HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 19 Februari 2009

Krisis Nasional dan Masa Peralihan di Aceh (1965-1967)

Oleh: Rusdi Sufi
19 Februari 2009

I

Tanggal 16 September 1963, Pengadilan Negeri Sigli (ibukota Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) yang dipimpin oleh hakim Chudari, menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas Thaib Adamy, wakil sekretaris pertama Komite Partai Komunis Indonesia (PKI) Aceh. Thaib Adamy juga sebagai anggota yang mewakili PKI di DPRD-GR Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu.

Hukuman dijatuhkan berdasarkan tuduhan bahwa Thaib Adamy dalam pidatonya pada rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Gedung Bioskop Purnama Sigli, terbukti telah melakukan kesalahan, yaitu menyiarkan kabar bohong dan menghasut rakyat. Tindakan ini dinilai dapat menimbulkan keonaran dan sekaligus menghina aparat pemerintah.

Adapun undang-undang yang dipakai sebagai landasan hukum yang dipergunakan hakim untuk memutuskan perkara ialah pasal-pasal 14-15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan pasal-pasal 154-160 KUHP, sesuai dengan tuntutan jaksa tinggi pengganti, Muhammad Hasan Basri, SH. 

Peristiwa itulah merupakan dari awal malapetaka PKI dan orang-orangnya di Aceh dan terjadi justru pada waktu PKI sedang berada di puncak kejayaannya. Di saat kehidupan berserikat atau berpolitik dengan memakai cara-cara radikal atau revolusioner yang mengejawantahkan diri misalnya, dalam pengerahan massa, pidato atau rapat umum yang disertai yel-yel revolusioner, serta debat dalam badan perwakilan seperti yang lazim digunakan PKI pada waktu itu.

Dua tahun sebelum terjadinya gerakan yang terkenal dengan G. 30 S PKI tahun 1965 yang konon digerakkan oleh PKI, salah seorang tokoh PKI Aceh Thaib Adamy, telah memulai aksinya di daerah ini. Semenjak tahun 1963 sebagai oratornya PKI ia melakukan penggalangan massa melalui rapat-rapat umum pada beberapa ibukota Kabupaten di Aceh. Dalam setiap rapat umum ini Thaib Adamy melakukan semacam kampanye dengan menjelek-jelekkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah pada waktu itu. Setelah peristiwa G 30 S terjadi dan kemudian diketahui bahwa dalang dari peristiwa tersebut adalah PKI, maka rakyat dan pemerintah di Aceh baru menyadari bahwa pidato-pidato yang dilakukan oleh Thaib Adamy tersebut merupakan rangkaian pra G 30 S yang telah membawa korban banyak jiwa manusia.

Sebagaimana disebutkan di atas pada 3 Maret 1963, Thaib Adamy berpidato di Sigli Kabupaten Pidie. Karena pidatonya ini dianggap sangat berbahaya bagi keselamatan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka atas perintah Panglima Kodam I Iskandar Muda yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel M. Yasin selaku Pedarmilda (Penguasa Daerah Militer Daerah Aceh) Thaib Adamy ditangkap. Penangkapan ini dilakukan pada tanggal 29 Maret 1963, berdasarkan laporan Mayor Abdullah Hanafiah selaku Dandim 0102 Sigli pada waktu itu.

Sidang-sidang Pengadilan Negeri Sigli yang mengadili terdakwa Thaib Adamy pada waktu itu berlangsung di aula Kodim 0102 yang dihadiri serta mendapat perhatian dari rakyat yang antikomunis. Di samping itu, hadir pula simpatian PKI yang dikerahkan oleh organisasi tersebut untuk memberikan semangat bagi terdakwa dengan sorak dan tepuk tangan dicelah-celah pidato terdakwa dengan pengawalan ketat ABRI. Menurut buku Atjeh Mendakwa disebutkan bahwa setiap sidang dihadiri oleh 5.000-10.000 pengunjung. Patut diketahui bahwa partai komunis ini agak berkembang di Kecamatan Samalanga, Aceh Utara karena di daerah kecamatan ini pada tahun-tahun 1930-an merupakan daerah gerakan Sarikat Islam yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis. Tidak heran bila sewaktu sidang pengadilan Thaib Adamy diadakan sejak bulan Maret 1963 di Sigli, berduyun-duyun orang komunis dan simpatisannya berdatangan dari Samalanga untuk memberikan support kepada Thaib Adamy.

Perkara Thaib Adamy oleh PKI dianggap suatu proses terhadap diri Thaib Adamy juga adalah proses terhadap PKI, proses terhadap rakyat. “Ini juga merupakan tantangan terhadap ofensip Manipol”, demikian dikatakan Muhammad Samidikin, sekretaris pertama Comite PKI Aceh/anggota CC PKI pada waktu itu. Selanjutnya Muhammad Samidikin berkata bahwa walaupun ini terjadi di Aceh, tetapi mempunyai arti nasional yang penting dan merupakan suatu perkara politik revolusioner yang besar setelah SOB dihapuskan.

Dari enam kali sidang di mana Thaib Adamy berhadapan dengan hakim tunggal Chudari ia membela dirinya sendiri dengan pidato pembelaan tanggal 12 September 1963 yang diberi nama “Atjeh Mendakwa”. Secara yuridis ia dibela kawan dekatnya Syahrial Sandan dan Sofyan, S.H. dengan menghadirkan dua orang saksi pendukung, masing-masing Hasyim M.H. dan T.A. Rahman yang memberatkan terdakwa diajukan jaksa penuntut umum masing-masing Ibrahim Abduh (Bupati KDH Tingkat II Pidie), Mahyuddin Hasyim (wakil ketua DPR-GR Tingkat II Pidie), T. Ibrahim Hussien (Kabag Politik), A.R. Ibrahim (peninjau politik pada kantor Bupati Pidie) dan M. Hasan Yusuf dari Front Nasional/anggota BPH.

Beberapa catatan dari pidato Thaib Adamy pada waktu itu mengumpamakan negara Republik Indonesia sebagai suatu negara “antah berantah” yang dirangkumnya dalam suatu sajak. Ia menyebutnya Sajak Rakyat Aceh Zaman Dahulu Kala. Petikannya sebagai berikut,

Tajak bak geusyik lagee boh pik hana sagoe
Tajak bak bak mukim lagee bieng hana rampagou
Tajak bak aswed lagee langet hana urou
Tajak bak wedana lagee tima hana taloe
Tajak bak bupati lagee jeungki hana sujou
Tajak bak pulisi lagee keudidi keunong talou
Tajak bak tentera lagee nuga kayee jatou
Tajak bak gubernur lagee cinu hana garou
Tajak bak menteri lagee gusi hana gigoe

Artinya:

Pergi (mengadu) kepada kepala kampung bagai gambas tak bersegi
Pergi ke kepala mukim laksana kepiting tak berpenjepit
Pergi kepada aswed laksana langit tak bermatahari
Pergi ke wedana macam timba tak bertali
Pergi kepada bupati bagai penumpuk padi tak berbaji
Pergi kepada polisi bagai burung kedidi kena tali
Pergi ke tentara macam pentungan kayu jati
Pergi ke gubernur macam gayung tak bergagang
Pergi menghadap menteri bagai gusi tak bergigi.

Sajak Thaib Adamy dinilai memang mengada-ada dan tidak logis. Padahal pada masa tempo doloe rakyat Aceh belum mengenal istilah-istilah aswed (asisten wedana), bupati, wedana, dan sebagainya. Karenanya, apa yang disebut sajak Rakyat Aceh oleh Thaib Adamy dinilai jaksa sebagai suatu berita bohong dan isapan jempol belaka. Ia telah menghasut, memecah belah, dan menghina aparat pemerintah di daerah Aceh waktu itu.

Selain itu, dapat disebutkan pula satu lagi ucapan Thaib Adamy yang juga dikatakannya Sajak Rakyat Aceh Zaman Dahulu Kala. Petikannya demikian,

Uek keubeue uek, keubeue mate lam seunamuek
Pakon matee dikah keubeue ?
Hana sou rabe dilon hai po
Pakon han karabe dikah hai Cut ?
Saket pruet dilon hai po
Pakon sakeet dikah hai pruet ?
Bu meuntah dilon hai Po
Pakon meuntah dilon hai bu ?
Kayee basah dilon hai po
Pakon basah dilon hai kayee ?
Ujeun rah dilon hai po
Pakon kalakee dikah cangguek ?
Uleue bathuep dilon hai po
Pakon kabathuep dikah hai uleue ?
Kleueng sama dilon hai po ?
Pakon kasama dikah hai kleueng ?
Siwah tak dilon hai po
Pakon katak dikah hai siwah ?
Galak-galak kutak sigo.

Artinya

Uwak kerbau uwak, kerbau mati dalam kubangan
Mengapa mati dikau kerbau ?
Karena tak ada yang menggembala
Mengapa tak gembala hai buyung ?
Karena aku sakit perut
Mengapa sakit dikau hai perut ?
Karena kumakan nasi mentah
Mengapa mentah dikau hai nasi ?
Karena kayunya basah
Mengapa basah dikau hai kayu ?
Karena hujan menyiramiku
Mengapa kau siram wahai hujan ?
Karena katak memintaku.
Mengapa kau minta hai katak ?
Karena sang ular mematukku
Kenapa kau mematuk hai ular ?
Karena elang menyambarku
Untuk apa kau sambar hai elang ?
Karena siwah (burung rajawali) menyambarku
Mengapa kau sambar wahai siwah ?
Suka-suka kusambar sekali.

Sajak tersebut dinilai jaksa merupakan sinisme terdakwa. Di dalamnya tersimpan suatu perasaan permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap aparat penguasa/pemerintah saat itu.

Setelah mendekam selama dua tahun dalam penjara Sigli dan begitu keluar dari sana ia disambut oleh kawan-kawannya dengan diadakan suatu rapat umum. Selesai rapat umum ini, populeralitas Thaib Adamy meningkat di kalangan pengikut dan simpatisannya. Ia merupakan tokoh PKI yang didaulat anggotanya untuk menyambut persiapan tibanya hari H yang telah dirancang para pemimpinnya, yaitu apa yang kita kenal kemudian G 30 S/PKI, yang merupakan awal terjadinya krisis nasional di Indonesia.

II

Selanjutnya, mengapa dan bagaimana partai yang beideologi komunis itu dapat hadir di tengah-tengah masyarakat Aceh yang penduduknya semua beragama Islam dan menganut agamanya secara fanatik. Di samping itu juga terdapat ungkapan yang berarti antara adat dengan syariat Islam telah menyatu seperti dikatakan dalam sebuah hadih maja Aceh yang berbunyi Adat ngon hukom lagee zat ngon Sipheuet (adat dan syariat Islam seperti zat dengan sifat).

Secara historis PKI sudah mulai berkembang di Aceh semenjak zaman kolonial Belanda yang dibawa oleh kaum pendatang. Hadirnya kekuasaan kolonial melalui berbagai infrastruktur yang dibangun dalam upaya memantapkan Daerah Aceh menjadi bagian integral dari wilayah Nedelandsch-Indie (Hindia Belanda) tentulah menimbulkan dampak tertentu terhadap ekosistem masyarakat Aceh. Struktur demografis masyarakat Aceh berubah cepat dengan kehadiran pendatang baru untuk bekerja pada sektor moderen, seperti pegawai pemerintah, pegawai kereta api, karyawan perusahaan, buruh kebun atau tambang, dan buruh pelabuhan atau pabrik yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Sensus 1930 menunjukkan bahwa hampir 10 persen dari 1.003.62 jiwa penduduk Aceh pada waktu itu adalah pendatang dari luar. Hal ini berarti tiap 10 orang penduduk Aceh satu orang dari luar daerah. Mereka ini terkonsentrasi kalau bukan di kota-kota yaitu di perkebunan atau di kawasan pertambangan (Volkstelling 1930).

Penggunaan tenaga pendatang dalam pengoperasian sektor modern itu tentulah terkait erat dengan kondisi objektif tenaga kerja orang Aceh yang belum memiliki ketrampilan untuk masuk dalam sektor tersebut. Lagi pula sikap anti kafir dan keengganan bekerja sebagai buruh merupakan faktor penarik masuknya tenaga kerja dari luar daerah ke daerah Aceh ini pada waktu itu.

Para pendatang kebanyakan berada di seputar kota-kota dan kantong-kantong perkebunan atau pertambangan yang pada umumnya berada di kawasan Aceh Timur, khususnya di kota Langsa sebagai ibukota kabupaten.. Sementara orang-orang Aceh masih hidup di kampung-kampung (gampong) dengan pertanian sebagai basis kehidupannya. Masyarakat agraris Aceh ini berada di bawah kekuasaan kaum bangsawan sebagai puncak hirarki kekuasaan lokal yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial.

Dengan situasi demikian ideologi komunis mulai merembes masuk ke wilayah Aceh tatkala gerakan tersebut memasuki Hindia Belanda pada akhir dasawarsa tahun 1910-an. Sudah dapat ditebak bahwa gerakan tersebut menapak pertama kali di daerah Aceh lewat pekerja-pekerja yang berasal dari luar kota atau pusat perkebunan dan pertambangan mengingat lokasi tersebut terintegrasi dengan dunia luar. Gembong kaum komunis di Aceh pada waktu itu umumnya berasal dari kaum pendatang.

Menurut hasil Laporan Politik Hindia Belanda di Aceh, Mailr No. 899geh/26, Mailr No. 1304geh/33, dan Mailr No. 259geh/39 pada tahun 1920-an, yang memantau setiap kegiatan para aktivis partai komunis menyatakan bahwa mereka berusaha merekrut kaum buruh. Pada lokasi-lokasi perkebunan seperti disebut di atas terdapat dua saudara ipar asal Minangkabau, A. Karim M.S. dan Nathar Zainuddin, Minggu serta Maswan yang berasal dari Jawa, sebagai aktivitis komunis yang menonjol di Aceh pada waktu itu.

Meskipun pada mulanya sasaran propaganda komunis adalah para pekerja kebun, tambang, pelabuhan, buruh kereta api, pegawai pemerintahan lambat laun gerakan ini menjalar pula di kalangan orang Aceh yang telah mendapat pengaruh budaya urban (kota) yang tidak puas dengan struktur sosial masyarakat feodalistik. Hal ini dapat disaksikan misalnya pada diri Cut Din, putra seorang Kadhi Meusapat Meulaboh (Aceh Barat) dan T. Ali Basyah, mantan uleebalang Matang Kuli (Aceh Utara) yang telah diberhentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, meskipun posisi mereka tidak begitu berpengaruh dalam menentukan kehidupan partai komunis di Aceh.

Seperti rekan-rekannya di Pulau Jawa, aktivis komunis terus mengambil beberapa tindakan untuk menohok kepentingan Belanda di Aceh. Pada 14-15 April 1926 malam diadakan sebuah rapat di bawah pimpinan Abdul Muluk, seorang propagandis asal Minangkabau yang berdomisili di Medan. Rapat berlangsung di Meunasah Ulee Ceue, Gampong Namploh, Samalanga. Dalam rapat itu membicarakan kegiatan dan usaha yang diperlukan oleh partai tersebut. Untuk itu, Maswan yang bekerja pada kantor Kas daerah, pada tanggal 31 Mei 1926 menggelapkan uang kas daerah sebanyak f 25.000 bagi keperluan pembiayaan operasi mereka. Rapat-rapat gelap serupa dalam upaya menyusun kekuatan kaum komunis juga berlangsung pada tempat-tempat yang lain.

Pemerintah Kolonial Belanda tentulah tidak tinggal diam menghadapi ancaman yang sedang diorganisir oleh kaum komunis itu. Polisi rahasia Belanda bergerak cepat untuk menindas gerakan ini sebelum menjadi besar. Para aktivis komunis di Aceh segera ditangkap dengan bermacam-macam tuduhan. Mereka semuanya dijatuhi hukuman berupa perintah untuk meninggalkan daerah Aceh (interniring). Di antara aktivis yang telah disebutkan di atas, hanya Cut Din yang dilepaskan kembali pada tahun 1932 setelah terlebih dahulu pemerintah kolonial mendapat jaminan dari ayahnya, sedangkan yang lain kebanyakan dari mereka dibuang ke Boven Digul, Irian.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penangkapan-penangkapan yang terjadi pada aktivis komunis pada akhir tahun 1926 menyebabkan gerakan itu menjadi hilang dari daerah Aceh hingga akhir masa kekuasaan kolonial. Gerakan komunis memulai kembali riwayatnya di tanah Aceh adalah pada bulan November 1945, yaitu sebulan setelah pembentukan Karesidenan Aceh, dengan terbentuknya cabang PKI di bawah pimpinan Saiman di Kutaraja, PKI Aceh tunduk kepada komisaris PKI Sumatra di Medan yang pada waktu itu dijabat oleh A. Karim MS.
Dalam situasi revolusi kemerdekaan untuk membebaskan diri dari usaha kolonial Belanda yang berhasrat menguasai kembali Indonesia cukup dimengerti bila partai komunis ikut ambil bagian yang cukup penting.

Karenanya pada bulan-bulan pertama revolusi, A. Karim MS, baik kedudukannya sebagai komisaris PKI Sumatra maupun sebagai residen yang diperbantukan pada kantor Gubernur Sumatra berkali-kali datang ke Aceh untuk menggembleng massa seraya melakukan pertemuan dengan kaum politisi di Kutaraja. Demikian pula onderbouw-onderbouw PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi) membuka cabang-cabang baru pada basis-basis tradisional mereka, yaitu pusat pertambangan atau perkebunan, pelabuhan, kereta api, dan pabrik. Di samping itu, ditemukan pula beberapa generasi muda Aceh yang tergiur oleh slogan-slogan revolusioner. Ke dalam kelompok ini dapat digolongkan Thaib Adamy, wakil sekretaris Comite PKI Aceh, yang telah menjalin hubungan akrab dengan A. Karim MS.

Seirama dengan anggaran dasar PKI yang disahkan oleh Kongres VI tanggal 11-13 Januari 1947 di Solo dalam pasal 3 disebutkan PKI berusaha mencapai tujuannya dengan jalan perjuangan kelas yang revolusioner, yaitu perjuangan kelas buruh, tani dan golongan-golongan yang terhisap serta tertindas terhadap kelas berjouis. Sikap anti penindasan dan anti penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi slogan PKI sebagaimana kutipan di atas, yang meronai perjuangan politiknya menyebabkan PKI kerap kali berada dalam posisi berhadapan dengan kelompok berkuasa di Aceh. Karenanya tatkala Tgk. A. Husein Al Mujahid dengan TPR (Tentara Perjuangan Rakyat) pada akhir Februari permulaan Maret 1946 melakukan aksi menurunkan kaum bangsawan dari tahta kekuasaannya di Aceh, yang dikenal dengan “Peristiwa Cumbok” atau “Revolusi Sosial”, dua tokoh komunis, yaitu Nathar Zainuddin dan Thaib Adamy ikut ambil bagian. Mereka menganggap gerakan tersebut merupakan gerakan pembebasan dari kesewenang-wenangan kaum ningrat di Aceh sebagai kelas berjouis.

Aliansi diantara PKI dengan kaum pembebas itu tidak selalu kekal.. Manakala kaum komunis menganggap pemerintah yang baru telah melakukan praktik yang serupa. Aktivis kaum komunis pun kembali menggerakkan massa mereka untuk menentang penguasa lewat agitasi politik dan masalah demokrasi. Konflik yang cukup seru antara aktivis komunis dengan kelompok berkuasa di Kutaraja terjadi pada akhir revolusi ketika masing-masing pihak ingin memperkokoh kekuasaannya pada pemilikan ladang minyak dan kebun, terutama di Aceh Timur. Salah satu letupannya dikenal dengan “Langsa Affair” pada bulan Mei 1949. Dan pada saat Aceh menjadi provinsi sendiri, tidak lagi di bawah Provinsi Sumatra Utara, PKI merupakan salah satu partai yang menentangnya. PKI tetap menginginkan Aceh tetap sebagai sebuah karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara.

Mengingat situasi seperti tersebut di atas dapat dipahami sewaktu status otonomi daerah Aceh diperdebatkan pada tahun 1950-1953 aktivis komunis bergabung dengan kelompok unitaris lain supaya daerah Aceh tunduk sebagai bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Sebab dari sudut kepentingan politik, mereka lebih dapat mengecap keuntungan dengan status karesidenan bagi daerah Aceh di bawah Provinsi Sumatra Utara.
Demikian pula tatkala gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) meletus Partai Komunis merupakan salah satu unsur yang mendukung garis keras dalam memadamkan gerakan itu. Keberanian aktivis PKI memperjuangkan ide-idenya di Aceh semakin meningkat pada masa demokrasi terpimpin. Pada saat itu pimpinan partai komunis berada di awah pimpinan Muhammad Samadikin asal Jawa, sebagai sekretaris I Comite Daerah Aceh dan Thaib Adamy sebagai wakil sekretaris.

Hal demikian terlihat bukan saja pada garis pendiriannya terhadap rencana menerapkan unsur-unsur syariat Islam di Aceh, melainkan juga pada perilaku politik di luar sewaktu mengembangkan pengaruh partai itu terhadap massa. Sebagai contoh Thaib Adamy, wakil sekretaris comite daerah, terpaksa berhadapan dengan Pengadilan Sigli pada bulan Agustus-September 1963 untuk mempertanggungjawabkan pidatonya dalam rapat umum PKI di kota Sigli pada tanggal 3 September 1963, sebagaimana telah disebutkan di atas, yang dianggap oleh penguasa daerah saat itu bersifat menghasut rakyat. Beberapa bulan sebelumnya kejadian mirip di atas juga menimpa sekretaris dan wakil sekretaris comite Aceh Utara, yaitu Ismael dan Ibrahim Sufi.

Sesungguhnya eksistensi PKI di Aceh sebelum 3 September 1965 memang legal, bukan partai terlarang dan sah-sah saja secara nasional seperti partai politik lainnya, kendati kekuatannya tidak begitu besar di elite kekuasaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2/211/50 – 129 tanggal 9 September 1961 anggota DPR-GR Daerah Istimewa Aceh jumlahnya 30 orang. PKI hanya diwakili oleh 2 orang anggota, yaitu Thaib Adamy dan Nyak Ismail (kemudian keduanya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des 2/8/45 tanggal 24 – 4 1966 diberhentikan dengan tidak hormat, terhitung tanggal 30 September 1965). Meskipun di DPR-GR PKI diwakili oleh 2 orang anggota, namun PKI banyak mempunyai kader di lapisan bawah mereka dibujuk dengan cara menerjemahkan PKI sebagai Partai Kejayaan Islam, sedangkan BTI sebagai Barisan Tani Islam, sehingga orang awam Aceh menganggap organisasi tersebut sebagai organisasinya orang-orang Islam.

Memang propaganda dan sistem pengkaderan PKI dilakukan begitu gencar di Aceh seperti melibatkan para petani miskin, buruh-buruh perkebunan, buruh di sektor kota, pegawai pemerintahan golongan bawah bahkan para buruh perkeretaapian Aceh dan lain-lain. PKI dengan para pemimpinya seperti Thaib Adamy, Samadikin asal Jawa, dan Anas HC (Ketua Pemuda Rakyat di Aceh) asal Sumatra Barat memberikan alat-alat pertanian kepada petani dan bibit tanaman keras kepada buruh serta PKI pun menjanjikan kredit kepada pengusaha gurem dan kepada mahasiswa -onderbouw PKI yaitu CGMI- dijanjikan kuliah di Moskow dan RRC.

Namun dalam kenyataan mereka hampir tidak dapat menguasai penduduk di sekitar pesisir pantai (nelayan) seperti Pidie dan Aceh Utara.
Ketika bulan Oktober 1965 bukti PKI di Aceh yang kelihatan hebat dan besar itu ternyata tidak berarti apa-apa ketika diamuk oleh massa pemuda Aceh. Banyak rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa ikut pula menjadi menjadi korban pada peristiwa G30 S yang terkenal itu.
Bagi masyarakat Aceh jelas PKI itu harus dibasmi karena PKI tidak bertuhan. Menurut massa pemuda Aceh, orang-orang PKI itu harus dieksekusi hukuman mati dan hukuman mati ini merupakan hukuman yang setimpal dengan gerakan yang dilakukan mereka, yang senantiasa merugikan negara serta mengancam UUD 1945 dan Pancasila.

III

Anggota PKI dan ormas-ormasnya di seluruh daerah Aceh berkisar belasan ribu. Jumlah anggota dapat mencapai belasan ribu ini setelah para pemimpinnya berani melancarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah, khususnya terhadap kebijaksanaan pemerintah daerah. Para pemimpin komunis seperti Thaib Adamy pada masa pra G 30 S rela membiarkan dirinya dihukum karena menghina pemerintah asal masyarakat simpati terhadap perjuangan PKI dan PKI berada di pihak yang benar. Moment-moment seperti itu mereka gunakan untuk membentuk opini publik. Ternyata, taktik yang mereka lancarkan itu berhasil. Satu demi satu masyarakat Aceh menjadi terpengaruh, terutama masyarakat awam yang tidak mengerti tentang masalah politik.

Masyarakat awam menganggap bahwa arah perjuangan PKI cukup bagus, sehingga jumlah anggota maupun simpatisan PKI di daerah Aceh semakin bertambah. Hal ini menyebabkan generasi muda Aceh kala itu menjadi cemas dan berusaha mengimbanginya. Beberapa tokoh mahasiswa yang juga anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti Said Hasan Babud, Ali Basyah Amin, dan lain-lain secara diam-diam menemui Panglima Kodam I/Iskandar Muda yang waktu itu dijabat oleh Brigjend Ishak Djuarsa. Mereka minta agar membatasi ruang gerak PKI di Aceh, mengingat sepak terjangnya semakin mendesak generasi muda yang cinta Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan negara.

Sementara PKI secara terbuka mendesak terus agar pemerintah khususnya pemerintah daerah Istimewa Aceh segera membubarkan HMI.
Empat bulan menjelang meletusnya G 30 S, PKI di Aceh telah mempersiapkan barisan angkatan kelimanya dan selalu mengadakan latihan di lapangan Neusu, Banda Aceh. Untuk mengimbangi hal tersebut para mahasiswa yang antikomunis mulai mengadakan aksi gelap yang menyebarkan pamplet yang isinya menyerang PKI. Kemudian membentuk resimen mahasiswa yang berlatih di Mata Ie, yang juga tempat latihan TNI. Selain itu, bermacam cara dilakukan oleh para mahasiswa dan ormas/orpol lainnya di Aceh untuk “menghantam” PKI. Adapun konseptor mahasiswa dalam melawan strategi dan ekspansi PKI di Aceh adalah Noor Majid.

Selain itu, para santri dari seluruh Dayah di Banda Aceh dan Aceh Besar juga turut dalam aksi melawan PKI. Pada masa itu Usman WD (mantam MW Sekjend KAMI Aceh) mengadakan kontak dengan para santri dan turut mengkoordinir rapat-rapat umum yang diadakan oleh barisan antikomunis untuk mengadakan perang urat syaraf terhadap PKI.

Muncullah tokoh-tokoh santri seperti Said Zainal Abidin, Yusuf Isa dan Hamdan. Mereka inilah yang menyebarkan pamflet menghantam PKI di tempat-tempat yang dianggap strategis, sehingga tidak urung ketiga tokoh santri ini terpaksa bersembunyi karena dikejar oleh petugas keamanan.

Pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya G 30 S para santri siap siaga. Begitu juga para mahasiswa di Kampus Darussalam. Barisan Pancasila ini awalnya menunggu dan belum berani bergerak karena belum ada yang mempelopori atau yang mengomandoinya. Pada 2 Oktober tengah malam diterimalah informasi melalui Noor Majid bahwa PKI lah yang mendalangi peristiwa G 30 S yang telah merenggut 7 jiwa para jenderal Angkatan Darat.

Mereka pun mengadakan rapat dan membentuk markas mahasiswa. Kemudian dari tugu Darussalam para mahasiswa membawa 3 bendera Dewan Mahasiswa dan Bendera Senat menuju Biro Rektor Syiah Kuala, Biro Rektor IAIN dan Dekan Koordinator IKIP Bandung Cabang Banda Aceh. Di sini para mahasiswa membuat pernyataan yang isinya mengutuk G 30 S yang dikatakan dalangnya adalah PKI.

Setelah itu dengan mengendarai tiga mobil para mahasiswa bergerak dari Darussalam membawa bendera merah putih dan mengibarkannya di depan Hotel Nyak Sarong Jl. Muhammad Jam Banda Aceh. Saat itulah bermunculan bendera-bendera ormas pendukung Pancasila dan UUD 1945.

Setelah beredar kabar secara luas bahwa G 30 S benar-benar didalangi oleh PKI yaitu melalui Surat Keputusan No. Kep/Pepelrada-29/10/1965 Panglima Daerah Pertahanan A selaku Penguasa Palaksanaan Dwikora Daerah untuk Daerah Istimewa Atjeh, Brigadir Jenderal Ishak Juarsa menetapkan membekukan dan menghentikan sementara waktu semua kegiatan PKI Aceh dengan organisasi-organisasi onderbouw-onderbouwnya. Selain itu, juga didukung oleh Keputusan-keputusan Musyawarah Alim Ulama se Daerah Istimewa Atjeh, yang antara lain mengambil keputusan ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram dianut oleh umat Islam, pelaku/dalang G 30 S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas habis, pembubaran PKI dan larangan penyebaran atheisme dalam bentuk apa pun adalah wajib dilakukan.
Di Banda Aceh sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada saat itu, penumpasan terhadap gerakan PKI paling cepat berlangsung.

Menurut seorang informan hanya sekali PKI di daerah ini melancarkan aksinya setelah Letnan Kolonel Untung mengumumkan susunan Dewan Revolusi melalui RRI Jakarta. Mereka menyebarkan selebaran gelap berupa pamflet yang isinya menyebutkan bahwa Kampung Keudah, Banda Aceh akan dibumi hanguskan. Selebaran gelap itu ternyata cukup membuat panik masyarakat di kawasan itu. Namun si pelaku berhasil diamankan setelah Said Umar Al Habsyi (Wadan Kie Legiun Veteran) mengkoordinir masyarakat yang benar-benar Pancasilais berjaga-jaga selama 24 jam. Suasana saat itu atau tiga hari setelah meletusnya G 30 S di Jakarta cukup mencemaskan. Masyarakat mendengar di Jakarta ada penculikan Jenderal TNI AD namun menjadi tanda tanya siapa yang menjadi biang keladi gerakan penculikan tersebut. Bahkan sebagian masyarakat mengira Letnan Kolonel Untung sebagai pahlawan karena berhasil menyelamatkan Presiden Soekarno, seperti yang disiarkan melalui RRI.

Sedangkan massa rakyat yang Pancasilais belum berani mengambil tindakan dan anehnya orang-orang PKI termasuk gembongnya seperti sudah mengetahui apa yang bakal akan menimpa mereka. Orang-orang komunis ini mulai minta perlindungan, baik ke kepolisian yang kala itu bernama distrik Aceh Besar maupun ke Kodam I/Iskandar Muda.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Pangdam I/Iskandar Muda yang pada waktu itu dijabat Brigadir Jenderal TNI Ishak Juarsa. Panglima kodam yang dikenal antikomunis ini mengumpulkan orang-orang komunis yang menyerah itu ke Dodiklat Mata Ie, menunggu perkembangan selanjutnya. Selain ada yang menyerahkan diri, sebagian besar orang-orang PKI di Aceh ada juga yang mencoba melarikan diri dengan menumpang kereta api milik PJKA yang pada waktu itu masih aktif. Namun mereka berhasil “diamankan” oleh massa yang bergerak setelah semuanya terungkap bahwa PKI-lah sebagai dalang dari gerakan G 30 S.

Pada tanggal 3 Oktober 1965 Front Nasional mengadakan rapat untuk menyatakan sikap mengutuk gerakan yang mengambil alih kekuasaan negara. Rapat dipimpin Nyak Adam Kamil (selaku Gubernur), hadir Brigjend Ishak Djuarsa (Pangdam I/Iskandar Muda), Syamsuri Martoyoso (kepala Kepolisian), Said Mukhtar (PSII), Syarifuddin (NU), T. Ibrahim (Perti), Thaib Adamy dan Abubakar Sidik (PKI), H. Syamaun (PNI).
Pangdam I/IM dengan tegas mengatakan serahkan saja kepada rakyat, apakah ia mau mempertahankan Pancasila atau memihak PKI.
Sejak tanggal 5 Oktober 1965 di Banda Aceh dan kota lain di Aceh telah terjadi demonstrasi dari PNI (Haji Syamaun), para mahasiswa, organisasi massa. Dengan mengucapkan Allahu Akbar, mereka menuntut membubarkan PKI. Kantor PKI diubrak-abrik. Malamnya terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan onderbouw PKI serta Baperki.

Pada tanggal 16 Desember 1965 diadakan Musyawarah Ulama Aceh yang melahirkan fatwa komunisme hukumnya kufur dan haram (seperti telah disebutkan di atas). Oleh Pangdam I/Iskandar Muda selaku Pepelrada untuk Kodim 0101 (Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar pada saat itu) selaku Kosekhan diperintahkan untuk membentuk Tim Secreening guna meneliti dan memproses para anggota PKI dan ormasnya. Tim Secreening dapat menentukan apakah mereka terlibat atau tidak dalam G 30 S. Dengan adanya tim ini telah dapat dihindarkan tindakan liar dari para pemuda atau Ormas untuk mengambil keputusan terhadap orang yang tersangka anggota PKI serta Ormasnya.

Ketua Tim Secreening Kosekhan 0101 dipegang oleh Dandim sendiri, wakil Kapten Drs. M. Syah Asyik, anggota-anggota Letnan T.M. Jalil, Letnan M. Daud Musa (CPM), Peltu Syamsuddin (CPM), Suherman, A. Mukti, Syamsuddin (dari Kepolisian), Sudarman dari Kejaksaan Negeri dan Said Abubakar dari Biro Politik dan Keamanan. Kantornya berada di gedung Baperki (sekarang SMP 7 Peunayong Banda Aceh), kemudian dipindahkan ke kantor Kodim 0101 di Jalan Sultan Mahmudsyah. Selain itu, anggota PKI dan ormasnya dari Kotamadya Sabang juga dibawa ke Banda Aceh untuk diseleksi terlibat atau tidak.

Sekretaris dan wakil sekretaris CD PKI Aceh, Muhammad Samidikin dan Thaib Adamy serta sejumlah anggota PKI dan ormas-ormasnya juga mereka yang diangggap PKI telah terbunuh. Thaib Adamy waktu akan dipancung dia minta disampaikan salam pada Bung Karno dan meneriakkan Hidup Bung Karno. Ketua Gerwani, Ketua Pemuda Rakyat, anggota CGMI, ketua Baperki dan lain-lainnya telah dieksekusi oleh massa pemuda. Biro khusus Nyak Amat diajukan ke pengadilan. Keluarga (istri dan anak-anak M. Samidikin) oleh Kosekhan (Tim Screening) dikawal melalui kereta api diantar dengan selamat ke kampungnya di Tanjungpura, Sumatra Utara. Ada 1 orang anak-anak yang dibunuh oleh massa, seperti anak dari Thaib Adamy yang berumur 14 tahun. Demikian juga Kasan Siregar, mantan ketua PKI juga menemui ajal karena dieksekusi. Padahal Kasan Siregar selaku kepala Kampung Baru, Banda Aceh seorang yang sering shalat ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Terdapat juga aktivis PKI yang lari ke luar Aceh seperti Cut Husin, K. Ampio, dan Lim Ka Kee.

Pembersihan-pembersihan terhadap anasir-anasir PKI hingga tahun 1966 terus dilakukan, tetapi ternyata di beberapa dinas dan jawatan serta ditubuh aparat keamanan sendiri disinyalir masih ada oknum PKI maupun simpatisannya. Melihat hal ini para aktivis mahasiswa Darussalam kembali mencoba mengadakan gebrakan. Kali ini gebrakan yang mereka lakukan bukan melalui selebaran, tetapi mereka coba melalui pemancar gelap. Beberapa pemuda dari kalangan Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) seperti Mansyur Amin, Nurdin AR (mantan Bupati Pidie), Let Bugeh dan T. Syarief Alamuddin meminta agar Tjut Sofyan meminjamkan perangkat radio yang dimilikinya. Kemudian muncullah radio Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang mengudara dan berstudio diatas dek rumah bekas gembong Baperki yang telah direbut massa, mulai menuding satu persatu oknum PKI yang masih bercokol di pemerintahan daerah dan ditubuh aparat keamanan. Akhirnya, setelah beberapa minggu radio gelap itu mengudara mulailah bercopotan oknum dan simpatisan di dinas dan jawatan serta aparat keamanan, meskipun para aktivis itu dikejar-kejar aparat keamanan.

Dari beberapa informan dapat diketahui bahwa para eksekutor terhadap aktivis PKI, ormas-ormasnya, dan mereka “yang dianggap” PKI diantaranya ada yang dikenal dari kalangan “preman” seperti di Banda Aceh dikenal Rami Plang dan Tuan Saleh. Namun dalam perkembangannya kedua eksekutor ini pun akhirnya “disingkirkan” juga oleh OTK (orang tidak dikenal). Adapun tempat eksekusi yang terkenal di sekitar Banda Aceh pada waktu itu adalah Mon Benggali di daerah Indrapuri dan kawasan Ie Seum (air panas) Krueng Raya. Untuk daerah di Meulaboh (Aceh Barat) tempat yang cukup dikenal sebagai tempat eksekusi adalah Rantau kepala Gajah, Kuala Trang.

Gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI tidak hanya terbatas di Banda Aceh saja, tetapi juga di daerah lain di Aceh. Di Kabupaten Pidie, seperti di daerah lain di Aceh, rakyat bergerak secara massa. Mereka terdiri dari partai politik, rakyat biasa, pemuda pelajar sedangkan aparat keamanan mengendalikan saja agar tidak terjadi hal-hal yang tidak melanggar hukum. Gerakan spontan dari masyarakat Pidie terjadi pada tanggal 6 Oktober 1965 setelah diketahui secara pasti bahwa PKI berada dibalik G 30 S. Saat itu, dipelopori partai NU, PNI, PSII bersama pemuda dan pelajar dan masyarakat, ribuan massa berkumpul di Mesjid Raya Sigli. Dari situlah pertama kalinya arus massa bergerak menghancurkan markas PKI di Kuala Pidie dan kantor Baperki di kota Sigli. Rumah-rumah yang dikenal kepunyaan tokoh PKI di beberapa tempat diobrak-abrik massa sehingga hancur lebur.

Pada beberapa daerah lain di Aceh, gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI juga berlangsung. Di Meulaboh (Aceh Barat) kantor PKI diobrak-abrik oleh massa pemuda yang mengamuk dan para aktivisnya pun banyak yang dieksekusi. Peristiwa eksekusi aktivis PKI ini memang bukan rahasia lagi kalau terjadi di Aceh. Hal-hal serupa terjadi pula di Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pembersihan aktivis-aktivis PKI di Aceh adalah sebuah perjuangan yang secara tidak langsung membendung kehadiran komunisme di Aceh yang disinyalir akan atau malah sudah memanfaatkan ajaran Islam untuk tujuan politik PKI.
IV

Menarik untuk disimak tulisan dalam koran Harian Serambi Indonesia tanggal 10 Oktober 2000 berjudul Sejarah G 30 S/PKI di Aceh perlu diluruskan. Dalam tulisan ini dimuat himbauan Panglima Perang AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) wilayah Batee Iliek Teungku Darwis Djeunib agar sejarah pemberangusan PKI di Aceh pada tahun 1965 perlu diluruskan kembali. Pada waktu itu, disebut Darwis, cukup banyak rakyat Aceh yang tidak tahu apa-apa tentang PKI menjadi korban pembunuhan dengan tuduhan sebagai anggota PKI atau simpatisannya. Sementara di Pulau Jawa sebagai basisnya PKI hanya sekedar ditahan dan kemudian dilepaskan kembali. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia. Teungku Darwis Djeunib mengemukakan hal ini dalam mengkritisi keinginan Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin buku-buku sejarah seputar Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Peristiwa G 30 S/PKI.

Apa yang dikatakan Teungku Darwis Djeunib tersebut merupakan sekedar gambaran tentang banyaknya rakyat Aceh yang menjadi korban akibat dieksekusi pada peristiwa G 30 S/PKI tersebut. Memang menurut perkiraan seorang informan yang informasinya didapatkan dari keterangan Panglima Penguasa Militer pada waktu ada sekitar 2.000 jiwa rakyat Aceh yang menjadi korban akibat peristiwa itu. Di antara mereka yang dieksekusi disinyalir ada yang tidak mengerti apa yang disebut dengan PKI itu sesungguhnya.

Mereka hanya “dituduh” sebagai PKI karena diberikan cangkul oleh sebuah organisasi (BTI) yang konon disebutkan “Barisan Tani Islam” dan mereka tidak pernah atau tanpa diadili terlebih dahulu. Misalnya, kejadian yang dialami oleh Ibrahim Kadir dari Aceh Tengah. Ia diseret ke penjara dengan tuduhan terlibat PKI. Namun pada hari ke-23, Ibrahim Kadir dilepaskan dari penjara dengan alasan kekeliruan dalam penangkapan. Kejadian seperti ini diakui oleh beberapa aktivis organsisasi massa pada waktu itu yang ikut bersama massa dalam “pembasmian” PKI di Aceh pada waktu itu.

Massa mulai beraksi setelah mendapat informasi bahwa dalam peristiwa G 30 S yang telah membantai sejumlah perwira TNI Angkatan Darat di Jakarta adalah PKI. Dengan serta merta berbagai kekuatan sosial politik yang anti PKI (lebih-lebih organisasi yang sebelumnya dimusuhi oleh PKI) langsung bertindak. Para aktivis PKI ditangkap, dipenjarakan atau dibunuh. Sementara kantor, markasnya diobrak-abrik oleh massa yang sedang diamuk kemarahan. Reaksi massa ini didukung atau mendapat angin dari pihak militer dan ulama Aceh pada waktu itu.

Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju dan suka atau tidak suka terhadap tindakan /kekuatan dari organisasi massa seperti demikian, suatu hal yang menarik untuk dikaji adalah mengapa massa rakyat Aceh begitu cepat dan antusias bergerak dalam “pembasmian” PKI dan simpatisannya di daerah Aceh pada waktu itu.

Paham atau ajaran komunis yang mengingkari esensi dan eksistensi Tuhan sangat bertentangan dengan kepercayaan masyarakat Aceh sebagai penganut fanatik ajaran agama Islam. Selain itu, gerakan-gerakan komunis dinilai mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang diperlihatkan ketika terjadinya peristiwa G 30 S. Ditinjau dari ajarannya sangat wajar sekali kalau komunis harus dienyahkan dari bumi Aceh, karena sangat bertentangan dengan naluri rakyat Aceh yang dikenal agamais. Namun apabila dikaji secara cermat, faktor paling dominan yang meluapkan kemarahan rakyat untuk “mengganyang” komunis dan ormas-ormasnya di Aceh ialah karena gerakannya bukan pahamnya. Hal ini dapat dilihat bahwa komunis sempat bercokol di Aceh (ada yang menjadi anggota DPRD-GR) meskipun diketahui dari semula bahwa mereka menganut paham yang jelas-jelas bertentangan dengan mayoritas keyakinan masyarakat Aceh. Namun belum ada upaya pada waktu itu untuk menghancurkan kaum komunis.

Dengan demikian sebab yang paling dominan penyebab “penyingkiran” kaum komunis dan antek-anteknya dari Aceh pada hakikatnya adalah karena gerakannya yang kemudian dibumbui dengan pahamnya yang atheis. Adanya legalitas dari para ulama menyebabkan massa menjadi tidak ragu-ragu dalam bertindak untuk “menyingkirkan” PKI dari daerah Aceh.
___

Daftar Pustaka

1. Buku dan Artikel

A. Hakim Dalimunthe. Gerak-gerik Partai Politik. Langsa: Toko Buku “Gelora”, 1950.

A. Hasjmy. Semangat Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang tahun 1985

Andari Karina Anom dan J. Kamal Farza.”Ibrahim Kadir: “Saya Melihat Manusia Dibantai Seperti Binatang”. Tempo No. 52/XXVIII/28 Februari – 5 Maret 2000.

A.R. Ibrahim. “Awal Kehancuran PKI di Aceh” dalam Serambi Indoensia tanggal 30 September 1993.

Ismuha. “Dua Kali Pemberontakan PKI Jatuh dalam bulan September”, dalam Waspada tanggal 2 Oktoberr 1985.

Kementerian Penerangan RI. Kepartaian di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1950.

Penguasa Perang Daerah Militer I Atjeh. Sumbangan Pemuda Atjeh Pada Kongres Pemuda Seluruh Indonesia tanggal 14-21 Februari 1960 di Bandung. Banda Atjeh: Penguasa Perang Daerah Militer I Atjeh, 1960.

M. Isa Sulaiman, “Hilangnya Sebuah Gerakan Radikal di Aceh”. Atjeh Post. Minggu Kelima September 1989

Miswar Sulaiman. “Mesjid Bebesen Aceh Tengah Korban Kebrutalan PKI” dalam Waspada tanggal 5 Februari 1986.

“Mesjid Quba’ Takengon akan diusulkan jadi Monumen Pancasila” dalam Waspada tanggal 10 Januari 1986.

Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar. Sjamaun Gaharu Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal. Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Ramli Abdul Wahid. “Komunisme dan Keputusan Muktamar Alim Ulama Se Indonesia”. Waspada tanggal 12 Mei 2000.

Rasyidin Sulaiman. “Mengenang Peristiwa G 30 S di Pidie” dalam Waspada tanggal 29 September 1986.

Said Abubakar. Berjuang untuk Daerah. Banda Aceh: Yayasan Naga Sakti Banda Aceh, 1995.

“Said Umar Al Habsyi: Hanya Sekali PKI Lancarkan Aksinya di Banda Aceh” dalam Waspada tanggal 22 September 1986.

“Sejarah G30S PKI di Aceh perlu diluruskan” dalam Serambi Indonesia tanggal 4 Oktober 2000.

Sekretariat Negara RI. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.

Surat Keputusan Panglima Daerah Pertahanan A No. Kep/Pepelrada-29/10/1965 tanggal 29 Oktober 1965 tentang pembekuan dan pemberhentian kegiatan PKI dan ormas-ormasnya di Aceh.

T. Alibasyah Talsya. “Aceh Menentang Pengkhiatan Komunis” dalam Waspada tanggal 29 April 1986.

__________________. Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Atjeh. Banda Atjeh: Pustaka Putro Tjanden, 1969.

Teuku Raja Itam Aswar . “Awas Bahaya Latent Komunis”. Makalah

Thaib Adamy. Atjeh Mendakwa. Banda Aceh: Comite PKI Atjeh, 1964.


2. Laporan

Laporan Politik Hindia Belanda di Aceh Mailr No. 899geh/26, Mailr No. 1304geh/33, dan Mailr No. 259geh/39 pada tahun 1920-an


Daftar Informan

1. Mudji Budiman, 74 Tahun, Mantan Anggota DPR RI.

2. T. Raja Itam Aswar, SH, 75 tahun, mantan jaksa dan ketua DPRD Kab. Aceh Besar

3. Mahyudin Hasyim, 72 tahun, mantan anggota DPR, Bupati Pidie, dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi D.I. Aceh.

4. Said Abubakar, 75 tahun, mantan wartawan dan sekretaris DPRD Aceh.

5. Ridwan Azwad, 57 tahun, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

6. Zainudin Hamid (populer dengan sebutan Let Bugeh), 62 tahun, mantan aktivis mahasiswa Unsyiah.

Sumber: BPSNT Aceh 

Sabtu, 14 Februari 2009

Terhempas dari Negeri Sendiri karena Mewarisi Nama Besar yang Dikutuk Orde Baru

 Oleh Ahmad Yunus*


Ilustrasi: Putri pertama DN Aidit, Ibarruri, Mahadir Basti, Ilham (putra DN Aidit) dan anaknya saat di terminal bandara. (Dari kanan ke kiri). [Sumber: PosBelitung]

JOGJAKARTA rasanya lebih dingin dari biasanya. Sisa-sisa bangunan hancur akibat gempa masih terlihat jelas. Iba sesekali menjepret beberapa obyek, tak terkecuali anak-anak yang sedang bernyanyi riang. Dia juga akhirnya ikut bernyanyi.

Relawan-relawan muda Samin (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia) hilir-mudik di sekitar Iba. Beberapa di antara mereka merokok dan minum kopi sekadar melepas lelah. Malam terus larut meninggalkan senja sore.
Iba juga melepas lelah. Di ruang kamar depan, dia terdiam dalam keheningan. Kini, dia memaksa kembali tangannya untuk menulis di komputer jinjingnya. Terus menulis kisah lawatannya di Indonesia. Pun tentang kenangannya.

Kami baru saja dari Semarang, salah satu kota tempat sebagian kenangan selalu mengusik Iba. Masih segar dalam ingatan, Iba diantar adiknya, Ilham, saat memasuki stasiun kereta api Bandung. Cahaya lampu cukup terang untuk menerangi gelap malam. Iba menggendong tas. Dua tas koper jinjing berisi penuh bukunya di tangan kanan-kirinya.

Di atas gerbong, Iba mengobrol santai dengan Ilham. Saat kereta hendak berangkat, Ilham mencium kening Iba. Petugas kereta api meniup peluit tanda keberangkatan. Ilham turun dan melambaikan tangan. Iba membalasnya.

“Hati-hati. Titip Iba, ya” teriak Ilham pada saya.

Iba merebahkan badannya pada kursi gerbong. Udara dingin dari air conditioner di dalam gerbong merayap cepat. Iba menaikkan selimut, menarik kursi agak ke belakang dan memasang bantal tipis pada kepalanya. Kereta api melaju pelan.

“Saya belum makan,” kata Iba.

“Saya bawa makanan kecil. Roti dua buah dan keripik jagung,” saya menimpali.

Iba mengambil roti pisang keju. Saya makan keripik jagung. Iba bercerita pengalaman naik kereta api di Perancis. Kereta api di sana berjalan sangat cepat. Dari kota Paris hingga ke Perancis bagian utara hanya membutuhkan beberapa jam saja. Kereta api melesat cepat hingga 400 kilometer tiap jam. Tapi ia juga suka kereta api saat ini. Nyaman dan bersih. Ia duduk dekat dengan kaca jendela. Berusaha melihat pemandangan keluar, namun gelap.

***


Ilustrasi: Sumaun Utomo dan Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [Sumber: Komunitas Pegiat Sejarah Semarang] 

MALAM menuju pagi. Iba tertidur pulas. Kereta api terus melaju hingga berhenti di Stasiun Tawang, Semarang. Udara terasa hangat.
Pagi sekitar pukul 05.15, taksi yang membawa kami berhenti di rumah kediaman Sumaun Utomo. Orang ini berusia kepala delapan.

Seekor anjing kecil berbulu gelap, menyalaki kami. Rumah asri banyak tanaman kecil. Ruangan bersih. Utomo mencium Iba.

Di ruang dapur, kami duduk di meja makan. Sarapan pagi yang enak. Nasi harum. Ada gudeg. Sayur kulit. Goreng ayam dan sambal. Rumah ini hanya ditinggal berdua. Sumaun Utomo hangat dan gagah. Berbadan tinggi. Rambutnya sudah putih penuh uban. Di usianya yang sudah senja, ia masih menyibukkan diri bekerja sebagai ketua umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru. Biasa disingkat LPR-KROB.

Iba sambil melahap gudeg terus mendengarkan kisah penuturan Utomo. Dari Peristiwa 65, Pulau Buru hingga melanjutkan kisah hidupnya. Sumaun Utomo aktif di CC PKI sebagai sekertaris lembaga sejarah. Tugasnya membuat buku dan penerbitan soal PKI dan komunisme. Utomo alumni sekolah militer Jepang di Surabaya tahun 1942. Dia mendapatkan pendidikan calon perwira penangkis udara.

“Saya sudah memahami sejarah Uni Soviet, Manifesto Komunis dari buku-buku loak berbahasa Belanda,” kata Utomo pelan.

Utomo kenal Aidit, tokoh utama PKI di Indonesia. Mereka pertama kali bertemu di Jogjakarta. Saat itu, Aidit membantu penerbitan redaksi Bintang Merah, salah satu koran yang diterbitkan oleh PKI. Pertemuan itu tak jauh-jauh amat membicarakan soal politik. Utomo kemudian larut ke dalam gerakan bawah tanah partai.

Utomo senang dengan sejarah kotanya. Puluhan tahun silam, kota itu basis gerakal radikal melawan kolonialisme. Di sini, pertama kali organisasi sosialis berdiri dengan nama Perhimpunan Sosial-Demokrat Hindia, di bawah pimpinan Henk Sneevliet dan Ir. Adolf Baars. Mereka kemudian mendirikan Sociaal Democratische Partij (SDP), perintis Partai Komunis.

Pada tahun 1911, berdiri SI (Sarekat Islam) dan berkembang dengan pesat. SI kemudian jadi organisasi terbesar. Saat SI besar, PKI pun besar di bawah Semaun dan Darsono. Sikap politiknya keras. PKI pula yang mendesain gerakan perlawanan buruh besar di maskapai kereta api milik Belanda secara besar-besaran. PKI semakin tangguh di bawah Tan Malaka, seorang ideolog.

“Gerakan Komunis di Semarang cepat, karena di sini pusat eksploitasi jajahan dan himpitan eksploitasi,” kata Utomo memaparkan.

Kota Semarang menjadi kota penting bagi Belanda dengan pusat industri gula. Kekuasaan wilayah timur masih dipegang oleh Mangkunegara dari Kerajaan Solo. Sedangkan di bagian selatan dikuasai oleh pengusaha berketurunan Tiongkok, Ong Tiong Ham.

Belanda memperhatikan arsitektur Kota Semarang. Mulai irigasi hingga ke pelabuhan. Namun semenjak pendudukan Jepang hingga ke tangan Indonesia, Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah tak terurus. Air laut meresap keluar dari badan jalan kota tua. Di musim hujan, banjir sering terjadi.

“Kereta api, pelabuhan, pabrik gula macet dan mati. Jepang hanya mengurusi kepentingan perangnya saja. Pemerintah Indonesia juga sama tidak mengurusi lagi,” kata Utomo.

Iba menyimak semuanya dengan tekun.

***

IBA adalah sapaan akrab buat Ibarurri. Dia lahir di Jakarta, 23 November 1949. Iba anak sulung dari pasangan Dipa Nusantara Aidit dan Soetanti. Jadilah nama lengkapnya Ibarurri Putri Alam Aidit. Orang mengenal dia “Ibarurri Aidit”.

Ibarurri bukan nama biasa. Ini nama besar bagi sejarah Spanyol dekade tahun 1938. Ia adalah puteri seorang buruh tambang yang menjadi pemimpin gerakan buruh Spanyol. Ibarurri tercatat juga sebagai pemimpin Gerakan Komunis Internasional dan pendiri Tentara Proletariat Spanyol. Sedangkan nama belakangnya, Putri Alam merupakan nama samaran Aidit ketika bergerilya melawan Belanda.

Aidit suka memberikan nama putra putrinya dengan nama besar. Anak kedua, seorang perempuan, juga diberikan nama besar. Ilya berasal dari nama besar penulis Uni Soviet Ilya Erenburg. Bukunya menjadi bacaan wajib bagi kalangan intelektual revolusioner kalangan komunis. Sekelas dengan karya-karya Ostrovski, Gorki atau Boris Polewoi.

Usia 9 tahun, Ibarurri bersama ibunya, Soetanti berangkat ke Moskow. Soetanti hendak memperdalam ilmu kedokterannya. Pada 7 Oktober, 1958 mereka mendarat di Bandara Udara Sheremecevo. Udara dingin merayap cepat. Tak banyak warga Indonesia yang berada di Uni Sovyet. Kecuali yang hendak belajar di beberapa kampus terkenal di sana, seperti di Moskovski Gosudarstwennii Universitet.

Hubungan Indonesia dan Uni Sovyet begitu mesra. Uni Soviet, juga Ukraina, adalah dua negara pertama yang mendukung secara resmi keberadaan Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ibarurri setelah tinggal selama satu bulan kemudian masuk ke “internat” atau asrama. Ini adalah asrama bagi kalangan elit anak-anak diplomat komunis dan pegawai kedutaan Sovyet di luar negeri. Di sini, Iba kemudian bertemu dengan anak-anak kader dari negara sosialis atau komunis, mulai daratan Eropa Barat hingga Vietnam Utara.

Di asrama ini, Iba kemudian terbiasa menyanyikan lagu-lagu perjuangan untuk membela kaum Revolusi Oktober. Melahap bacaan soal gagahnya gerilya Soviet yang bertempur melawan Hitler. Buku-buku sastra klasik dunia hingga buku favoritnya “Spartakus”. Iba juga mengikuti perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei atau hari Revolusi Oktober yang jatuh pada 7 November. Sesekali Iba menghadiri pertemuan antara Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.

Di mata Aidit, sosok Stalin adalah pemimpin besar yang berjasa memenangkan Perang Dunia II melawan Hitler. Ketika Stalin meninggal pada Desember 1953, Aidit bersama Nyoto menghadiri pemakaman tersebut di Moskow. Mereka berdiri sebagai pengawal kehormatan.

***


MUSIM PANAS, 22 MEI 1965. Iba dan Ilya bersama rombongan delegasi PKUS tiba di Kemayoran, Jakarta. Rombongan delegasi ini hendak mengikuti perayaan ulang tahun PKI ke-45. Di Senayan, terdapat lukisan Soekarno dalam ukuran besar. Melebihi ukuran lukisan Marx, Engels, Lenin ataupun Stalin. Lukisan tersebut dikerjakan oleh seniman yang tergabung ke dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi mantel PKI.

Iba, yang baru saja berusia 16 tahun, larut dalam acara persiapan tersebut. Dia bersama Pemuda rakyat membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Mulai masak air untuk buat kopi dan teh hingga mencuci gelas-gelas yang dipakai saat rapat malam hari. Bermain voli, ikut latihan drama hingga melihat pertandingan bersajak.

Ia semakin jatuh cinta pada tanah airnya sendiri ketika mulai berjalan bersama Oom Murad Aidit dan kakeknya ke Bali. Di sana ia melihat gunung, budaya dan alamnya. Kesan itu membekas lekat dalam jatidiri Ibarurri. Kelak dikemudian hari, Ibarurri masih merasa tetap masih menjadi anak Indonesia.

Ibarurri bersama Pemuda Rakyat berjalan pawai merayakan 17 Agustus 1945 seusai mendengarkan pidato Soekarno di depan Istana Merdeka.
Barisan berangkat dan menuju kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya 81. Di sana, Aidit selaku ketua pemimpin CC PKI akan memberikan pidatonya dalam rangka peringatan 17 Agustusan.

Iba terhenyak seusai mendengar pidato ayahnya itu. Aidit mengatakan bahwa partainya akan dipukul dan ada ancaman teror putih ketiga. Teror putih adalah istilah Aidit untuk menerangkan adanya isyarat serangan untuk menekuk PKI. Teror putih pertama terjadi saat pemberontakan tahun 1926. Kemudian teror putih kedua untuk peristiwa Madiun.

Ancaman itu jauh lebih kejam dan besar dibandingkan dengan ancaman teror putih pertama dan kedua. Namun, Aidit yakin bahwa partainya akan bangkit dan pulih dari luka-luka serangan itu. Ancaman dari siapa? Mengapa? Teror apa? Tak jelas betul. Namun, setelah menyampaikan pidato itu, Ibarurri mendapat kesan bahwa Aidit semakin melemah. Tak banyak bicara. Sering memandanginya tanpa bicara. Di ujung hari, Iba akhirnya sadar, bahwa teror putih ketiga itu adalah peristiwa 30 September 1965.

“Apa kesan kalian selama liburan tiga bulan di Indonesia?” tanya Aidit.

“Aksi!” jawab Ilya.

“Turba!” kata Iba.

“Sekarang sudah waktunya untuk kembali sekolah. Kalian sudah dewasa. Kalian mau kembali ke Moskow untuk belajar boleh, kalian putuskan sendiri, maka kapan kembalinya. Kalian mau membolos beberapa minggu sambil menunggu ibu pulang dari Korea, juga boleh. Kalian sendiri yang memutuskan. Tetapi sekali kalian putuskan, kalian jalankan betul-betul,” kata Aidit.

“Kalian jangan jadi remo–revisionisme modern kata lain mengkhianati Marxisme. Kalau papa mendengar kalian jadi remo, langsung papa tarik pulang,” kata Aidit lagi.

Iba memeluk erat adiknya. Ilya terus menangis. Air matanya mengalir deras. Hati terasa berat. Iba meneteskan air mata. Pesawat terbang mulai meninggalkan lapangan Kemayoran, Jakarta, menuju Uni Soviet. Pertemuan terakhir.

***


SEPTEMBER akhir 1965 adalah tahun kelam. Setidaknya dari hasil penelitian Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Diperkirakan tercatat hingga dua juta manusia yang mati. Komunisme bagi Soeharto adalah musuh terbesar. Penyiksaan fisik dan mental berlangsung hingga puluhan tahun. Mereka yang terlibat ataupun yang dituduh ikut PKI ditangkap, dicari dan dibunuh.

Pembantaian ini berlangsung di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali dan Sumatera Utara. Soekarno tak mampu menghentikan aksi pembantaian itu. Kartu Tanda Penduduk atau KTP aktivis kiri atau pendukung Seokarno diberi label “ET” untuk “eks tahanan politik” oleh Soeharto.

Orde Baru berhasil melakukan rekayasa sejarah mengenai PKI dari semua lini. Surat kabar dilarang terbit selama satu pekan setelah tanggal 1 Oktober 1965. Satu-satunya harian yang terbit adalah harian militer Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Buku-buku sejarah, lahirnya Hari Kesaktian Pancasila, pembangunan museum, monumen hingga pembuatan film yang berisi jasa Soeharto terhadap negara seperti dalam Pengkhianatan G30S/PKI dan Serangan Fajar.

Di Uni Soviet, Iba berusaha memasang mata dan telinga. Dalam dingin dia bergerak kesana-kemari. Udara menusuk tulang hingga 35 derajat celcius di bawah angka nol. Daun-daun menguning mulai rontok berjatuhan. Di sudut ruang asrama dekat pintu masuk, Iba berjalan menuju sudut boks telepon. Agak tergesa-gesa dia menelepon temannya yang berada di Moskow. Dia ingin mempertegas berita terakhir Indonesia, yang baru saja Iba dengar dari sebuah radio. Suara yang masih samar-samar.

Berita itu semakin hari semakin menyakitkan. Tak ada kabar baik dari Indonesia. Setiap hari, berita tersiar soal pembunuhan dan penangkapan. Orang-orang PKI mati. Rumah iba di Jakarta habis dilumat api.

Iba tak tahu kondisi keluarganya di Indonesia. Ketiga adiknya masih kecil. Ayah dan ibunya. Iba duduk termenung cukup lama. Diam dalam keheningan dan kesenyapan. Udara bertambah dingin dan semakin menggigil.

“Mengapa ini semua terjadi?” pikiran Iba tak tenang. Tak ada yang menjawab.Kepala terasa panas. Di luar kaca jendela masih bertahan menahan serangan angin musim es yang bertiup kencang.

Berita tentang penangkapan dan terbunuhnya Aidit sudah beredar luas. “Central Comitte Partai Komunis Uni Soviet mempertegas bahwa kematian itu memang terjadi. Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit tertangkap dan ditembak mati oleh tentara Indonesia di Solo. Aku terhenyak. Ilya, adikku diam tak percaya.”
Kabar berita itu terus mengalir deras.

“Satu persatu kawanku tak sedikit yang tertangkap aparat militer Indonesia. Eyangku, oomku dan ibuku akhirnya tertangkap”.

Soetanti, ibunda Iba, memang ditangkap dan dipenjarakan. Dia diisolasi tak boleh berkomunikasi dengan tahanan lainnya di Bukit Duri, Jakarta. Selama 11 tahun, Soetanti meringkuk dalam penjara. Dia mengalami penyiksaan hebat hingga mengalami kebisuan selama tiga bulan. Soetanti termasuk tahanan golongan A. Artinya dianggap paling terlibat dalam aksi gerakan 30 September tersebut. Soetanti tak pernah menjalani proses pengadilan.

Iba merasa Soviet tak bisa lagi memberi harapan untuk tinggal. Hubungan antara Partai Komunis Uni Soviet dan PKI semakin memburuk. Pelajar dari kader-kader PKI, termasuk delegasi perwakilan, dibuat tak nyaman. Kegiatan diawasi oleh mata-mata KGB.

Iba memilih meninggalkan Rusia dan pergi menuju Tiongkok. Naik kereta melewati Danau Baikal, danau terdalam di dunia, dan menuju perbatasan Mongolia.

***


DIA tiba di Bandara Beijing, Tiongkok, pada 17 Februari 1970. Tiongkok kondisinya jauh lebih buruk ketimbang Uni Soviet. Banyak warganya berpakaian penuh dengan tambalan. Pipinya merah karena dingin. Daun-daun kering dijadikan untuk bahan bakar memasak.

Iba menemui Mao, dan menyempatkan diri untuk melihat kampung Mao Zedong di Gunung Cingkang. Di sana, Mao Zedong membangun Tentara Merah dan merupakan basis pertama. Lambat laun, Iba mulai mengenal pemikiran Mao Zedong. Banyak warga Tiongkok melihat Mao sebagai “dewa”.

Satu bulan berlalu. Iba mengunjungi Kota Shanghai. Di sana, dia ingin menyaksikan langsung proses operasi tusuk jarum untuk mengambil tumor otak. Dengan santai, pasien yang menjalani proses operasi tersebut masih sempat-sempatnya berdialog. Bahkan ketika pasien menjalani pemotongan kulit kepala dan proses gergaji tengkorak sekalipun!

Hari-hari di Tiongkok terus berlalu. Iba bersama Ilya memulai hidupnya di Desa Merah. Desa yang penuh dengan kalangan dari intelektual, wartawan, penerjemah, mahasiswa dari Korea, Jerman Timur dan kader-kader partai komunis. Istilahnya kerennya, “turun bawah analisa kelas” di desa.

Di sini Iba ikut bantu kerja di ladang menanam sayuran. Bangun pada pukul 04.00 pagi hari memakai topi caping, cangkul dan handuk kecil hingga menjelang siang hari. Makan kodok goreng dan sop ular. Sore hari hingga malam, asyik diskusi politik. Hasilnya? Iba kena penyakit lever.

Pemikiran Mao Zedong mewabah. Sekolah kader berjamuran untuk memenangkan Revolusi Tiongkok. Mao Zedong menggalang Revolusi Besar Kebudayaan Proletar untuk melawan restorasi kapitalisme. Iba tak pernah melepas pandangan dari setiap sudut rumah di sana yang memiliki sederet buku pemikiran Mao Zedong.

Suatu siang, dia kembali melihat Mao. Hari itu, 1 Mei 1970. Ini Hari Buruh Internasional. Mao berperawakan tinggi. Kulitnya putih. Tampak tenang. Tak jauh dari sisi lelaki itu, terlihat Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique. Perdana Menteri Kamboja Pennut juga terlihat. Lin Biao, orang kedua Partai Komunis Tiongkok hadir. Termasuk pemimpin Partai Komunis Birma, Thaksin B Tan Tein.

Gemuruh ratusan ribu orang memadati lapangan Tian An Men.
Tribun dalam pandangan Iba jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada Tribun Mausoleum Lenin di Moskow. Kembang api meledak memecah kebisuan di langit dan memancarkan warna warni cahaya. Udara cerah sekali.

“Melawan revisionisme adalah baik, harus terus berjuang melawan revisionisme,” kata Mao, tenang.

“Oh, putri Aidit. Aidit c’est mon ami.”

“Mao Zedong berbicara pendek kepadaku,” kata Iba.

Mao menuju tribun, mengangkat tangan, menyapa lautan manusia. Ratusan ribu orang lagi-lagi bergemuruh menyapa kembali kehadirannya.
“Hidup Ketua Mao! Panjang usia Ketua Mao!”. Berulang-ulang.
Iba punya kenangan lain pada Mao. Dia pernah menulis sebuah sajak tentang kematian Aidit.

Belangsungkawa Buat Kawan Aidit

Pejuang Komunisme Internasional
Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang
Malahan gugur menjelang musim semi datang
Yang akan gugur, gugurlah pasti
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi

***


TIONGKOK akhirnya Iba tinggalkan. Dia bergerak ke Birma pada tahun 1973.

Bersama rombongan kecil, Iba berangkat dari Beijing ke Khunming dengan pesawat udara. Saat tiba di Birma, dia melepaskan pakaian Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok dan menggantinya dengan seragam Tentara Rakyat Birma. Anak-anak kecil di sana sudah biasa menenteng senapan AK 47. Perempuan juga turut berperang. Beberapa di antaranya jadi komandan tempur.

Kehadiran Iba di Birma hendak mempraktekan ilmu kedokteran timurnya. Iba memilih Birma karena sedang konflik. Masyarakatnya terbelakang akibat peperangan. Bersama Tentara Rakyat Birma, Iba kemudian membangun rumah sakit ala kadarnya di daerah basis. Rumah bilik dengan dinding tembok terbuat dari campuran jerami dan tanah.

Di rumah sakit ini, Iba merawat tentara-tentara yang tertembak. Seorang pasien dari Tentara Shan sudah mengalami luka parah pada bagian paha. Peluru menembus tulang paha hingga remuk. Pada bagian bekas luka itu sudah mengeluarkan nanah dan bau yang keras. Akhirnya, pemuda itu mati. Akibat perang kondisi kesehatan masyarakat juga memburuk. Birma terserang penyakit Lepra, TBC dan Hepatitis.

Tentara Rakyat Birma juga punya kebiasaan aneh. Mereka suka menembak dan melepaskan peluru, tombak, panah ke arah bulan pada saat gerhana. Mereka percaya jika tengah terjadi gerhana bulan seekor raksasa akan memakan bulan itu.

Iba menemukan kondisi yang jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya di Tiongkok atau di Moskow. Iba masuk hutan ke hutan dari satu gunung ke gunung lainnya. Jalan kaki menembus ratusan kilometer. Masalah makanan menjadi kendala paling serius. Warga menerima jatah beras sangat terbatas. Dan beralih untuk mengganjal perut dengan singkong.

“Saya betul-betul kurus. Muka pucat,” kata Iba.

Ia punya pengalaman yang mirip dengan kisah Sumanto pemakan jenazah manusia. Saat bekerja di rumah sakit, ada saja orang yang meminta ari-ari bayi yang baru lahir. Ari-ari bayi lelaki dengan berat 3 kilogram. Ari-ari bayi itu hendak dimakan.

“Pernah nyoba,?” tanya saya

“Amit-amit. Geli!”

Dia meninggalkan Birma. Masuk ke Macao dan bekerja sebagai buruh di pabrik. Bersama suaminya, Budi Suhdarsono, kemudian masuk ke Jerman. Kemudian memilih Perancis sebagai tempat singgah terakhirnya.
Iba jadi warga negara Perancis dengan status sebagai refugie politique. Pelarian politik. Dia memiliki hak bekerja. Sama dengan hak warga Perancis pada umumnya, kecuali hak untuk memilih dan dipilih.

Iba merasa ibu angkatnya, Prancis, telah memberikan perlindungan penuh terhadap hak asasi manusianya. Indonesia hingga detik ini, tak memberinya proses rehabilitasi, pemberian hak politik dan hak sipil kepada korban kemanusiaan tragedi 1965. Apalagi, membuka dengan jujur kebenaran Peristiwa 65 itu sendiri.

***


AWAL AGUSTUS 2006. Udara pagi terasa segar. Di sudut ruang depan, menggantung sebuah lukisan bergambar Aidit. Dekat pintu masuk ruang keluarga, foto berukuran besar Aidit berdiri dan berbincang hangat dengan Seokarno. Ada foto ayah Aidit di sana, Abdullah Aidit. Suara burung merpati terdengar nyaring.

Ilham Aidit sedang berbincang. Suaranya khas. Berat dengan bariton kuat. Di sudut meja kecil, Iba sedang mengecek email pada sebuah komputer. Mereka tersenyum dan tertawa mengomentari isi email yang masuk. Rambut berantakan.

Iba berbadan gemuk. Rambut pendek. Ia memakai kaus berwarna kuning. Kaca mata kecilnya menggantung hendak meloncat dari ujung batang hidungnya. Secangkir teh manis hangat mencairkan suasana.

“Ini ada email berseri. Cerita pengakuan tentang anak Aidit yang lain.

Aidit tidak mati ditembak, tapi berhasil melarikan diri ke Afrika. Jadi ramai di milis. Saya dapat telepon dari Belanda dan Korea. Minta tes DNA segala. Bang Said, marah. Tai kucing!, ” kata Iba, tersenyum.

Jarum jam menunjukkan angka 10.00 pagi. Aroma goreng telur dan nasi goreng menyela perkenalan kami. Satu mangkuk besar berisi baso dan tahu kuah menemani teman makan sarapan pagi. Iba hangat. Banyak canda. Tertawa lepas.

Minggu kedua Agustus 2006, saya bertemu Iba lagi di ruang diskusi Komunitas Utan Kayu. Ruangan penuh dengan kalangan orang berumur senja. Mereka ini adalah eks tahanan politik 1965 yang sempat mencicipi Pulau Buru. Di kerumunan, terlihat Joesoef Ishak dan Oey Hay Djoen. Kedua ini orang tokoh dari Lekra dan kini mengurusi penerbitan buku Hasta Mitra. Ishak dikenal luas editor buku-buku Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia.

“Ini catatan kecil saya saja. Berantakan. Setahun terakhir ini, Bung Joesoef memaksa saya untuk menuliskannya menjadi sebuah buku. Apa yang saya ingat, ya saya tulis saja. Semacam dialog,” kata Iba, suatu ketika pada saya.

Iba mengikuti saran Ishak. Di sebuah ruang kerja di 8 Rue Normandie Niemen 94310 Orly Kota Paris, Perancis, Iba menuliskan selapis demi selapis ingatannya. Tentang kehangatan. Kepedihan. Politik. Pengasingan. Komunisme hingga Budhisme.

Hari itu, siang sekira pukul 14.00, bukunya akan didiskusikan. Iba tampak tenang dalam balutan kain batik lengan panjang. Sesekali dia terlihat sibuk melayani wawancara dari para wartawan. Ilham Aidit ikut menemani.

“Memoar seperti itu diperlukan untuk merawat kenangan yang penting soal sejarah dan nasib orang-orang yang terlibat dalam itu. Saya senang dia gembira pada hidup dan selalu aktif. Terpanggil untuk berbuat dan baik pada sesama. Apalagi sekarang dia sebagai Budhist. Ia punya sense of humor yang kuat,” kata Goenawan Mohamad pada saya. Goenawan, budayawan Indonesia, pendiri majalah Tempo. Pada buku Iba, Goenawan menulis kata pengantar.

Senja mulai merayap. Wajah Iba tampak kelelahan. Sesekali dia terlihat mengobrol dengan Goenawan Mohammad atau Oey Hay Djoen, di sebuah sudut meja makan Kedai Tempo.

“Saya lapar. Belum sempat makan,” kata Iba kepada saya.

Iba kemudian mengganti batiknya dengan kaos putih. Ilham Aidit menyalakan mobil sedan Mercedes Benz berwarna biru tua. Beberapa tas berisi buku, juga masuk ke dalam bagasi belakang.

Mobil sedan biru tua itu melaju meninggalkan Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Wajah Ilham Aidit masih terlihat segar dan tampak riang. Rupanya, istri tercintanya, baru saja melahirkan di Bandung. Saya duduk di depan mendampingi Ilham Aidit mengemudikan sedan. Iba duduk di belakang dan sesekali melentangkan badannya.

Sumber: Ilham Aidit


Ahmad Yunus, belajar jurnalisme di Pantau. Tahun 2005-2006 pernah bekerja untuk situs berita detik.com wilayah Bandung. Kini sedang mempelajari persoalan hukum di Universitas Padjajaran Bandung. Tertarik dengan isu persoalan politik, agama, lingkungan, musik dan gaya hidup. Sebelumnya, pada edisi Juli, di Majalah Playboy menulis soal persampahan di Kota Bandung.

Kamis, 12 Februari 2009

Pram dan Saya: "Atas Nama Pengalaman"

Denpasar, 12 Februari 2009

Mengenang pengarang besar Indonesia: Pramoedya Ananta Toer, wafat 2007.
Pramoedya Ananta Toer adalah Batu Karang.

"Mau apa kamu?""Saya mau tau tentang sejarah, Pak" "Ha ha ha…. Saya sudah tutup buku dengan Jawa."

Percakapan itu terjadi kurang lebih 15 tahun lalu di siang hari, di rumah Pram (begitu biasa ia dipanggil) di perkampungan timur Jakarta, Jalan Multikarya II/ 26 (?). Ini kali kedua aku datang. Kedatangan pertama di akhir tahun 80an aku masih merasa was-was. Buku tetralogi karya Pulau Buru baru saja dilarang. 

Kawan-kawan dalam pengejaran. Bonar Tigor atau Coki, Bambang Isti dan Bono telah ditangkap. Beredar kabar bahwa mereka mengalami penyiksaan maha berat. Kedatangan kali kedua, sekitar tahun 1993, aku sudah semakin mengenal lubang-lubang bocor kekuasaan. Aku datang sebagai aktivis perburuhan, peneliti ilmu social, pengembang jaringan kebudayaan rakyat.
"Jawa sudah hancur. Dia dimakan oleh intrik dan keserakahannya sendiri...."

Aku tidak mengerti. "Arus Balik" belum lagi diterbitkan waktu itu. Namun politik kala itu cenderung memanas. Untuk pertama kalinya pemerintah mendengung-dengungkan "keterbukaan". Ini cuma langkah awal swastanisasi, namun angin segar politik terasa. Para budayawan, seniman, wartawan yunior senior, kaum cerdik cendekia, rohaniwan sibuk membicarakan pelarangan buku Pramoedya yang namanya harum di luar negeri. Sebaliknya Pram  ketika kutemui, lebih asyik bicara tentang kebangkrutan bangsa Jawa, kebudayaan Hindhu Buddha, keagungan Syiwa dan Wisnu. Tiap kali kutanyakan perihal pelarangan buku-bukunya, Pak Pram tersenyum nyengir. Kemudian dihisapnya satu batang rokok jarum entah yang ke berapa, dalam-dalam, hingga terdengar serak hisapan dari tenggorokannya. Dengan bahasa Indonesia yang rapi dia bilang:

"Itu milik kaum muda. Tugas nasional saya adalah menulis. Keputusan membaca ada pada kalian. Kamu tau apa itu Orde Baru. Penghancur kebudayaan. Tidak beradab. Kotor. Ingat! Sukarno mempersatukan bangsa ini tanpa satu tetes darahpun. Tanpa satu tetes darahpun! Suharto? Dia perlukan kematian jutaan orang. Buku-buku dibakar. Orang-orang dibuang ke Pulau Buru. Sultan Agung juga begitu. Kekuasaan ditegakan bukan untuk membangun peradaban, tetapi menghancurkannya."
Dari berbagai tulisannya aku tau dia tetaplah batu karang.

"Apabila sebagai pengarang harus kutangguhkan begitu banyak ketidakadilan di tanahair sendiri, penganiayaan lahir-batin, perampasan kebebasan dari penghidupan, hak dan milik, penghinaan dan tuduhan, bahkan juga perampasan hak untuk membela diri melalui mass-media mau pun pengadilan, aku hanya bisa mengangguk mengerti. Sayang sekali kekuasaan tak bisa merampas harga diri, kebanggaan diri, dan segala sesuatu yang hidup dalam batin siapa pun." ("Maaf Atas Nama Pengalaman," Esai Pramoedya Ananta Toer, Jakarta, 1991)

"Kamu tau ada berapa gunung di Jawa ini?" "Tidak, Pak." "Wah gimana ini, anak muda."
"Kamu tau gunung Lawu?" "Tau, Pak." "Dimana itu?" "Ya, di Jawa tengah, Pak."
"Salah.  Gunung Lawu adalah titik temu Jawa tengah dan Jawa timur. Di sana ada sungai terpenting sumber peradaban bangsa Jawa. Hasil pertanian dan barang logam dari dalam keluar dari sungai itu ke lautan lepas menuju bumi Hindia dan seterusnya."

"Kalau mau jadi orang Indonesia harus tahu berapa gunung berapi kita punya. Berapa sungai dan anak sungai mengalir di bumi Indonesia. Bagaimana sungai itu mengalir. Sumatera itu sebenarnya berasal dari kata Samodera. Maluku dari Mameluk, sebutan orang Arab." 

Nada bicaranya mengingatkan aku pada seorang penyair Dayak Katingan, Kusni. Ketika kutanya: "Bagaimana situasi di Kalimantan Tengah?"
Dengan puitiknya ia menjawab " begini: delapan anak sungai menjulur dari selatan ke utara. Melintasi Palangkaraya dan disitulah puak-puak kebudayaan tumbuh. Anak-anak Katingan hidup dan berpolitik dari sana..."
Begitu juga bung Hersri ketika harus berujar tentang Bung Karno. Katanya :

"Apa yang dicita-citakan dan diperjuangkan Bung Karno itu bukan untuk Indonesia, negeri dan rakyatnya saja. Seperti Kakrasana yang tidak hanya berpikir tentang Mandura. Tetapi untuk mamayu hayuning bawana seluruh rakyat sedunia, sebagaimana secara harfiah dirumuskan dalam Mukadimah UUD 45, dan belakangan secara jelas dan rinci diucapkannya dalam pidato To Build the World Anew[6], "Membangun Dunia Baru"…..(Catatan menyambut peluncuran buku "Bung Karno Menggugat", Jakarta 11 Maret 2006)

Beginikah seniman pra Orde Baru menjalin politik kebudayaan tanah dan bumi dalam rangka menemukan peradaban baru?

Bicara dengan PAT –sebutan aku dan teman, kala itu -- serasa cakrawala dan duniaku bertambah luas. Dia tidak pernah bersumpah serapah. Kediktatoran baginya adalah bagian dari budaya "kampung".  Agama-agama… demikian juga, ketika disebarkan tanpa mengikutkan peradaban yang membentuknya, maka menjadi senjata pemusnah peradaban lain. Bila kita bicara tentang melawan pembungkaman, Pram justru bicara tentang kebangkrutan peradaban. Dia tidak tertarik bicara tentang penangkapan dan penyiksaan dia serta pengalaman Pulau Buru semata sebagai pengalaman Individual. PAT akan menyebut itu  dalam satu nafas dengan pembunuhan di berbagai tempat lain, penghancuran karya-karya, sebagai penghancuran suatu eksperimen raksasa kebudayaan nasional.

Ia melihat nasibnya diseret dalam gelombang besar yang entah hendak menghempaskan bangsa ini kemana. Pram terus menerus bertanya mengapa bangsa ini bisa berbuat sekejam ini? Moral apa?

 Baru sekarang aku mengerti. UU Pornografi menunjukan apa yang Pram katakan belasan tahun lalu. Keruntuhan suatu peradaban. Peradaban-peradaban selatan telah dihancurkan oleh masuknya peradaban dari utara. Dulu Utara membeli dari selatan. Sekarang sebaliknya. Kehancuran paling menentukan adalah berkuasanya kerajaan Demak. Ini diikuti oleh masuknya armada portugis, dan seterusnya …. Dan seterusnya….

"Arus BaliK" aku bacai dengan penuh makna, kini!!!  Ketika buku ini terbit 13 tahun lalu dalam rangka menyambut 50 tahun Indonesia Merdeka, tahun 1995, aku tidak merasa terkait di dalamnya. Nama asli  nenek moyangku terasa asing bagiku. Tak bisa kutemukan kenikmatannya memahami Wiranggaleng, Adipati tuban sir rajasa wilwatikta, dan sebagainya. Dongeng.
Tapi kini, arus balik sedang terjadi, di depan mata. Ini sebuah perang besar seorang Pramoedya Ananta Toer mempertahankan kebudayaan seculer, nasionalis, terbuka, hindu, Buddha, dan suatu peradaban masa lalu yang menghantarkan penemuan akan harga diri suatu bangsa.

Inilah ironi bangsa ini. Pram bicara dengan senyum pahit. Dimulai dari kehancuran para ksatria. Apalagi brahminnya. Semua berdagang.  "Maka para bupati tetangga semakin yakin, Sang Adipati memang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi sudra." (Arus Balik, hal. 24)

Ironi histori Jawa termaktub di sini: pada waktu Belanda mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh seorang raja pedalaman Jawa, Sultan Agung. (Maaf Atas Nama Pengalaman,)

Dan selanjutnya Jawa seolah menunggu nasibnya.

Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap terkungkung dalam peradaban dan budaya 'kampung', ditelan mentah-mentah oleh Belanda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan. Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji sawi, bangsa berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah melintasi Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan Belanda, Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya 'kampung'nya dengan klimaks 'kampung'nya: "mandi darah saudara-saudara sendiri", sampai 1965-66. .... Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas pembantaian mencapai skala tanpa batas. (Maaf Atas Nama Pengalaman)

"Kenapa mau belajar sejarah?" "Banyak yang saya tidak tahu selama ini pak."

"Belajar sejarah bukan untuk tahu banyak. Sejarah adalah tempat dimana kita pulang."

Pemilu sudah jamak ditertawakan sebagai lakon omong kosong para pencari harta dan kuasa. Aku pun dulu tidak peduli. Kemudian aku menemukan kesungguhan, kepercayaan, keyakinan akan politik justru pada banyak manusia yang paling terhalang dari kursi kuasa. Sehingga dihadapanku justru yang kulihat bahwa yang mentertawakan pemilu pun dengan caranya sendiri sedang menghitung-hitung kuasa. Dan pada gilirannya mereka juga mempertaruhkan sejarah. Klaim demi klaim sejarah bertebaran di panggung-panggung kampanye, baliho, pertemuan maupun warung-warung kopi.

Semakin yakin aku bahwa tidak ada perubahan dimulai tanpa mengenal sejarah. Ki Hajar Dewantara berkali-kali menyatakan bahwa Bangsa yang tidak mengenal sejarah tidak akan bergerak kemana-mana. Tetapi lebih dari itu, Pramoedya menjadikan sejarah menjadi kerisnya untuk bertarung.

Tetapi aku seorang pengarang dan pendidikan minim, jadi bukan materi-materi historis yang kukaji, tetapi semangat-semangatnya, yang kumulai dengan tetralogi Bumi Manusia, khusus menggarap arus-arus yang datang dan pergi dalam periode Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan jadilah kenyataan baru, kenyataan sastra, kenyataan hilir, yang asalnya adalah hulu yang itu juga, kenyataan historis. Kenyataan sastra yang mengandung di dalamnya reorientasi dan evaluasi perdaban dan budaya, yang justru tidak dikandung oleh kenyataan historik. Jadinya karya sastra adalah sebuah thesis, bayi yang memulai perkembangannya sendiri dalam bangunan-atas kehidupan masyarakat pembacanya. Dia sama dengan penemuan-penemuan baru di segala bidang, yang membawa masyarakat selangkah lebih maju.

Kali- kali berikutnya, aku bukan lagi tamu yang haus mencari kepintaran. Kalau tidak soal mencari informasi atau pinjam buku, memberi buku, mengantar teman, mengundang acara. Pram menjadi rekan kerja sehari-hari.  Biasanya kalau sudah begini dia mulai dengan pembicaraan ringan semisal tentang bukunya yang sedang diterjemahkan ke Bahasa Itali, atau rencana pemberian Doktor Honoris Causa dari Universitas di Amerika Serikat. Ada yang ingin memfilmkan buku tetralogi-nya. Dan tersenyum dia tanya kembali pada si pembuat film: "Berani bayar berapa?"

Setiap ulang tahunnya aku datang bersama Dolorosa, pematung, membawa Ikan Arsik untuk dimakan bersama. Habis itu ngobrol ringan. Kalau lagi sial, datang sore kita tak jumpa dengannya karena Pak Pram sibuk bakar sampah. "Kebiasaan di Buru…heheheh" Ujarnya nyengir. PEmbicaraan di hari-hari terakhirnya lebih banyak soal asam uratnya. Obatnya satu "Minum wine… whaa ha ha… Pasti sembuh.. Cap orang tua juga bagus. Dan jangan lupa makan bawang putih setiap hari. Ini sudah saya buktikan bertahun-tahun di Buru."

Dalam obrolan agak serius, kita bicara tentang rencananya merampungkan Ensiklopedi Indonesia. Ini karya terakhirnya yang tak sempat ia rampungkan. Saat aku terakhir ke sana beliau tengah merampungkan ensiklopedi untuk huruf " P", khususnya kata "Perawat": kapan perawat muncul dan apa arti perawat bagi suatu bangsa. Semua dipikirkan oleh Pram. Kalau ingin tahu apa saja itu, maka ada baiknya menyimak kumpulan klipingnya tentang dirinya sendiri. Pram menggunting berita dan apapun yang terkait dengan dirinya sejak belasan tahun lalu segera setelah ia kembali ke rumah dari pembuangan. Dan ketika aku datang, sudah sekitar 13 jilid buku kliping dia rampungkan. Kliping tentang Pramoedya Ananta Toer... dibuat sendiri oleh sang pemilik nama.

Anehnya dengan Pram aku tidak pernah bicara tentang perempuan. Padahal berpanjang-panjang kita bicarakan Kartini. Beberapa teman perempuan mengkritik cara Pram melihat perempuan sangat konvensional, tidak membebaskan. Memang perempuan sebagai katagori sosial tidak ada dalam kamusnya. Perempuan adalah Dedes, nyai ontosoroh, kartini, larasati, midah dan gadis pantai yang adalah ibunya sendiri. Perempuan adalah sosok-sosok.

Mulanya memang tampak bertentang-tentangan: seorang yang menggambarkan perempuan secara konvensional justru menempatkan sosok perempuan di tempat begitu sentral dalam banyak karyanya. Namun sejak berlakunya UU Pornografi, munculnya berbagai perda ketentuan berpakaian bagi kaum perempuan muslim, pelarangan Jaipongan di Jawa Barat, semuanya menjadi jelas. Tetap. Persoalan Pram adalah bangsa dan dalam hal ini perempuan memberi jejaknya dalam proses berbangsa. 

Kehancuran perempuan adalah kehancuran suatu peradaban, suatu bangsa.... Kehancuran peradaban Hindu Jawa dan kemudian Jawa Hindu, di mata Pram, tanda-tandanya  ada pada penaklukan perempuan. "Lima tahun yang lalu sidang para pedagang Islam telah menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para wanita menutup buah dadanya. Sejak itu semua wanita yang keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya dengan kaum pria Pribumi." (Arus Balik, hal. 22)

Praktek per-nyai-an di Hindia Belanda abad 19 adalah pendudukan permanen penguasa kolonial atas tanah Hindia Belanda. Praktek ini sebisa-bisanya dibelejeti oleh Pram melalui pahit hidup Nyai Ontosoroh, si Sanikem yang dijual bapaknya ke tuan besar Plikemboh dalam karyanya "Bumi Manusia".

Tidak ada perempuan sebagai suatu katagori social selama bangsa itu sendiri merendah-rendah derajadnya di mata bangsa lain. Oleh karena itu Kartini bagi Pram bukanlah seorang ibu baik hati yang tiba-tiba tertarik mendirikan sekolah putri demi 'emansipasi wanita.' Nyai ontosoroh bukan nyonya besar yang kagum pada seorang pemuda Jawa berbakat bernama Minke. Tapi kalaulah ada yang bisa disebut kekurangan dari karya Pram, maka itu adalah soal tendensi. Pram sebatas melihat penindasan perempuan sebagai konsekuensi keserakahan ketamakan oportunisme kaum priyayi dan kolonial. Pram kurang mengeksplorasi bagaimana kekuasaan colonial ditanamkan sedalam-dalamnya pada tubuh perempuan, dimana kendali seksualitas perempuan justru merupakan pilar kolonialisme.

Ketika suatu bangsa itu kalah, maka dalam perihal seksualitas, Pram teramat sinis. "Apa Orang Indonesia lakukan dalam kepungan kekuasaan modal? Tidak ada. Tidak mampu. Dan kita sekarang ini sibuk berkembang biak saja… he he he…  Lihat sinetron-sinetron itu. Halnya Cuma satu, berkembang biak." 

Tertawanya melebar dan bahunya terguncang-guncang. Pram bukan seorang puritan. Teman-teman seangkatan dan seperjuangannya kerap bercerita padaku bahwa Pramoedya itu flamboyan. Salah satunya adalah almarhum Basuki Resobowo pelukis angkatan 45. Dalam kunjungannya ke Multikarya ia berseloroh "Hei… Pram, lu gaya sekarang. Pake pantalon, kaya Belanda aja…. Mau nyamperin siape lagi …" Ini bukan dialog di tahun 45, tetapi di tahun 95. Basuki maupun Pram ketika itu telah lebih dari 70 tahun usianya.

Pramoedya Ananta Toer adalah batu karang hingga akhir hayatnya. Walaupun Joebaar Ayoeb, SekJen LEKRA, rekan kerjanya di masa Pra Orde Baru, mengatakan "Pram itu keras kepala memang, tapi kalau di pangku, mati dia…" sambil terkikik-kikik geli. Namun ini bukan soal keras kepala atau lembek kerasnya hati. Pramoedya adalah batu karang sejarah.  Ia mengembalikan dan membangkitkan lakon sejarah yang disingkirkan dari panggung kebesaran kuasa, justru ketika ia secara fisik maupun gagasan disingkirkan dari republik ini.


Sekarang Apa

Saya baru saja membaca "Arus Balik." Minggu lalu. Ketika membaca, saya tidak merasakan sedang membaca sebuah novel sejarah. Saya seperti sedang melihat kenyataan di depan mata. Sebuah bangsa besar yang disegani bangsa-bangsa lain, hancur berkeping-keping. Tersisa raja-raja kecil di daerah-daerah. Agama bukan untuk membangun peradaban, tetapi menghancurkannya.

Bila ini dibaca dalam kekinian Bali. Potret Pram dalam arus balik semakin terang benar. Jelas. Untuk waktu cukup lama Baliadalah primadona, anak emas segala bangsa. Kemudian semua terlena. Hidup dalam kesukaan dan keserakahan. Tanpa sadar sesungguhnya krisis menggerogoti. Berlakunya Undang-undang Pornografi menjadi tonggak penting bagi kekalahan peradaban hindu Bali.

Dalam masa kini, berpikir kritis tidak cukup. Menolak sistem tidak punya arti. Sistem tidak ada. Diperlukan keputusan oleh seluruh warga, apa tugas kita semua.

Denpasar, 12 Februari 2009