Kamis, 10 Agustus 2017

Menyoal Keberadaan Hantu Komunis di Mata Kelompok Nganu


Dylan Aprialdo – Jurnalis 

Fitur rectoverso uang baru yang sempat dipersoalkan oleh ormas tertentu | Sumber: waktuku.com

Sudah cukup lama masih ada masyarakat Indonesia yang sangat ketakutan sekali terhadap berbagai hal yang berbau komunis khususnya PKI.

Ketakutan itu diwujudkan ke dalam sebuah aksi intimidasi terhadap mereka-mereka yang dianggap "mencoba" membangkitkan komunis di Indonesia.
Masih ingat saat belasan orang membubarkan paksa acara Lady Fast yang pada dasarnya bertujuan untuk membangkitkan kesadaran generasi muda akan propaganda keji Orde Baru?

Masih ingat acara bedah film Senyap di sebuah kampus ternama di Yogyakarta dan Malang juga dibubarkan paksa karena khawatir kampus akan menjadi gudang baru bangkitnya pemikiran Kiri?

Mereka membubarkan paksa sembari mengungkapkan makian atau tuduhan merusak moral bangsa dan membangkitkan komunis. Itu menjadi salah satu peristiwa yang menunjukkan bahwa masih ada orang-orang yang berpikiran "bicara soal komunis atau PKI sama saja berusaha mendirikan kembali keduanya."

Saat ini, ada beberapa pihak yang paranoid terhadap dugaan bangkitnya PKI di Indonesia, saking paranoidnya mereka menggunakan cocoklogi (sebuah ilmu dagelan kekinian yang bisa dipelajari siapa saja) untuk mengemukakan bahwa mulai begitu banyak simbol-simbol "komunis" bertebaran di mana-mana.

Mereka anggap rectoverso logo BI di uang baru Indonesia memuat simbol palu arit, mereka anggap mozaik arsitektur di Hotel Alexis seperti huruf P, K dan I, hingga mereka pun memercayai sebuah buku kontroversial karya Bambang Tri bahwa Presiden Joko Widodo sebagai keturunan PKI dianggap benar.

Semua contoh tersebut bisa dikatakan sebuah ketakutan yang tidak berdasar melainkan hanya halusinasi dan delusi. Bentuk pola pikir sesat dan basi yang sepatutnya harus dienyahkan karena mencuatnya isu-isu seperti ini selalu terulang dalam momen-momen tertentu, seperti Pilkada dan Pilpres. 

Mereka yang bergerak membangkitkan perlawanan mengklaim atas nama "umat Islam melawan komunisme atheis (padahal tidak semua atheis komunis dan tidak semua komunis itu atheis)" mencoba menyeruduk mengganggu kekuasaan sah Joko Widodo yang dijadikan sasaran "tembak" serta menimbulkan ketidakstabilan situasi keamanan dalam negeri.

Padahal di sisi lain ancaman radikalisme oleh mereka yang berusaha mengganti Pancasila dengan paham lain, menjadikan NKRI sebagai negara jenis lain seperti yang digerakkan oleh ISIS dan kelompok aliran sejenis (you know who) jauh lebih nyata bagi Indonesia, ketimbang mencari kembali hantu bernama Komunis.

Berbicara kemunculan komunisme pada awalnya merupakan sebuah paham yang dicetuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam der Manifest Kommunistichen sebuah manifesto politik yang berisi teori analitis diperlukannya pendekatan komunis untuk perjuangan kelas dan kemakmuran ekonomi, sekaligus paham untuk mengoreksi dan atau melawan kapitalisme. Komunisme pada waktu itu condong murni sebagai pandangan ekonomi ketimbang ideologi sebuah negara. 

Komunisme merupakan paham yang menolak kepemilikan barang pribadi dan beranggapan bahwa semua alat produksi menjadi milik bersama.

Hal tersebut dilakukan agar tidak ada hirarki buruh-pemilik modal karena sistem kapitalis cenderung mengeksploitasi manusia. Komunisme memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap rakyat miskin, yang disebut sebagai proletar.

Hal itu menjadikan PKI pada masanya mampu menjadi partai terbesar ketiga di Indonesia dan bisa berdampingan dengan Nasionalisme dan Agama yang menciptakan konsep politik Nasakom di era Soekarno. Rakyat Indonesia yang mayoritas adalah rakyat miskin di negara yang baru lepas dari penjajahan mendukungnya.

Padahal terdapat dua tokoh besar pada masa lampau yang beragama (Islam loh) namun berhaluan Kiri yakni Tan Malaka dan Haji Misbach, Tan Malaka merupakan seorang muslim saleh yang juga anggota Partai Sarekat Islam, dan sebagian anggota partai ini berpaham komunis, termasuk juga Semaun dan Tan Malaka, karena itu kelompok mereka biasa disebut Sarekat Islam Merah.

Tan Malaka pun juga muslim yang taat melakukan sholat lima waktu, membaca al-qur’an hampir tiap hari, mengingat masa kecilnya yang dihabiskan di pesantren dan ia asli Minagkabau yang secara tradisi adalah penganut islam yang taat. 

Haji Misbach pun juga begitu, seorang kyai dari Surakarta, juragan batik  yang menguasai ilmu tafsir alqur’an dan kitab-kitab kuning. Baginya, islam dan komunis bisa dianut bersamaan oleh satu orang. 

Misbach juga beranggapan bahwa keberadaan Islam sebagai agama di dalam kehidupannya sudah seharusnya memerdekakan dirinya dan masyarakat tertindas lainnya, sehingga gerakan Komunis yang dipilihnya sebagai suatu jalan untuk melakukan pembebasan  sebagai seorang yang beragama sekaligus bertuhan.

Anggapan ateis terhadap orang-orang yang berhaluan Kiri tadi tidak lepas dari propaganda rezim Orde Baru. Doktrin ketakutan terhadap simbol-simbol komunis secara kuat disiarkan oleh rezim Orde Baru melalui berbagai macam saluran seperti pelajaran sekolah, film, cerita sastra dan saluran kultural lainnya sebagai sesuatu yang dianggap tabu dan terlarang. 

Tidak ada upaya kuat dari masyarakat Indonesia selain dari generasi muda kini untuk memahami persepsi dan konteks sejarah doktrin tersebut yang sebenarnya sudah usang dan berisi kebohongan. 

Di sisi lain juga terdapat sikap gegabah kelompok nganu dalam menafsirkan sebuah frase kalimat yang seringkali dikaitkan dengan komunis berbunyi "Agama adalah candu" dengan tidak memahami konteks sejarah terhadap kemunculan kalimat tersebut. 

Seorang Dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia (12/5/2016) mengatakan bahwa ketakutan terhadap simbol-simbol komunis khususnya palu arit merupakan sebuah ketakutan yang datang dari banyak ketidaktahuan. 

Mereka yang paranoid terjebak dalam sikap anti-intelektualis dan betah dalam pengetahuan dan pemahaman yang lama dengan selubung ketidaktahun akut. 

Secara ideologi dan struktur, komunisme di Indonesia sudah tidak ada. Kehebohan yang ngotot digembar-gemborkan oleh kelompok nganu belakangan ini merupakan bentuk kekhawatiran yang tidak
perlu tapi dipaksakan perlu sehingga terkesan njlimet dan absurd.

Karena ada solusi lain dengan memberikan pemahaman yang kontekstual (dengan tidak mencekoki atau memaksakan) terhadap sesama mengenai komunisme dan mengapa paham tersebut tidak pas dan tidak relevan dengan Pancasila. 

Lagipula, jika melihat di sisi lain, jika ikutan paranoid dan mengecam pembahasan soal komunis justru diri sendiri ikut melanggengkan aksi-aksi intimidasi tentang literasi pemahaman Kiri, mempertahankan doktrin lama.
Bisa juga melanggengkan dukungan kepada sejumlah kelompok yang sengaja menggoreng kembali isu ini untuk kepentingan tertentu.  

Saya teringat dengan ucapan seorang pimpinan lembaga negara pada saat saya bertugas menjadi reporter, yang intinya jangan suka ikut-ikutan gila, ikut-ikutan menciptakan fitnah, ikut-ikutan menciptakan intrik, ikut-ikutan menciptakan situasi tidak nyaman, dan ikut-ikutan lainnya.

Begitu pula dengan pernyataan Goenawan Mohammad melalui cuitannya, "Komunisme sudah gugur di Rusia, berubah di RRT, jadi gila di Korea. Yang anggap PKI ancaman hanya berdusta."

Coba tanyakan saja kepada mereka yang paranoid teriak komunis mulai bangkit dari kubur, apakah mereka memahami secara utuh soal apa itu komunisme? 

Ya Allah, jangan sampai juru hoax dan penyebar fitnah berkuasa di negeri ini supaya negara tidak begini begitu. Aaamiin!

0 komentar:

Posting Komentar