Kamis, 19 Februari 2009

Krisis Nasional dan Masa Peralihan di Aceh (1965-1967)

Oleh: Rusdi Sufi

19 Februari 2009

I

Tanggal 16 September 1963, Pengadilan Negeri Sigli (ibukota Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) yang dipimpin oleh hakim Chudari, menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas Thaib Adamy, wakil sekretaris pertama Komite Partai Komunis Indonesia (PKI) Aceh. Thaib Adamy juga sebagai anggota yang mewakili PKI di DPRD-GR Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu.

Hukuman dijatuhkan berdasarkan tuduhan bahwa Thaib Adamy dalam pidatonya pada rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Gedung Bioskop Purnama Sigli, terbukti telah melakukan kesalahan, yaitu menyiarkan kabar bohong dan menghasut rakyat. Tindakan ini dinilai dapat menimbulkan keonaran dan sekaligus menghina aparat pemerintah.

Adapun undang-undang yang dipakai sebagai landasan hukum yang dipergunakan hakim untuk memutuskan perkara ialah pasal-pasal 14-15 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 dan pasal-pasal 154-160 KUHP, sesuai dengan tuntutan jaksa tinggi pengganti, Muhammad Hasan Basri, SH. 

Peristiwa itulah merupakan dari awal malapetaka PKI dan orang-orangnya di Aceh dan terjadi justru pada waktu PKI sedang berada di puncak kejayaannya. Di saat kehidupan berserikat atau berpolitik dengan memakai cara-cara radikal atau revolusioner yang mengejawantahkan diri misalnya, dalam pengerahan massa, pidato atau rapat umum yang disertai yel-yel revolusioner, serta debat dalam badan perwakilan seperti yang lazim digunakan PKI pada waktu itu.

Dua tahun sebelum terjadinya gerakan yang terkenal dengan G. 30 S PKI tahun 1965 yang konon digerakkan oleh PKI, salah seorang tokoh PKI Aceh Thaib Adamy, telah memulai aksinya di daerah ini. Semenjak tahun 1963 sebagai oratornya PKI ia melakukan penggalangan massa melalui rapat-rapat umum pada beberapa ibukota Kabupaten di Aceh. Dalam setiap rapat umum ini Thaib Adamy melakukan semacam kampanye dengan menjelek-jelekkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah pada waktu itu. Setelah peristiwa G 30 S terjadi dan kemudian diketahui bahwa dalang dari peristiwa tersebut adalah PKI, maka rakyat dan pemerintah di Aceh baru menyadari bahwa pidato-pidato yang dilakukan oleh Thaib Adamy tersebut merupakan rangkaian pra G 30 S yang telah membawa korban banyak jiwa manusia.

Sebagaimana disebutkan di atas pada 3 Maret 1963, Thaib Adamy berpidato di Sigli Kabupaten Pidie. Karena pidatonya ini dianggap sangat berbahaya bagi keselamatan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, maka atas perintah Panglima Kodam I Iskandar Muda yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel M. Yasin selaku Pedarmilda (Penguasa Daerah Militer Daerah Aceh) Thaib Adamy ditangkap. Penangkapan ini dilakukan pada tanggal 29 Maret 1963, berdasarkan laporan Mayor Abdullah Hanafiah selaku Dandim 0102 Sigli pada waktu itu.

Sidang-sidang Pengadilan Negeri Sigli yang mengadili terdakwa Thaib Adamy pada waktu itu berlangsung di aula Kodim 0102 yang dihadiri serta mendapat perhatian dari rakyat yang antikomunis. Di samping itu, hadir pula simpatian PKI yang dikerahkan oleh organisasi tersebut untuk memberikan semangat bagi terdakwa dengan sorak dan tepuk tangan dicelah-celah pidato terdakwa dengan pengawalan ketat ABRI. Menurut buku Atjeh Mendakwa disebutkan bahwa setiap sidang dihadiri oleh 5.000-10.000 pengunjung. Patut diketahui bahwa partai komunis ini agak berkembang di Kecamatan Samalanga, Aceh Utara karena di daerah kecamatan ini pada tahun-tahun 1930-an merupakan daerah gerakan Sarikat Islam yang kemudian berkembang menjadi Sarikat Islam Merah yang merupakan embrio gerakan komunis. Tidak heran bila sewaktu sidang pengadilan Thaib Adamy diadakan sejak bulan Maret 1963 di Sigli, berduyun-duyun orang komunis dan simpatisannya berdatangan dari Samalanga untuk memberikan support kepada Thaib Adamy.

Perkara Thaib Adamy oleh PKI dianggap suatu proses terhadap diri Thaib Adamy juga adalah proses terhadap PKI, proses terhadap rakyat. “Ini juga merupakan tantangan terhadap ofensip Manipol”, demikian dikatakan Muhammad Samidikin, sekretaris pertama Comite PKI Aceh/anggota CC PKI pada waktu itu. Selanjutnya Muhammad Samidikin berkata bahwa walaupun ini terjadi di Aceh, tetapi mempunyai arti nasional yang penting dan merupakan suatu perkara politik revolusioner yang besar setelah SOB dihapuskan.

Dari enam kali sidang di mana Thaib Adamy berhadapan dengan hakim tunggal Chudari ia membela dirinya sendiri dengan pidato pembelaan tanggal 12 September 1963 yang diberi nama “Atjeh Mendakwa”. Secara yuridis ia dibela kawan dekatnya Syahrial Sandan dan Sofyan, S.H. dengan menghadirkan dua orang saksi pendukung, masing-masing Hasyim M.H. dan T.A. Rahman yang memberatkan terdakwa diajukan jaksa penuntut umum masing-masing Ibrahim Abduh (Bupati KDH Tingkat II Pidie), Mahyuddin Hasyim (wakil ketua DPR-GR Tingkat II Pidie), T. Ibrahim Hussien (Kabag Politik), A.R. Ibrahim (peninjau politik pada kantor Bupati Pidie) dan M. Hasan Yusuf dari Front Nasional/anggota BPH.

Beberapa catatan dari pidato Thaib Adamy pada waktu itu mengumpamakan negara Republik Indonesia sebagai suatu negara “antah berantah” yang dirangkumnya dalam suatu sajak. Ia menyebutnya Sajak Rakyat Aceh Zaman Dahulu Kala. Petikannya sebagai berikut,

Tajak bak geusyik lagee boh pik hana sagoe
Tajak bak bak mukim lagee bieng hana rampagou
Tajak bak aswed lagee langet hana urou
Tajak bak wedana lagee tima hana taloe
Tajak bak bupati lagee jeungki hana sujou
Tajak bak pulisi lagee keudidi keunong talou
Tajak bak tentera lagee nuga kayee jatou
Tajak bak gubernur lagee cinu hana garou
Tajak bak menteri lagee gusi hana gigoe

Artinya:

Pergi (mengadu) kepada kepala kampung bagai gambas tak bersegi
Pergi ke kepala mukim laksana kepiting tak berpenjepit
Pergi kepada aswed laksana langit tak bermatahari
Pergi ke wedana macam timba tak bertali
Pergi kepada bupati bagai penumpuk padi tak berbaji
Pergi kepada polisi bagai burung kedidi kena tali
Pergi ke tentara macam pentungan kayu jati
Pergi ke gubernur macam gayung tak bergagang
Pergi menghadap menteri bagai gusi tak bergigi.

Sajak Thaib Adamy dinilai memang mengada-ada dan tidak logis. Padahal pada masa tempo doloe rakyat Aceh belum mengenal istilah-istilah aswed (asisten wedana), bupati, wedana, dan sebagainya. Karenanya, apa yang disebut sajak Rakyat Aceh oleh Thaib Adamy dinilai jaksa sebagai suatu berita bohong dan isapan jempol belaka. Ia telah menghasut, memecah belah, dan menghina aparat pemerintah di daerah Aceh waktu itu.

Selain itu, dapat disebutkan pula satu lagi ucapan Thaib Adamy yang juga dikatakannya Sajak Rakyat Aceh Zaman Dahulu Kala. Petikannya demikian,

Uek keubeue uek, keubeue mate lam seunamuek
Pakon matee dikah keubeue ?
Hana sou rabe dilon hai po
Pakon han karabe dikah hai Cut ?
Saket pruet dilon hai po
Pakon sakeet dikah hai pruet ?
Bu meuntah dilon hai Po
Pakon meuntah dilon hai bu ?
Kayee basah dilon hai po
Pakon basah dilon hai kayee ?
Ujeun rah dilon hai po
Pakon kalakee dikah cangguek ?
Uleue bathuep dilon hai po
Pakon kabathuep dikah hai uleue ?
Kleueng sama dilon hai po ?
Pakon kasama dikah hai kleueng ?
Siwah tak dilon hai po
Pakon katak dikah hai siwah ?
Galak-galak kutak sigo.

Artinya

Uwak kerbau uwak, kerbau mati dalam kubangan
Mengapa mati dikau kerbau ?
Karena tak ada yang menggembala
Mengapa tak gembala hai buyung ?
Karena aku sakit perut
Mengapa sakit dikau hai perut ?
Karena kumakan nasi mentah
Mengapa mentah dikau hai nasi ?
Karena kayunya basah
Mengapa basah dikau hai kayu ?
Karena hujan menyiramiku
Mengapa kau siram wahai hujan ?
Karena katak memintaku.
Mengapa kau minta hai katak ?
Karena sang ular mematukku
Kenapa kau mematuk hai ular ?
Karena elang menyambarku
Untuk apa kau sambar hai elang ?
Karena siwah (burung rajawali) menyambarku
Mengapa kau sambar wahai siwah ?
Suka-suka kusambar sekali.

Sajak tersebut dinilai jaksa merupakan sinisme terdakwa. Di dalamnya tersimpan suatu perasaan permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap aparat penguasa/pemerintah saat itu.

Setelah mendekam selama dua tahun dalam penjara Sigli dan begitu keluar dari sana ia disambut oleh kawan-kawannya dengan diadakan suatu rapat umum. Selesai rapat umum ini, populeralitas Thaib Adamy meningkat di kalangan pengikut dan simpatisannya. Ia merupakan tokoh PKI yang didaulat anggotanya untuk menyambut persiapan tibanya hari H yang telah dirancang para pemimpinnya, yaitu apa yang kita kenal kemudian G 30 S/PKI, yang merupakan awal terjadinya krisis nasional di Indonesia.

II

Selanjutnya, mengapa dan bagaimana partai yang beideologi komunis itu dapat hadir di tengah-tengah masyarakat Aceh yang penduduknya semua beragama Islam dan menganut agamanya secara fanatik. Di samping itu juga terdapat ungkapan yang berarti antara adat dengan syariat Islam telah menyatu seperti dikatakan dalam sebuah hadih maja Aceh yang berbunyi Adat ngon hukom lagee zat ngon Sipheuet (adat dan syariat Islam seperti zat dengan sifat).

Secara historis PKI sudah mulai berkembang di Aceh semenjak zaman kolonial Belanda yang dibawa oleh kaum pendatang. Hadirnya kekuasaan kolonial melalui berbagai infrastruktur yang dibangun dalam upaya memantapkan Daerah Aceh menjadi bagian integral dari wilayah Nedelandsch-Indie (Hindia Belanda) tentulah menimbulkan dampak tertentu terhadap ekosistem masyarakat Aceh. Struktur demografis masyarakat Aceh berubah cepat dengan kehadiran pendatang baru untuk bekerja pada sektor moderen, seperti pegawai pemerintah, pegawai kereta api, karyawan perusahaan, buruh kebun atau tambang, dan buruh pelabuhan atau pabrik yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Sensus 1930 menunjukkan bahwa hampir 10 persen dari 1.003.62 jiwa penduduk Aceh pada waktu itu adalah pendatang dari luar. Hal ini berarti tiap 10 orang penduduk Aceh satu orang dari luar daerah. Mereka ini terkonsentrasi kalau bukan di kota-kota yaitu di perkebunan atau di kawasan pertambangan (Volkstelling 1930).

Penggunaan tenaga pendatang dalam pengoperasian sektor modern itu tentulah terkait erat dengan kondisi objektif tenaga kerja orang Aceh yang belum memiliki ketrampilan untuk masuk dalam sektor tersebut. Lagi pula sikap anti kafir dan keengganan bekerja sebagai buruh merupakan faktor penarik masuknya tenaga kerja dari luar daerah ke daerah Aceh ini pada waktu itu.

Para pendatang kebanyakan berada di seputar kota-kota dan kantong-kantong perkebunan atau pertambangan yang pada umumnya berada di kawasan Aceh Timur, khususnya di kota Langsa sebagai ibukota kabupaten.. Sementara orang-orang Aceh masih hidup di kampung-kampung (gampong) dengan pertanian sebagai basis kehidupannya. Masyarakat agraris Aceh ini berada di bawah kekuasaan kaum bangsawan sebagai puncak hirarki kekuasaan lokal yang telah mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial.

Dengan situasi demikian ideologi komunis mulai merembes masuk ke wilayah Aceh tatkala gerakan tersebut memasuki Hindia Belanda pada akhir dasawarsa tahun 1910-an. Sudah dapat ditebak bahwa gerakan tersebut menapak pertama kali di daerah Aceh lewat pekerja-pekerja yang berasal dari luar kota atau pusat perkebunan dan pertambangan mengingat lokasi tersebut terintegrasi dengan dunia luar. Gembong kaum komunis di Aceh pada waktu itu umumnya berasal dari kaum pendatang.

Menurut hasil Laporan Politik Hindia Belanda di Aceh, Mailr No. 899geh/26, Mailr No. 1304geh/33, dan Mailr No. 259geh/39 pada tahun 1920-an, yang memantau setiap kegiatan para aktivis partai komunis menyatakan bahwa mereka berusaha merekrut kaum buruh. Pada lokasi-lokasi perkebunan seperti disebut di atas terdapat dua saudara ipar asal Minangkabau, A. Karim M.S. dan Nathar Zainuddin, Minggu serta Maswan yang berasal dari Jawa, sebagai aktivitis komunis yang menonjol di Aceh pada waktu itu.

Meskipun pada mulanya sasaran propaganda komunis adalah para pekerja kebun, tambang, pelabuhan, buruh kereta api, pegawai pemerintahan lambat laun gerakan ini menjalar pula di kalangan orang Aceh yang telah mendapat pengaruh budaya urban (kota) yang tidak puas dengan struktur sosial masyarakat feodalistik. Hal ini dapat disaksikan misalnya pada diri Cut Din, putra seorang Kadhi Meusapat Meulaboh (Aceh Barat) dan T. Ali Basyah, mantan uleebalang Matang Kuli (Aceh Utara) yang telah diberhentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, meskipun posisi mereka tidak begitu berpengaruh dalam menentukan kehidupan partai komunis di Aceh.

Seperti rekan-rekannya di Pulau Jawa, aktivis komunis terus mengambil beberapa tindakan untuk menohok kepentingan Belanda di Aceh. Pada 14-15 April 1926 malam diadakan sebuah rapat di bawah pimpinan Abdul Muluk, seorang propagandis asal Minangkabau yang berdomisili di Medan. Rapat berlangsung di Meunasah Ulee Ceue, Gampong Namploh, Samalanga. Dalam rapat itu membicarakan kegiatan dan usaha yang diperlukan oleh partai tersebut. Untuk itu, Maswan yang bekerja pada kantor Kas daerah, pada tanggal 31 Mei 1926 menggelapkan uang kas daerah sebanyak f 25.000 bagi keperluan pembiayaan operasi mereka. Rapat-rapat gelap serupa dalam upaya menyusun kekuatan kaum komunis juga berlangsung pada tempat-tempat yang lain.

Pemerintah Kolonial Belanda tentulah tidak tinggal diam menghadapi ancaman yang sedang diorganisir oleh kaum komunis itu. Polisi rahasia Belanda bergerak cepat untuk menindas gerakan ini sebelum menjadi besar. Para aktivis komunis di Aceh segera ditangkap dengan bermacam-macam tuduhan. Mereka semuanya dijatuhi hukuman berupa perintah untuk meninggalkan daerah Aceh (interniring). Di antara aktivis yang telah disebutkan di atas, hanya Cut Din yang dilepaskan kembali pada tahun 1932 setelah terlebih dahulu pemerintah kolonial mendapat jaminan dari ayahnya, sedangkan yang lain kebanyakan dari mereka dibuang ke Boven Digul, Irian.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penangkapan-penangkapan yang terjadi pada aktivis komunis pada akhir tahun 1926 menyebabkan gerakan itu menjadi hilang dari daerah Aceh hingga akhir masa kekuasaan kolonial. Gerakan komunis memulai kembali riwayatnya di tanah Aceh adalah pada bulan November 1945, yaitu sebulan setelah pembentukan Karesidenan Aceh, dengan terbentuknya cabang PKI di bawah pimpinan Saiman di Kutaraja, PKI Aceh tunduk kepada komisaris PKI Sumatra di Medan yang pada waktu itu dijabat oleh A. Karim MS.
Dalam situasi revolusi kemerdekaan untuk membebaskan diri dari usaha kolonial Belanda yang berhasrat menguasai kembali Indonesia cukup dimengerti bila partai komunis ikut ambil bagian yang cukup penting.

Karenanya pada bulan-bulan pertama revolusi, A. Karim MS, baik kedudukannya sebagai komisaris PKI Sumatra maupun sebagai residen yang diperbantukan pada kantor Gubernur Sumatra berkali-kali datang ke Aceh untuk menggembleng massa seraya melakukan pertemuan dengan kaum politisi di Kutaraja. Demikian pula onderbouw-onderbouw PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi) membuka cabang-cabang baru pada basis-basis tradisional mereka, yaitu pusat pertambangan atau perkebunan, pelabuhan, kereta api, dan pabrik. Di samping itu, ditemukan pula beberapa generasi muda Aceh yang tergiur oleh slogan-slogan revolusioner. Ke dalam kelompok ini dapat digolongkan Thaib Adamy, wakil sekretaris Comite PKI Aceh, yang telah menjalin hubungan akrab dengan A. Karim MS.

Seirama dengan anggaran dasar PKI yang disahkan oleh Kongres VI tanggal 11-13 Januari 1947 di Solo dalam pasal 3 disebutkan PKI berusaha mencapai tujuannya dengan jalan perjuangan kelas yang revolusioner, yaitu perjuangan kelas buruh, tani dan golongan-golongan yang terhisap serta tertindas terhadap kelas berjouis. Sikap anti penindasan dan anti penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi slogan PKI sebagaimana kutipan di atas, yang meronai perjuangan politiknya menyebabkan PKI kerap kali berada dalam posisi berhadapan dengan kelompok berkuasa di Aceh. Karenanya tatkala Tgk. A. Husein Al Mujahid dengan TPR (Tentara Perjuangan Rakyat) pada akhir Februari permulaan Maret 1946 melakukan aksi menurunkan kaum bangsawan dari tahta kekuasaannya di Aceh, yang dikenal dengan “Peristiwa Cumbok” atau “Revolusi Sosial”, dua tokoh komunis, yaitu Nathar Zainuddin dan Thaib Adamy ikut ambil bagian. Mereka menganggap gerakan tersebut merupakan gerakan pembebasan dari kesewenang-wenangan kaum ningrat di Aceh sebagai kelas berjouis.

Aliansi diantara PKI dengan kaum pembebas itu tidak selalu kekal.. Manakala kaum komunis menganggap pemerintah yang baru telah melakukan praktik yang serupa. Aktivis kaum komunis pun kembali menggerakkan massa mereka untuk menentang penguasa lewat agitasi politik dan masalah demokrasi. Konflik yang cukup seru antara aktivis komunis dengan kelompok berkuasa di Kutaraja terjadi pada akhir revolusi ketika masing-masing pihak ingin memperkokoh kekuasaannya pada pemilikan ladang minyak dan kebun, terutama di Aceh Timur. Salah satu letupannya dikenal dengan “Langsa Affair” pada bulan Mei 1949. Dan pada saat Aceh menjadi provinsi sendiri, tidak lagi di bawah Provinsi Sumatra Utara, PKI merupakan salah satu partai yang menentangnya. PKI tetap menginginkan Aceh tetap sebagai sebuah karesidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara.

Mengingat situasi seperti tersebut di atas dapat dipahami sewaktu status otonomi daerah Aceh diperdebatkan pada tahun 1950-1953 aktivis komunis bergabung dengan kelompok unitaris lain supaya daerah Aceh tunduk sebagai bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Sebab dari sudut kepentingan politik, mereka lebih dapat mengecap keuntungan dengan status karesidenan bagi daerah Aceh di bawah Provinsi Sumatra Utara.
Demikian pula tatkala gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) meletus Partai Komunis merupakan salah satu unsur yang mendukung garis keras dalam memadamkan gerakan itu. Keberanian aktivis PKI memperjuangkan ide-idenya di Aceh semakin meningkat pada masa demokrasi terpimpin. Pada saat itu pimpinan partai komunis berada di awah pimpinan Muhammad Samadikin asal Jawa, sebagai sekretaris I Comite Daerah Aceh dan Thaib Adamy sebagai wakil sekretaris.

Hal demikian terlihat bukan saja pada garis pendiriannya terhadap rencana menerapkan unsur-unsur syariat Islam di Aceh, melainkan juga pada perilaku politik di luar sewaktu mengembangkan pengaruh partai itu terhadap massa. Sebagai contoh Thaib Adamy, wakil sekretaris comite daerah, terpaksa berhadapan dengan Pengadilan Sigli pada bulan Agustus-September 1963 untuk mempertanggungjawabkan pidatonya dalam rapat umum PKI di kota Sigli pada tanggal 3 September 1963, sebagaimana telah disebutkan di atas, yang dianggap oleh penguasa daerah saat itu bersifat menghasut rakyat. Beberapa bulan sebelumnya kejadian mirip di atas juga menimpa sekretaris dan wakil sekretaris comite Aceh Utara, yaitu Ismael dan Ibrahim Sufi.

Sesungguhnya eksistensi PKI di Aceh sebelum 3 September 1965 memang legal, bukan partai terlarang dan sah-sah saja secara nasional seperti partai politik lainnya, kendati kekuatannya tidak begitu besar di elite kekuasaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2/211/50 – 129 tanggal 9 September 1961 anggota DPR-GR Daerah Istimewa Aceh jumlahnya 30 orang. PKI hanya diwakili oleh 2 orang anggota, yaitu Thaib Adamy dan Nyak Ismail (kemudian keduanya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des 2/8/45 tanggal 24 – 4 1966 diberhentikan dengan tidak hormat, terhitung tanggal 30 September 1965). Meskipun di DPR-GR PKI diwakili oleh 2 orang anggota, namun PKI banyak mempunyai kader di lapisan bawah mereka dibujuk dengan cara menerjemahkan PKI sebagai Partai Kejayaan Islam, sedangkan BTI sebagai Barisan Tani Islam, sehingga orang awam Aceh menganggap organisasi tersebut sebagai organisasinya orang-orang Islam.

Memang propaganda dan sistem pengkaderan PKI dilakukan begitu gencar di Aceh seperti melibatkan para petani miskin, buruh-buruh perkebunan, buruh di sektor kota, pegawai pemerintahan golongan bawah bahkan para buruh perkeretaapian Aceh dan lain-lain. PKI dengan para pemimpinya seperti Thaib Adamy, Samadikin asal Jawa, dan Anas HC (Ketua Pemuda Rakyat di Aceh) asal Sumatra Barat memberikan alat-alat pertanian kepada petani dan bibit tanaman keras kepada buruh serta PKI pun menjanjikan kredit kepada pengusaha gurem dan kepada mahasiswa -onderbouw PKI yaitu CGMI- dijanjikan kuliah di Moskow dan RRC.

Namun dalam kenyataan mereka hampir tidak dapat menguasai penduduk di sekitar pesisir pantai (nelayan) seperti Pidie dan Aceh Utara.
Ketika bulan Oktober 1965 bukti PKI di Aceh yang kelihatan hebat dan besar itu ternyata tidak berarti apa-apa ketika diamuk oleh massa pemuda Aceh. Banyak rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa ikut pula menjadi menjadi korban pada peristiwa G30 S yang terkenal itu.
Bagi masyarakat Aceh jelas PKI itu harus dibasmi karena PKI tidak bertuhan. Menurut massa pemuda Aceh, orang-orang PKI itu harus dieksekusi hukuman mati dan hukuman mati ini merupakan hukuman yang setimpal dengan gerakan yang dilakukan mereka, yang senantiasa merugikan negara serta mengancam UUD 1945 dan Pancasila.

III

Anggota PKI dan ormas-ormasnya di seluruh daerah Aceh berkisar belasan ribu. Jumlah anggota dapat mencapai belasan ribu ini setelah para pemimpinnya berani melancarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah, khususnya terhadap kebijaksanaan pemerintah daerah. Para pemimpin komunis seperti Thaib Adamy pada masa pra G 30 S rela membiarkan dirinya dihukum karena menghina pemerintah asal masyarakat simpati terhadap perjuangan PKI dan PKI berada di pihak yang benar. Moment-moment seperti itu mereka gunakan untuk membentuk opini publik. Ternyata, taktik yang mereka lancarkan itu berhasil. Satu demi satu masyarakat Aceh menjadi terpengaruh, terutama masyarakat awam yang tidak mengerti tentang masalah politik.

Masyarakat awam menganggap bahwa arah perjuangan PKI cukup bagus, sehingga jumlah anggota maupun simpatisan PKI di daerah Aceh semakin bertambah. Hal ini menyebabkan generasi muda Aceh kala itu menjadi cemas dan berusaha mengimbanginya. Beberapa tokoh mahasiswa yang juga anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti Said Hasan Babud, Ali Basyah Amin, dan lain-lain secara diam-diam menemui Panglima Kodam I/Iskandar Muda yang waktu itu dijabat oleh Brigjend Ishak Djuarsa. Mereka minta agar membatasi ruang gerak PKI di Aceh, mengingat sepak terjangnya semakin mendesak generasi muda yang cinta Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan negara.

Sementara PKI secara terbuka mendesak terus agar pemerintah khususnya pemerintah daerah Istimewa Aceh segera membubarkan HMI.
Empat bulan menjelang meletusnya G 30 S, PKI di Aceh telah mempersiapkan barisan angkatan kelimanya dan selalu mengadakan latihan di lapangan Neusu, Banda Aceh. Untuk mengimbangi hal tersebut para mahasiswa yang antikomunis mulai mengadakan aksi gelap yang menyebarkan pamplet yang isinya menyerang PKI. Kemudian membentuk resimen mahasiswa yang berlatih di Mata Ie, yang juga tempat latihan TNI. Selain itu, bermacam cara dilakukan oleh para mahasiswa dan ormas/orpol lainnya di Aceh untuk “menghantam” PKI. Adapun konseptor mahasiswa dalam melawan strategi dan ekspansi PKI di Aceh adalah Noor Majid.

Selain itu, para santri dari seluruh Dayah di Banda Aceh dan Aceh Besar juga turut dalam aksi melawan PKI. Pada masa itu Usman WD (mantam MW Sekjend KAMI Aceh) mengadakan kontak dengan para santri dan turut mengkoordinir rapat-rapat umum yang diadakan oleh barisan antikomunis untuk mengadakan perang urat syaraf terhadap PKI.

Muncullah tokoh-tokoh santri seperti Said Zainal Abidin, Yusuf Isa dan Hamdan. Mereka inilah yang menyebarkan pamflet menghantam PKI di tempat-tempat yang dianggap strategis, sehingga tidak urung ketiga tokoh santri ini terpaksa bersembunyi karena dikejar oleh petugas keamanan.

Pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya G 30 S para santri siap siaga. Begitu juga para mahasiswa di Kampus Darussalam. Barisan Pancasila ini awalnya menunggu dan belum berani bergerak karena belum ada yang mempelopori atau yang mengomandoinya. Pada 2 Oktober tengah malam diterimalah informasi melalui Noor Majid bahwa PKI lah yang mendalangi peristiwa G 30 S yang telah merenggut 7 jiwa para jenderal Angkatan Darat.

Mereka pun mengadakan rapat dan membentuk markas mahasiswa. Kemudian dari tugu Darussalam para mahasiswa membawa 3 bendera Dewan Mahasiswa dan Bendera Senat menuju Biro Rektor Syiah Kuala, Biro Rektor IAIN dan Dekan Koordinator IKIP Bandung Cabang Banda Aceh. Di sini para mahasiswa membuat pernyataan yang isinya mengutuk G 30 S yang dikatakan dalangnya adalah PKI.

Setelah itu dengan mengendarai tiga mobil para mahasiswa bergerak dari Darussalam membawa bendera merah putih dan mengibarkannya di depan Hotel Nyak Sarong Jl. Muhammad Jam Banda Aceh. Saat itulah bermunculan bendera-bendera ormas pendukung Pancasila dan UUD 1945.

Setelah beredar kabar secara luas bahwa G 30 S benar-benar didalangi oleh PKI yaitu melalui Surat Keputusan No. Kep/Pepelrada-29/10/1965 Panglima Daerah Pertahanan A selaku Penguasa Palaksanaan Dwikora Daerah untuk Daerah Istimewa Atjeh, Brigadir Jenderal Ishak Juarsa menetapkan membekukan dan menghentikan sementara waktu semua kegiatan PKI Aceh dengan organisasi-organisasi onderbouw-onderbouwnya. Selain itu, juga didukung oleh Keputusan-keputusan Musyawarah Alim Ulama se Daerah Istimewa Atjeh, yang antara lain mengambil keputusan ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram dianut oleh umat Islam, pelaku/dalang G 30 S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas habis, pembubaran PKI dan larangan penyebaran atheisme dalam bentuk apa pun adalah wajib dilakukan.
Di Banda Aceh sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada saat itu, penumpasan terhadap gerakan PKI paling cepat berlangsung.

Menurut seorang informan hanya sekali PKI di daerah ini melancarkan aksinya setelah Letnan Kolonel Untung mengumumkan susunan Dewan Revolusi melalui RRI Jakarta. Mereka menyebarkan selebaran gelap berupa pamflet yang isinya menyebutkan bahwa Kampung Keudah, Banda Aceh akan dibumi hanguskan. Selebaran gelap itu ternyata cukup membuat panik masyarakat di kawasan itu. Namun si pelaku berhasil diamankan setelah Said Umar Al Habsyi (Wadan Kie Legiun Veteran) mengkoordinir masyarakat yang benar-benar Pancasilais berjaga-jaga selama 24 jam. Suasana saat itu atau tiga hari setelah meletusnya G 30 S di Jakarta cukup mencemaskan. Masyarakat mendengar di Jakarta ada penculikan Jenderal TNI AD namun menjadi tanda tanya siapa yang menjadi biang keladi gerakan penculikan tersebut. Bahkan sebagian masyarakat mengira Letnan Kolonel Untung sebagai pahlawan karena berhasil menyelamatkan Presiden Soekarno, seperti yang disiarkan melalui RRI.

Sedangkan massa rakyat yang Pancasilais belum berani mengambil tindakan dan anehnya orang-orang PKI termasuk gembongnya seperti sudah mengetahui apa yang bakal akan menimpa mereka. Orang-orang komunis ini mulai minta perlindungan, baik ke kepolisian yang kala itu bernama distrik Aceh Besar maupun ke Kodam I/Iskandar Muda.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Pangdam I/Iskandar Muda yang pada waktu itu dijabat Brigadir Jenderal TNI Ishak Juarsa. Panglima kodam yang dikenal antikomunis ini mengumpulkan orang-orang komunis yang menyerah itu ke Dodiklat Mata Ie, menunggu perkembangan selanjutnya. Selain ada yang menyerahkan diri, sebagian besar orang-orang PKI di Aceh ada juga yang mencoba melarikan diri dengan menumpang kereta api milik PJKA yang pada waktu itu masih aktif. Namun mereka berhasil “diamankan” oleh massa yang bergerak setelah semuanya terungkap bahwa PKI-lah sebagai dalang dari gerakan G 30 S.

Pada tanggal 3 Oktober 1965 Front Nasional mengadakan rapat untuk menyatakan sikap mengutuk gerakan yang mengambil alih kekuasaan negara. Rapat dipimpin Nyak Adam Kamil (selaku Gubernur), hadir Brigjend Ishak Djuarsa (Pangdam I/Iskandar Muda), Syamsuri Martoyoso (kepala Kepolisian), Said Mukhtar (PSII), Syarifuddin (NU), T. Ibrahim (Perti), Thaib Adamy dan Abubakar Sidik (PKI), H. Syamaun (PNI).
Pangdam I/IM dengan tegas mengatakan serahkan saja kepada rakyat, apakah ia mau mempertahankan Pancasila atau memihak PKI.
Sejak tanggal 5 Oktober 1965 di Banda Aceh dan kota lain di Aceh telah terjadi demonstrasi dari PNI (Haji Syamaun), para mahasiswa, organisasi massa. Dengan mengucapkan Allahu Akbar, mereka menuntut membubarkan PKI. Kantor PKI diubrak-abrik. Malamnya terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan onderbouw PKI serta Baperki.

Pada tanggal 16 Desember 1965 diadakan Musyawarah Ulama Aceh yang melahirkan fatwa komunisme hukumnya kufur dan haram (seperti telah disebutkan di atas). Oleh Pangdam I/Iskandar Muda selaku Pepelrada untuk Kodim 0101 (Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar pada saat itu) selaku Kosekhan diperintahkan untuk membentuk Tim Secreening guna meneliti dan memproses para anggota PKI dan ormasnya. Tim Secreening dapat menentukan apakah mereka terlibat atau tidak dalam G 30 S. Dengan adanya tim ini telah dapat dihindarkan tindakan liar dari para pemuda atau Ormas untuk mengambil keputusan terhadap orang yang tersangka anggota PKI serta Ormasnya.

Ketua Tim Secreening Kosekhan 0101 dipegang oleh Dandim sendiri, wakil Kapten Drs. M. Syah Asyik, anggota-anggota Letnan T.M. Jalil, Letnan M. Daud Musa (CPM), Peltu Syamsuddin (CPM), Suherman, A. Mukti, Syamsuddin (dari Kepolisian), Sudarman dari Kejaksaan Negeri dan Said Abubakar dari Biro Politik dan Keamanan. Kantornya berada di gedung Baperki (sekarang SMP 7 Peunayong Banda Aceh), kemudian dipindahkan ke kantor Kodim 0101 di Jalan Sultan Mahmudsyah. Selain itu, anggota PKI dan ormasnya dari Kotamadya Sabang juga dibawa ke Banda Aceh untuk diseleksi terlibat atau tidak.

Sekretaris dan wakil sekretaris CD PKI Aceh, Muhammad Samidikin dan Thaib Adamy serta sejumlah anggota PKI dan ormas-ormasnya juga mereka yang diangggap PKI telah terbunuh. Thaib Adamy waktu akan dipancung dia minta disampaikan salam pada Bung Karno dan meneriakkan Hidup Bung Karno. Ketua Gerwani, Ketua Pemuda Rakyat, anggota CGMI, ketua Baperki dan lain-lainnya telah dieksekusi oleh massa pemuda. Biro khusus Nyak Amat diajukan ke pengadilan. Keluarga (istri dan anak-anak M. Samidikin) oleh Kosekhan (Tim Screening) dikawal melalui kereta api diantar dengan selamat ke kampungnya di Tanjungpura, Sumatra Utara. Ada 1 orang anak-anak yang dibunuh oleh massa, seperti anak dari Thaib Adamy yang berumur 14 tahun. Demikian juga Kasan Siregar, mantan ketua PKI juga menemui ajal karena dieksekusi. Padahal Kasan Siregar selaku kepala Kampung Baru, Banda Aceh seorang yang sering shalat ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Terdapat juga aktivis PKI yang lari ke luar Aceh seperti Cut Husin, K. Ampio, dan Lim Ka Kee.

Pembersihan-pembersihan terhadap anasir-anasir PKI hingga tahun 1966 terus dilakukan, tetapi ternyata di beberapa dinas dan jawatan serta ditubuh aparat keamanan sendiri disinyalir masih ada oknum PKI maupun simpatisannya. Melihat hal ini para aktivis mahasiswa Darussalam kembali mencoba mengadakan gebrakan. Kali ini gebrakan yang mereka lakukan bukan melalui selebaran, tetapi mereka coba melalui pemancar gelap. Beberapa pemuda dari kalangan Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) seperti Mansyur Amin, Nurdin AR (mantan Bupati Pidie), Let Bugeh dan T. Syarief Alamuddin meminta agar Tjut Sofyan meminjamkan perangkat radio yang dimilikinya. Kemudian muncullah radio Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang mengudara dan berstudio diatas dek rumah bekas gembong Baperki yang telah direbut massa, mulai menuding satu persatu oknum PKI yang masih bercokol di pemerintahan daerah dan ditubuh aparat keamanan. Akhirnya, setelah beberapa minggu radio gelap itu mengudara mulailah bercopotan oknum dan simpatisan di dinas dan jawatan serta aparat keamanan, meskipun para aktivis itu dikejar-kejar aparat keamanan.

Dari beberapa informan dapat diketahui bahwa para eksekutor terhadap aktivis PKI, ormas-ormasnya, dan mereka “yang dianggap” PKI diantaranya ada yang dikenal dari kalangan “preman” seperti di Banda Aceh dikenal Rami Plang dan Tuan Saleh. Namun dalam perkembangannya kedua eksekutor ini pun akhirnya “disingkirkan” juga oleh OTK (orang tidak dikenal). Adapun tempat eksekusi yang terkenal di sekitar Banda Aceh pada waktu itu adalah Mon Benggali di daerah Indrapuri dan kawasan Ie Seum (air panas) Krueng Raya. Untuk daerah di Meulaboh (Aceh Barat) tempat yang cukup dikenal sebagai tempat eksekusi adalah Rantau kepala Gajah, Kuala Trang.

Gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI tidak hanya terbatas di Banda Aceh saja, tetapi juga di daerah lain di Aceh. Di Kabupaten Pidie, seperti di daerah lain di Aceh, rakyat bergerak secara massa. Mereka terdiri dari partai politik, rakyat biasa, pemuda pelajar sedangkan aparat keamanan mengendalikan saja agar tidak terjadi hal-hal yang tidak melanggar hukum. Gerakan spontan dari masyarakat Pidie terjadi pada tanggal 6 Oktober 1965 setelah diketahui secara pasti bahwa PKI berada dibalik G 30 S. Saat itu, dipelopori partai NU, PNI, PSII bersama pemuda dan pelajar dan masyarakat, ribuan massa berkumpul di Mesjid Raya Sigli. Dari situlah pertama kalinya arus massa bergerak menghancurkan markas PKI di Kuala Pidie dan kantor Baperki di kota Sigli. Rumah-rumah yang dikenal kepunyaan tokoh PKI di beberapa tempat diobrak-abrik massa sehingga hancur lebur.

Pada beberapa daerah lain di Aceh, gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI juga berlangsung. Di Meulaboh (Aceh Barat) kantor PKI diobrak-abrik oleh massa pemuda yang mengamuk dan para aktivisnya pun banyak yang dieksekusi. Peristiwa eksekusi aktivis PKI ini memang bukan rahasia lagi kalau terjadi di Aceh. Hal-hal serupa terjadi pula di Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pembersihan aktivis-aktivis PKI di Aceh adalah sebuah perjuangan yang secara tidak langsung membendung kehadiran komunisme di Aceh yang disinyalir akan atau malah sudah memanfaatkan ajaran Islam untuk tujuan politik PKI.
IV

Menarik untuk disimak tulisan dalam koran Harian Serambi Indonesia tanggal 10 Oktober 2000 berjudul Sejarah G 30 S/PKI di Aceh perlu diluruskan. Dalam tulisan ini dimuat himbauan Panglima Perang AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) wilayah Batee Iliek Teungku Darwis Djeunib agar sejarah pemberangusan PKI di Aceh pada tahun 1965 perlu diluruskan kembali. Pada waktu itu, disebut Darwis, cukup banyak rakyat Aceh yang tidak tahu apa-apa tentang PKI menjadi korban pembunuhan dengan tuduhan sebagai anggota PKI atau simpatisannya. Sementara di Pulau Jawa sebagai basisnya PKI hanya sekedar ditahan dan kemudian dilepaskan kembali. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Indonesia. Teungku Darwis Djeunib mengemukakan hal ini dalam mengkritisi keinginan Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin buku-buku sejarah seputar Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Peristiwa G 30 S/PKI.

Apa yang dikatakan Teungku Darwis Djeunib tersebut merupakan sekedar gambaran tentang banyaknya rakyat Aceh yang menjadi korban akibat dieksekusi pada peristiwa G 30 S/PKI tersebut. Memang menurut perkiraan seorang informan yang informasinya didapatkan dari keterangan Panglima Penguasa Militer pada waktu ada sekitar 2.000 jiwa rakyat Aceh yang menjadi korban akibat peristiwa itu. Di antara mereka yang dieksekusi disinyalir ada yang tidak mengerti apa yang disebut dengan PKI itu sesungguhnya.

Mereka hanya “dituduh” sebagai PKI karena diberikan cangkul oleh sebuah organisasi (BTI) yang konon disebutkan “Barisan Tani Islam” dan mereka tidak pernah atau tanpa diadili terlebih dahulu. Misalnya, kejadian yang dialami oleh Ibrahim Kadir dari Aceh Tengah. Ia diseret ke penjara dengan tuduhan terlibat PKI. Namun pada hari ke-23, Ibrahim Kadir dilepaskan dari penjara dengan alasan kekeliruan dalam penangkapan. Kejadian seperti ini diakui oleh beberapa aktivis organsisasi massa pada waktu itu yang ikut bersama massa dalam “pembasmian” PKI di Aceh pada waktu itu.

Massa mulai beraksi setelah mendapat informasi bahwa dalam peristiwa G 30 S yang telah membantai sejumlah perwira TNI Angkatan Darat di Jakarta adalah PKI. Dengan serta merta berbagai kekuatan sosial politik yang anti PKI (lebih-lebih organisasi yang sebelumnya dimusuhi oleh PKI) langsung bertindak. Para aktivis PKI ditangkap, dipenjarakan atau dibunuh. Sementara kantor, markasnya diobrak-abrik oleh massa yang sedang diamuk kemarahan. Reaksi massa ini didukung atau mendapat angin dari pihak militer dan ulama Aceh pada waktu itu.

Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju dan suka atau tidak suka terhadap tindakan /kekuatan dari organisasi massa seperti demikian, suatu hal yang menarik untuk dikaji adalah mengapa massa rakyat Aceh begitu cepat dan antusias bergerak dalam “pembasmian” PKI dan simpatisannya di daerah Aceh pada waktu itu.

Paham atau ajaran komunis yang mengingkari esensi dan eksistensi Tuhan sangat bertentangan dengan kepercayaan masyarakat Aceh sebagai penganut fanatik ajaran agama Islam. Selain itu, gerakan-gerakan komunis dinilai mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang diperlihatkan ketika terjadinya peristiwa G 30 S. Ditinjau dari ajarannya sangat wajar sekali kalau komunis harus dienyahkan dari bumi Aceh, karena sangat bertentangan dengan naluri rakyat Aceh yang dikenal agamais. Namun apabila dikaji secara cermat, faktor paling dominan yang meluapkan kemarahan rakyat untuk “mengganyang” komunis dan ormas-ormasnya di Aceh ialah karena gerakannya bukan pahamnya. Hal ini dapat dilihat bahwa komunis sempat bercokol di Aceh (ada yang menjadi anggota DPRD-GR) meskipun diketahui dari semula bahwa mereka menganut paham yang jelas-jelas bertentangan dengan mayoritas keyakinan masyarakat Aceh. Namun belum ada upaya pada waktu itu untuk menghancurkan kaum komunis.

Dengan demikian sebab yang paling dominan penyebab “penyingkiran” kaum komunis dan antek-anteknya dari Aceh pada hakikatnya adalah karena gerakannya yang kemudian dibumbui dengan pahamnya yang atheis. Adanya legalitas dari para ulama menyebabkan massa menjadi tidak ragu-ragu dalam bertindak untuk “menyingkirkan” PKI dari daerah Aceh.
___

Daftar Pustaka

1. Buku dan Artikel

A. Hakim Dalimunthe. Gerak-gerik Partai Politik. Langsa: Toko Buku “Gelora”, 1950.

A. Hasjmy. Semangat Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang tahun 1985

Andari Karina Anom dan J. Kamal Farza.”Ibrahim Kadir: “Saya Melihat Manusia Dibantai Seperti Binatang”. Tempo No. 52/XXVIII/28 Februari – 5 Maret 2000.

A.R. Ibrahim. “Awal Kehancuran PKI di Aceh” dalam Serambi Indoensia tanggal 30 September 1993.

Ismuha. “Dua Kali Pemberontakan PKI Jatuh dalam bulan September”, dalam Waspada tanggal 2 Oktoberr 1985.

Kementerian Penerangan RI. Kepartaian di Indonesia. Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1950.

Penguasa Perang Daerah Militer I Atjeh. Sumbangan Pemuda Atjeh Pada Kongres Pemuda Seluruh Indonesia tanggal 14-21 Februari 1960 di Bandung. Banda Atjeh: Penguasa Perang Daerah Militer I Atjeh, 1960.

M. Isa Sulaiman, “Hilangnya Sebuah Gerakan Radikal di Aceh”. Atjeh Post. Minggu Kelima September 1989

Miswar Sulaiman. “Mesjid Bebesen Aceh Tengah Korban Kebrutalan PKI” dalam Waspada tanggal 5 Februari 1986.

“Mesjid Quba’ Takengon akan diusulkan jadi Monumen Pancasila” dalam Waspada tanggal 10 Januari 1986.

Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar. Sjamaun Gaharu Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal. Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Ramli Abdul Wahid. “Komunisme dan Keputusan Muktamar Alim Ulama Se Indonesia”. Waspada tanggal 12 Mei 2000.

Rasyidin Sulaiman. “Mengenang Peristiwa G 30 S di Pidie” dalam Waspada tanggal 29 September 1986.

Said Abubakar. Berjuang untuk Daerah. Banda Aceh: Yayasan Naga Sakti Banda Aceh, 1995.

“Said Umar Al Habsyi: Hanya Sekali PKI Lancarkan Aksinya di Banda Aceh” dalam Waspada tanggal 22 September 1986.

“Sejarah G30S PKI di Aceh perlu diluruskan” dalam Serambi Indonesia tanggal 4 Oktober 2000.

Sekretariat Negara RI. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.

Surat Keputusan Panglima Daerah Pertahanan A No. Kep/Pepelrada-29/10/1965 tanggal 29 Oktober 1965 tentang pembekuan dan pemberhentian kegiatan PKI dan ormas-ormasnya di Aceh.

T. Alibasyah Talsya. “Aceh Menentang Pengkhiatan Komunis” dalam Waspada tanggal 29 April 1986.

__________________. Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Atjeh. Banda Atjeh: Pustaka Putro Tjanden, 1969.

Teuku Raja Itam Aswar . “Awas Bahaya Latent Komunis”. Makalah

Thaib Adamy. Atjeh Mendakwa. Banda Aceh: Comite PKI Atjeh, 1964.


2. Laporan

Laporan Politik Hindia Belanda di Aceh Mailr No. 899geh/26, Mailr No. 1304geh/33, dan Mailr No. 259geh/39 pada tahun 1920-an


Daftar Informan

1. Mudji Budiman, 74 Tahun, Mantan Anggota DPR RI.

2. T. Raja Itam Aswar, SH, 75 tahun, mantan jaksa dan ketua DPRD Kab. Aceh Besar

3. Mahyudin Hasyim, 72 tahun, mantan anggota DPR, Bupati Pidie, dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi D.I. Aceh.

4. Said Abubakar, 75 tahun, mantan wartawan dan sekretaris DPRD Aceh.

5. Ridwan Azwad, 57 tahun, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

6. Zainudin Hamid (populer dengan sebutan Let Bugeh), 62 tahun, mantan aktivis mahasiswa Unsyiah.

Sumber: BPSNT Aceh 

0 komentar:

Posting Komentar