Sabtu, 14 Februari 2009

Terhempas dari Negeri Sendiri karena Mewarisi Nama Besar yang Dikutuk Orde Baru

 Oleh Ahmad Yunus*


Ilustrasi: Putri pertama DN Aidit, Ibarruri, Mahadir Basti, Ilham (putra DN Aidit) dan anaknya saat di terminal bandara. (Dari kanan ke kiri). [Sumber: PosBelitung]

JOGJAKARTA rasanya lebih dingin dari biasanya. Sisa-sisa bangunan hancur akibat gempa masih terlihat jelas. Iba sesekali menjepret beberapa obyek, tak terkecuali anak-anak yang sedang bernyanyi riang. Dia juga akhirnya ikut bernyanyi.

Relawan-relawan muda Samin (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia) hilir-mudik di sekitar Iba. Beberapa di antara mereka merokok dan minum kopi sekadar melepas lelah. Malam terus larut meninggalkan senja sore.
Iba juga melepas lelah. Di ruang kamar depan, dia terdiam dalam keheningan. Kini, dia memaksa kembali tangannya untuk menulis di komputer jinjingnya. Terus menulis kisah lawatannya di Indonesia. Pun tentang kenangannya.

Kami baru saja dari Semarang, salah satu kota tempat sebagian kenangan selalu mengusik Iba. Masih segar dalam ingatan, Iba diantar adiknya, Ilham, saat memasuki stasiun kereta api Bandung. Cahaya lampu cukup terang untuk menerangi gelap malam. Iba menggendong tas. Dua tas koper jinjing berisi penuh bukunya di tangan kanan-kirinya.

Di atas gerbong, Iba mengobrol santai dengan Ilham. Saat kereta hendak berangkat, Ilham mencium kening Iba. Petugas kereta api meniup peluit tanda keberangkatan. Ilham turun dan melambaikan tangan. Iba membalasnya.

“Hati-hati. Titip Iba, ya” teriak Ilham pada saya.

Iba merebahkan badannya pada kursi gerbong. Udara dingin dari air conditioner di dalam gerbong merayap cepat. Iba menaikkan selimut, menarik kursi agak ke belakang dan memasang bantal tipis pada kepalanya. Kereta api melaju pelan.

“Saya belum makan,” kata Iba.

“Saya bawa makanan kecil. Roti dua buah dan keripik jagung,” saya menimpali.

Iba mengambil roti pisang keju. Saya makan keripik jagung. Iba bercerita pengalaman naik kereta api di Perancis. Kereta api di sana berjalan sangat cepat. Dari kota Paris hingga ke Perancis bagian utara hanya membutuhkan beberapa jam saja. Kereta api melesat cepat hingga 400 kilometer tiap jam. Tapi ia juga suka kereta api saat ini. Nyaman dan bersih. Ia duduk dekat dengan kaca jendela. Berusaha melihat pemandangan keluar, namun gelap.

***


Ilustrasi: Sumaun Utomo dan Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [Sumber: Komunitas Pegiat Sejarah Semarang] 

MALAM menuju pagi. Iba tertidur pulas. Kereta api terus melaju hingga berhenti di Stasiun Tawang, Semarang. Udara terasa hangat.
Pagi sekitar pukul 05.15, taksi yang membawa kami berhenti di rumah kediaman Sumaun Utomo. Orang ini berusia kepala delapan.

Seekor anjing kecil berbulu gelap, menyalaki kami. Rumah asri banyak tanaman kecil. Ruangan bersih. Utomo mencium Iba.

Di ruang dapur, kami duduk di meja makan. Sarapan pagi yang enak. Nasi harum. Ada gudeg. Sayur kulit. Goreng ayam dan sambal. Rumah ini hanya ditinggal berdua. Sumaun Utomo hangat dan gagah. Berbadan tinggi. Rambutnya sudah putih penuh uban. Di usianya yang sudah senja, ia masih menyibukkan diri bekerja sebagai ketua umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru. Biasa disingkat LPR-KROB.

Iba sambil melahap gudeg terus mendengarkan kisah penuturan Utomo. Dari Peristiwa 65, Pulau Buru hingga melanjutkan kisah hidupnya. Sumaun Utomo aktif di CC PKI sebagai sekertaris lembaga sejarah. Tugasnya membuat buku dan penerbitan soal PKI dan komunisme. Utomo alumni sekolah militer Jepang di Surabaya tahun 1942. Dia mendapatkan pendidikan calon perwira penangkis udara.

“Saya sudah memahami sejarah Uni Soviet, Manifesto Komunis dari buku-buku loak berbahasa Belanda,” kata Utomo pelan.

Utomo kenal Aidit, tokoh utama PKI di Indonesia. Mereka pertama kali bertemu di Jogjakarta. Saat itu, Aidit membantu penerbitan redaksi Bintang Merah, salah satu koran yang diterbitkan oleh PKI. Pertemuan itu tak jauh-jauh amat membicarakan soal politik. Utomo kemudian larut ke dalam gerakan bawah tanah partai.

Utomo senang dengan sejarah kotanya. Puluhan tahun silam, kota itu basis gerakal radikal melawan kolonialisme. Di sini, pertama kali organisasi sosialis berdiri dengan nama Perhimpunan Sosial-Demokrat Hindia, di bawah pimpinan Henk Sneevliet dan Ir. Adolf Baars. Mereka kemudian mendirikan Sociaal Democratische Partij (SDP), perintis Partai Komunis.

Pada tahun 1911, berdiri SI (Sarekat Islam) dan berkembang dengan pesat. SI kemudian jadi organisasi terbesar. Saat SI besar, PKI pun besar di bawah Semaun dan Darsono. Sikap politiknya keras. PKI pula yang mendesain gerakan perlawanan buruh besar di maskapai kereta api milik Belanda secara besar-besaran. PKI semakin tangguh di bawah Tan Malaka, seorang ideolog.

“Gerakan Komunis di Semarang cepat, karena di sini pusat eksploitasi jajahan dan himpitan eksploitasi,” kata Utomo memaparkan.

Kota Semarang menjadi kota penting bagi Belanda dengan pusat industri gula. Kekuasaan wilayah timur masih dipegang oleh Mangkunegara dari Kerajaan Solo. Sedangkan di bagian selatan dikuasai oleh pengusaha berketurunan Tiongkok, Ong Tiong Ham.

Belanda memperhatikan arsitektur Kota Semarang. Mulai irigasi hingga ke pelabuhan. Namun semenjak pendudukan Jepang hingga ke tangan Indonesia, Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah tak terurus. Air laut meresap keluar dari badan jalan kota tua. Di musim hujan, banjir sering terjadi.

“Kereta api, pelabuhan, pabrik gula macet dan mati. Jepang hanya mengurusi kepentingan perangnya saja. Pemerintah Indonesia juga sama tidak mengurusi lagi,” kata Utomo.

Iba menyimak semuanya dengan tekun.

***

IBA adalah sapaan akrab buat Ibarurri. Dia lahir di Jakarta, 23 November 1949. Iba anak sulung dari pasangan Dipa Nusantara Aidit dan Soetanti. Jadilah nama lengkapnya Ibarurri Putri Alam Aidit. Orang mengenal dia “Ibarurri Aidit”.

Ibarurri bukan nama biasa. Ini nama besar bagi sejarah Spanyol dekade tahun 1938. Ia adalah puteri seorang buruh tambang yang menjadi pemimpin gerakan buruh Spanyol. Ibarurri tercatat juga sebagai pemimpin Gerakan Komunis Internasional dan pendiri Tentara Proletariat Spanyol. Sedangkan nama belakangnya, Putri Alam merupakan nama samaran Aidit ketika bergerilya melawan Belanda.

Aidit suka memberikan nama putra putrinya dengan nama besar. Anak kedua, seorang perempuan, juga diberikan nama besar. Ilya berasal dari nama besar penulis Uni Soviet Ilya Erenburg. Bukunya menjadi bacaan wajib bagi kalangan intelektual revolusioner kalangan komunis. Sekelas dengan karya-karya Ostrovski, Gorki atau Boris Polewoi.

Usia 9 tahun, Ibarurri bersama ibunya, Soetanti berangkat ke Moskow. Soetanti hendak memperdalam ilmu kedokterannya. Pada 7 Oktober, 1958 mereka mendarat di Bandara Udara Sheremecevo. Udara dingin merayap cepat. Tak banyak warga Indonesia yang berada di Uni Sovyet. Kecuali yang hendak belajar di beberapa kampus terkenal di sana, seperti di Moskovski Gosudarstwennii Universitet.

Hubungan Indonesia dan Uni Sovyet begitu mesra. Uni Soviet, juga Ukraina, adalah dua negara pertama yang mendukung secara resmi keberadaan Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ibarurri setelah tinggal selama satu bulan kemudian masuk ke “internat” atau asrama. Ini adalah asrama bagi kalangan elit anak-anak diplomat komunis dan pegawai kedutaan Sovyet di luar negeri. Di sini, Iba kemudian bertemu dengan anak-anak kader dari negara sosialis atau komunis, mulai daratan Eropa Barat hingga Vietnam Utara.

Di asrama ini, Iba kemudian terbiasa menyanyikan lagu-lagu perjuangan untuk membela kaum Revolusi Oktober. Melahap bacaan soal gagahnya gerilya Soviet yang bertempur melawan Hitler. Buku-buku sastra klasik dunia hingga buku favoritnya “Spartakus”. Iba juga mengikuti perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei atau hari Revolusi Oktober yang jatuh pada 7 November. Sesekali Iba menghadiri pertemuan antara Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.

Di mata Aidit, sosok Stalin adalah pemimpin besar yang berjasa memenangkan Perang Dunia II melawan Hitler. Ketika Stalin meninggal pada Desember 1953, Aidit bersama Nyoto menghadiri pemakaman tersebut di Moskow. Mereka berdiri sebagai pengawal kehormatan.

***


MUSIM PANAS, 22 MEI 1965. Iba dan Ilya bersama rombongan delegasi PKUS tiba di Kemayoran, Jakarta. Rombongan delegasi ini hendak mengikuti perayaan ulang tahun PKI ke-45. Di Senayan, terdapat lukisan Soekarno dalam ukuran besar. Melebihi ukuran lukisan Marx, Engels, Lenin ataupun Stalin. Lukisan tersebut dikerjakan oleh seniman yang tergabung ke dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi mantel PKI.

Iba, yang baru saja berusia 16 tahun, larut dalam acara persiapan tersebut. Dia bersama Pemuda rakyat membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Mulai masak air untuk buat kopi dan teh hingga mencuci gelas-gelas yang dipakai saat rapat malam hari. Bermain voli, ikut latihan drama hingga melihat pertandingan bersajak.

Ia semakin jatuh cinta pada tanah airnya sendiri ketika mulai berjalan bersama Oom Murad Aidit dan kakeknya ke Bali. Di sana ia melihat gunung, budaya dan alamnya. Kesan itu membekas lekat dalam jatidiri Ibarurri. Kelak dikemudian hari, Ibarurri masih merasa tetap masih menjadi anak Indonesia.

Ibarurri bersama Pemuda Rakyat berjalan pawai merayakan 17 Agustus 1945 seusai mendengarkan pidato Soekarno di depan Istana Merdeka.
Barisan berangkat dan menuju kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya 81. Di sana, Aidit selaku ketua pemimpin CC PKI akan memberikan pidatonya dalam rangka peringatan 17 Agustusan.

Iba terhenyak seusai mendengar pidato ayahnya itu. Aidit mengatakan bahwa partainya akan dipukul dan ada ancaman teror putih ketiga. Teror putih adalah istilah Aidit untuk menerangkan adanya isyarat serangan untuk menekuk PKI. Teror putih pertama terjadi saat pemberontakan tahun 1926. Kemudian teror putih kedua untuk peristiwa Madiun.

Ancaman itu jauh lebih kejam dan besar dibandingkan dengan ancaman teror putih pertama dan kedua. Namun, Aidit yakin bahwa partainya akan bangkit dan pulih dari luka-luka serangan itu. Ancaman dari siapa? Mengapa? Teror apa? Tak jelas betul. Namun, setelah menyampaikan pidato itu, Ibarurri mendapat kesan bahwa Aidit semakin melemah. Tak banyak bicara. Sering memandanginya tanpa bicara. Di ujung hari, Iba akhirnya sadar, bahwa teror putih ketiga itu adalah peristiwa 30 September 1965.

“Apa kesan kalian selama liburan tiga bulan di Indonesia?” tanya Aidit.

“Aksi!” jawab Ilya.

“Turba!” kata Iba.

“Sekarang sudah waktunya untuk kembali sekolah. Kalian sudah dewasa. Kalian mau kembali ke Moskow untuk belajar boleh, kalian putuskan sendiri, maka kapan kembalinya. Kalian mau membolos beberapa minggu sambil menunggu ibu pulang dari Korea, juga boleh. Kalian sendiri yang memutuskan. Tetapi sekali kalian putuskan, kalian jalankan betul-betul,” kata Aidit.

“Kalian jangan jadi remo–revisionisme modern kata lain mengkhianati Marxisme. Kalau papa mendengar kalian jadi remo, langsung papa tarik pulang,” kata Aidit lagi.

Iba memeluk erat adiknya. Ilya terus menangis. Air matanya mengalir deras. Hati terasa berat. Iba meneteskan air mata. Pesawat terbang mulai meninggalkan lapangan Kemayoran, Jakarta, menuju Uni Soviet. Pertemuan terakhir.

***


SEPTEMBER akhir 1965 adalah tahun kelam. Setidaknya dari hasil penelitian Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Diperkirakan tercatat hingga dua juta manusia yang mati. Komunisme bagi Soeharto adalah musuh terbesar. Penyiksaan fisik dan mental berlangsung hingga puluhan tahun. Mereka yang terlibat ataupun yang dituduh ikut PKI ditangkap, dicari dan dibunuh.

Pembantaian ini berlangsung di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali dan Sumatera Utara. Soekarno tak mampu menghentikan aksi pembantaian itu. Kartu Tanda Penduduk atau KTP aktivis kiri atau pendukung Seokarno diberi label “ET” untuk “eks tahanan politik” oleh Soeharto.

Orde Baru berhasil melakukan rekayasa sejarah mengenai PKI dari semua lini. Surat kabar dilarang terbit selama satu pekan setelah tanggal 1 Oktober 1965. Satu-satunya harian yang terbit adalah harian militer Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Buku-buku sejarah, lahirnya Hari Kesaktian Pancasila, pembangunan museum, monumen hingga pembuatan film yang berisi jasa Soeharto terhadap negara seperti dalam Pengkhianatan G30S/PKI dan Serangan Fajar.

Di Uni Soviet, Iba berusaha memasang mata dan telinga. Dalam dingin dia bergerak kesana-kemari. Udara menusuk tulang hingga 35 derajat celcius di bawah angka nol. Daun-daun menguning mulai rontok berjatuhan. Di sudut ruang asrama dekat pintu masuk, Iba berjalan menuju sudut boks telepon. Agak tergesa-gesa dia menelepon temannya yang berada di Moskow. Dia ingin mempertegas berita terakhir Indonesia, yang baru saja Iba dengar dari sebuah radio. Suara yang masih samar-samar.

Berita itu semakin hari semakin menyakitkan. Tak ada kabar baik dari Indonesia. Setiap hari, berita tersiar soal pembunuhan dan penangkapan. Orang-orang PKI mati. Rumah iba di Jakarta habis dilumat api.

Iba tak tahu kondisi keluarganya di Indonesia. Ketiga adiknya masih kecil. Ayah dan ibunya. Iba duduk termenung cukup lama. Diam dalam keheningan dan kesenyapan. Udara bertambah dingin dan semakin menggigil.

“Mengapa ini semua terjadi?” pikiran Iba tak tenang. Tak ada yang menjawab.Kepala terasa panas. Di luar kaca jendela masih bertahan menahan serangan angin musim es yang bertiup kencang.

Berita tentang penangkapan dan terbunuhnya Aidit sudah beredar luas. “Central Comitte Partai Komunis Uni Soviet mempertegas bahwa kematian itu memang terjadi. Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit tertangkap dan ditembak mati oleh tentara Indonesia di Solo. Aku terhenyak. Ilya, adikku diam tak percaya.”
Kabar berita itu terus mengalir deras.

“Satu persatu kawanku tak sedikit yang tertangkap aparat militer Indonesia. Eyangku, oomku dan ibuku akhirnya tertangkap”.

Soetanti, ibunda Iba, memang ditangkap dan dipenjarakan. Dia diisolasi tak boleh berkomunikasi dengan tahanan lainnya di Bukit Duri, Jakarta. Selama 11 tahun, Soetanti meringkuk dalam penjara. Dia mengalami penyiksaan hebat hingga mengalami kebisuan selama tiga bulan. Soetanti termasuk tahanan golongan A. Artinya dianggap paling terlibat dalam aksi gerakan 30 September tersebut. Soetanti tak pernah menjalani proses pengadilan.

Iba merasa Soviet tak bisa lagi memberi harapan untuk tinggal. Hubungan antara Partai Komunis Uni Soviet dan PKI semakin memburuk. Pelajar dari kader-kader PKI, termasuk delegasi perwakilan, dibuat tak nyaman. Kegiatan diawasi oleh mata-mata KGB.

Iba memilih meninggalkan Rusia dan pergi menuju Tiongkok. Naik kereta melewati Danau Baikal, danau terdalam di dunia, dan menuju perbatasan Mongolia.

***


DIA tiba di Bandara Beijing, Tiongkok, pada 17 Februari 1970. Tiongkok kondisinya jauh lebih buruk ketimbang Uni Soviet. Banyak warganya berpakaian penuh dengan tambalan. Pipinya merah karena dingin. Daun-daun kering dijadikan untuk bahan bakar memasak.

Iba menemui Mao, dan menyempatkan diri untuk melihat kampung Mao Zedong di Gunung Cingkang. Di sana, Mao Zedong membangun Tentara Merah dan merupakan basis pertama. Lambat laun, Iba mulai mengenal pemikiran Mao Zedong. Banyak warga Tiongkok melihat Mao sebagai “dewa”.

Satu bulan berlalu. Iba mengunjungi Kota Shanghai. Di sana, dia ingin menyaksikan langsung proses operasi tusuk jarum untuk mengambil tumor otak. Dengan santai, pasien yang menjalani proses operasi tersebut masih sempat-sempatnya berdialog. Bahkan ketika pasien menjalani pemotongan kulit kepala dan proses gergaji tengkorak sekalipun!

Hari-hari di Tiongkok terus berlalu. Iba bersama Ilya memulai hidupnya di Desa Merah. Desa yang penuh dengan kalangan dari intelektual, wartawan, penerjemah, mahasiswa dari Korea, Jerman Timur dan kader-kader partai komunis. Istilahnya kerennya, “turun bawah analisa kelas” di desa.

Di sini Iba ikut bantu kerja di ladang menanam sayuran. Bangun pada pukul 04.00 pagi hari memakai topi caping, cangkul dan handuk kecil hingga menjelang siang hari. Makan kodok goreng dan sop ular. Sore hari hingga malam, asyik diskusi politik. Hasilnya? Iba kena penyakit lever.

Pemikiran Mao Zedong mewabah. Sekolah kader berjamuran untuk memenangkan Revolusi Tiongkok. Mao Zedong menggalang Revolusi Besar Kebudayaan Proletar untuk melawan restorasi kapitalisme. Iba tak pernah melepas pandangan dari setiap sudut rumah di sana yang memiliki sederet buku pemikiran Mao Zedong.

Suatu siang, dia kembali melihat Mao. Hari itu, 1 Mei 1970. Ini Hari Buruh Internasional. Mao berperawakan tinggi. Kulitnya putih. Tampak tenang. Tak jauh dari sisi lelaki itu, terlihat Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique. Perdana Menteri Kamboja Pennut juga terlihat. Lin Biao, orang kedua Partai Komunis Tiongkok hadir. Termasuk pemimpin Partai Komunis Birma, Thaksin B Tan Tein.

Gemuruh ratusan ribu orang memadati lapangan Tian An Men.
Tribun dalam pandangan Iba jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada Tribun Mausoleum Lenin di Moskow. Kembang api meledak memecah kebisuan di langit dan memancarkan warna warni cahaya. Udara cerah sekali.

“Melawan revisionisme adalah baik, harus terus berjuang melawan revisionisme,” kata Mao, tenang.

“Oh, putri Aidit. Aidit c’est mon ami.”

“Mao Zedong berbicara pendek kepadaku,” kata Iba.

Mao menuju tribun, mengangkat tangan, menyapa lautan manusia. Ratusan ribu orang lagi-lagi bergemuruh menyapa kembali kehadirannya.
“Hidup Ketua Mao! Panjang usia Ketua Mao!”. Berulang-ulang.
Iba punya kenangan lain pada Mao. Dia pernah menulis sebuah sajak tentang kematian Aidit.

Belangsungkawa Buat Kawan Aidit

Pejuang Komunisme Internasional
Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang
Malahan gugur menjelang musim semi datang
Yang akan gugur, gugurlah pasti
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi

***


TIONGKOK akhirnya Iba tinggalkan. Dia bergerak ke Birma pada tahun 1973.

Bersama rombongan kecil, Iba berangkat dari Beijing ke Khunming dengan pesawat udara. Saat tiba di Birma, dia melepaskan pakaian Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok dan menggantinya dengan seragam Tentara Rakyat Birma. Anak-anak kecil di sana sudah biasa menenteng senapan AK 47. Perempuan juga turut berperang. Beberapa di antaranya jadi komandan tempur.

Kehadiran Iba di Birma hendak mempraktekan ilmu kedokteran timurnya. Iba memilih Birma karena sedang konflik. Masyarakatnya terbelakang akibat peperangan. Bersama Tentara Rakyat Birma, Iba kemudian membangun rumah sakit ala kadarnya di daerah basis. Rumah bilik dengan dinding tembok terbuat dari campuran jerami dan tanah.

Di rumah sakit ini, Iba merawat tentara-tentara yang tertembak. Seorang pasien dari Tentara Shan sudah mengalami luka parah pada bagian paha. Peluru menembus tulang paha hingga remuk. Pada bagian bekas luka itu sudah mengeluarkan nanah dan bau yang keras. Akhirnya, pemuda itu mati. Akibat perang kondisi kesehatan masyarakat juga memburuk. Birma terserang penyakit Lepra, TBC dan Hepatitis.

Tentara Rakyat Birma juga punya kebiasaan aneh. Mereka suka menembak dan melepaskan peluru, tombak, panah ke arah bulan pada saat gerhana. Mereka percaya jika tengah terjadi gerhana bulan seekor raksasa akan memakan bulan itu.

Iba menemukan kondisi yang jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya di Tiongkok atau di Moskow. Iba masuk hutan ke hutan dari satu gunung ke gunung lainnya. Jalan kaki menembus ratusan kilometer. Masalah makanan menjadi kendala paling serius. Warga menerima jatah beras sangat terbatas. Dan beralih untuk mengganjal perut dengan singkong.

“Saya betul-betul kurus. Muka pucat,” kata Iba.

Ia punya pengalaman yang mirip dengan kisah Sumanto pemakan jenazah manusia. Saat bekerja di rumah sakit, ada saja orang yang meminta ari-ari bayi yang baru lahir. Ari-ari bayi lelaki dengan berat 3 kilogram. Ari-ari bayi itu hendak dimakan.

“Pernah nyoba,?” tanya saya

“Amit-amit. Geli!”

Dia meninggalkan Birma. Masuk ke Macao dan bekerja sebagai buruh di pabrik. Bersama suaminya, Budi Suhdarsono, kemudian masuk ke Jerman. Kemudian memilih Perancis sebagai tempat singgah terakhirnya.
Iba jadi warga negara Perancis dengan status sebagai refugie politique. Pelarian politik. Dia memiliki hak bekerja. Sama dengan hak warga Perancis pada umumnya, kecuali hak untuk memilih dan dipilih.

Iba merasa ibu angkatnya, Prancis, telah memberikan perlindungan penuh terhadap hak asasi manusianya. Indonesia hingga detik ini, tak memberinya proses rehabilitasi, pemberian hak politik dan hak sipil kepada korban kemanusiaan tragedi 1965. Apalagi, membuka dengan jujur kebenaran Peristiwa 65 itu sendiri.

***


AWAL AGUSTUS 2006. Udara pagi terasa segar. Di sudut ruang depan, menggantung sebuah lukisan bergambar Aidit. Dekat pintu masuk ruang keluarga, foto berukuran besar Aidit berdiri dan berbincang hangat dengan Seokarno. Ada foto ayah Aidit di sana, Abdullah Aidit. Suara burung merpati terdengar nyaring.

Ilham Aidit sedang berbincang. Suaranya khas. Berat dengan bariton kuat. Di sudut meja kecil, Iba sedang mengecek email pada sebuah komputer. Mereka tersenyum dan tertawa mengomentari isi email yang masuk. Rambut berantakan.

Iba berbadan gemuk. Rambut pendek. Ia memakai kaus berwarna kuning. Kaca mata kecilnya menggantung hendak meloncat dari ujung batang hidungnya. Secangkir teh manis hangat mencairkan suasana.

“Ini ada email berseri. Cerita pengakuan tentang anak Aidit yang lain.

Aidit tidak mati ditembak, tapi berhasil melarikan diri ke Afrika. Jadi ramai di milis. Saya dapat telepon dari Belanda dan Korea. Minta tes DNA segala. Bang Said, marah. Tai kucing!, ” kata Iba, tersenyum.

Jarum jam menunjukkan angka 10.00 pagi. Aroma goreng telur dan nasi goreng menyela perkenalan kami. Satu mangkuk besar berisi baso dan tahu kuah menemani teman makan sarapan pagi. Iba hangat. Banyak canda. Tertawa lepas.

Minggu kedua Agustus 2006, saya bertemu Iba lagi di ruang diskusi Komunitas Utan Kayu. Ruangan penuh dengan kalangan orang berumur senja. Mereka ini adalah eks tahanan politik 1965 yang sempat mencicipi Pulau Buru. Di kerumunan, terlihat Joesoef Ishak dan Oey Hay Djoen. Kedua ini orang tokoh dari Lekra dan kini mengurusi penerbitan buku Hasta Mitra. Ishak dikenal luas editor buku-buku Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia.

“Ini catatan kecil saya saja. Berantakan. Setahun terakhir ini, Bung Joesoef memaksa saya untuk menuliskannya menjadi sebuah buku. Apa yang saya ingat, ya saya tulis saja. Semacam dialog,” kata Iba, suatu ketika pada saya.

Iba mengikuti saran Ishak. Di sebuah ruang kerja di 8 Rue Normandie Niemen 94310 Orly Kota Paris, Perancis, Iba menuliskan selapis demi selapis ingatannya. Tentang kehangatan. Kepedihan. Politik. Pengasingan. Komunisme hingga Budhisme.

Hari itu, siang sekira pukul 14.00, bukunya akan didiskusikan. Iba tampak tenang dalam balutan kain batik lengan panjang. Sesekali dia terlihat sibuk melayani wawancara dari para wartawan. Ilham Aidit ikut menemani.

“Memoar seperti itu diperlukan untuk merawat kenangan yang penting soal sejarah dan nasib orang-orang yang terlibat dalam itu. Saya senang dia gembira pada hidup dan selalu aktif. Terpanggil untuk berbuat dan baik pada sesama. Apalagi sekarang dia sebagai Budhist. Ia punya sense of humor yang kuat,” kata Goenawan Mohamad pada saya. Goenawan, budayawan Indonesia, pendiri majalah Tempo. Pada buku Iba, Goenawan menulis kata pengantar.

Senja mulai merayap. Wajah Iba tampak kelelahan. Sesekali dia terlihat mengobrol dengan Goenawan Mohammad atau Oey Hay Djoen, di sebuah sudut meja makan Kedai Tempo.

“Saya lapar. Belum sempat makan,” kata Iba kepada saya.

Iba kemudian mengganti batiknya dengan kaos putih. Ilham Aidit menyalakan mobil sedan Mercedes Benz berwarna biru tua. Beberapa tas berisi buku, juga masuk ke dalam bagasi belakang.

Mobil sedan biru tua itu melaju meninggalkan Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Wajah Ilham Aidit masih terlihat segar dan tampak riang. Rupanya, istri tercintanya, baru saja melahirkan di Bandung. Saya duduk di depan mendampingi Ilham Aidit mengemudikan sedan. Iba duduk di belakang dan sesekali melentangkan badannya.

Sumber: Ilham Aidit


Ahmad Yunus, belajar jurnalisme di Pantau. Tahun 2005-2006 pernah bekerja untuk situs berita detik.com wilayah Bandung. Kini sedang mempelajari persoalan hukum di Universitas Padjajaran Bandung. Tertarik dengan isu persoalan politik, agama, lingkungan, musik dan gaya hidup. Sebelumnya, pada edisi Juli, di Majalah Playboy menulis soal persampahan di Kota Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar