alain Badiou dalam interview pada L’Humanite, sebuah koran Partai Komunis Prancis, mengingatkan bahwa ‘hipotetis komunisme adalah hipotetis emansipasi’. Artinya, intrinsik dalam kata komunis adalah praksis untuk emansipasi.[4] Jadi, bukan komunis jika tidak emansipatif.

Sayangnya, pengertian positif-aktif-emansipatif komunisme dipropagandakan oleh kaum rekasioner secara negatif-pejoratif sebagai suatu penganjuran kekerasan. Propaganda anti komunisme sebenarnya tak lain sebagai cara membungkam rakyat agar tidak berhimpun dan bersolidaritas dalam memperjuangkan keadilan dan kebahagiaan. Agar rakyat tidak berjamaah pada semua aspek kehidupan.

Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang berjiwa komunis, yang menganjurkan kerjasama, solidaritas, persaudaraan, pengorbanan dan nilai-nilai luhur kolektivisme lainnya. Berikut ini adalah salah satu ayat yang menganjurkan jiwa komunis.
“Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang sejahtera” (QS. Al-Hasr 59:9).
Dari ayat di atas kita menjadi mengerti bahwa yang disebut Allah sebagai orang yang sejahtera bukanlah mereka yang bisa mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya, melainkan seseorang yang memiliki solidaritas pada sesamanya. Mereka yang sanggup berkorban demi kebaikan sesamanya.
Perintah bersolidaritas dan berkorban untuk yang lain juga ditunjukkan dengan indah dalam Hadis Nabi berikut ini,
“Dari Abu Hurairah dilaporkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar mendapatkan tamu yang menginap semalam dan ia tidak memiliki apapun kecuali makanan yang hanya cukup untuk dirinya dan anak-anaknya. Ia berkata pada istrinya: tidurkanlah anak-anak, dan matikan lampu, dan layanilah tamu dengan apa yang kamu miliki”. [5]
Ketika kaum reaksioner menuduh komunisme, mereka pura-pura tak tahu bahwa sistem kapitalisme dengan moral individualisnya jauh lebih mematikan ketimbang revolusi manapun yang pernah terjadi di dunia ini. Di dalam sistem kapitalisme, ketimpangan melanda seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, sebagaimana dirilis oleh World Bank pada Desember 2015, menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 50,4 persen asset, dan 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 70,3 persen total kekayaan di Indonesia. Padahal Allah telah mengingatkan dalam QS. Al-Hasyr:7 bahwa “Janganlah harta itu berputar-putar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian”. Melalui jalan komunis atau berjamaah inilah kita hendak mengubah sistem kapitalisme yang penuh dengan ketimpangan, kekerasan dan ketidakadilan menuju dunia yang lebih berkeadilan dan damai bagi semua umat manusia.

Revolusi seringkali dituding sebagai pengobar kekerasan, dan pertumpahan darah. Apa yang luput dari tuduhan gampangan semacam itu? Pertama, dalam kondisi tertentu perdamaian atau situasi damai, faktanya haruslah direbut dengan jalan revolusi. Tak jauh berbeda dengan perlawanan yang dipraktikkan Nabi. Bahwa perlawanan bersenjata yang dilakukan, bukan berarti Nabi memuja kekerasan, melainkan karena tak ada pilihan lain untuk mewujudkan kedamaian dan terpaksa harus melakukan perlawanan bersenjata. Apakah para kiai di Banten mengumbar kekerasan ketika menggalang massa melawan ekspansi PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group) di daerah mereka?,[6]
Perlawanan terjadi karena pihak lawan tak menghendaki jalan damai. Kedua, ketika kaum reaksioner sibuk menghitung kekerasan selama berlangsungnya Revolusi, apakah mereka juga sempat menghitung jutaan nyawa manusia yang mati akibat perang dan kelaparan oleh kapitalisme global sejak jaman kolonialisme hingga jaman perdagangan bebas? Mungkin mereka lupa membandingkan seluruh revolusi sosialis seperti: Komune Paris (1871); Petrograd, Rusia (917); Barcelona, Spanyol (1936); Hongaria (1956); dan Portugal (1974) yang pernah terjadi di dunia dengan penghisapan di seluruh penjuru muka bumi yang telah dan sedang berlangsung oleh kapitalisme. Jika mereka mau menghitungnya, maka Revolusi yang dijalankan kelas buruh jauh lebih damai dan manusiawi dari semua penghisapan secara vulgar (perampasan) yang dilakukan oleh kapitalisme.

Mereka seringkali mengalamatkan semua perjuangan rakyat sebagai benih PKI yang melakukan kekerasan. Tudingan semacam ini akan segera runtuh jika mereka mengikuti penjelasan Ben Anderson, seorang Indonesianis dari Cornell University, bahwa PKI tak pernah mempersiapkan dirinya untuk melakukan aksi bersenjata. Berikut kutipan selengkapnya:
“PKI bertindak kontradiktif dalam menjalankan starteginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan… Namun partai yang mengaku Marxis-Leninis ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen.”[7]
Alhasil, menolak komunisme sama artinya dengan menolak jamaah, menolak kolektivisme, menolak gotong royong, menolak persaudaraan dan solidaritas sebagai ciri utama kemanusiaan. Dari sini, kita bisa melihat komunisme sebagai salah satu gesture untuk mengaktualisasikan dan menyegarkan makna shalat berjamaah bagi kaum muslim, lebih dari sekedar kalkulasi dan akumulasi pahala kelak di akhirat maupun sebagai sekedar mode beragama.

***

Di tengah kecaman terhadap terorisme, dunia sebenarnya tengah menghadapi ancaman teror dalam bentuk lain—yang sebenarnya juga ibu kandung terorisme agama— yang jauh lebih mematikan dan mempunyai daya rusak massif, yaitu perampasan ruang hidup oleh kapitalisme yang mengancam masa depan umat manusia di seluruh penjuru bumi. Situasi ini disebut oleh Vandana Shiva sebagai perang perebutan bahan pangan, perang kerakaragaman hayati, dan perang air.
Alhasil, apa yang pernah dikatakan Marx dalam Kapital I terbukti benar, bahwa kapitalisme telah mendegradasi manusia menjadi sekedar pelengkap sebuah mesin.
“Di dalam sistem kapitalis… semua alat untuk pengembangan produk berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi para produser; mereka menghancurkan pekerja menjadi pecahan manusia, menurunkannya setingkat tambahan sebuah mesin, menghancurkan setiap sisa pesona kerjanya dan mengubahnya menjadi sebuah tenaga kerja yang dibenci; mereka menjauhkannya dari kemampuan proses kerja secara intelektual… mereka mengubah kondisi tempat kerja dia bekerja, selama proses kerja tunduk kepada suatu industri, kebencian lebih lanjut pada keburukan proses kerja itu; mereka mengubah waktu hidupnya menjadi waktu kerja, dan menyeret istri dan anak-anaknya ke bawah roda kapital Juggernaut.[8]
Maka, suatu keniscayaan mendesak diperlukan suatu upaya berjamaah, suatu sikap moral komunis untuk mengembalikan solidaritas, persaudaraan, yang melihat manusia sebagai sepenuhnya manusia, yang berarti membebaskan jutaan manusia yang sekadar ditempatkan sebatas sekrup-sekrup mesin penghisap kapitalisme, yang menimbulkan kemalangan dan kemiskinan.

Dengan ini, wajar kalau seorang mujahid, Monsinyur Oscar Romero, meyakini bahwa kemanusiaan tak akan bisa dipulihkan secara penuh kalau penindasan terhadap kaum miskin tidak diatasi. “Gloria Dei vivens pauper” (kemuliaan Allah adalah hidup orang miskin) demikian ungkapnya.[9] Melalui frase tersebut, sebenarnya Romero tengah menggugat kita semua yang gemar mempromosikan kemanusiaan tapi tak mengajukan kritik—bahkan mengafirmasi—sistem kapitalisme, dan membiarkan penindasan terjadi.

Sementara Samir Amin mengajukan suatu proposal pentingnya membangun konvergensi kekuatan anti kapitalisme secara luas di abad XXI ini dengan menjadikan Komunisme sebagai titik temu, tak hanya kelas pekerja industri, melainkan semua pihak yang secara langsung atau tidak dihisap oleh kapitalisme.[10] Bahkan, bila perlu, komunisme harus menjadi bendera seluruh umat manusia yang tengah berjuang mewujudkan dunia yang lebih adil, demokratis dan manusiawi. Melalui konvergensi, penyatuan itulah, janji Allah yang hendak menjadikan kaum tertindas sebagai pemimpin dan pewaris bumi, bisa diwujudkan.

Sebagaimana telah diulas dimuka, bahwa secara bahasa Jamaah memiliki kesamaan makna dengan komunisme, kiranya akan jauh lebih afdhal jika kita menjadi orang yang senantiasa berjamaah atau menjadi komunis, tidak hanya dalam urusan beribadah tapi dalam semua aspek kehidupan ini, secara ukhrawi maupun duniawi sebagaimana pesan dalam shalat jamaah itu sendiri. Jika seseorang rajin shalat berjamaah di masjid atau mushalla, namun masih individualistik dan menghisap tetangganya, meligitimasi persampasan tanah dan penghancuran ruang hidup, atau menjadi bagian dari akumulasi primitif, maka hakikatnya ia belum berjamaah. Alih-alih mendapatkan pahala 27 derajat sebagaimana dibayangkan olehnya, justru mendapat laknat dari Allah karena telah mendustakan agama. Naudzubillah mindzalik.

***

Jombang, 09 November 2016

—————-
[1] Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut: Dar at-Turats al-‘Arabi, Jilid I, hal. 90.
[2] Muhammad Ibn Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1999, juz II, hal. 110.
[3] Lih. Ulasan menarik Jean Luc Nancy, ‘Communism, the Word’ dalam Costas Douzinas & Slavoj Zizek (ed.), The Idea of Communism, London: Verso, 2010, hal. 145-153.
[4] Ibid., Jacques Ranciere, ‘Communists Without Communism?’, hal. 167.
[5] Lih. Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1972, jilid XIII, cet ii, bab makanan dan minuman serta hukum-hukum yang berkenaan dengannya, hadis No. 224, hal. 187-189.
[6] http://www.tangeranghits.com/metropolitan/43206/pabrik-kemasan-air-pt-tirta-fresindo-jaya-beroperasi-kiai-pembunuhan-massal-namanya
[7] Dikutip dari Suara Independen, September 1997, hal. 11.
[8] Karl Marx, Capital I, hal. 648.
[9] Sekitar tujuh minggu sebelum ia menjadi martir di kapel rumah sakit untuk pasien kanker miskin di San Salvador, dalam pidatonya ketika menerima gelar kehormatan dari Louvain di Belgia, pada akhir pidatonya, Romero mengatakan: “Kristen awal yang digunakan untuk mengatakan Gloria Dei, vivens homo (kemuliaan Allah adalah orang yang hidup). Kita bisa membuat lebih konkret ini dengan mengatakan Gloria Dei, vivens Pauper (kemuliaan Allah adalah hidup orang miskin).”
[10] Samir Amin, Dunia Yang Hendak Kita Wujudkan, Tujuan-Tujuan Revolusioner Abad XXI, Yogyakarta: Resist Book, 2010, hlm. 81.
 
http://indoprogress.com/2016/11/shalat-berjamaah-dan-relasi-sosial-komunisme/

Kamis, 17 November 2016

Makam Tan Malaka Akan Dipindahkan ke Sumatera Barat

Kamis, 17 November 2016 | 16:29 WIB
 
Gus Muid dan Wakil Bupati Limapuluhkota mendatangi makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Kamis (17/11/2016). SURYA/DIDIK MASHUDI Surya/Didik Mashudi


KEDIRI, KOMPAS.com -
Makam Sutan Ibrahim yang bergelar Datuk Tan Malaka atau Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, direncanakan dipindah ke Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, tempat kelahirannya.

Wakil Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan saat di Kediri, mengemukakan dirinya jauh-jauh dari Sumatera Barat ke Kediri, karena mendapat tugas dari Bupati untuk melakukan penjajakan serta ziarah ke makam Tan Malaka.

"Kami ke Kediri dalam rangka penjajakan dan sebelumnya dari keluarga Tan Malaka punya keinginan untuk pemindahan makam ke Lima Puluh Kota (Kabupaten Lima Puluh Kota)," katanya saat ditemui di rumah Ketua DPC PKB Kota Kediri Oeing Abdul Muid di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri.

Ia juga sudah meninjau langsung lokasi makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Rencananya, Pemkab Lima Puluh Kota juga akan komunikasi secara resmi dan langsung baik dengan Pemkab Kediri, Pemprov Jatim, sampai pusat terkait dengan rencana pemindahan jenazah itu.

Pemkab Lima Puluh Kota bahkan sudah membuat rencana untuk pemindahan jenazah, termasuk pengurusan administrasi. Sebelum pemindahan itu, rencananya akan ada prosesi penjemputan mirip dengan kirab yang dimulai 15 Januari 2017 dan direncanakan sampai 21 Februari 2017.

Selama prosesi penjemputan yang dilakukan lewat darat itu, rombongan juga melakukan napak tilas perjuangan Tan Malaka di beberapa titik, dan diharapkan pada April 2017 pemindahan jenazah bisa dilakukan.

Ferizal menambahkan, Tan Malaka adalah sosok pemangku adat, sehingga sesuai dengan adat, tempat pemakaman dianjurkan di tempat ia dilahirkan, di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Keluarga juga menolak pemindahan makam ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Jakarta.

Walaupun keluarga berniat memindahkan jenazah Tan Malaka, Ferizal menegaskan pemindahan ini bukan berarti melepaskan hubungan dan silaturahmi di antara dua daerah. Hubungan di antara dua daerah ini tetap tidak bisa dipisahkan dan akan terus terkait.

Disinggung dengan biaya pemindahan jenazah, Ferizal mengatakan akan ditanggung oleh pemerintah daerah. Namun, pihaknya sangat terbuka jika ada dukungan dari luar.

Wakil Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan datang ke Kediri dan meninjau langsung makam Tan Malaka. Ia hanya didampingi oleh sejumlah pejabat dan singgah di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri. Rencananya, dalam waktu dekat akan kembali ke Kediri, untuk keperluan administrasi.
 
Editor: Caroline Damanik
Sumber: Antara 
 
http://regional.kompas.com/read/2016/11/17/16293691/makam.tan.malaka.akan.dipindahkan.ke.sumatera.barat