HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 31 Agustus 2017

Yayasan: Acara LPSK dan Korban Peristiwa 1965 Tak Bangkitkan PKI


Muhamad Ridlo - 31 Agu 2017, 21:01 WIB

Demonstrasi menolak komunisme dan PKI bangkit kembali yang berlangsung di Solo, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Cilacap - Beberapa organisasi massa atau ormas diduga melakukan persekusi berupa penghentian paksa pertemuan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 21 Agustus lalu.

Terkait hal itu, Ketua YPKP 65, Bedjo Untung, mengatakan bahwa meningkatnya tindakan persekusi massa akhir-akhir ini sudah tak bisa ditoleransi lagi. Terutama yang dialami korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat seperti peristiwa tahun 1965.

Menurut dia, persekusi juga menyasar bukan lagi kepada para korban kejahatan HAM masa lalu, melainkan juga terhadap petugas lembaga negara yang tengah melaksanakan tugasnya.

Bedjo menilai, intensitas tindakan persekusi massa itu seakan mendapatkan dukungan politik dan legitimasi usai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Ia menilai persekusi ini marak lantaran dalih tafsir sepihak dan kecenderungan main hakim sendiri. Hal itu diperparah dengan lemahnya penegakan hukum untuk pelaku persekusi.
"Contoh paling konkret (selain kasus-kasus lain) adalah apa yang dialami YPKP 65 di beberapa daerah, baru-baru ini, seperti di Cirebon, Jawa Barat (26-27 Juli 2017) dan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah (21 Agustus 2017) lalu," ucap Bedjo melalui keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Kamis (31/8/2017).
Di kedua daerah itu terjadi serangan massa dalam jumlah signifikan, yang kemudian secara semena-mena membubarkan pertemuan antara korban peristiwa 1965 dan petugas LPSK.

Naifnya, imbuh Bedjo, pertemuan seperti ini selalu dikaitkan dengan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang gambarannya saja sudah jauh dari kepala para korban peristiwa 1965 yang semuanya telah renta.

Untuk itu, YPKP 65 mendesak agar pemerintah, melalui Polri agar menjaga dan melindungi para korban peristiwa 1965 serta berani mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk persekusi oleh massa intoleran.
"Kedua, mengambil tindakan tegas dan melakukan upaya-upaya nyata guna 'menertibkan' aparat negara, termasuk petugas intel, khususnya militer yang mengintimidasi para korban/penyintas 1965 di berbagai daerah, sehingga tak mengulang-ulang kekerasan yang serupa," ujar Ketua YPKP 65.


Penjelasan YPKP dan Polisi

Pertemuan LPSK dengan sejumlah korban peristiwa 1965 yang difasilitasi oleh YPKP 65, sebelum insiden penggerudukan oleh ormas di Cilacap, Jateng. (Foto: YPKP 65/Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sebelumnya, Aris Pandji dari Humas YPKP 65 menjelaskan soal insiden penghentian paksa pertemuan antara LPSK dan korban peristiwa 1965 di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 21 Agustus lalu.

Pada kesempatan itu, menurut Aris, Ketua YPKP 65 Cilacap telah berupaya menjelaskan bahwa YPKP 65 tidak anti-Pancasila dan bahkan menunjukkan legalitas YPKP 65 lengkap sebagai sebuah institusi yang telah berbadan hukum. Hanya saja, perwakilan massa tetap bersikukuh agar acara itu dihentikan.

Sebenarnya, Humas YPKP 65 itu memaparkan, acara intinya adalah pendataan korban peristiwa 1965 yang mendapatkan layanan medis dan psikososial gratis yang difasilitasi LPSK itu. Seperti YPKP Cilacap itu memfasilitasi agar korban peristiwa 1965 di Cilacap, bertemu langsung dengan tim LPSK.
"Jadi itu kemarin kan ada tuduhan itu (kebangkitan Partai Komunis Indonesia/PKI)," ucap dia kepada Liputan6.com, Rabu, 30 Agustus 2017.
Sekalipun suasana sempat memanas, tak terjadi insiden atau keributan dan perusakan di lokasi yang rencananya berlangsung pertemuan antara LPSK dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi YPKP 65 tersebut. Aris pun menyayangkan tindakan persekusi yang kini ternyata telah menyasar petugas lembaga negara, seperti LPSK.

Saat itu, menurut Aris, pihak yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan atau ormas tersebut merendahkan (melecehkan) petugas LPSK dengan menyoal dan menanyakan tingkat pendidikan, hingga asal universitas, dan lainnya.

Adapun Kapolsek Kroya, AKP AM Suryoprobo, membantah terjadi pembubaran acara LPSK di wilayah hukumnya oleh sejumlah ormas. Saat itu, massa hanya menanyakan izin acara dan legalitas lembaga YPKP.

Soal dugaan intimidasi oleh beberapa perwakilan ormas, Suryo menjelaskan bahwa saat itu kepolisian juga berada di lokasi dan turut mengamankan acara.
"Maksudnya mereka, YPKP itu ada izinnya enggak, gitu lho pak," ujar Suryo.
Dia mengakui, YPKP 65 telah melayangkan pemberitahuan agenda hari itu ke kepolisian. Sebab itu, pihaknya juga berada di lokasi untuk mengantisipasi insiden yang tak diinginkan. Sebab, kepolisian telah memiliki informasi ada kelompok yang tak setuju dengan acara itu.
"Hanya pemberitahuan saja. Setiap pemberitahuan, karena namanya juga warga, kita kan selalu mendampingi, selalu kita pantau, gerakannya," ujar Kapolsek Kroya.

Kata NU soal Ormas Geruduk Acara LPSK dan Korban Peristiwa 1965

Oleh Muhamad Ridlo | 31 Agu 2017, 14:30 WIB



Liputan6.com, Cilacap - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Cilacap, Jawa Tengah, angkat suara soal dugaan persekusi oleh organisasi massa atau ormas, berupa penghentian paksa pertemuan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 21 Agustus lalu.

Sekretaris PCNU Cilacap, Khazam Bisri, menyayangkan penghentian paksa kegiatan resmi LPSK yang merupakan lembaga negara. Menurut dia, tindakan massa yang mengaku berasal dari berbagai ormas keagamaan itu, tak bisa dibenarkan. Bahkan, ia menyebut bahwa ormas telah melampaui wewenang.

"Yang berhak membubarkan agenda, menghentikan itu kan aparat yang berwenang. Bukan kita," ucap Khazam, Rabu malam, 30 Agustus 2017.

Terkait dugaan keterlibatan sejumlah anggota Banser Kecamatan Kroya yang terlibat dalam penggerudukan itu, Khazam menegaskan bahwa PCNU melalui Majelis Wakil Cabang (MWC) telah menegur yang bersangkutan. Sebab, cara-cara pengerahan massa, seperti yang dilakukan saat itu, bukanlah cara NU untuk menyelesaikan masalah.


Khazam Bisri menyebut, sejumlah anggota Banser yang diketahui turut serta dalam penggerudukan itu telah terprovokasi oleh ormas tertentu. Berlawanan dengan ormas tertentu itu, NU justru amat menjauhi cara-cara kekerasan, intimidasi atau persekusi, untuk menyelesaikan sebuah persoalan.

Bahkan, keterlibatan anggota Banser itu justru dikecam, baik di tingkat PCNU maupun pengurus pusat (PP). "Banser yang ikut itu tidak berkoordinasi dengan kita. Beberapa anggota Banser Kecamatan Kroya telah terprovokasi," ujar Khazam.

Sejumlah anggota badan otonom NU disebut-sebut memang turut terlibat dalam penggerudukan yang berujung pada penghentian agenda LPSK dengan korban peristiwa 1965 yang sedianya digelar di rumah Nyonya Suwarti di Kroya.

Pertemuan antara LPSK dan korban peristiwa 1965 itu bertujuan untuk memverifikasi data penerima manfaat program medis-psikososial. Selain keterlibatan badan otonom NU, disebut pula FPI, FUI, PP Muhammadiyah, dan sejumlah kelompok muslim lain.

Jalin Kerja Sama

Pertemuan LPSK dengan sejumlah korban peristiwa 1965 yang difasilitasi oleh YPKP 65, sebelum insiden penggerudukan oleh ormas di Cilacap, Jateng. (Foto: YPKP 65/Liputan6.com/Muhamad Ridlo)


Khazam mengungkapkan pula, antara korban peristiwa 1965 dan PCNU Cilacap telah terjalin persahabatan dan komunikasi yang lancar. Bahkan, NU Cilacap dan bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menggelar kerja sama pada sebuah program sosial.

Ia berprinsip, selama kegiatan itu bertujuan baik dan sosial, berdampak baik, serta tak ada upaya menghidupkan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila ataupun upaya menghidupkan PKI, maka acara tersebut layak didukung.

Menurut Khazam, pertemuan LPSK dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi oleh YPKP 65 dengan tujuan verifikasi data penerima manfaat layanan medis-psikososial itu tak perlu dipermasalahkan.

"Ya itu kan hak mereka kumpul. Saya selalu menyatakan, itu hak mereka kumpul. Yang penting tidak menyinggung politik lama. Tetapi, kalau sudah menyinggung politik lama, kita ingatkan, 'Janganlah' kayak gitu," ujar dia.

Khazam menjelaskan, usai penghentian pertemuan LPSK dan korban 65 di Kecamatan Kroya, Banser dan Ansor Kecamatan Adipala justru dikerahkan untuk mengamankan dan mengawal acara serupa, keesokan harinya, pada Selasa, 22 Agustus 2017. Hal itu dilakukan agar tidak ada kejadian serupa.

"Saya perintah ke Banser, 'Jaga! Kayak gitu, jangan diganggu'. Karena ketika di Kroya itu gagal, kemudian di Wlahan, ya banyak Banser dan FPI supaya bertindak. 'Janganlah’. Di Adipala aman. Iya, Banser datang (untuk mengamankan)," kata Khazam.

Ia pun telah menegur ormas yang dianggap telah bertindak tak semestinya. Bahkan, di internal NU sendiri, pembubaran acara LPSK dan YPKP 65 itu menuai kecaman, baik di tingkat cabang maupun pusat. Apalagi, cara-cara pengerahan massa bukanlah gaya NU.

"Saya tanya, ‘Agendanya apa?' (Dijawab) 'Sosial.' Ya, sudah wong sosial kok. Saya sampai WA (pesan via aplikasi WhatsApp) ke Ketua (FPI), 'Pak Kholidin, lho kegiatan  sosial, siapa pun boleh melakukan, enggak boleh diganggu. Enggak ada agenda politik tidak ada agenda yang lain, itu tidak ada'," Sekretaris PCNU Cilacap itu memungkasi.

Sumber: Liputan6.Com

Pertemuan LPSK dan Korban Peristiwa 1965 Batal, Ada Apa?

Oleh Muhamad Ridlo | 31 Agust 2017, 14:00 WIB




Liputan6.com, Cilacap - Pertemuan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) batal digelar lantaran digeruduk oleh massa yang mengaku berasal dari berbagai ormas keagamaan.

Acara itu sedianya digelar di rumah Nyonya Suwarti, salah satu korban peristiwa 1965, di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Senin, 21 Agustus lalu.

Kepala Humas YPKP 65, Aris Pandji mengatakan, YPKP 65 baru buka suara soal insiden ini lantaran menunggu agar suasana kondusif. Ia pun mengaku khawatir jika usai acara tersebut, korban peristiwa 1965 atau YPKP 65 Cilacap terancam. Untuk itu, YPKP menggelar rapat di tingkat pusat, pada Selasa, 29 Agustus 2017.

"Itu pertimbangannya, itu problem keamanan bagi teman-teman YPKP di Cilacap. Jadi nanti sekalian setelah suasana kondusif," ucap dia kepada Liputan6.com, Rabu, 30 Agustus 2017.


Aris menjelaskan, Tim LPSK saat itu hendak memverifikasi data korban peristiwa 1965 yang akan menerima layanan medis-psikososial. Namun, lantaran ada peringatan dari petugas kecamatan dan intel polisi bahwa ada ancaman dari ormas tertentu, acara itu batal digelar.

"Acara dialihkan menjadi pertemuan biasa antara LPSK dengan beberapa korban 65 yang memang rumahnya tidak jauh dari lokasi pertemuan," kata dia.

Tercatat, saat itu, ada 12 orang yang terdiri dari korban asal Desa Karang Wangkal, Karang Sembung, Ayam Alas, Pakuncen, dan Desa Kroya.

Namun, menurut Aris, ketika acara berlangsung, sekitar pukul 10.30 WIB, tiba-tiba datang puluhan orang dengan berbagai atribut keagamaan. Mereka menggeruduk lokasi pertemuan dan meminta agar pertemuan itu dihentikan. Padahal, agenda itu adalah agenda resmi LPSK yang merupakan lembaga negara.

Menurut Aris, juru bicara massa yang mengaku berasal dari Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Pemuda Muhammadiyah, Banser, Ansor, dan MWC NU setempat meminta agar acara itu dihentikan.

Padahal, LPSK juga sudah menjelaskan agenda sebenarnya dari pertemuan dengan korban peristiwa 1965 tersebut. Tapi, imbuh Aris, massa tetap tidak menerima dan bahkan menceramahi Ketua YPKP 65, Bedjo Untung soal indoktrinisasi Pancasila.

_____

Apa kata Luhut Pandjaitan soal Kuburan Massal Korban 65; Klik [Di Sini]

______

Penjelasan Ketua YPKP dan Polisi

Lokasi pertemuan LPSK dan korban peristiwa 1965 di Kroya, Cilacap, Jateng, yang dihentikan paksa oleh ormas tertentu. (Foto: YPKP 65/Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Pada kesempatan itu, menurut Aris Pandji, Ketua YPKP 65 Cilacap telah berupaya menjelaskan bahwa YPKP 65 tidak anti-Pancasila dan bahkan menunjukkan legalitas YPKP 65 lengkap sebagai sebuah institusi yang telah berbadan hukum. Hanya saja, perwakilan massa tetap bersikukuh agar acara itu dihentikan.

Sebenarnya, Kepala Humas YPKP 65 itu memaparkan, acara intinya adalah pendataan korban peristiwa 1965 yang mendapatkan layanan medis dan psikososial gratis yang difasilitasi LPSK itu. Seperti YPKP Cilacap itu memfasilitasi agar korban peristiwa 1965 di Cilacap, bertemu langsung dengan tim LPSK.

"Jadi itu kemarin kan ada tuduhan itu (kebangkitan Partai Komunis Indonesia/PKI)," ujarnya.

Sekalipun suasana sempat memanas, tak terjadi insiden atau keributan dan perusakan di lokasi yang rencananya berlangsung pertemuan antara LPSK dengan korban peristiwa 1965 yang difasilitasi YPKP 65 tersebut. Aris pun menyayangkan tindakan persekusi yang kini ternyata telah menyasar petugas lembaga negara, seperti LPSK.

Saat itu, menurut Aris, pihak yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan atau ormas tersebut merendahkan (melecehkan) petugas LPSK dengan menyoal dan menanyakan tingkat pendidikan, hingga asal universitas, dan lainnya.

Adapun Kapolsek Kroya, AKP AM Suryoprobo, membantah terjadi pembubaran acara LPSK di wilayah hukumnya oleh sejumlah ormas. Saat itu, massa hanya menanyakan izin acara dan legalitas lembaga YPKP.

Soal dugaan intimidasi oleh beberapa perwakilan ormas, Suryo menjelaskan bahwa saat itu kepolisian juga berada di lokasi dan turut mengamankan acara.

"Maksudnya mereka, YPKP itu ada izinnya enggak, gitu lho pak," ujar Suryo.

Dia mengakui, YPKP 65 telah melayangkan pemberitahuan agenda hari itu ke kepolisian. Sebab itu, pihaknya juga berada di lokasi untuk mengantisipasi insiden yang tak diinginkan. Sebab, kepolisian telah memiliki informasi ada kelompok yang tak setuju dengan acara itu.

"Hanya pemberitahuan saja. Setiap pemberitahuan, karena namanya juga warga, kita kan selalu mendampingi, selalu kita pantau, gerakannya," ujar Kapolsek Kroya.

Sumber Liputan6.Com

NU Cilacap Tegur Banser yang Ikut Bubarkan Pertemuan Korban 65

Kamis, 31 Agus 2017 09:15 WIB | Muhamad Ridlo Susanto



Ilustrasi


KBR, Cilacap– Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Cilacap, Jawa Tengah menyayangkan terjadinya persekusi berupa penghentian  pertemuan antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan korban 65 yang difasilitasi oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) di Kroya pada 21 Agustus 2017 lalu. 
Sekretaris PCNU Cilacap, Khazam Bisri mengatakan pembubaran oleh massa yang mengaku berasal dari berbagai ormas keagamaan itu telah melampaui wewenang. Sebab, kalau pun acara itu tak mengajukan ijin kepada lingkungan setempat, maka yang berhak melakukan tindakan adalah aparat penegak hukum, bukan massa.
Kata dia, PCNU melalui Majelis Wakil Cabang (MWC) telah menegur   sejumlah anggota Banser Kecamatan Kroya yang terlibat dalam penghentian acara.  

Menurut Khazam, antara korban 65 dengan PCNU telah terjalin persahabatan dan komunikasi yang lancar sebelum ini. dia mengatakan,  pertemuan LPSK dengan korban 65 yang difasilitasi oleh YPKP 65 dengan tujuan verifikasi data penerima manfaat  layanan medis-psikososial itu tak perlu dipermasalahkan.

“Ya itu kan hak mereka kumpul. Saya selalu menyatakan, itu hak mereka kumpul. Yang penting tidak menyinggung politik lama. Tetapi kalau sudah menyinggung politik lama, kita ingatkan, ‘Jangan lah’ kaya gitu. Saya tanya, ‘Agendanya apa?’ (dijawab) ‘Sosial’, ya sudah wong sosial kok,” jelas Khazam Bisri, Rabu malam (30/8/2017). 
Khazam melanjutkan, "Saya sampai WA ke Pak Kholidin (Ketua FPI Cilacap-red) ‘Lho kegiatan  sosial, siapa pun boleh melakukan, tidak boleh diganggu. Tidak ada agenda politik tidak ada agenda yang lain, itu tidak ada’. Jaga, kaya gitu. Jangan diganggu. Karena ketika di Kroya itu gagal, kemudian di Welahan."
  
Lebih lanjut Khazam Bisri menyebut, sejumlah anggota Banser yang diketahui turut serta dalam penggerudukuan itu telah terprovokasi oleh Ormas tertentu. Berlawanan dengan Ormas tertentu itu, kata Khazam, NU justru amat menjauhi cara-cara kekerasan, intimidasi atau persekusi, untuk menyelesaikan sebuah persoalan.

Dalam catatan YPKP 65 berdasar rekaman suara, juru bicara massa yang datang mengaku mewakili FPI, Forum Umat Islam, Forum Pemuda Islam, Pemuda Muhammadiyah, Barisan Ansor Serbaguna, MWC Nahdlatul Ulama setempat dan elemen umat muslim lainnya.
  
Sementara itu Kepala Polsek Kroya, AM Suryoprobo membantah terjadi pembubaran acara LPSK di Kroya. Dia mengklaim,  saat itu massa hanya menanyakan izin acara. Soal dugaan intimidasi yang dilakukan oleh beberapa perwakilan Ormas, Suryo mengatakan saat itu kepolisian juga berada di lokasi dan turut mengamankan acara.
  
Dia mengakui YPKP 65 telah melayangkan pemberitahuan agenda hari itu ke kepolisian. Itu sebabnya, polisi  juga berada di lokasi untuk mengantisipasi insiden yang tak diinginkan. Sebab, kepolisian telah memiliki informasi ada kelompok yang tak setuju dengan acara itu. 

“Kalau untuk pembubaran itu tidak ada. Kalau pemberitahuan, mereka kalau akan melakukan kegiatan pasti ada pemberitahuan. Hanya pemberitahuan saja. Setiap pemberitahuan, karena namanya juga warga, kita kan selalu mendampingi, selalu kita pantau, gerakannya. Kalau pembubaran waktu itu, tidak ada. Tidak ada Pak, pembubaran ke situ tidak ada pembubaran, mereka itu mengecek izinnya saja. Maksudnya mereka, YPKP itu ada izinnya  tidak gitu lho Pak,” kata Kapolsek Kroya, AM Suryoprobo, Rabu malam.

Dalam siaran persnya  Ketua YPKP 65, Bedjo Untung,  persekusi meningkat   di kalangan korban pelanggaran HAM berat seperti tragedi 65. Persekusi juga menyasar bukan lagi kepada para korban kejahatan HAM masa lalu misalnya saat para korban melaksanakan kegiatan, lalu dibubarkan massa intoleran, melainkan juga terhadap petugas lembaga negara yang tengah melaksanakan tugasnya. 
Bedjo mencontohkan, peristiwa   yang dialami YPKP 65 di  di Cirebon Jawa Barat (26-27/7) dan Kroya Cilacap Jawa Tengah (21/8) lalu. Di kedua daerah ini terjadi serangan massa dalam jumlah signifikan, yang kemudian secara semena-mena membubarkan pertemuan antara korban 65 dengan petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK-RI). Massa selalu mengaitkan pertemuan  dengan kebangkitan PKI. Padahal pertemuan  diikuti korban penyintas 65 yang semuanya telah renta.
Editor: Rony Sitanggang
Sumber: KBR.ID

Persekusi Marak, YPKP Minta Pemerintah Lindungi Korban 1965

CNN Indonesia


Ketua YPKP 65 Bedjo Untung meminta pemerintah melindungi korbang tragedi 1965. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) meminta pemerintah melindungi korban tragedi 1965.

Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan, korban 1965 membutuhkan perlindungan karena maraknya tindakan persekusi yang diterima oleh korban 65.

"Intensitas tindakan persekusi massa ini seakan mendapatkan dukungan politik dan legitimasi pascapenetapan Perppu Nomor 2/2017," kata Bedjo di Kantor Komnas Perempuan, Selasa (30/8).

Kata Bedjo menuturkan tindakan persekusi tersebut, terkadang juga mendapat dukungan dari aparat negara.

Bedjo berpendapat, ada indikasi tindakan persekusi terhadap korban 65 tersebut dilakukan oleh kelompok orde baru.

Menurutnya kelompok orde baru tersebut memiliki kepentingan untuk membungkam para korban agar tidak menyampaikan kebenaran.

"Mereka menganggap korban 65 khusunya, YPKP 65 ingin membongkar kebohongan yang dilakukan di tahun 1965," ujarnya.

Kasus persekusi terbaru yang dialami oleh YPKP 65, kata Bedjo terjadi di Kroya, Jawa Tengah pada 21 Agustus dan di Cirebon, Jawa Barat pada 26-27 Agustus lalu.

Di Cilacap, terjadi pembubaran kegiatan yang dilakukan oleh korban 65 dengan tim assesment Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Menurutnya pembubaran tersebut dilakukan dengan alasan pertemuan tersebut dikaitkan dengan PKI, padahal tidak ada bukti kuat yang membenarkan hal tersebut.

"Itu naif sekali. Terlepas apapun alasannya, persekusi tidak bisa ditolerir, kecuali mau terjadi kehancuran demokrasi dan matinya supremasi hukum," tutur Bedjo.

YPKP 65 juga menyayangkan persekusi tersebut telah menyasar kepada lembaga negara, yaitu LPSK.

"Bagaimana mungkin tugas kenegaraan yang itu dilakukan oleh LPSK juga ditolak," katanya.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan belum mendapat informasi terkait kasus persekusi yang dialami oleh tim assesment LPSK di Cilacap.

"Saya belum tahu persisnya, saya cek dulu internal," ujarnya.

Edwin juga tidak mengetahui secara pasti adanya agenda kunjungan tim assesment LPSK ke Cilacap pada 21 Agustus lalu.

"Saya juga enggak tahu persis (agendanya) karena kegiatan kami cukup banyak," kata Edwin.
(ugo)

Sumber: CNN Indonesia

Rabu, 30 Agustus 2017

Kerap Diintimidasi Aparat, YPKP Minta Polri Lindungi Korban 65

Rabu, 30 Agus 2017 23:56 WIB | Dwi Reinjani

"Polisi justru menjadi alat untuk persekusi. Kenapa harus ada yang dikorbankan? Saya akan melaporkan kepada Kapolri dan kepada Menko Polhukam supaya semacam ini tidak terjadi lagi," kata Ketua YPKP 65



Ketua YPKP 65 Bedjo Untung. (Foto: KBR/Ninik Yuniati)

Jakarta - Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 meminta pemerintah khususnya Mabes Polri untuk menjaga dan melindungi hak para korban 65. 

Ketua YPKP 65 Bedjo Untung mengatakan saat ini banyak kasus persekusi atau perlakuan sewenang-wenang menimpa para korban 65, terutama intimindasi dari aparat negara khususnya intelijen dan militer. Persekusi terlihat dari berbagai upaya menghalang-halangi para korban menggelar pertemuan untuk memperjuangkan hak mereka.

Bedjo Untung mengatakan banyaknya peristiwa persekusi terhadap para korban 65 menandakan persekusi masih terus digunakan oleh berbagai pihak untuk menghambat proses penegakan dan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.

"Kami meminta negara melindungi setiap hak korban 65 saat melakukan rapat-rapat. Polri tidak boleh melindungi sejumlah warga negara saja. Ini penting. Sering kali polisi melihat karena ada massa banyak lalu tidak membela para korban. Tidak bisa begitu, polisi justru menjadi alat untuk persekusi. Kenapa harus ada yang dikorbankan? Saya akan melaporkan kepada Kapolri dan kepada Menko Polhukam supaya semacam ini tidak terjadi lagi," ujar Bedjo kepada KBR, di Jakarta, Rabu (30/8/2017).

Kasus terbaru terjadi ketika tim dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berencana mengadakan pertemuan dengan para korban 65 di Cilacap Jawa Tengah, pada Senin (21/8/2017) lalu. 

Pertemuan itu dimaksudkan untuk mendata para korban yang akan menerima layanan medis-psikososial. Namun, pertemuan batal karena tekanan dari aparat intelijen dengan alasan ada ancaman pembubaran dari sejumlah ormas termasuk FPI di Cilacap. Bahkan Ketua YPKP 65 Cilacap diceramahi diceramahi soal Pancasila. 

Ketua YPKP 65 Bedjo Untung juga meminta pemerintah bertindak tegas menertibkan aparat negara, khususnya militer yang selalu mengintimidasi para korban 65, sehingga terjadi kekerasan.

Bedjo mengatakan pola persekusi dengan mengeluarkan ancaman dan mendatangi setiap kegiatan YPKP di beberap lokasi ini sudah membuat resah dan tidak nyaman. Apalagi, rapat yang mereka lakukan hanya membahas persoalan hak pengobatan para korban 65 yang terabaikan. 

Di samping itu, panitia pertemuan juga sudah memberitahukan rencana kegiatan kepada aparat kepolisian. Sayangnya, petugas dan ormas tertentu justru menuduh perkumpulan YPKP itu bertentangan dengan Pancasila dan ingin menyebarkan paham komunis baru.

"Setelah meminta izin, pada Jumat 18 Agustus malam mereka di datangi petugas yang memberitahukan jika kegiatan tetap berlangsung maka akan ada FPI dan Banser yang mendatangi, walau mereka tidak akan menghalang-halangi," kata Bedjo.

Berdasarkan keterangan yang didapat oleh Bedjo dari Suwarni, ormas yang menggeruduk pertemuan itu melakukan pelecehan dengan merendahkan aktivis YPKP 65. Salah satunya dengan mempertanyakan strata pendidikan, dan substansi acara yang mereka anggap tidak murni untuk pelayanan medis-pisikososial. Kelompok yang mendatangi menuduh penyelenggara hendak menyebar paham terlarang komunisme.

Editor: Agus Luqman 

Sumber: KBR.ID

Sejak Peristiwa 1965, Lebih Dari 53.000 Orang Dihilangkan secara Paksa

AMBARANIE NADIA KEMALA MOVANITA | 30/08/2017, 19:55 WIB


Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras Putri Kanesia, dalam sebuah diskusi terkait penerapan kebijakan hukuman mati, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (26/2/2017).(KOMPAS.com/Kristian Erdianto)

JAKARTA - Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Putri Kanesia mengatakan, para keluarga korban masih menagih janji pemerintah untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa maayarakat sipil.

Berdasarkan data yang Putri himpun, setidaknya ada 53.450 korban penghilangan paksa yang hingga kini belum ditemukan.
"Dari peristiwa 1965, kita punya catatan 32.774 orang hilang. Itu datanya valid dari Komnas HAM," ujar Putri dalam diskusi di Jakarta, Rabu (30/8/2017).

Selain itu, dalam peristiwa Tanjung Priok pada 1984, sebanyak 23 orang dinyatakan hilang. Saat itu, terjadi kerusuhan besar-besaran dan terjadi bentrok 
masyarakat dengan aparat bersenjata.

Putri mengatakan, sebanyak 23 orang juga dinyatakan hilang oleh penembak misterius dalam kurun 1982-1985. Hingga kini, tidak terungkap siapa dalang di balik serangan tersebut.

Kontras, kata Putri, sempat mendampingi keluarga korban peristiwa di Talangsari pada 1989. Saat itu, sebanyak 88 orang dinyatakan hilang. Kontras juga melakukan investigasi dan menemukan sejumlah fakta terkait pihak-pihak yang patut bertanggungjawab.

Selain itu, banyak korban berjatuhan saat darurat militer di Aceh pada 1989-1998. Berdasatkan data koalisi NGO di Aceh, sebanyak 1.935 orang hilang sepanjang peristiwa itu.

"Di Timor Leste dari tahun 1975-1999 ada 18.600 orangbhilang berdasarkan data Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste," kata Putri.

Selanjutnya, ada peristiwa Wasior di mana lima orang hilang dan masih belum ditemukan hingga kini.

Yang terakhir ada kasus Dedek Khairudin, seorang nelayan yang hilang sejak dijemput oleh anggota Intel Korem 011 Lilawangsa, Sumatera Utara, di rumahnya. Kasus teraebut sudah dibawa ke pengadilan dengan menghukum dua pelakunya dengan penjara satu tahun dan 1,5 tahun.

"Tapi orangnya masih hillang sampai sekarang. Walau ditahan tapi tetap tidak bisa menemukan yang masih hilang," kata Putri.

Putri mengatakan, Kontras dan IKOHI pernah mengadukan dugaan keterlibatan militer di balik peristiwa-peristiwa penghilangan paksa itu ke Ombudsman.

Kemudian, keluarlah rekomendasi yang diserahkan kepada presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, tak ada respon dari istana.

DPR saat itu juga membentuk pansus yang mengeluarkan rekomendasi agar ditindaklanjuti pemerintah. Namun, hingga era pemerintahan berganti, belum juga dibentuk tim pencarian orang hilang.

"Kalau pemerintah kita tidak serius menyelesaikan kasus penghilangan paksa, kasus serupa akan terus terjadi," kata Putri.

PenulisAmbaranie Nadia Kemala Movanita
EditorSabrina Asril
Sumber: Kompas.Com 

Pertemuan LPSK-Korban 65 di Cilacap Dibubarkan Ormas Keagamaan

Rabu, 30 Agus 2017 17:51 WIB | Muhamad Ridlo Susanto


Ilustrasi aksi menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM 1965. (Foto: komnasham.go.id)

"Sebenarnya acara intinya adalah pendataan korban 65 yang mendapatkan layanan medis dan psikososial gratis yang difasilitasi LPSK itu. Tapi kemarin itu muncul tuduhan kebangkitan PKI."

Cilacap – Rencana pertemuan antara korban peristiwa 1965 dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) gagal digelar karena mendapat ancaman dari sejumlah ormas. 

Pertemuan itu sedianya digelar di salah satu rumah korban peristiwa 1965 di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada Senin (21/8/2017). Pertemuan diselenggarakan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966.

Juru bicara YPKP 65, Aris Pandji menceritakan tim LPSK semula berencana mengadakan pertemuan dengan korban 1965, seperti yang sebelumnya dilakukan di Desa Ayam Alas. Tim LPSK melaksanakan agenda verifikasi data korban 1965 yang akan menerima layanan medis-psikososial.

Namun, kata Aris Pandji, YPKP mendapat peringatan dari petugas kecamatan dan intel polisi bahwa akan ada ancaman dari ormas kalau acara tetap digelar.

Aris Pandji menjelaskan acara itu kemudian dialihkan menjadi pertemuan biasa antara tim LPSK dengan beberapa korban 1965 yang memang rumahnya tak terlampau jauh dari lokasi pertemuan. Saat itu, ada 12 orang korban 1965 dari Desa Karang Wangkal, Karang Sembung, Ayam Alas, Pakuncen, dan Desa Kroya.

Ketika pertemuan hendak digelar pada Senin (21/8/2017) sekitar pukul 10.30 WIB, tiba-tiba datang puluhan orang dengan berbagai atribut keagamaan. Mereka menggeruduk lokasi pertemuan dan meminta agar pertemuan itu dibubarkan. Padahal, kata Aris, agenda itu adalah agenda resmi LPSK yang merupakan lembaga resmi pemerintah.

Meski sudah dijelaskan, kata Aris, massa tetap tidak menerima dan bahkan menceramahi Ketua YPKP 65, Bedjo Untung soal indoktrinisasi Pancasila.

Lantaran khawatir terjadi kekerasan, tim LPSK dan YPKP 65 lantas membubarkan diri. Aris Pandji sempat khawatir insiden ini membuat keamanan para korban 65 di Cilacap terancam.

"Sebenarnya acara intinya adalah pendataan korban 65 yang mendapatkan layanan medis dan psikososial gratis yang difasilitasi LPSK itu. Seperti YPKP Cilacap itu memfasilitasi agar korban 65 di Cilacap bertemu langsung dengan tim LPSK. Tapi kemarin itu muncul tuduhan kebangkitan PKI," kata Aris Pandji, Rabu (30/8/2017).

Aris menceritakan meski suasana memanas, tidak ada insiden keributan atau pengrusakan. Saat itu, Ketua YPKP 65 Cilacap berusaha menjelaskan bahwa YPKP 65 tidak anti-Pancasila dan bahkan menunjukkan legalitas YPKP 65 sebagai sebuah institusi yang telah berbadan hukum. Namun, perwakilan massa tetap bersikukuh agar acara itu bubar.

Aris menambahkan sebelum menggelar acara pertemuan itu, YPKP 65 telah menyampaikan surat pemberitahuan berkaitan dengan rencana pertemuan dan kedatangan Tim Assesment LPSK ke Cilacap kepada Kepolisian, Koramil dan pihak Kecamatan pada 17 Agustus 2017 lalu.

Pada 18 Agustus 2017, tiga orang petugas kecamatan mendatangi lokasi dan memberitahukan bahwa acara itu telah diketahui ormas dan akan diububarkan. Petugas kecamatan menyarankan agar acara itu dibatalkan. 

Ny Suwarti, pemilik rumah yang akan dijadikan lokasi pertemuan juga didatangi intel kepolisian dengan permintaan yang sama, agar acara itu batal digelar.

Aris amat menyayangkan tindakan persekusi yang kini ternyata telah menyasar petugas lembaga resmi negara, seperti LPSK.

Juru bicara YPKP 65, Aris Pandji mengatakan pihaknya baru mau memberikan keterangan karena menunggu agar suasana kondusif. Itu sebab, YPKP 65 baru memberikan keterangan saat ini meski kejadian itu terjadi pada 21 Agustus lalu. 

Editor: Agus Luqman 


Sumber: KBR.ID


Press-Release | Hentikan Persekusi Terhadap Korban 65

Pernyataan Pers :
No.300817/YPKP65/2017

Hentikan Persekusi Terhadap Korban 65

KETERANGAN PERS: Bedjo Untung (kiri), Mariana Aminudin (tengah), Eddy Sugiyanto (kanan) tengah memberikan keterangan pers di Kantor Komnas Perempuan, Menteng Jakarta (30/8). Jumpa pers ini digelar untuk menyikapi maraknya tindakan persekusi terhadap para korban kejahatan HAM 1965-66 di berbagai daerah [Foto: Ipoet]

Meningkatnya tindakan persekusi massa akhir-akhir ini sudah tak bisa ditoleransi lagi, terutama yang terjadi di kalangan korban pelanggaran HAM yang berat seperti tragedi 65. Persekusi juga menyasar bukan lagi kepada para korban kejahatan HAM masa lalu misalnya saat para korban melaksanakan kegiatan, lalu dibubarkan massa intoleran; melainkan juga terhadap petugas lembaga negara yang tengah melaksanakan tugasnya.

Intensitas tindakan persekusi massa ini seakan mendapatkan dukungan politik dan legitimasi paska penetapan Perppu No.2/2017. Selain itu juga karena terhadap tindakan persekusi massa yang cenderung merupakan tindakan main hakim sendiri dan berdalih pada argumen (baca: tafsir) sepihak yang tak bisa dipertanggungjawabkan, juga karena nihilnya tindakan hukum yang tegas terhadap aksi persekusi dari massa intoleran. Bahkan, karena ada pembiaran pada kasus tertentu ini berimplikasi seakan mendapat dukungan aparat negara dan/atau pemerintah.

Contoh paling konkret (selain kasus-kasus lain) adalah apa yang dialami YPKP 65 di beberapa daerah, seperti di Cirebon Jawa Barat (26-27/7) dan Kroya Cilacap Jawa Tengah (21/8) lalu.

Di kedua daerah ini terjadi serangan massa dalam jumlah signifikan (dibanding jumlah korban yang ngumpul) yang kemudian secara semena-mena membubarkan pertemuan antara korban 65 dengan petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK-RI). Naifnya, bahwa pertemuan seperti ini selalu dikaitkan dengan kebangkitan PKI yang gambarannya saja sudah jauh dari kepala para korban penyintas 65 yang semuanya telah renta.

Demikian pula yang terjadi saat digelar pemutaran film dokumenter “Istirahatlah Kata-Kata” di Pemalang (6/8). Lepas dari alasan apa pun yang melatarbelakangi serbuan gerombolan massa ini, tindakan persekusi demikian sudah tak bisa ditolerir lagi untuk masa selanjutnya; kecuali jika kita semua menghendaki kehancuran demokrasi dan matinya supremasi hukum di Indonesia.


Persekusi Menyasar Petugas Negara

Persekusi juga menyasar kepada petugas lembaga negara yang tengah melaksanakan tugasnya. Yang terjadi di Kroya Cilacap (21/8) baru-baru ini adalah bahwa tindakan persekusi juga telah menyasar petugas LPSK (baca: aparat negara) yang tengah menjalankan tugas sesuai amanat UU No.13/2006 dan UU No.31/2014. Pertemuan korban 65 Cilacap dengan Tim LPSK dalam rangka assesment penerima manfaat layanan medis psikososial LPSK; digeruduk, dilarang dan berakhir dibubarkan massa.

Insinden serupa terjadi di Cirebon (26-27/7) dimana pada persekusi ini bukan hanya korban/penyintas 65 yang dipersalahkan; petugas LPSK juga dipandang sebelah mata dan mendapat perlakuan tanpa ada kehormatan sedikit pun pada tugas kemanusiaan yang tengah diembannya.

Dalih yang memicu tindakan persekusi massa ini, menurut anggapan para penyerang (YPKP 65 menyimpan rekaman suara) itu, tak lain adalah bahwa pertemuan-pertemuan korban/penyintas 65 di daerah-daerah adalah bagian dari suatu kebangkitan PKI. Secara lebih spesifik bahkan menuduh perkumpulan penyintas dan organ YPKP 65 sebagai lembaga yang anti-Panca Sila.

Sungguh ini merupakan dalih konyol yang bukan saja tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, melainkan semata-mata suatu fitnah keji yang tak bisa dibiarkan lagi.   


Persekusi Terorganisir

YPKP 65 mencermati dan mensinyalir adanya semacam pola yang sengaja diskenariokan guna mendorong massa agar tergerak melakukan tindakan persekusi, yang pada gilirannya pola itu dapat diaplikasikan dimana saja dan kapan pun saatnya. Faktanya, sejak jauh hari persekusi seperti ini juga terjadi di Cianjur, Pekalongan, Pati, Yogyakarta, Malang dan daerah-daerah lainnya. Termasuk di wilayah ibukota sendiri (1/8) di Klender.

Sinyalement adanya pola persekusi seperti ini sungguh bakal mengancam iklim demokrasi, supremasi sipil, penegakan hukum, penghormatan HAM serta membawa implikasi lebih jauh berupa penjegalan terhadap upaya penuntasan semua kasus-kasus kejahatan HAM berat masa lalu yang pada kenyataannya mengalami kemandekan dan jalan buntu hari ini.

Dan oleh karenanya, YPKP 65 menyatakan hal-hal berikut:

1.    Mendesak Pemerintah c.q Kepolisian RI agar menjaga dan melindungi para korban/penyintas 65 serta berani mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk persekusi oleh massa intoleran;
2.    Mengambil tindakan tegas dan melakukan upaya-upaya nyata guna “menertibkan” aparat negara, termasuk petugas intel khususnya militer yang mengintimidasi para korban/penyintas 65 di berbagai daerah sehingga tak mengulang-ulang kekerasan yang serupa.

Demikian pernyataan ini dibuat, menyikapi maraknya tindak persekusi massa terhadap korban 65 dan rakyat pada umumnya.

Jakarta, 30 Agustus 2017

Bedjo Untung

YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966 (YPKP 65)
Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007
Berita Negara RI Tanggal  5 Juni 2007 No.45
Alamat: Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia No. 21 Kp. Warung Mangga,
Panunggangan Kecamatan Pinang, Tangerang 15143, Banten,  Indonesia
Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-53121770 | E-mail
ypkp_1965@yahoo.com | website: http://www.ypkp1965.org

Pindah Agama Karena Tragedi 1965

Reporter: Husein Abdulsalam | 30 Agustus, 2017

Kalender Sunda pada acara "Hajat Puseur Dayeuh" dalam pergantian Tahun Baru Sunda (Pabaru Sunda) 1 Suklapaksa Kartika 1954 Caka Sunda, Gedung PLN Sumur Bandung, Jawa Barat, Senin (28/1). ANTARA FOTO/Agus Bebeng.
Diskriminasi para penghayat kepercayaan atau pemeluk agama lokal berakar pada tragedi berdarah 1965.

tirto.id - Suara Dewi Kanti terdengar lirih. Kepada Tirto ia berkata: “Ketika ada yang konsisten terhadap pilihan Sunda Wiwitan, ada banyak konsekuensi yang berpotensi berakhir kematian keperdataan, seperti (tidak punya) akte kelahiran dan akte pernikahan. Ini, kan, menyangkut hak-hak sipil, ekonomi, dan budaya.” 
Dewi merupakan warga Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, yang menganut agama Sunda Wiwitan. Tidak diakuinya aliran kepercayaan atau agama lokal, termasuk Sunda Wiwitan, sebagai agama resmi di Indonesia menyebabkan kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) para pemeluknya diisi tanda strip. Hal ini mendatangkan berbagai kesulitan, mulai mengurus akta kelahiran anak, mendaftarkan anak sekolah, sampai memakamkan jenazah di tempat pemakaman umum.

Menurut Dewi, hal tersebut menjadi salah satu faktor sebagian penganut Sunda Wiwitan beralih memeluk salah satu dari enam agama resmi yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Dengan beralih, berbagai urusan administratif yang rumit dan berbelit-belit bisa diselesaikan.

“Sekarang jarang yang masih berpikir untuk konsisten. Karena tekanan politik identitas, membuat segala ruang hidupnya terbatas,” ujar cicit Pangeran Madrais, penyebar ajaran Sunda Wiwitan Cigugur, tersebut. 

Ketika Kristen Menjadi Pilihan

Beralihnya para penganut kepercayaan menjadi pemeluk agama resmi sudah dimulai sejak 1960-an. Gavin W. Jones, dalam Religion and Education in Indonesia, menyatakan pemeluk Kristen di Hindia Belanda pada 1900 berjumlah 1% penduduk. Sementara pada 1933 jumlahnya meningkat setidaknya menjadi 2,8%. Sedangkan pada 1971, umat Kristen di Indonesia mencapai 7,4%. Peningkatan jumlah penganut Kristen berlangsung di kawasan yang sebelumnya, pada 1930an, masih banyak dihuni penganut kepercayaan.

Sulitnya mendapat data-data soal pertumbuhan penduduk Muslim membuat Jones memfokuskan kajiannya ke umat Kristen di Indonesia. 


Jones membandingkan angka pertumbuhan penduduk Indonesia dengan jumlah umat Kristen di Indonesia. Hasilnya, secara umum, pada interval 1933-1971, penduduk Indonesia bertambah sebanyak 1,9 kali sementara penduduk beragama Kristen di setiap daerah meningkat sebanyak 4,9 kali.

Di Jawa Barat (pada waktu sensus Provinsi Banten dan Jakarta dihitung masuk ke Jawa Barat), misalnya, pada 1933 ada sebanyak 34.600 penduduk Kristen. Sedangkan pada 1971 jumlah tersebut bertambah 17,8 kali lipat menjadi 614.600 orang.

Pertumbuhan pesat umat Kristen terjadi di Kalimantan Tengah dan Timur. Pada 1971 ada 239.300 penduduk beragama Kristen. Padahal pada 1931 tercatat hanya ada 7.200 orang memeluk agama Kristen. 

Dari mana limpahan angka itu berasal? Kata Jones: “Pengkristenan para pemeluk agama tradisional pribumi.”

Meskipun angkanya tidak sama persis, riset serupa juga ditulis oleh Jerson Benia Narciso dalam Christianization In New Order Indonesia (1965-1998): Discourses, Debates And Negotiations. Narciso mencatat, populasi umat Katolik di Indonesia selama 1966-1967 meningkat sebanyak 7,45%. Terdapat laporan yang mengatakan jumlah orang yang menunggu dibaptis secara Katolik setelah 1965 di Jawa Tengah jumlahnya melebihi umat Katolik yang ada di Indonesia pada waktu itu.

Pertumbuhan umat Kristen juga dapat dilihat dari naiknya jumlah anggota gereja. Anggota Gereja Baptis Indonesia meningkat dari 1.317 pada 1960 menjadi 3.391 pada 1965. Sementara dari Juli sampai Agustus 1966, Gereja Kristen Jawa Timur membaptis sekitar 10.000 orang. Di Sumatera Utara, Gereja Protestan Batak Karo membaptis lebih dari 26.000 orang antara 1966 hingga 1967.

Dalam Defining ‘religious’ in Indonesia: toward neither an Islamic nor a secular stateMyengkyo Seo menjelaskan situasi politik yang terjadi pada waktu itu yang kemudian berakibat pada kehidupan beragama di Indonesia.



"Agama Menjadi Garis Pemisah"

Pada 1965, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden yang membatasi negara hanya mengakui 6 agama saja, yakni Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu. Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama diterbitkan Sukarno untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan. Mereka menganggap aliran kepercayaan bisa menodai agama yang ada di Indonesia. Ketetapan Sukarno tersebut disarikan menjadi pasal 156a KUHP.  

Merujuk laporan Human Rights Watch berjudul "Atas Nama Agama" yang diterbitkan pada Februari 2013, pada awal dekade 1960-an kalangan konservatif muslim menganjurkan pemerintahan Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme, termasuk kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan yang dianggap menodai Islam. 

Kemudian pada 27 Januari 1965, Sukarno sepaham dengan kalangan muslim konservatif tersebut, menganggap hampir di seluruh Indonesia timbul aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Maka Sukarno menerbitkan Ketetapan No.1/PNPS/1965.

Di tahun itu pula terjadi peristiwa G-30-S yang kemudian Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh berada di belakangnya. Sejak itu, para anggota PKI beserta simpatisannya pun diburu dan dibunuh oleh aparat negara dan laskar-laskar sipil.

Setelah Sukarno lengser pada 1967, Soeharto menganggap agama adalah benteng yang bisa menghalangi kembalinya komunisme. Rezim Orde Baru mengharuskan semua warga negara untuk menyatakan kepercayaan mereka kepada salah satu agama yang diakui negara. Pemerintah memang menekankan kebebasan beragama, tapi kebebasan semacam itu tidak termasuk hak untuk tidak percaya pada agama. 

 
Sementara itu, secara implisit agama juga kerap dijadikan parameter kemodernan suatu bangsa. Anggota masyarakat kerap dikatakan terbelakang dan tidak sesuai dengan visi nasional karena tidak/belum memiliki agama (resmi yang diakui Pemerintah).

“Agama menjadi garis pemisah yang memisahkan massa petani dan penduduk perkotaan. Orang yang tidak memiliki agama yang diakui secara resmi disebut dalam bahasa Indonesia sebagai 'orang yang belum beragama'. Kata 'belum' menandakan peralihan ke agama resmi tidak dapat dihindari,” tulis Jane Monnig Atkinson dalam Religions In Dialogue: The Construction Of An Indonesian Minority Religion.

Beralih ke agama resmi yang diakui pemerintah juga dilakukan para penganut Sunda Wiwitan guna bertahan hidup selama masa ketegangan politik pasca 1965. Dewi menyebutkan berdasarkan catatan para pengurus adat, ada sekitar 10 ribu penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat yang beralih memeluk Kristen atau Katolik setelah 1965.

“Perubahan beberapa warga adat memilih agama-agama itu adalah strategi untuk survive. Terutama untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur, korban pada 65 itu cukup banyak karena politik identitas. Tapi di daerah kami cenderung dapat ditekan dari segi korban jiwa,” ujar Dewi.

Menuruti Dewi, meskipun penganut Sunda Wiwitan berkurang, tetapi keputusan tersebut tepat diambil oleh leluhur guna menyelamatkan kehidupan dan nyawa manusia, khususnya masyarakat yang masih berpegang kepada tradisi.

“Ada istilah 'berteduh sementara', yakni spirit dari leluhur bahwa ketika mendapat ujian alam maka manusia sebagai makhluk yang berpikir harus menyelamatkan diri,” ujar Dewi.

Pindah agama karena tekanan politik juga pernah diungkapkan Avery Willis, Jr., yang pada 1964 bekerja sebagai misionaris Gereja Baptis di Bogor, Jawa Barat, dan Jember, Jawa Timur. Dalam Indonesian Revival: Why Two Million Came to Christ, Willis menelusuri alasan orang berpindah agama menjadi Kristen yang saat itu terjadi amat masif di Indonesia.

Willis mencatat pada 1945 anggota jemaat di lima denominasi Protestan di Jawa hanya sebanyak 60.000. Sepuluh tahun kemudian jumlah jemaat naik menjadi 90.000 orang dan pada 1960 ada 95.000 jemaat. Uniknya, terjadi kenaikan drastis pada 1965. Jumlah jemaat tercatat menjadi 200.000 orang. Dari 551 responden yang diwawancarai Willis, ada 270 orang di antaranya yang berpindah agama. 
 
Willis mengemukakan orang yang beralih keyakinan ke Kristen tersebut secara kebanyakan berasal dari komunitas abangan yang kerap diidentifikasi dekat dengan kelompok kiri. Respondennya menyebutkan, sebagai abangan mereka sering dituduh tidak memiliki agama, dan hal tersebut berisiko: mereka gampang dilabeli komunis. Mereka juga menyebut peran para aktivis Islam di dalam pembantaian 1965-1966 sebagai alasan berpaling dari status sebagai penganut "Islam nominal" – sekarang setara dengan istilah "Islam KTP".

Menurut hasil wawancara Willis, bantuan yang diulurkan gereja Kristen bagi keluarga yang anggotanya dibunuh atau ditangkap juga membuat mereka semakin tertarik bergabung. Willis meyakini bahwa keterbukaan Gereja yang lebih besar terhadap budaya-budaya lokal menjadikan agama Kristen sebagai alternatif yang menarik. Gereja pun kewalahan menghadapi meluapnya jumlah jemaat.

“Para pastor mendapati bahwa mereka tidak mungkin dapat melayani semua yang datang untuk meminta nasihat rohani, sehingga mereka berpaling kepada para tetua dan para pemimpin gereja yang lain untuk memperoleh bantuan,” tulis Willis. 

(tirto.id - hsa/zen)
Sumber: Tirto.Id