HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 17 April 2013

Tefaat Buru Sebagai Antitesis


17/04/2013 - Hersri Setiawan


Seperti namanya telah menyatakan, Pulau Buru merupakan tempat pemanfaatan (tefaat) tapol. Atau lebih jelas jika dinyatakan secara terbalik: tempat tapol dimanfaatkan. Apabila ketika masih di penjara, tapol hanya dikurung di dalam sel, maka di tempat pemanfaatan ini mereka justru “dilepas”. “Dibiarkan” mereka itu hidup di tengah-tengah keganasan alam, untuk dibebani dengan seribu satu “harus” dan diawasi oleh intaian berpasang-pasang mata sangkur dan laras senjata. Kendati demikian Buru sebagai tempat pemanfaatan lebih memberikan kemungkinan bagi tangan-tangan penciptaan tapol untuk berkiprah.

Tapol di Indonesia Orde Baru kira-kira bisa diperbandingkan dengan budak-budak peradaban dunia sepanjang sejarah bangsa mana saja. Dari tangan budak-budak ini berdirilah monumen-monumen seperti Borobudur (Jawa), Tembok Besar (Tiongkok), piramida (Mesir), dan lain sebagainya. Monumen-monumen perkosaan kemanusiaan, tetapi bukannya tanpa nilai-nilai keindahan dan kebesaran yang menjadi abadi dalam sejarah.

“Engkau menciptakan malam, dan aku membikin pelita / Engkau menciptakan tanah liat, dan aku membikin tembikar / Engkau menciptakan gurun pasir, gunung gemunung, dan hutan belukar / Dan aku membuka sawah, ladang, dan kebun buah-buahan / Akulah yang mengubah batu menjadi cermin / Dan akulah juga yang mengubah racun jadi penawar.”

Hersri Setiawan berdiri di depan papan nama di Pulau Buru yang menunjukkan kamp dimana ia melakukan kerja paksa. foto: Willy van Rooyen, 1998. koleksi: IISH

Apa yang dikatakan Iqbal [1873-1938] benar belaka. Daya kreasi dan inovasi manusia sungguh luar biasa apabila kesempatan untuk itu dimungkinkan. Di penjara Salemba, dengan bahan segala macam sampah dan batu sebagai alat, tapol bisa membikin berbagai-bagai macam barang. Kaleng susu cap bendera menjadi kompor minyak atau kompor lilin, kantong plastik menjadi tas dan bahan pengganti kertas atau lebih tepat “lontar”, sendok alpaka menjadi jarum akupungtur, tulang dan batok kelapa menjadi pipa rokok, pecahan kaca menjadi pisau cukur, sisa-sisa gombalan menjadi hasil kerajinan sulaman warna-warni yang indah, dan lain-lainnya lagi. Semua itu tanpa alat, kecuali tangan, dan barang-barang yang dapat ditemukan di sekeliling!

Seperti sudah dikemukakan, di Buru kesempatan berkreasi menjadi lebih luas. Oleh sebab itu sudah di dalam bulan-bulan pertama, di setiap unit orang bisa mendengar suara suling, petikan kecapi, gesekan biola atau petikan gitar; mendapati barang-barang anyaman dari bambu, pandan, atau rotan; ukiran kayu dengan berbagai gaya pola desain.
 “Tai pun kalau sudah dicat oleh tangan tapol, tonwal akan berebut memilikinya!” Itu kata kata Kapten Ahmad Nur, Dan Unit XIV Bantalareja, yang aku dengar dan aku tulis secara harfiah belaka. (Ketika itu aku Koordinator Unit XIV).  Tetapi yang lebih mencolok dari semuanya itu, ialah terbukanya berpuluh-puluh hektar sawah dan ladang unit, di samping berpuluh-puluh hektar lagi kebun-kebun barak di tengah hutan, yang tetap tersembunyi dari tilikan dan intaian mata penguasa.
Semua nilai itu dihasilkan tapol. Pada satu pihak, di celah-celah intaian mata penguasa yang tajam dan ganas; dan pada pihak lain, di sela-sela kesempatan yang terlalu sempit, yaitu pada saat istirahat kerja siang hari, yang hanya sekitar tiga puluh sampai enam puluh menit lamanya. Kelak, jika tefaat telah berumur sekitar lima tahun, dan cara pemanfaatan tenaga tapol sudah menjadi lebih canggih, kelonggaran-kelonggaran tertentu dirasa perlu diberikan bagi tapol. Pada wartu itulah tapol semakin berkiprah. Lalu terciptalah berbagai “penemuan” dan pembaharuan atas perkakas dan cara kerja, seperti misalnya: penggilingan padi, pemipil atau perkakas penanggal biji-biji jagung dari tongkolnya, “blower” (peniup untuk menampi sekam), gerobak angkutan, pipa leding dari bambu, dan lain-lainnya lagi. Pada satu pihak demi kelangsungan hidup, efisiensi memang menjadi tuntutan wajar; namun pada lain pihak, efisiensi itu sekaligus juga membawa konsekuensi pelipat gandaan intensitas penindasan. Dan bagi tapol ini tidak lain hanya ibarat menggali lubang kubur diri sendiri. Karena itu tidak setiap tapol bersikap positif terhadap setiap usaha penemuan dan pembaharuan tersebut.

Seni dan Hiburan Sebagai Aspek Pemanfaatan

Semua unit di Tefaat Buru, kecuali unit isolasi Jiku Kecil yang sesudah dipindah (1974) dikenal sebagai “Unit Ancol” [karena dibangun di daerah pasang laut], mempunyai gedung kesenian masing-masing. Memang dinamai “gedung”, walaupun bagi saya lebih mendekatkan ingatan pada bangunan “Bale Sigalagala” (balai bambu; gala(h) = bambu), tempat keluarga Pandawa dan Kurawa bermain dadu, awal malapetaka ketika Pandawa harus dibuang selama tiga belas tahun!

Gedung Kesenian lama Unit IV Savanajaya, sebelum “gedung” yang baru didirikan tahun 1974, memang dijuluki oleh tapol setempat sebagai “Kandang Sapi”, entah karena kemiripan bentuknya dengan kandang sapi, atau karena letaknya yang tak jauh dari Barak Kandang Sapi.Bagaimanapun juga “gedung” kesenian di unit-unit itu dilengkapi dengan panggung, bangku-bangku tempat duduk untuk lebih dari 500 penonton, dua perangkat gamelan Jawa slendro dan pelog, dan layar-layar dekor untuk pementasan “drama modern” dan “drama tradisional”, yang terbikin dari bahan semacam sisal bekas-bekas kantung pupuk. Semuanya dibangun dan dibikin oleh tapol, rata-rata sudah dalam tahun pertama atau kedua umur unit yang bersangkutan. Juga berbagai macam instrument gamelan itu. Semuanya dibikin oleh tapol, dari besi bekas bom yang banyak terdapat di Namlea – tentu dari sisa-sisa Perang Dunia  II yang lalu.

Wayang kulit semula hanya ada di Unit IV Savanajaya, kemudian dipindahkan ke Markas Komando (Mako) Tefaat, mengikuti di mana Ki Dalang Tristuti Rachmadi Suryoputro BA berada. Dalang yang berasal dari Purwadadi Jawa Tengah, dan Sekretaris Lekra Cabang Purwadadi ini, pernah diberi gelar dan hadiah dalang terbaik Indonesia oleh Festival Pedalangan se Indonesia 1964.Berbeda dengan gamelan yang terdapat di semua unit, instrumen musik “lengkap” untuk sebuah band hanya terdapat di Mako. Konon hadiah dari Departemen Sosial Jakarta untuk Tefaat Buru, yang terjadi pada akhir masa jabatan Kol. AS. Rangkuti selaku Dan Tefaat Buru. Beberapa instrumen musik yang terdapat di unit-unit merupakan bikinan dan milik perseorangan tapol di barak-barak, cukup untuk membentuk sebuah orkes kroncong atau irama Melayu dan irama Padang Pasir (sekarang dikenal sebagai dangdut).

Pada akhir masa ,jabatan Komandan Tefaat Buru (Dan Tebu) Kolonel AS. Rangkuti (1973), komando tefaat membentuk sebuah kelompok musik yang dinamai “Band Markas Komando” (Bandko), di bawah pimpinan Basuki Effendy dan Subronto Kusumo Atmodjo. Pada awal masa jabatan komandan berikut (Kol. Samsi MS), pengelompokan tapol atas dasar “profesi” itu diperluas dan dimantapkan. Yaitu dengan ditempatkannya kelompok-kelompok tersebut di dalam barak-barak yang dibangun di komplek bangunan Mako. Dengan demikian tapol- tapol “profesi” ini, sejak itu, di bawah pemanfaatan dan pengawasan Mako, dan tidak lagi unit asal masing-masing yang bersangkutan. Kelompok-kelompok “profesi” itu ialah: “kelompok insinyur”, yaitu sebutan untuk kelompok tapol yang bertugas sebagai staf tata usaha Mako, di mana terdapat beberapa insinyur bangunan dan pertanian; “kelompok kru”, yaitu crew atau “awak kapal” sampan bermotor milik Mako; kelompok karawitan dan pedalangan Jawa; kelompok pelukis, di mana terdapat antara lain pelukis-pelukis Permadi Lyosta (dari sanggar “Pelukis Rakyat” Yogyakarta, yang didirikan oleh Hendra Gunawan dkk), Sumardjo (dari sanggar “Seniman Indonesia Muda”, yang didirikan oleh Affandi dan S. Sudjojono), Gultom (dari sanggar “Bumi Tarung”, yang didirikan oleh Amrus Natalsya); kelompok tukang dan pengrajin — terutama kerajinan ukiran kayu.

Pada sekitar waktu itu jugalah Pramudya Ananta Toer dipisahkan dari kawan-kawannya di unit, dan diperlakukan serta ditempatkan di ruang tersendiri. Mula-mula di gedung kesenian Unit I Wanapura, dan selanjutnya di komplek Mako sesudah markas ini pindah dari Namlea ke tepi Sungai Wai Apo, di areal antara Unit I Wanapura dengan Unit II Wanareja. Tugas pokok yang dibebankan penguasa pada Pramudya ialah menulis dan menulis saja.

Kolonel Samsi MS yang cerdik itu juga mengubah “budaya militer” menjadi “budaya budak”. Perubahan yang dalam praktik seakan-akan memberi angin kepada tapol, tapi dalam hakikat sesungguhnya justru lebih busuk. Misalnya dalam hal apel. Dia berkata kurang lebih: Prinsip apel ialah menghitung kekuatan tenaga kerja manusia, dalam hal ini tapol. Karena itu tidak harus dengan baris-berbaris dan berhitung secara militer. Cukup dengan apel kentongan atau “apel sapi” (sic!). Ini menghemat waktu. Supaya mereka segera bisa ke tempat kerja masing-masing, dan memulai pekerjaan yang sudah digariskan. Karena, justru untuk inilah tapol dibawa ke Buru. Untuk dimanfaatkan. Kecuali itu, masih kata Kolonel Samsi MS, apel sapi juga untuk menghindari kesalahan dalam baris-berbaris atau berhitung dan akibat-akibatnya, yaitu pemukulan dan penyiksaan oleh petugas terhadap tapol. Padahal wajar saja jika tapol tidak pandai berbaris, karena mereka memang bukan tentara. Lalu kalau mereka disiksa, jatuh sakit, masuk rumah sakit, dan tidak bisa bekerja siapa yang rugi? Proyek Tefaat! Dan siapa yang harus bertanggung jawab ke Pusat? Bukan Tonwal (Peleton Kawal), bukan Dan Unit, tetapi saya!

Oleh karena itu para Dan Unit dan Tonwal memberi kepanjangan huruf-huruf “MS” di belakang nama Dan Tebu ini sebagai “Menang Sendiri”. Samsi yang mau Menang Sendiri. Tetapi toh sedikit lebih baik ketimbang pendahulunya: Rangkuti, yang kependekan dari “Barang Barang Diangkuti”. Kepanjangan singkatan-singkatan ini tentu saja hanya ditiupkan dari mulut ke mulut oleh tapol.

Pramoedya Ananta-Toer di kamp Pulau Buru. (foto: istimewa)

Tarik Tambang Dengan Seni Dan Hiburan

Pada saat-saat tertentu rombongan karawitan dan pedalangan dan bandko tersebut mendapat perintah untuk menghibur para petugas Mako, dan setiap dua atau tiga bulan sekali berkeliling ke unit-unit untuk memberi hiburan bagi tapol dan petugas di sana. Tema pergelaran ditentukan sebelumnya, dan “balungan” lakon harus diajukan jauh-jauh hari ke Staf I/Intelijen Mako. Ketentuan yang sama berlaku juga bagi teks-teks lagu yang akan dinyanyikan. Karena itu maka dalam pandangan sementara tapol kegiatan seni atau hiburan seperti ini merupakan kegiatan yang sia-sia belaka. Lebih dari itu bahkan ada yang menilainya sebagai perbuatan khianat. Sia sia, oleh karena paling jauh hanya nilai hiburan yang bisa dicapai. Khianat, oleh karena hiburan bagi tahanan, seperti istilah itu sendiri sudah menjelaskan, hanya berarti sikap menipu diri sendiri. Dan itu tidak lain selain sikap hipokrisi terhadap realitas belaka. Kegiatan hiburan di dalam kamp, demikian mereka menyimpulkan, hanyalah kegiatan pengabdian kepada musuh.

Memperhatikan penalaran demikian itu, aku ingat sebuah novel “Exodus” (Leon M. Uris, 1958), yang kubaca ulang ketika aku di tahanan “Ikan Paus” di Cilandak, Jakarta. Di dalam novel itu dikisahkan tentang bagaimana orang-orang Yahudi di kamp-kamp tahanan mereka mengisi “waktu kosong”. Misalnya, bermain teater sebagai payung latihan kemiliteran, latihan menyanyi bersama sebagai payung pendidikan ideologi, dan berbagai-bagai cara kerja konspiratif lainnya. Tetapi, bantahku sendiri, novel mempunyai realitasnya sendiri. Suatu realitas yang terkadang jauh dari realitas kongkret, justru karena alasan kebebasan kreasi itu.

Tapol mempunyai istilah-istilah khusus untuk berbagai kegiatan hiburan atau seni itu. Beberapa di antaranya ialah: “korve gurung” atau “korve kerongkongan” untuk menyanyi; “korve besi” untuk penabuh gamelan; “korve kawat” untuk bermain musik, karena sebagian besar instrumen berupa instrumen petik dan gesek yang bersenar kawat; “korve mata” untuk tapol penonton; “korve keplok” untuk bertepuk tangan, karena setiap nomor acara berakhir, tapol penonton wajib bertepuk tangan. Siapa yang mewajibkan itu? Siapa lagi kalau bukan komandan! Kecuali itu ada lagi yang di sementara unit dikenal sebagai (maaf beribu maaf!) “korve lendir” (maksudnya sperma), ini untuk tapol “tandak” yang mendapat tugas Komandan untuk menemani tidur di wisma, entah bersama dirinya sendiri atau jika ada tamu dari “pusat”.

Bahwa semua sebutan itu didahului dengan kata korve, yang sebagai jargon penjara memperoleh arti lebih tegas, yaitu kerja wajib di luar jam kerja (barang tentu tanpa upah), adalah petunjuk bahwa tapol sadar akan adanya ketidak-bebasan itu. Namun, apa pun hasil akhir yang akan dicapai, apakah bernilai seni ataukah bernilai hiburan, bagi para seniman dan pemain yang bersangkutan khususnya, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan itu sama sekali bukannya tidak bermanfaat. Sebab dengan jalan demikian mereka bisa mempertahankan, bahkan tidak mustahil mengembangkan kemampuan teknis masing-masing. Kecuali itu hendaknya diingat, bahwa betapapun bengisnya sesuatu sistem kekuasaan menindas kebebasan berkreasi, namun tidak akan pernah ia mampu menumpas seniman dan karya mereka sama sekali. Sebab, hanyalah cara dan bentuk kreasi bisa ditindas. Tetapi isi dan proses kreasi tidak.

Seni tidak hanya lahir di bawah terang kandil-kandil istana dan gereja. Juga dalam gelapnya penindasan seni bisa lahir. Dan seni yang lahir dalam kegelapan itu akan tetap seni juga, sebagaimana intan yang keluar dari mulut anjing sekali pun, tidak akan berubah menjadi beling. Tidakkah dari haribaan Dewi Amaterasu Omikami, yang di Indonesia mengejawantah sebagai militerisme Jepang, telah lahir malinkundang-malinkundang bernama Chairil Anwar, Cornel Simandjuntak pelopor musik Indonesia baru, Dr.Huyung pelopor pembaharu seni pentas dan film? Tidakkah periode “remuk rusak” (sebutan sarkasme rakyat untuk “romusha”) telah menggugah kembali ingatan orang kepada wayang beber yang telah lama tertimbun sejarah, dan yang pada gilirannya mengilhami penciptaan wayang suluh, wayang revolusi, wayang pancasila, wayang wahyu, dan semacamnya?

Seni dan Pertandakan — Penjara Dunia Abnormal?

Selain kalangan tapol yang bersikap menentang kegiatan seni dan hiburan atas dasar ideologi dan politik seperti tersebut di atas, ada lagi kalangan tapol lain lagi, yang mencari-cari dalihnya pada alasan moral (dalam hubungan ini kadang perlu dipertegas lagi: “moral komunis”!).

Adanya kegiatan panggung, kata mereka, berarti membuka lahan subur untuk lahirnya tandak-tandak. Dan perihal pertandakan ini, bagi pandangan tapol komunis-sok-moralis yang menilai diri sendiri (yang komunis) sebagai “supermens” itu, mendapat cap moral yang terburuk dari segala yang buruk: moral feodal, moral burjuis, moral kriminil! Selanjutnya mereka juga mengatakan (yang untuk sebagian memang benar), bahwa pertandakan akan mengakibatkan banyak terjadinya perkelahian antartapol, bacok-bacokan, pencurian, dan seribu satu akibat-akibat buruk lainnya. Namun dari semuanya itu, masih menurut kata mereka, akibatnya yang terakhir dan terpenting ialah, bahwa “kontradiksi pokok” tapol vs. penguasa akan bermutasi kepada kontradiksi non-pokok antartapol.

Tapol-tapol komunis-sok-moralis itu memang pandai merakit rumusan teoretis. Tapi lupa (ya, mudah-mudahan hanya “lupa”, dan bukan karena tidak mau tahu) pada kenyataan.

Misalnya: (1) bahwa salah satu unit yang berpenghuni 450 tapol (yaitu Unit V Wanakarta), dengan frekuensi hiburan tidak lebih dari unit-unit lainnya, toh mempunyai tandak tak kurang dari 70 pasang; (2) bahwa ada Komandan di sebuah unit (Unit XVII Argabhakti) yang membentuk barisan “dara-dara” Sabang Merauke Bhineka Tunggal Ika; (3) bahwa ada Komandan atau Wadan (Wakil Komandan) di sementara unit, yang “memelihara” tapol tandak di wisma mereka; (4) bahwa ada pula Komandan Unit yang, berkongsi dengan perempuan penduduk setempat, yang dikenal bernama Ibu Fatimah (Unit III Wanayasa dan Unit IV Savanajaya), membuka usaha pelacuran di kawasan unit mereka; dan bahwa (5), inilah yang lebih penting lagi, tandak tidak tiba-tiba lahir sesudah di Buru, tetapi sudah ada sejak tapol masih hidup dikurung di dalam sel siang dan malam di kamp-kamp di Jawa.

Pendek kata, hendaklah diketahui, bahwa umur pertandakan tidak semuda umur bangunan penjara. Di jaman Ratu Sima (abad ke-4M) di Jepara, Pulau Jawa konon belum punya rumah penjara. Tapi, dalam Kitab Perjanjian Lama, kisah Sodom-Gomorah sudah mendapat tempat untuk ditulis, selagi Kitab Kejadian masih sampai pada ayatnya yang ke-19.

Pertandakan bukanlah sisi atau gejala moral feodal, atau burjuis, atau kriminil, atau ketiga-tiganya menjadi satu sekali pun! Tidak. Ini adalah aspek cinta dalam situasi dan kondisi khusus, yang bisa tumbuh pada manusia sembarang — dari mana pun “asal klas”-nya. Gejala pertandakan di penjara dan di kamp pengasingan mana saja, bukan terdorong oleh nafsu syahwat, sebagai bentuk primordial hasrat melangsungkan jenis. Tapi terutama lebih disebabkan oleh tuntutan naluri dasar yang Iain, baik sebagai Manusia (“biological animal“) yaitu hasrat untuk mencinta dan dicinta, maupun sebagai Orang (“political animal“) yaitu kerinduan akan kebebasan. Bebas untuk membisikkan keluh-kesah serta impian diri antara sesamanya.

Sesama tapol di Buru memberikan cap kepada kawan-kawan mereka yang terlibat kehidupan pertandakan itu sebagai menderita “sakit mata”. Perhatikan kata “sakit” itu. Oleh karena “sakit mata” mereka, maka mereka lalu tidak lagi bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan akibatnya jadilah mereka tandak. Bahwa cap yang lazim berlaku bersifat negatif, itulah pertanda tentang betapa dominan pandangan golongan moralis tersebut di atas. Dominasi ini pada gilirannya mendapat legitimasi ideologis dan politis, dengan melalui campur tangan sistem kekuasaan yang mengeksploitasi situasi ketergantungan atau kehampaan jiwa sejumlah tapol yang bersangkutan. Sementara itu pengaruh budaya militer tidak hanya terbatas pada tapol di unit-unit. Tetapi bahkan juga meluas di kalangan bocah-bocah lepas balita, anak-anak penduduk setempat di sekitar unit.

Mereka ini tidak lagi bermain latih menumbak sasaran berupa buah jeruk yang digantung atau digelindingkan, tapi bermain perang-perangan dengan bedil-bedilan kayu atau bambu. Tokoh komandan dan tentara menjadi tonggak acuan bagi dunia angan-angan mereka tentang hari depan. (Lebih lanjut lihat sumbangsih saya dalam “Perjalanan Anak Bangsa“; LP3ES 1982: 296-300).

Goyahnya Dimensi Simbol

Di Buru sensor militer terhadap hasil daya cipta tapol, baik di atas panggung hiburan maupun di tengah tempat kerja berlaku sangat keras. Dengan sekedar bertujuan untuk memperlihatkan kekuasaan, dan atas dasar itu menjatuhkan hukuman bagi tapol yang bersangkutan, terkadang sesuatu alasan terasa benar- benar diada-ada saja. Di bawah ini beberapa contoh.

Basuki Effendy seorang aktor dan sutradara film. Salah satu film karyanya, “Si Pincang”, mendapat penghargaan internasional pada festival film di Praha awal 1960-an. Suatu hari ia dipermak, istilah tapol untuk “disiksa” sampai muka dan tubuh berubah bentuk. Apa jalarannya? Oleh karena ia menyanyikan lagu “Come Back To Sorento”.
Bahwa lagu yang mengandung kata “come back” ini telah dipilih untuk dinyanyikan olehnya, itulah “hint” yang hendak dilempar si penyanyi untuk mengkambek-kan PKI! “Apa itu kambek-kambekan, hah!?” Hardik Dan Unit XIV Bantalareja Lettu Sukirno, sambil memukuli Basuki seperti petinju menghadapi karung pasir.

Lie Bok Hoo dikipas, yaitu ditampari tak kunjung henti, sehingga gerak tangan si penampar seperti gerakan kipas. Ia dituduh menyerukan isyarat melarikan diri melalui lagu irama Melayu (sekarang “dangdut”) “Larilah, Hai Kudaku!” yang dinyanyikannya.

Sudarno As., Unit IV Savanajaya, guru Taman Siswa dan pemimpin Lekra Cabang Cilacap, penggubah beberapa tari kreasi baru (al. “Tari Kupu-Kupu” dan “Menjala Ikan”) “digulung” oleh Tonwal.
Ini istilah lain lagi untuk “disiksa” sampai tergulung-gulung. Ia dituduh mengadu domba Divisi Siliwangi dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Fakta yang dipakai sebagai alasan tuduhan, yaitu gunungan wayang kulit yang dibikinnya. Seperti diketahui, di dalam gunungan selalu terdapat rupa-rupa bentuk tatahan. Salah satu di antaranya tatahan yang melukiskan seekor harimau dan seekor banteng saling berhadap-hadapan.

Sawal disiksa sampai retak tulang iganya, dan berbulan-bulan menghuni rumah sakit, karena taman bunga yang (atas perintah Komandan Peleton) dibikinnya di depan wisma. Tanpa ia sendiri menyadari, ternyata guludan tanah untuk lahan tanaman bunga-bunga itu terdiri dari tujuh jalur guludan. Wadanton dan Mantri Tani alias Gusgastan (Gugus Tugas Pertanian) menafsirkannya sebagai tujuh gundukan kuburan Tuparev (Tujuh Pahlawan Revolusi).

Masih banyak contoh-contoh lain semacam itu. Misalnya larangan penggunaan simbol-simbol yang berkonotasi dengan faham kiri, dan terlebih-lebih dengan faham komunisme. Misalnya kata-kata bung, rakyat, kawan, arit, palu, panji, marhaen, gambar kepala banteng, bilangan tiga atau tri (ingat istilah “Tripanji Program PKI”), warna merah, lagu Blanja Wurung, Genjer Genjer, dan banyak lagi. Tetapi lebih dari semuanya itu, bahkan kata “sakit” atau “dingin” dilarang untuk menyatakan konsep tentang rasa sakit dan rasa dingin itu. Peristiwa berikut ini banyak terjadi pada hampir semua unit sekitar tahun-tahun 1971-1973. Tapol dengan keluhan  sakit perut, tentu saja dengan maksud berobat, pergi ke “rumah sakit” unit.

Barangkali memang sudah tertulis dalam skenario mereka, di rumah sakit, banyak kali terjadi tapol pasien tidak diterima oleh mantri kesehatan, tetapi oleh Wadan Unit atau atau Mantri Tani. Menerima si pasien duduk di kursi di depan mejanya, mengambil kartu berobat dari kotak penyimpannya, Pejabat Kuasa Mantri Kesehatan itu lalu memerintahkan si penderita sakit perut agar berdiri. Menduga akan segera diberi pel atau apa, tanpa ragu si penderita berdiri. Tiba tiba bukan obat yang diterimanya, tapi dihujaninya perut Tapol itu dengan tinju sang Mantri bertubi-tubi, sambil setiap kali dibarenginya dengan guntur mantra-mantra nya:

“Mana sakit? Sini? Atau sini? Masih sakit?” Dan seterusnya dan seterusnya. Obat murah lagi cespleng itu baru berhenti diberikan (betapa dermawannya, bukan?) jika si Tapol sendiri sudah mengaku sembuh dan menjawab:
“Aduh sudah Pak! Sudah sudah sudah, Pak!” Teriaknya megap-megap. “Sudah sudah, apa? Masih sakit atau sudah sembuh?”
Jawab si Tapol pasien: “Sudah, Pak. Sudah sembuh …!”

Dan dengan jawaban yang terdengar itu, maka penguasa unit lalu memerintahkan si Tapol agar segera berlari, meninggalkan rumah sakit dan menuju ke tempat kerja. Mereka, dengan perintahnya itu tidak perlu lagi takut dituding oleh Palang Merah atau Amnesti Internasional, sebagai tidak berperikemanusiaan atau tidak pancasilais.

Tapol lain lagi pergi ke rumah sakit dengan keluhan dingin karena demam malaria. Obat murah yang diberikan Pak Mantri sebangsa buah simalakama, namun jauh lebih mujarab dari buah bernama sama yang dikenal di dalam dongeng Melayu. Simalakama dongeng Melayu jika dimakan ayah mati, jika tidak dimakan ibu yang mati. Tapi buah simalakama proyek kemanusiaan Buru (bukan dongeng!), dimakan atau tidak dimakan dia toh pasti mati. Buah itu berupa perintah: Berlari memutari lapangan apel yang kira-kira satu setengah kali luas lapangan sepak bola. Si Tapol, ketimbang digebuk karena dituduh melawan perintah, memilih patuh. Lari dan terus lari, sampai akhirnya roboh dan pingsan. Atau, merasa tidak akan kuat berlari, si Tapol berhenti sebelum sepuluh langkah, dan kapitulasi. Menghadap Mantri Kesehatan yang menunggu di pinggir lapangan, didampingi satu dua Tonwal, bersikap sempurna, dan melapor:
“Lapor! Tidak dingin lagi Pak!” Serunya dengan suara gemetar, dan badan seperti melayang layang setengah mimpi.
Mantri Kesehatan, si penemu brilyan resep anti-malaria ini, ternyata juga seorang yang pandai bermain kata. Sahutnya:
“Dasar Abunawas! PKI! Pembohong! Pemalas!” Dan seribu satu kata sumpah serapah lainnya. Lalu, sambil mengancamkan tongkat pemukulnya, teriak:
“Kerja! Kerbau pun harus kerja jika mau makan!” Orang yang terkena terapi begini antara lain tapol Unit III, Drs Dilar Darmawan.
Suasana Kamp Pulau Buru (foto: Istimewa)

Abunawas

Di dalam dongeng Seribu Satu Malam ala Jawa, dia tokoh yang tak terpisahkan dari nama Sultan Harun Alrasyid. Tokoh lambang wong cilik yang arif dan panjang akal. Tiba -tiba di sini, di Tefaat Buru, oleh para petinggi negara yang mengaku diri sebagai paling pancasilais dan paling kuasa serta paling tahu segala itu, Abunawas tidak lain adalah nama bagi pembohong dan pemalas. Tapi, bahwa ia diidentikkan dengan tapol yang bercap komunis, barangkali mereka itu tidak terlalu salah.

Di tengah kehidupan tapol di Buru lambang-lambang terasa menjadi aus. Nilai-nilai berkembang sedemikian intens, dan konsep-konsep dari dunia bebas menjadi tertinggal perkembangan. Karena itu seribu-satu konsinyes dan larangan yang ditetapkan oleh penguasa militer di unit-unit menjadi terasa berlebihan belaka. Kata “kawan”, misalnya. Kata ini telah kehilangan semangat politik dan nafas ideologinya, sehingga karenanya sudah menjadi terlalu lemah untuk mewadahi ide “comrade in arms”.
Bahkan lebih dari itu malah! Kita kembalikan pada konsepnya di “jaman sastra Melayu” pun, yaitu sebagai sinonim kata “kelompok” atau “[se]kutu”, kata “kawan” ini sudah tidak lagi pas benar. “Kawan” tinggal sepatah kata lain untuk “teman”. Walaupun begitu penggunaannya di Buru toh tetap dilarang.

Pada tahun 1960-an awal, aku bersama seorang penyair Indonesia, namanya Sri Wisnu Kuntjahjo, melawat ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Di salah satu tempat kami disambut gadis-gadis remaja pionir berpita merah. Lalu, setiba kami kembali di hotel, dari jari-jari Kuntjahjo lahirlah sebuah sajak pendek tapi pekat, berjudul “Gadis Berpita Merah”. Sajak yang segar melodius, sekaligus merupakan lukisan angan-angan penyair tentang “remaja sosialisme” RRT saat itu. Warna merah telah memukau dan menggetari keharuan penyair Kuntjahjo.

Di Buru suatu hari aku melayat teman yang mati tertimpa kayu. Kepalanya pecah, otaknya muncrat. Warna dan bau darah dan otak itu, pada pemandangan dan penciuman siapa saja, toh tidak mungkin berubah. Tapi, nyatanya, pesan yang aku tangkap jelas terasa sudah berubah. Sebab, kesan seketika yang terbentuk padaku bukanlah rasa haru atau rasa semacamnya. Tapi hanya berupa kembalinya ingatan lama tentang sebuah cerita wayang. Yaitu cerita matinya dua raksasa Mahesa Sura (raksasa berkepala lembu) dan Jatha Sura (raksasa berkepala babi hutan), di Gua Kiskenda. Satu adegan kejadian dari episode Subali merebut Dewi Tara dalam kisah Ramayana.
“Apa aku sudah tidak waras?” Tanyaku pada kawan yang berdiri di sisiku. Siapa waktu itu, Tedja Bayu atau Sundoro?
“Kenapa?” Tanyanya balik.
“Kenapa aku tidak terharu?”
“Apa itu haru?” Kembali ia bertanya.
“Seandainya kamu pelukis naturalislah katakan, apa darah masih tetap berwarna merah?”
Tidak kudengar jawaban. Tapi barangkali ia pun sibuk mencari kata pengganti untuk merahnya darah dan amisnya otak yang pecah?
Di depan wisma atau pos penjagaan serdadu  pengawal, tapol biasa melihat kejadian sesama kawannya disiksa. Ya, melihat saja. Tanpa hendak dan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan jika kejadian penyiksaan terlihat tidak sebanyak seperti sedia kala, apa lagi kalau sama sekali tidak terlihat, dari balik pintu barak tapol-tapol akan berkomentar:
 “Kok tumben sepi hari ini, ya?”
Dengan pertanyaan yang demikian itu, tidakkah suatu pertanda, bahwa bagi tapol makna “siksa” atau “siksaan” sudah menjadi menciut? Atau malah terlalu lebar, sehingga tak keruan lagi hingga mana batasnya! Ya, bahkan pepatah lama pun sudah mengajarkan, “hilang bisa karena biasa”.
Maka selama “siksa” masih dalam batas-batas ketahanan tapol, menjadilah yang siksa bukan lagi siksa, melainkan justru menjadi semacam “kontrapunkt” di dalam kehidupan musik mereka sehari-hari.

Walhasil sebuah pertanyaan: Apakah semuanya bukan merupakan pertanda, bahwa bagi tapol dituntut adanya suatu “umwertung” terhadap hubungan antara konsep-konsep dan lambang-lambang? Mungkinkah seandainya riwayat Tefaat Buru tidak “segera” berakhir, akan lahir abstraksionisme dalam sastra dari tengah tengah mereka itu?

***
sumber: Hersri Setiawan 

Sabtu, 13 April 2013

Prisma

Selalu ada kekuatan ide bersemayam dalam 10 artikel Prisma di setiap edisi yang umumnya ditulis dalam 8-30 halaman itu. 
Cendekia yang bersulih jadi birokrat-birokrat politik hari ini adalah alumni-alumni penulis Prisma. Jika tidak sebagai penulis, paling tidak pembaca atau pengutip Prisma saat menulis skripsi. 
Berhadapan lagi dengan 2 bundel Prisma 1978-1979 serupa berhadapan dengan spektrum masalah yang terjadi hari ini yang dihadapi tanpa argumen. Soal agraria dan distribusi tanah, minyak, hak asasi dan konflik antaretnik, pembangunan kawasan, partai politik, lingkungan, etos kerja yang lemah, pemberontakan dan sikap dalam sejarah, dan seterusnya dan seterusnya. 
Menghadapi Prisma setiap pagi seperti melihat Quraish Shihab keluar dari stasiun televisi dan tak pernah kembali lagi. Membaca Prisma di pagi di paruh kedua abad 21 ini seperti membawa mutiara di tengah obrolan kehilangan makna di layar televisi oleh pembesar-pembesar negeri. 
Prisma memutar ulang kenyataan bahwa Presiden lebih butuh akun twitter dan berpikir sebatas mulut ketimbang membiayai jurnal paling prestisius di mana kita semua kembali percaya bahwa masalah hari ini harus dihadapi dengan gagasan dan ide yang mendalam dan mengakar. 
Prisma dengan konsistensinya membangun kultur baru. Akun twitter Presiden SBY juga membangun kultur baru. Dua abad yang berbeda. Dua kultur berbeda. Tulis dan cuit. Pemikir dan pesolek ***

Kisah Ahok, komunis dan perebutan lahan


Jumat, 12 April 2013 08:36 - Reporter : Ramadhian Fadillah

PKI. ©foto IPPOS

Merdeka.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan bersikap tegas terhadap penghuni rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Pluit. Rusun itu khusus diperuntukkan bagi warga bantaran Waduk Pluit.

Menurut Ahok, warga lain tidak bisa sembarangan menempati waduk tersebut. Bahkan, Ahok mengancam akan melaporkan ke polisi bagi warga yang bandel.
"Kalau enggak mau kita tangkap lapor polisi, enak aja emangnya komunis main duduk-dudukin. Kalau legal tanda tangan surat perjanjian," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Kamis (11/4).
Tentu bukan tanpa sebab Ahok menyebut komunis asal menduduki lahan. Ahok rupanya cukup paham sejarah. Tahun 1960an, Partai Komunis Indonesia dan underbouwnya Barisan Tani Indonesia (BTI) memang garang soal land reform. Mereka mengkampanyekan tanah untuk rakyat.

Tak cuma beretorika, PKI pun berusaha merebut tanah milik tuan tanah atau para kiai yang memiliki tanah luas untuk dibagikan pada penggarap lahan.

Sering terjadi perebutan lahan antara pemerintah dan para aktivis tani atau antar petani dengan tuan tanah. Seperti yang terjadi di daerah Jengkol, Kediri, Jawa Timur tahun 22 November 1961. Saat itu pemerintah hendak menggusur para penggarap lahan di area perkebunan tebu yang sudah tak terpakai.

Ada provokasi yang membuat suasana keruh. Ribuan petani bersenjata tajam berdemonstrasi mengusir alat-alat negara. Suara tembakan terdengar di mana-mana, 6 tewas dan sedikitnya 18 luka-luka.

Aksi seperti ini terus terjadi, tanggal 15 Oktober 1964, sekitar 2.000 petani mengeroyok 7 polisi hutan yang menjaga kawasan hutan milik negara di daerah Indramayu, Jawa Barat.

Lalu ada peristiwa Bandar Betsy di Simalungun, Sumatera Utara. Ribuan petani menyerobot tanah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Mereka menanam pohon pisang di area milik negara. Pihak PPN mengerahkan traktor untuk menggusur pohon pisang itu, tetapi traktor terjebak di tanah yang becek dan tak bisa maju.

Seorang anggota TNI, Pelda Soejono berusaha menarik traktor yang terjebak. Dia didatangi 200 anggota BTI yang kemudian mengeroyok bintara TNI AD itu. Dalam perkelahian yang tidak seimbang, Soejono tewas dicangkul.

Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani murka mendengar berita ini. Terutama karena ada seorang anggota TNI AD mati dikeroyok. Peristiwa Bandar Betsy membuat rivalitas AD dan PKI makin meruncing.

Puncaknya setelah gerakan 30 September 1965, keadaan berbalik. Percobaan kudeta PKI gagal, nasib mereka pun berbalik 180 derajat. Mereka yang biasa berteriak soal land reform diangkut tentara. Dihabisi hingga punah karena dinyatakan sebagai pemberontak dan musuh negara.

Kekalahan selalu pahit. Ratusan ribu orang tewas karena dianggap PKI dan underbouwnya. Sebuah episode sejarah kelam Indonesia. [ian]


Jumat, 12 April 2013

Pengabdi Negara yang Terbuang

Jumat, 12 Apr 2013 16:38 WIB - Rumondang Nainggolan

Hampir 50 tahun mereka dilupakan tanpa memperoleh kejelasan status dan dana pensiun. Belum lagi penderitaan di penjara dan stigma negatif yang mereka tanggung seumur hidup.

Foto: (KBR/Danny , Ombudsman , BKN , twitter Asvi)

KBR68H - Lembaga pengaduan publik Ombudsman mencatat ratusan Pegawai Negeri Sipil harus kehilangan haknya sebagai abdi negara karena dituduh sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI). Hampir 50 tahun mereka dilupakan  tanpa memperoleh kejelasan status dan dana pensiun. Belum lagi penderitaan di penjara dan stigma negatif yang mereka tanggung seumur hidup. KBR68H menemui bekas PNS di era Orde Lama Sudarno dan Mustam. Mereka sempat merasakan penjara di Pulau Buru tanpa proses peradilan.  

Sudarno, 70 tahun terus menanti kepastian. Statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil tidak jelas, sejak dituduh sebagai anggota PKI di tahun 1965.
 "Saya dari penangkapan sampai sekarang tidak tahu status saya. Dipecat ya tidak pernah menerima surat pemecatan, diskors juga tidak ada surat skors. Gaji juga tidak pernah dikasih. Yang menjadi pertanyaan saya status saya ini bagaimana? orang yang ditahan tanpa diadili, tanpa ada keputusan hukum yang tetap mengapa terkatung-katung sampai sekarang sebagai pegawai negeri yang sah pada waktu itu,” katanya. 
Waktu itu menurut Sudarno, dia ikut sebagai sukarelawan Ganyang Malaysia. Aksi Ganyang Malaysia berawal pada 1964. Soekarno, presiden Indonesia saat itu memimpin aksi konfrontasi dengan Malaysia karena tidak menyetujui pembentukan Federasi Malaysia, yaitu penyatuan  Semenanjung Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak. Federasi Malaysia saat ini dikenal dengan nama Malaysia.

Soekarno menilai Malaysia hanya sebuah boneka Inggris. Konsolidasi itu hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan tersebut sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia.  Kembali ke Sudarno. Dia kemudian ikut dalam sukarelawan Ganyang Malaysia. Itupun atas instruksi institusinya, kantor Kecamatan Lebak Barang, Pekalongan, Jawa Tengah.

"Hariannya saya menunaikan tugas sebagai pegawai negeri tapi pada waktu itukan ada gerakan ganyang Malaysia yang diinstruksikan oleh Presiden Soekarno pada waktu itu. Saya dari jawatan ditugaskan untuk masuk dalam sukarelawan, jadi sukarelawan ganyang Malaysia. Kebetulan karena kondisi saya menentukan, saya terus mengikuti sukarelawan. Jadi kadang-kadang ya di kantor kadang-kadang sukarelawan," jelasnya.
Hingga hari itu tiba, pada satu sore 6 November 1965. Seusai melakukan aktivitas sebagai sukarelawan, dia ditahan. Sudarno dicurigai ikut terlibat dalam pembunuhan para jenderal. Posisinya sebagai Komandan Peleton Sukarelawan menjadi alasan. Apalagi, dia memegang senjata.
SUDARNO:"Saya memang pegang senjata tapikan atas perintah dari Kodim, tapi sana gak mau tau, taunya saya ikut ke Jakarta"
KBR68H: "Ikut ke Jakarta untuk?"
SUDARNO: "Lah itu pembunuhan para jenderal indikasinya. Saya bilang, 'Pak saya Jakarta saja belum pernah tahu, saya sukarelawan tetapi saya sebagai PNS, kalau bapak tidak percaya tanya kepada jawatan saya hari-hari itu saya ke Jakarta atau tidak masuk kerja,' justru malah dipukul, harus ngaku, harus iya pokoknya. Tapi saya tetap bertahan, saya memang tidak mengakui itu." 
"Sidang dinas itukan, (sore) harinya tidak boleh pulang. Bukan saya sendiri itu, ada enam orang. Di sana dulukan Panca Tunggal, jadi sidang itu ada kepala pengadilan, kejaksaan, saya dari pemda, kepolisian, nah itu saya enggak boleh pulang, bekerja terus gak pulang," kata Mustam Rahadi. 
Pada November 1965 dia ditahan seusai rapat kerja bersama sejumlah pejabat. Mustam adalah Sekretaris Daerah Purbalingga, Jawa Tengah saat itu. 

KBR.Id 

Selasa, 09 April 2013

Penjara Salemba: Sepanjang Pengalamanku



Tetapi kecuali untuk keperluan ibadah keagamaan, ibadah politik dan ibadah ideologi seperti itu, pada sore hari lapangan ini juga digunakan untuk wajib berekreasi. Wajib bermain bola tangan dan bola voli bagi tapol yang sudah bebas isolasi, dan lebih dari itu, mereka yang nama-namanya terpanggil untuk ikut acara rekreasi tersebut. Bebas isolasi dalam dunia kehidupan tapol berarti, bahwa tapol yang bersangkutan sudah diperbolehkan “bergaul” dengan sesama kawannya, dan tidak harus terus-menerus seorang diri berada di dalam sel yang selalu terkunci.
Jika sedang kosong dari kegiatan tapol, lapangan hijau sekitar setengah hektar persegi ini menjadi tempat kegiatan kambing-kambing milik pembesar penjara melangsungkan jenisnya: merumput atau menetek (bagi yang masih cempe), berkelahi dan kawin. Dalam hal nafsu kawin kambing jantan ternyata tidak kenal surut sepanjang musim. Beda misalnya dengan anjing atau kucing yang mempunyai daur musim birahi, yaitu dalam mangsa-mangsa ketujuh [kira kira minggu terakhir Desember sampai paroh minggu pertama Februari], dan mangsa ke sembilan [yaitu awal Maret sampai paroh pertama minggu terakhir bulan ini]. Pantaslah, terhadap orang laki laki yang gemar kawin, bahasa Melayu mempunyai ungkapan perbandingan “seperti bandot”. Bandot ialah kambing jantan yang berjenggot panjang. Walaupun begitu salah satu lukisan terbaik S. Sudjojono diberinya berjudul “Sayang Aku Bukan Anjing”, bukannya “Sayang Aku Bukan Kambing”.

Sore hari, saat menunggu ransum air dan jatah makan kedua dan yang terakhir, terkadang pintu sel dibuka. Dan tapol-tapol dibiarkan “bermain” di halaman blok. Masing masing tapol berbeda-beda cara mereka memanfaatkan kesempatan mahal demikian itu: Mengisi penuh-penuh paru-paru dengan udara segar, memanaskan darah dengan berjalan jalan cepat di seputar halaman blok, mencari puntung dan mengumpulkan sisa-sisa tembakau dari dalamnya, mencari tulang atau tempurung kelapa di timbunan sampah untuk dibikin pipa rokok, mencari sampah-sampah plastik untuk dipilin dan dianyam menjadi tas, dan berbagai macam ulah kegiatan lainnya. Ada pula sementara mereka yang lebih suka berdiri berkerumun, di depan jeruji pintu blok selebar lk. 75 cm yang tetap terkunci itu, dan mata mereka tertuju ke arah lapangan sana. Apa yang mereka lihat? Melihat kambing kawin!
Entah oleh prakarsa tapol-tapol pekerja dapur umum penjara yang iseng, atau karena perintah pembesar penjara, tapi tiba-tiba pemandangan di lapangan ternyata berubah. Pada suatu hari semua kambing betina tampak mengenakan “kain”, dari bahan bekas kantung pupuk urea atau bulgur. Maksudnya barangkali semacam hendak memberlakukan konsinyes kawin terhadap kambing-kambing itu, agar dengan demikian tapol-tapol tidak berkerumun di depan pintu blok sembari bersorak sorai. Tetapi ternyata sebaliknyalah yang terjadi. Bandot-bandot yang terkena wajib KB itu justru menjadi semakin agresif terhadap betina mereka. Dan tapol-tapol pun, yang bertahun-tahun telah dipaksa berwadat dari segala bentuk hasrat birahi itu, semakin bertambah riuh derai-derai tawa mereka.
Adegan tragi-komedi sejatinya terjadi. Bukan saja bagi para kambing yang dipaksa ber-KB, tapi juga bagi para tapol. Gara-gara kambinglah, kemanusiaan menyuraki manusia. Inilah kiranya pelajaran kearifan kedua yang pernah diberikan oleh kambing kepada manusia. Pelajaran pertama ditangkap oleh Dewi Setyawati dari atas pancaka, di tengah-tengah alun-alun Malwapati. Begitulah konon menurut cerita tutur Prabu Anglingdarma, atau dalam bentuk tertulis, dalam serat petikan berjudul Kitiran Mancawarni, dari naskah Mangkunegara IV (Albert Rusche & Co. Solo, 1898).

Wayang Kandha dan Orkes Plastik

Ada tiga hari di dalam satu minggu keluarga tapol diperbolehkan mengantar kiriman ke penjara. Itulah yang dinamai orang-orang penjara sebagai hari hari besukan (Bel.: “bezoek” = kunjungan). Tapol boleh dibesuk apa saja, kecuali apa-apa yang termasuk sebagai “barang konsinyes’. Barang konsinyes itu misalnya alat tajam (termasuk pemotong kuku!), korek api, bahan bacaan, alat tulis-menulis (termasuk kertas penggulung rokok; pengganti kertas rokok yang tidak termasuk barang konsinyes ialah klobot atau daun kaung), alat rekreasi (termasuk kartu domino), dan apa lagi alat-alat komunikasi. Oleh karena itu semua tas besukan harus dikirim melalui loket penjaga penjara. Para petugas akan memeriksa barang-barang di dalam tas besukan satu demi satu. Nasi, sayur, dan gulungan rokok pun akan diaduk-aduk dan dibongkar-bangkir. Petugas juga akan “mencukai” barang barang besukan keluarga tapol itu, menurut selera dan kebutuhan mereka, sebelum diteruskan kepada yang berhak di blok tapol yang bersangkutan. Sampai di blok-blok, para petugas blok akan mencukainya lagi, juga menurut selera dan kebutuhan mereka. Dan baru sesudah itulah tas besukan bisa diterimakan kepada tapol, yang tidak jarang tinggal berupa tas kosong belaka!
Praktek cukai mencukai barang besukan tapol G3OS tahun 1965 seperti ini juga dialami oleh tapol Peristiwa Madiun tahun 1948 dahulu. Bukankah G30S adalah G30S-PKI? Juga Peristiwa Madiun 1948! Bukankah itu peristiwanya PKI yang memberontak? Dan bukankah PKI boleh dipengapakan juga tanpa melihat kiri-kanan? Karena itu KMK (Komando Militer Kota), sebagai instansi yang ketika itu mengurusi barang besukan, lalu mendapat makna dan kepanjangan baru: Kumpulan Maling dan Kecu (Jaw.: kecu = garong).
Cerita tentang cukai-mencukai di atas ternyata belum habis sesudah barang besukan diterima tapol yang bersangkutan. Sesudah jam besukan lewat, dan di dalam sel masing masing tapol dalam kelompok riungannya sendiri-sendiri sedang hendak menikmati besukan keluarga, datanglah dua atau tiga orang aparat blok. Mereka membawa ember-ember plastik, dari pintu sel satu ke pintu sel lain, untuk mengumpulkan apa yang dinamakan sodakoh. Kalau cukai-cukai oleh para petugas penjara dan aparat blok, ketika barang besukan belum sampai di tangan tapol yang berhak, boleh disebut sebagai cukai tidak resmi, maka cukai besukan oleh aparat blok ketika sisa besukan sudah di dalam sel tapol yang berhak, ini boleh disebut cukai “secara resmi’. Cukai resmi ini diminta atas dasar “kesadaran” dan “keikhlasan”, sebagai penyataan “solidaritas” terhadap sesama tapol yang oleh berbagai alasan tidak pernah, atau tidak lagi menerima besukan dari keluarga mereka.

“Malam Kesenian” Antar-Sel

Berekreasi dan berkreasi memang tidak selalu bergantung kepada alat. Juga pelaksanaannya tidak selalu harus bersama-sama di dalam satu ruangan yang sama, tetapi bisa juga dari berbagai ruangan sel yang terletak berpencaran. Pada petang hari lepas besukan itulah biasa “malam kesenian” atau “malam hiburan” di blok-blok tertentu berlangsung. Tentu saja dengan mengingat suasana keamanan blok khususnya dan seluruh penjara umumnya.
Salat isya adalah salat terakhir dalam satu hari bagi umat Islam. Karena itu, dalam kehidupan penjara, waktu isya seakan akan merupakan batas antara hari dan malam, dan batas antara hari ini dengan hari esok. Waktu lepas isya, biasanya serdadu-serdadu penjaga akan lebih banyak berada di pos masing-masing. Di atas menara-menara jaga, atau jauh di ruang jaga di depan sana. Maka bagi tapol penghuni blok yang mungkin berekreasi, misalnya karena letaknya yang jauh dari pos jaga, dan di dalam blok dapat dipastikan tidak ada tapol cecunguk seorang pun, ketika itulah saatnya malam hiburan dimulai.
Jika hiburan yang direncanakan berupa pergelaran lakon wayang, maka “Ki Dalang”, sambil berdiri berpegangan jeruji jeruji di belakang pintu sel, akan mengimbau dukungan kawan-kawannya dari sel-sel lain. Mereka itu ialah para “niaga”, atau tepatnya para penyuara gending gamelan, kendang, gong, pesinden, dan penggerong. Sesudah itu ia akan mengumumkan lakon yang hendak dipergelarkan, lalu disusul dengan imbauannya yang kedua. Imbauan kali ini ditujukan kepada mereka yang baru menerima besukan, agar supaya bersedia memberi sodakoh atau “kondisi” suka rela bagi para pelaksana pergelaran. Istilah “kondisi” dalam arti “upah tanggapan untuk pergelaran lakon”, bukan kosakata baru dan bukan pula jargon tapol. Tapi sudah lazim digunakan di daerah Klaten Jawa Tengah sejak tahun 1960an. (Lihat juga Victoria M. Clara van Groenendael: “Dalang Di Balik Wayang” [terj.Hersri], Grafitipers 1987). Menyambut imbauan kondisi itu, dari sel sana-sini akan berlemparan bungkusan-bungkusan plastik gula kopi, gula merah, singkong dan ubi rebus, tembakau mole atau tembakau hitam, satu-dua batang rokok kretek. Semuanya jatuh di depan pintu sel “Ki Dalang”. Pada gilirannya “Ki Dalang” akan membagi-bagi dan melemparkannya ke depan pintu sel-sel para pembantu pelaksana pergelaran.
I.akon biasanya cerita carangan atau fragmen dari lakon baku yang melukiskan kegagahan atau kepahlawanan (misalnya: Senggono Obong, Gatutkaca Gugur, Kikis Tunggarana, dan lain-lain), kemenangan sementara tipu muslihat (Kresna Kembar, Pendhawa Dhadhu, dan lain-lain), salah urus akibat salah duduk (Prabu Bel Geduwelbeh atau Petruk Jadi Raja, dan lain-lain). Demikian juga dalam hal pergelaran teater rakyat, yang disuka lakon-lakon semacam Untung Surapati, Arya Panangsang, Sakerah, Macan Kemayoran, Layang Seta Layang Kumitir, dan lain-lain.
Prosedur yang sama dilakukan dalam hal pergelaran musik. Orkes Plastik mereka menamainya. Karena instrumen yang dominan ialah ember-ember plastik. Pengambil prakarsa terlebih dahulu mencari pemain, membagi tugas, mengimbau sodakoh (dalam hal ini kata “kondisi ” tidak digunakan), dan membagi-bagi sodakoh itu kepada para pemain. Bedanya, jika pergelaran wayang dan teater sepenuhnya beralat mulut, maka dalam hal pergelaran musik (kecuali penyanyi tentu saja) menggunakan berbagai macam “instrumen”, seperti: sendok dan ompreng, sapu lidi dan lantai sel, kayu pemukul dan jeruji sel, ember-ember plastik baik yang berdawai maupun yang tanpa dawai. Dawai ini berupa elastik atau karet kolor celana.
Dalam urutan preferensi yang dimainkan, yaitu lagu-lagu yang biasa disebut jenis keroncong (termasuk langgam keroncong), dangdut (ketika itu masih berupa dua genre yang masing-masing lebih populer dengan sebutan “Irama Padang Pasir” dan “Irama Melayu”), dan sedikit lagu-lagu jenis hiburan. Lagu-lagu untuk paduan suara yang, menurut Bung Karno, kebanyakan “berirama berdentam dentam” itu tidak pernah diperdengarkan. Barangkali atas pertimbangan “kewaspadaan politik”, agar tidak dituduh sebagai “revolusioner kepala batu”. Lagu himne “Rayuan Pulau Kelapa” (Ismail Mz.) dan “Nyiur Hijau” (Maladi), biasanya dimainkan sebagai lagu penutup acara. Adapun jenis-jenis lagu yang tergolong seriosa, seperti “Kemuning” (Cornel Simandjuntak/Sanusi Pane), “Lagu Biasa” (Chairil Anwar/Amir Pasaribu), “Gadis Gunung” (Sudharnoto), ternyata hampir tidak mendapat tempat sama sekali. Suatu tanda bahwa di masa lampau, pekerjaan PKI dan ormas kebudayaan progresif (khususnya Lekra dan sedikit banyak juga LKN) di bidang seni musik belum menyeluruh. Sekalipun Wakil Ketua II CC PKI Njoto, di depan para sastrawan dan seniman Lekra, telah berulang-ulang menegaskan, agar mereka “tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala”. Atau, apakah jenis lagu seriosa memang dipandang bernada elitis, sehingga tidak perlu dikembangkan? Tapi salah satu sajak Njoto (di bawah nama Iramani; dalam hubungan ini perhatikan juga kata “irama” itu!) yang ditulisnya untuk Patrice Lumumba yang mati dibunuh, “Merah Kesumba” (1961), diberi notasi musik oleh Amir Pasaribu untuk jenis lagu seriosa. Di samping itu, bukankah Akademi Seni Musik CC PKI diberi nama tambahan WR Supratman, nama komponis lagu kebangsaan?

Sastra Lisan

Bagaimana dengan sastra lisan? Berpantun-pantunan tidak pernah terdengar di penjara, kecuali dinyanyikan sebagai syair lagu Melayu menurut pola nyanyian P. Ramlee, bintang layar putih Semenanjung Melayu kondang tahun 1950-an. Deklamasi sama sekali tidak asing, jika membaca ayat-ayat Kuran bisa disebut demikian. Acara tetap bagi tapol beragama Islam, setiap pagi selama tiga jam (9.00-12.00) kecuali hari Minggu pagi, di sepanjang sel-sel penjara, belajar mengaji dan membaca Kuran. Tetapi adanya kendala perasaan berjarak, walau tidak asing, terhadap sajak-sajak bebas, agaknya bersumber pada bentuk persajakan Indonesia modern itu sendiri. Karena itu satu dua baris yang terkadang toh terdengar, justru terlontar lepas bernada kariratural: “Aku merana / engkau merene”. Sebuah karikatur terhadap sajak bebas dan cara berdeklamasi yang umumnya cenderung teatral.
Kata “merana” dan “merene” adalah bentuk bentuk distorsi dari kata-kata Jawa “mrana” (ke sana) dan “mrene” (ke sini). Jika interpretasi “aku merana / engkau merene” boleh diteruskan, itu berarti bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak akan pernah saling bertemu. Begitukah karikatur massa tentang hubungan antara sastrawan modern dengan masyarakatnya? Sebuah contoh lagi ialah ini: “Tak seorang berniat pulang / walau mati menanti”. Dua baris pertama sajak Hr. Bandaharo ini sering terdengar terlontar tiba-tiba sebagai pelepas frustasi. Jelas sebagai karikatur tentang betapa encernya militansi kader kader komunis Indonesia.
Dibanding dengan puisi modern Indonesia yang diterima dengan sikap sinis, tembang-tembang Jawa bermatra macapat, dan khususnya yang bergaya Semarangan, serta lagu-lagu dolanan gubahan baru (misalnya dari Nartosabdo dan Tjakrawasita), diterima dengan baik jika dibandingkan dengan animo pendengar. Kelak bila keadaan telah memungkinkan. Bahkan juga oleh tapol-tapol yang tidak berasal etnis Jawa. Ada beberapa alasan untuk hal ini. Pertama, karena berirama sederhana, sehingga mudah orang mengingat dan menirunya. Kedua, karena lagunya bisa menciptakan suasana damai dan riang. Ketiga, karena isi repertoar lagu-lagu tersebut umumnya politis “bersih”, sehingga jauh dari kemungkinan akibat yang “tak diinginkan”. Keempat, khususnya menyangkut Iagu-lagu dolanan, karena umumnya tidak berisi apa-apa selain permainan kata, justru itulah agaknya sesuai dengan apresiasi umum tapol yang cenderung blangko.
Jumlah tukang cerita tidak terdapat banyak , misalnya di Buru ketika tapol bisa menyelinap dari barak satu ke barak lain (berbeda dengan di penjara, ketika pintu sel terkunci dari jam enam petang sampai jam enam pagi), pada setiap usai apel petang akan terlihat si tukang cerita mengendap-endap mencari pendengar. Ia masuk dari barak ke barak secara bergilir, untuk menuturkan repertoar-repertoar ceritanya. Tukang cerita seperti ini di Unit XIV Bantalareja misalnya Kho Djie Tjai. Repertoar yang diambil umumnya dari genre yang dikenal sebagai roman picisan atau novel pop (misalnya karangan Motinggo Busye, Marga T., atau penulis lainnya yang sudah dikenal, atau gubahan seketika si tukang cerita itu sendiri), cerita silat dan pseudo sejarah (misanya “Bende Mataram” karangan Herman Pratikto, “Naga Sasra Sabuk Inten” karangan S. H. Mintardja, “Tiga Negeri” atau “Sam Kok”, dan semacamnya), roman rakyat (misalnya “Pranacitra Rara Mendut”, “Sampek Eng Tay”, “Sangkuriang”, dan sebangsanya).
Perbendaharaan prosa modern mereka terbatas pada repertoar Balai Pustaka “Layar Terkembang” (Takdir Alisyahbana) dan “Sitti Nurbaya” (Marah Rusli), dengan umur tapol-tapol penceritanya dari “angkatan sesudah perang”. Sementara itu tukang-tukang cerita dari “angkatan sebelum perang” untuk roman modern Jawa mempunyai repertoar yang jauh lebih kaya, meskipun pada umumnya juga diambil dari perbendaharaan Bale Poestaka pra-1945. Repertoar yang paling banyak terdengar antara lain “Serat Riyanta” (R. Sulardi), “Ngulandara” (Margana Jayaatmaja), “Kirti nJunjung Drajat” dan “Ni Wungkuk Ing Bendha Growong” (keduanya dari Yasawidagda). Hal ini, pada satu pihak, barangkali bisa merupakan petunjuk tentang adanya alienasi terhadap hasil sastra Indonesia modern; dan pada pihak lain, bisa menjadi petunjuk tentang politik dan metode pengajaran sastra, yang diterima oleh masing-masing “angkatan” tersebut; demikian juga bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana hubungan antara sekolah dengan Balai Pustaka sebagai badan penerbit negara, pada masa kolonial dibandingkan dengan pada masa republik.
Walaupun demikian tidak berarti, bahwa prosa modern Indonesia mutakhir tidak mendapat tempat di sel-sel tapol. Seperti diketahui, tetralogi Pramudya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), lahir pertama justru sebagai sastra lisan di tengah sawah di Buru. Demikian juga cerita-cerita karya Pramudya lainnya (Wiranggaleng, Mata Pusaran, Arus Balik, dan lain-lain), semuanya telah beredar dengan sangat luas dan cepat dalam bentuk ketikan di unit-unit. Boejoeng Saleh (almarhum Saleh Iskandar Puradisastra), pernah tampil dengan cerita “Pranacitra Rara Mendut” dan “Under the Firing Squad”. Kisah tersebut akhir, tentunya demi rasa aman bagi diri sastrawan penutur itu sendiri, memang dituturkan dan kemudian juga ditulis dalam bahasa Inggris.
Bahwa tapol dengan gairah besar mendengarkan Pramudya dan Boejoeng, menurut hemat saya, bukan sekaligus petunjuk tentang kesadaran mereka terhadap nilai sastra modern. Dukungan nama besar penulis atau penceritanya itulah kiranya, yang mampu meruntuhkan dinding alienasi antara tapol dengan prosa modern Indonesia. Lagi pula gejala demikian itu pun hanya terjadi sesudah di Buru, dan tidak sebelumnya ketika masih di kamp-kamp di Jawa.

Jailangkung Konsultan Rohani
Tak ada konsep “gender” di penjara laki-laki

Tidak semua blok di penjara Salemba bisa menghibur diri atau berpergelaran seni. Seperti sudah dikatakan di atas, jauh atau dekat jarak blok dengan pos penjagaan, sikap aparat blok, bersih atau tidaknya blok bersangkutan dari coro-coro atau cecunguk, semuanya sangat menentukan. Walaupun semua aparat blok terdiri dari sesama tapol, kecuali Blok E yang di bawah para takrim (tahanan kriminil militer), namun ada blok-blok tertentu yang memberlakukan konsinyes begitu keras. Misalnya blok yang dipimpin Kablok Drs. Suwarno. Di blok-blok ini berbicara keras keras, tanpa ada kepastian sekeras bagaimana, atau bahkan tertawa pun bisa dituduh “macam-macam”. Kata “macam-macam”, sebagai jargon penjara, tidak lagi berarti “rupa-rupa”, atau “(ber)bagai-bagai”, tapi berarti perbuatan yang menyimpang dari konsinyes. Konsinyes itulah macam yang tunggal, sehingga hal- hal yang tidak patuh padanya menjadi termasuk macam-macam, atau yang lain dari yang tunggal itu. Tertawa bisa digolongkan sebagai perbuatan macam-macam, apalagi yang terdengar dengan “ledakan” atau gigi-gigi yang tampak menyeringai. Sebab, tertawa yang demikian itu, bisa ditafsirkan sebagai menertawakan si penegak konsinyes. Sehingga oleh karenanya tertawa bisa termasuk konsinyes itu sendiri.
Di blok-blok dengan konsinyes keras seperti ini kakus bukan hanya tempat untuk melepas hajat, tetapi juga tempat untuk melepas tawa. Satu kali sehari. Ya, satu kali sehari saja! Walaupun tawa (dengan tangis sebagai pasangannya) merupakan pernyataan naluri hidup yang paling pertama dan mendasar. Dengan demikian bagi tapol penghuni blok seperti ini, jatah waktu enam puluh menit setiap pagi buat seluruh penghuni blok yang lebih dari seratus tapol untuk buang hajat plus mandi itu, benar-benar merupakan keindahan tersendiri. Betapa tidak? Karena hanya pada saat-saat di kakus itulah, tapol bisa menghibur diri dan melepaskan cita rasa mereka yang semurni-murninya. Maka terkadang kita dengar suara teriakan sekedar untuk teriak, atau ledakan tawa sekedar untuk tertawa. Tanpa ada yang perlu diteriaki atau ditertawai. Itulah sejatinya, menurut pendapatku, teriakan yang paling jujur dan tertawa yang paling indah. Sesungguhnya penjara bukanlah dunia abnormalitas. Bukan!
Tetapi pengucapan fantasi manusia, termasuk manusia tapol, tidak cukup dalam bentuk hiburan dan seni saja. Dari itu mereka lalu mencari cara-cara untuk bisa menembus tembok beton konsinyes dan isolasi fisik, agar bisa merasa tetap eksis di tengah-tengah dunia nyata sehari-hari. Radio dan surat-menyurat gampang dipantau dan dilacak. Lagi pula “permainan” yang terlalu ber-vivere peri coloso seperti itu, justru menciptakan suasana tegang. Padahal ketegangan itu sendiri sudah ibarat menjadi denyut jantung kehidupan tapol. Barangkali itulah alasan psikologis, mengapa di tengah kehidupan tapol “info” atau “sasus” menjadi sejenis “menu” yang sangat dilahap. Menjadi kebutuhan tapol, karenanya, justru ingin mengurai ketegangan tersebut, walau hanya satu-dua jurus dan kadang kadang saja. Misalnya dengan melalui percakapan-percakapan lugas dan santai tentang segala hal-ihwal: kabar tetek-bengek keluarga, hari depan nasib sendiri, konflik para petinggi di Jakarta, adu kekuatan negara adikuasa, dan apa saja: dari singkong sampai tembakau, dari gempa bumi sampai bom nuklir. Bukan diurai dalam dialog dengan sesama tapol, melainkan dengan arwah orang-orang mati melalui medium yang disebut jailangkung atau jailangse (kata Prof. Priyohutomo, gurubesar antropologi dan sejarah UGM: jika roh yang datang laki-laki, itulah jailangkung, atau jailangse, jika roh yang datang perempuan). Kepada arwah itu mereka berani dan bisa menyatakan perasaan dan pikirannya, tanpa harus merasa takut dihardik, diancam konsinyes, dan dilaporkan kepada penguasa kamp.
Biasanya kegiatan menghubungi arwah seperti itu mereka lakukan apabila malam telah larut, di suatu sudut blok yang gelap dan sepi, khususnya (sekali lagi) di kakus! Jailangkung (lebih tepat jailangse) tidak lain ialah nini thowong atau nini thowok dalam tradisi Jawa. Mula mula merupakan salah satu bentuk ritus animisme, kemudian berkembang sebagai permainan teatral anak-anak desa di kala musim bulan purnama. Untuk memanggil ruh Nini Thowong itu, sudah ada lagu “wajib” yang dinyanyikan bersama-sama, sampai saat ruh sudah masuk “tubuh” Nini. Lagu itu bernama “Ilir Ilir”, begini kata katanya:
“Lir ilir lir ilir / tandure wis sumilir dak ijo royo-royo / dak sengguh penganten anyar / cah angon cah angon penekna blimbing kuwi / lunyu-lunyu peneken kanggo masuh dodotira / dodotira-dodotira kumitir bedhah ing pinggir / domana jlumatana kanggo seba mengko sore / mumpung gedhe rembulane / mumpung jembar kalangane / dak suraka surak hore! / dak suraka surak hore!”
Terjemahan nya:
“lir ilir lir ilir / tanam (padi) sudah bangun menghijau cerah segar seolah pengantin baru / penggembala penggembala / panjatlah (pohon) blimbing itu biar licin sekali pun / untuk mencuci kainmu / kainmu kainmu berkibaran / sobek di tepi jahitlah tisiklah / untuk menghadap sore nanti / selagi purnama bulan / selagi luas gelanggangnya / ayo bersurak surai / ayo bersurak surai!”
Beda dengan Nini Thowong yang manja, minta dijemput nyanyian bersama di kala bulan purnama, Jailangkung dan Jailangseng tidak demikian. Tanpa nyanyian sepenggal, dan di depan kakus pun jadi. Yang penting ada segelas air putih, dan beberapa biji kacang goreng …
Tetapi entah mengapa, ketika permainan ini timbul kembali laksana wabah di kota-kota di Jawa, pada awal 1950-an, seusai perang kemerdekaan (seakan-akan ada hubungannya dengan banyaknya orang mati “sebelum saat ajal” mereka sampai), orang cenderung mengikuti tradisi animisme Tionghwa. Apakah karena dalam tradisi animisme (tani) Jawa hanya dikenal satu tokoh perempuan, yaitu seorang nini atau nenek? Ya, Nini Thowong saja adanya. Kaki Thowong tidak pernah ada! Sedang dalam tradisi Tionghwa dikenal tokoh laki-laki dan perempuan? Dan ini lebih sesuai dengan konsep tentang hubungan antara raja atau kraton dengan kaula atau kerajaannya?
Ternyata kemudian tokoh Jailangkung memang tampil lebih dominan dibanding dengan Jailangse. Demikian juga yang terjadi di penjara-penjara tapol (laki laki) Salemba dan Tangerang. Tradisi dominasi laki-laki atau raja/kerajaan ala Tionghwa itu yang dianut. Saya tidak tahu, sayang tidak bertanya, apakah di penjara-penjara perempuan, Bukitduri (Jakarta) dan Bulu (Semarang) misalnya, tapol di sana juga menyukai permainan ini? Juga kamp konsentrasi para pembesar di Nirbaya? Dan apakah juga berkecenderungan pada animisme Tionghwa dan kelaki-lakian, ataukah tetap mempertahankan animisme Jawa yang dikuasai seorang Nini?
Entah bagaimana jadinya kebenaran kata-kata Jailangkung kelak, itu urusan kelak. Tetapi sekarang, keluh dan kesah mereka ada yang mau mendengar, pertanyaan mereka pun ada yang mau menjawab. Lalu mereka akan tidur dengan damai, dan menghadapi hari esok dengan senyum kembali …

sumber: https://www.facebook.com/notes/hersri-setiawan/penjara-salemba/627240077290800

Senin, 08 April 2013

Tilok Wan Opoh Kerong

Monday, 8 April 2013 | Oleh Mustawalad*






SUATU hari di bulan Oktober 1965. Siang itu Ibrahim Kadir berdiri di depan para siswa Sekolah Dasar Arul Gele, Angkop, Aceh Tengah. Dia mengajar mata pelajaran seni musik. Dia mengajak murid-muridnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Indonesia… tanah airku … Tanah tumpah darahku…”

Kadir guru yang sederhana. Di usia 20-an, ia sudah mengabdi sebagai guru. Tiap hari ia berangkat mengajar dengan bersandal jepit. Tahun itu, ekonomi Indonesia payah. Kondisi ini menjalar hingga ke daerah-daerah. Gaji dan kehidupan guru amat memperihatinkan. Sejumlah guru bahkan tidak menerima gaji. Berat bagi Kadir untuk sekedar membeli sepasang sepatu.

Selain sebagai guru, Kadir dikenal sebagai penyair oleh masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Dia lahir di desa Kemili, Takengon, tahun 1942. Karena kemampuan ini, dia sering diundang untuk membaca syair di acara-acara tertentu. Kadir juga pernah diundang membaca syair dalam acara yang diadakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh Tengah. Namun, dia lebih tertarik menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).

Di kelas Kadir siang itu, lagu Indonesia Raya masih terdengar.

“Hiduplah… Indonesia Raya…”

Tak lama setelah bait terakhir ini, dari luar kelas seseorang mengetuk pintu. Semua murid diam. Mereka melihat lelaki di depan pintu kelas.

“Pak, keluar dulu!” perintah seorang lelaki di pintu.
“Anak-anak diliburkan saja. Bapak tak perlu ke rumah lagi!” sambung lelaki itu.
“Ke mana saya mau dibawa?” balas Kadir.
“Bapak harus ikut kami. Bapak tak perlu pamit karena kita harus pergi segera,” sahut lelaki itu. Di belakang pria ini ada 14 lelaki lain. Mereka adalah anggota-anggota Wajib Militer Darurat di bawah pimpinan seorang tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Tengah. Namanya Kapten Abdul Latief.
Kadir dibawa ke kantor polisi yang berada di Desa Angkop. Malam hari, dia dibawa ke kantor Kodim Aceh Tengah di ibukota Takengon. Di dalam sebuah ruangan, Kadir melihat banyak orang yang telah lebih dulu berada di situ. Kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa.

Dalam ruangan ini Kadir tidak lama. Dia segera dijebloskan ke sel tahanan di sebuah penjara di Takengon. Penjara ini terletak di dekat Bioskop Gentala. Sudah ada beberapa orang yang berada dalam sel itu. Kadir dimasukkan ke sel bernomor 25.
“Hari pertama saya masuk sel, saya bertemu dengan tiga orang yang telah duluan berada dalam sel tersebut mereka adalah guru Rama, guru Muhammad Daud Nosari dan satu orang lagi yang saya tidak ingat namanya,” kenang Kadir.
Kadir kenal baik ketiga guru itu. Rama adalah guru Sekolah Dasar Negeri 1 Takengon. Ada singkatan Thd setiap Rama menuliskan nama, Thd. Rama. Tapi Kadir tak pernah tahu apa kepanjangan Thd. Sedangkan Muhammad Nosari adalah guru penilik untuk Sekolah Dasar di Aceh Tengah. Kadir sering berjumpa dengan mereka dalam rapat-rapat guru.
“Mereka adalah atasan saya. Saya mendengar mereka adalah pimpinan PKI di Aceh Tengah,” ungkap kadir.
Di dalam sel, Kadir menyatakan rasa bingungnya kepada Rama dan Nosari.
“Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke dalam sel ini,” ujar Kadir kepada keduanya.
“Kami juga tidak tahu mengapa bisa masuk ke sel,” jawab Rama yang diiyakan Nosari.
Di luar ruang sel, warga yang ditahan dalam penjara itu terus bertambah. Suatu kali, Kadir sempat melihat dari sela-sela bilah papan yang renggang ada yang terjadi di sel sebelahnya, sel nomor 24. Sel ini ternyata berisi perempuan-perempuan. Kadir sempat mendengar tangisan bayi yang berasal dari sel tersebut.

PERLAWANAN terhadap kebijakan pemerintahan di Jakarta marak terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Sebut saja aksi pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta) di Padang dan Manado.
Lalu ada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergerak meredam perlawanan mereka. Salah satu strateginya adalah memberlakukan Wajib Militer. Di Aceh Tengah, pasukan dari Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro membentuk pasukan milisi yang diberi nama Wajib Militer Darurat atau yang juga dikenal dengan Wamilda atau WMD. Ini berlangsung antara tahun 1953 sampai 1962.

Keberadaan WMD ini disebutkan dalam Undang Undang Nomor 66 Tahun 1958. Pasal 1 menyebutkan, “Militer-wajib ialah pewajib-militer yang terpilih dan dimasukkan dalam Angkatan Perang untuk melakukan dinas wajib- militer.”

Lalu pasal 36 undang-undang ini menjelaskan, “Dalam keadaan darurat atau keadaan perang dapat diadakan panggilan darurat terhadap semua militer-wajib untuk melakukan dinas wajib-militer dimulai dengan golongan penerimaan yang paling muda dan selanjutnya berturut-turut sesuai dengan urutan usia golongan penerimaan.”

Kemudian, Wajib Militer Darurat ini kembali dipertegas dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 1960 tentang Penyaluran Wajib Militer Darurat ke dalam Wajib Militer. Pada pasal 1 ayat 1 peraturan ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan Militer Wajib Darurat dalam peraturan ini ialah mereka yang telah dipanggil dan diangkat sebagai Militer Wajib Darurat oleh yang berwajib berdasarkan Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat menurut ketentuan Undang-undang Keadaan Bahaya tahun 1957.”

Anggota milisi ini terdiri dari berbagai unsur masyarakat, termasuk dari partai seperti anggota PNI dan Pemuda Rakyat atau populer disebut PR yang memiliki kaitan secara politik dengan PKI. Tujuan pembentukan milisi ini untuk menumpas aksi pasukan DII/TII yang berada di Aceh Tengah.

Di Aceh, pasukan DI/TII dipimpin Teungku Mohammad Daud Bereu’euh. Dia adalah seorang ulama dan pernah memimpin Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada 21 September 1953, Bereu’euh menyatakan Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Sekar Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Di Aceh Tengah, pasukan DI/TII dipimpin Tengku Ilyas Leubeu.

Perlawanan Bereu’euh dihadapi presiden Soekarno dengan diplomasi. Beureu’euh setuju menyerah setelah Soekarno menjanjikan Aceh sebagai daerah istimewa. Pada Desember 1962, pasukan DI/TII turun gunung.

Setelah itu pecah peristiwa 1965. Kali ini PKI mendapat serangan balik dari bekas pasukan DI/TII. Sebagian menjadi algojo dalam pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis.

DI lapangan Musara Alun Takengon, Aceh Tengah, seorang tentara bernama Ishak Juarsa memimpin rapat terbuka. Lelaki ini asal Banda Aceh. Di situ Juarsa memberi pidato di hadapan massa yang terdiri anggota polisi, tentara, WMD, dan sejumlah warga. Bulan Oktober 1965 itu, dari Jakarta hingga Aceh, kebencian terhadap PKI memuncak.
“Kikis habis PKI sampai ke akar-akarnya! ” kata Juarsa dengan nada tinggi.
“Kalau dalam sebuah desa ada yang tidak melaporkan, maka desa itu akan dihancurkan!”
Pertemuan itu dilaksanakan pada hari kesepuluh Ibrahim Kadir mendekam di dalam sel tahanan. Dia mendengar kabar tentang pertemuan akbar itu dari orang-orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan.

Keesokan hari setelah pertemuan itu, orang-orang yang dituduh pemimpin atau anggota PKI dipanggil keluar dari sel. Pada malam hari penjaga tahanan memanggil satu per satu nama para tahanan.
“Guru Rama! Guru Daud…!”
Tapi, nama Kadir belum disebut-sebut.
“Kami mau dibawa kemana?” Kadir mendengar beberapa orang yang namanya dipanggil bertanya kepada penjaga.
“Kalian akan dipindahkan ke Banda Aceh!” bentak penjaga.
Mereka diangkut dengan truk.

Orang-orang dalam tahanan tidak pernah tahu apa yang terjadi di luar penjara sampai datang beberapa orang baru sebagai tahanan. 
“Apa Guru Rama, Guru Daud, dan teman-temannya kemarin ditahan di sini?” tanya tahanan yang baru datang.
“Iya. Betul!” sahut Kadir.
“Mereka semuanya telah menjadi mayat di Gorelen,” balas si penghuni baru. Gorelen adalah nama daerah di pinggir jalan antara Takengon dan Bireuen.
Mendengar cerita itu semua tahanan terkejut. Kadir dan tahanan yang belum dipanggil, akhirnya sadar. Kalimat “ke Banda Aceh” adalah sandi untuk membawa para korban ke tempat eksekusi. Kadir dan tahanan lain mulai ketakutan. Tubuh Kadir menggigil. Dia takut di-Banda Aceh-kan.

Petugas akhirnya memanggil Kadir. Tapi petugas tidak mengajak Kadir pergi “ke Banda Aceh”. Dia juga tidak menjalani proses interogasi. Seperti juga yang lain, Kadir sama sekali tidak menjalani proses hukum lazimnya seseorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan. Kadir malah menjadi saksi mata dalam proses eksekusi itu sendiri.

MALAM itu sinar bulan menerangi dataran tinggi Gayo. Hawa dingin menusuk tulang. Di penjara Takengon, penjaga memanggil satu per satu nama dalam daftar tahanan. Mereka yang dipanggil dibawa ke ruangan tersendiri. Penjaga memerintahkan Kadir mengikat para tahanan. Tiap kepala tahanan ditutup karung goni, lalu diangkut ke atas truk Dodge.

Kadir ikut bersama mereka. Truk berangkat “ke Banda Aceh”. Sebuah lokasi eksekusi yang sebelumnya hanya didengar Kadir.

Setelah sampai di lokasi, satu demi satu tahanan diturunkan dari truk. Tak jauh dari tempat truk berhenti, Kadir melihat beberapa orang yang berlagak layaknya penjagal. Calon korban dibawa ke dekat tebing kemudian ditembak atau dipancung, lalu dilempar ke jurang. Meski hanya diterangi sinar bulan, Kadir bisa melihat jelas kibasan pedang dan bunyi letusan senjata.
“Seperti sudah menjadi tugas rutin, tiap malam saya mengikat orang-orang yang akan dibunuh dan ikut bersama mereka dalam truk,” ujar Kadir, lirih.
Lebih dari sepuluh kali ia menyaksikan para tahanan yang akan dibantai dari jarak antara lima hingga 15 meter. Kadir dibawa ke tiga lokasi pembantaian yang berbeda: Bur Lintang, Totor Ilang dan Totor Besi.
Bur Lintang adalah nama sebuah tempat yang jaraknya sekitar 21 kilometer dari arah Takengon menuju Blang Kejeren, Aceh Tenggara. Ini kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam. Kini sebagian kawasan itu menjadi tempat pembuangan akhir sampah.

Sedangkan Totor Ilang merupakan sebuah jembatan yang terletak antara desa Simpang Balek dan Blang Mancung, sekitar 11 ke arah utara kota Takengon. Begitu pula Totor Besi. Ini jembatan yang terletak di desa Simpang Teritit jalan yang menghubungkan Takengon dan Bireuen.

Malam-malam selanjutnya kian mencekam. Deru mesin truk yang memasuki halaman penjara, menjadi teror yang mengerikan bagi para tahanan. Para tahanan, juga Kadir, sudah paham, kedatangan truk itu untuk menjemput salah satu atau beberapa orang dari mereka untuk berangkat “ke Banda Aceh”.

Beberapa malam sebelum Kadir dilepas, ia masih menjalankan perintah mengikat para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Saat itu giliran seorang perempuan yang membawa anak. Seorang anggota WMD meminta sang ibu agar memberikan bayinya. Sang ibu menolak.
Dor!

Bayi mungil itu tewas saat masih dalam pelukan sang ibu. Peluru menembus hingga ke dada sang ibu. Keduanya terjerembab ke tanah. Mayat keduanya kemudian dilempar ke jurang. Kadir tidak berdaya. Kedua telapak tangannya segera menutup wajahnya. Namun, semua tragedi itu terekam dalam ingatannya.

Peristiwa-peristiwa pembantaian itu dia catat dan dicurahkannya dalam syair. Salah satunya, syair yang berjudul Ratapan.

Bintang bulan cengang menjerit

Memandang tubuh yang terpaku
Ibarat patung tak berkutik
Risau rindu tak berulang


GELOMBANG anti PKI atau komunis menjalar hingga ke desa-desa di Takengon. Suasana kota kecil di dataran tinggi Gayo ini jadi sunyi dan mencekam. Lampu-lampu teplok menerangi rumah-rumah warga. Kesunyian pecah ketika deru truk membelah jalan utama. Deru mesinnya seperti membawa beban yang sangat berat.

Muhammad Iwan Gayo masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Takengon saat itu. Jarak sekolah dan rumahnya hanya 300 meter. Pada malam-malam itu, dia kerap duduk bersama sang ibu, Hajah Bona, di dalam rumah. Rumah mereka tak jauh dari jalan raya. 
“Mereka membawa PKI untuk dibunuh,” bisik sang ibu ketika suara truk menjauh. Meski tidak ada orang lain di dalam rumah, sang ibu tetap berbisik-bisik seakan tak ingin ada seekor semut pun mendengar percakapan ibu dan anak itu.
Suatu kali, Iwan Gayo menjadi saksi pembunuhan seorang warga. Namanya Islah. Dia penjaga Masjid Raya Quba, kecamatan Bebesen. Islah adalah anak tiri Tengku Abdul Jalil, seorang ulama yang berpengaruh di tanah Gayo. Tapi Islah dituduh sebagai anggota PKI.

Menurut keterangan Teungku Muhammad Isa Umar, guru di Pendidikan Guru Atas Takengon, Islah bukan penjaga mesjid melainkan tinggal dekat masjid. Anggota polisi Aceh Tengah, kata dia, saat itu menangkap Islah.
Dia dituduh telah membakar Masjid Quba Bebesen. Pembakaran terjadi dua bulan sebelum peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada malam hari 21 Juli 1965. Masjid itu memang terbakar, tapi warga menyangsikan Islah sebagai pelakunya. Tapi polisi menuding Islah biang keladinya. Umar kini menjadi ketua Pembangunan Masjid Raya Quba Bebesen.
“Kedua tangannya diikat ke belakang. Kedua jempolnya diikat dengan rambut perempuan,” kata Iwan, melanjutkan ceritanya.
Semula dia tidak tahu akan ada rencana eksekusi terhadap Islah. Dia baru tahu ketika sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah. Dia mendengar pengumuman dari tentara. Isinya ajakan kepada warga agar datang beramai-ramai ke Masjid Quba sore itu. Karena akan ada rencana eksekusi terhadap orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
“Itu diumumkan secara terbuka,” ujar Iwan.
Namun eksekusi tidak jadi dilakukan di sore hari itu. Tentara membunuh Islah pada malam harinya. Mereka mengeksekusi Islah di antara Jalan Kebet ke arah Tan Saril, dekat kota Takengon. Keesokan paginya, bersama sejumlah penduduk desa, Iwan melihat sosok mayat Islah.

Lehernya nyaris putus. Kepala Islah tertutup kain sarung. Ususnya terburai dimakan anjing. Saat itu banyak anjing-anjing liar yang kelaparan di kawasan itu.

Beberapa hari setelah eksekusi Islah, warga desa tempat Iwan tinggal kembali heboh. Saat itu warga menemukan sesosok mayat lagi. Iwan Gayo ikut melihat mayat itu. Jenazah itu dikenali sebagai penjual ikan asin yang berdagang di Pasar Takengon. Lelaki itu berasal dari desa Nosar, di pinggiran Danau Laut Tawar. Dia dieksekusi di antara jalan desa Asir Asir dan desa Uning Kirip. Kedua desa ini terletak di tepi sungai yang berhulu di Danau Laut Tawar.

Mayat ketiga adalah lelaki berpeci hitam. Kedua tangannya diikat ke belakang. Iwan mengenali mayat itu. Sebelum menjadi mayat, lelaki itu bersama-sama dengan Iwan dalam perjalanan dari Takengon menuju kecamatan Bintang. Mereka berada dalam satu kapal kayu bersama sejumlah lelaki lainnya. Saat itu, kapal kayu menjadi alat transportasi utama di Danau Laut Tawar.
“Saya ke Bintang dengan kakek. Di dalam kapal, di sebelah kiri juru mudi, duduk seorang laki-laki. Saya mendengar samar-samar dari penumpang di kapal tersebut bahwa dia itu PKI. Kedua tangannya diikat ke belakang,” kisah Iwan Gayo.
Lelaki itu terlihat pucat. Sang kakek menyuruh Iwan agar memberi rokok kepada lelaki itu. Dia kemudian mengambil tembakau dan daun nipah dari tempat rokok milik kakeknya. Setelah dilinting, Iwan segera menyorongkan rokok ke mulut lelaki yang tampak ketakutan itu. Lalu membakarnya.
“Pada saat turun, lelaki itu masih berjalan searah dengan kami dan ketika sampai di desa Cik, kecamatan Bintang kami berpisah. Besoknya saya mendengar lelaki tersebut sudah dibunuh di desa Pulo,” kata Iwan, dengan suara bergetar.
Inen Sur, perempuan asal kecamatan Bintang yang bekerja sebagai guru sekolah dasar, menyaksikan pembunuhan lelaki yang diberi rokok oleh Iwan Gayo. Menurut Inen Sur, pria itu berasal dari Blang Kejeren. Dia ditangkap di desa Weh Ni Pongas, kecamatan Bukit.
“Sebelum dibunuh, lelaki ini mengatakan, ‘Saya bukan PKI! Saya orang miskin! Ada orang yang menyuruh saya tandatangan surat dengan janji kalau saya menandatangani surat itu saya akan dapat tanah,” kata Inen Sur menirukan teriakan lelaki malang itu sebelum meregang nyawa.
AKSI pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dimulai setelah rapat yang dihadiri oleh anggota Pertahanan Sipil (Hansip) dengan Komandan Kodim Aceh Tengah, Mayor Sabur (belakangan Sabur dibunuh karena terbukti sebagai anggota PKI). Pertemuan itu juga dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Aceh Tengah yang bernama T. Abdullah.
Kegiatan ini digelar di Lapangan Simpang Tiga Redelong.

Muhammad Saleh hadir mewakili satuan Hansip. Dia warga desa Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dia orang Jawa. Istrinya dua, dua-duanya asli Gayo. Saleh tinggal di Pondok Gajah sejak masih belia. Kedua orangtuanya meninggal dan dimakamkan di desa ini.

Saleh pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat atau SR yang ada di Takengon. Saat itu, kebanyakan gurunya ikut dalam organisasi Muhammadiyah. Saleh belakangan juga menjadi pendukung dan pengikut setia organisasi keagamaan ini.

Ketika remaja, Saleh menjadi anggota Tentara Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya, Prajurit Satu. Dia menjalani dinas ketentaraan sejak 1959. Berkat kedisiplinannya, tiga tahun kemudian Saleh terpilih dalam unit pasukan yang dinamai Combat. Anggota unit ini merupakan serdadu pilihan yang berasal dari beberapa kompi yang ada di Aceh. Anggota pasukan ini dianggap paling siap dan memiliki kemampuan untuk diterjunkan dalam perang di Irian Barat. Pada tahun 1962, pemerintahan Soekarno tengah gencar melakukan Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat dari cengkraman Belanda.

Saleh dan anggota Combat lain di Aceh dilatih di Pegunungan Seulawah, Aceh Besar. Setelah melakukan latihan dan dianggap siap diberangkatkan ke medan tempur, Letnan Manan sebagai kepala pelatih memerintahkan anggota pasukan ini untuk meminta restu orangtua sebagai salah satu syarat sebelum ikut dalam Operasi Mandala. Mereka diberi cuti pulang kampung. Saleh pulang ke Pondok Gajah.

Malang, kedua orangtua Saleh tak merestui niatnya ikut bertempur di pulau di ujung timur Indonesia itu. Setelah melaporkan kabar dari kampung, pemimpinnya memberi dua pilihan: tetap menjadi tentara meski tak dikirim ke Irian Barat atau berhenti sebagai prajurit. Saleh memilih yang terakhir. Latihan yang dia jalani di Seulawah sia-sia jika dia tak ikut berangkat. Tahun itu juga, Saleh memutuskan melepas semua atribut ketentaraan.

Saleh kembali ke Pondok Gajah. Dia memperoleh satu hektare kebun teh dari pemerintah sebagai imbalan. Namun pengalaman kemiliterannya masih terus dia gunakan. Di kecamatan Bandar, Saleh bergabung dalam Hansip. Pangkatnya, wakil komandan peleton. Sedangkan posisi komandan peleton dipegang Ajudan Thaleb. Dia mantan anggota pasukan DII/TII yang kemudian menjadi anggota TNI. Sedangkan di desa Pondok Gajah, Saleh adalah Komandan Hansip. Markasnya di Simpang Tiga Redelong, ibukota kabupatan Bener Meriah sekarang ini.
“Dalam rapat diputuskan untuk melakukan penyelamatan terhadap anggota PKI. Penyelamatan di sini maksudnya pembunuhan terhadap anggota PKI,” Saleh mengungkapkan.
Pertemuan pagi itu memutuskan daerah-daerah yang menjadi prioritas untuk pembersihan. Seperti desa Pondok Gajah, Pondok Baru, Sidodadi, Blang Jorong, Bakaran Batu, dan Blang Pulo. Di desa-desa ini mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Pada malam pertama desa yang akan dibersihkan dari PKI adalah desa Pondok Gajah. Hari kedua desa Pondok Baru. Ketiga desa Sidodadi dan Bakaran Batu. Berikutnya desa Blang Jorong. Desa Blang Pulo terakhir.

Namun korban pertama dari rangkaian pembantaian ini adalah keuchik atau kepala desa Jongok Simpang Tiga bernama Lonos. Desa itu hanya beberapa meter dari tempat pertemuan. Saleh ikut dalam kelompok ini.
Selain keuchik, dua warga lainnya, Aman Kar dan Aman Samsiar juga dibunuh. Mereka dibunuh sekitar pukul 10 pagi, setelah rapat bubar.

Kelompok Saleh mendapat tugas membersihkan orang-orang PKI di Pondok Gajah. Siang sebelum pembantaian, Saleh mendatangi orang-orang yang telah ada dalam daftar. Saleh berpesan pada mereka untuk datang malam hari, setelah salat isya, ke desa Kota Makmur. Ini tetangga desa Pondok Gajah. Kepada orang-orang yang didatangi, Saleh berpesan agar mereka ikut melakukan operasi ke desa Samar Kilang.

Malamnya, beberapa orang yang dipanggil Saleh berkumpul di tempat yang telah ditentukan. Mereka dipanggil satu-satu. Saat itu, Saleh menghitung, ada sekitar 10 orang. Mereka adalah warga desa Pondok Gajah. Salah satunya adalah Mispan, ketua PR di Pondok Gajah. Setelah dipanggil, tangan mereka segera diikat ke belakang. Masing-masing diikat saling berhubugan satu sama lain, seperti ikatan berantai.

Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ini dibawa ke sebuah lokasi yang bernama B5, salah satu lokasi perkebunan teh yang ditinggalkan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa Pondok Gajah, Pondok Baru dan Sidodadi dan desa disekitarnya merupakan areal perkebunan teh. Lokasi B5 berada sekitar empat kilometer ke arah timur dari desa Pondok Gajah.
Tepatnya di persimpangan jalan antara desa Teleden dan desa Tanjung Beringin. Di sini terdapat jurang. Di tempat inilah orang-orang yang dibawa Saleh dibantai. Kini kawasan itu telah menjadi areal perkebunan kopi.

Operasi tahap pertama selesai sekitar pukul satu dini hari. Setelah kembali dari tempat itu, Saleh dan beberapa orang lainnya, dibantu dengan petugas Hansip berangkat ke desa Pondok Gajah. Mereka menangkap sepuluh orang lagi yang dituduh sebagai anggota PKI.

Saat itu diperkirakan ada sekitar 20 orang yang terlibat anggota PKI di desa Pondok Gajah, mereka merupakan anggota PR atau Barisan Tani Indonesia (BTI)

Mereka berhasil menangkap 10 orang lagi, di antaranya Wakidi, Nasir, Sarimin, Perono, dan Paimin. Mereka dibantai di sebuah tempat bernama Kubangan Gajah, dekat desa Pondok Gajah. Kubangan ini berbentuk seperti kolam dangkal tapi melebar. Lokasi pembantaian ini sampai sekarang tetap dibiarkan seperti itu dan tidak ditanami apapun. Tempat ini berada di dekat pintu masuk ke Balai Penelitian Kopi Gayo di desa Pondok Gajah.

Pada tahun 1980-an, Saleh mengungkapkan, kerangka mayat orang-orang yang dibantai di bekas kubangan Gajah, Pondok Gajah, sudah dipindahkan ke pekuburan umum desa di perbatasan desa Pondok Gajah dan Pondok Baru. Kuburan ini dipisahkan dengan kuburan masyarakat yang lain. Tanpa ada tanda khusus dan dibiarkan ditumbuhi semak.

SAYA menemui Saleh di rumah bantuan yang dia tempati dengan istri keduanya. Rumah bantuan ini dibangun di atas tanah bekas rumahnya yang dibakar pada awal-awal konflik di Aceh, sekitar tahun 2000. Tembok dan lantai semen bekas rumahnya yang terbakar masih tersisa. Rumah ini tersambung dengan gudang kopi. Halamannya luas, digunakan sebagai tempat menjemur kopi. Saleh adalah salah seorang tauke kopi yang cukup dikenal petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Sebelum usahanya terbengkalai akibat konflik, dia bisa mengirim bertruk-truk kopi ke Medan. Kini usianya sudah hampir 70 tahun. Dia hanya sesekali pergi ke kebun kopi di belakang rumahnya.
“PKI pada saat itu, sama dengan pada masa jayanya Partai Golongan Karya (Golkar), mereka ada di mana-mana. Dari tingkat atas sampai tingkat bawah,” kenang Saleh.
“Saat itu di (desa) Pondok Gajah ini, tinggal keluarga saya yang tidak masuk menjadi anggota PKI.”
“Apa alasan Bapak tidak jadi anggota PKI?” tanya saya
“Saya tidak masuk jadi anggota PKI karena pengaruh guru-guru saya sewaktu saya sekolah di Takengon. Rata-rata guru saya adalah Muhammadiyah. Dan dari bacaan saya sewaktu sekolah, saya masih ingat tentang pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Dan saya tidak masuk menjadi anggota PKI.”
Namun karena begitu kuatnya pengaruh PKI di desa, hampir seluruh warga jadi anggota PKI. Kecuali keluarga Saleh. Akibatnya, dia dan keluarganya dikucilkan dan tidak dibolehkan ikut kegiatan-kegiatan di desa. Pernah suatu kali Saleh nekat tetap mencoba ikut gotong-royong membuka jalan desa di Pondok Gajah. Dari rumah dia membawa cangkul dan berangkat naik sepeda. Di kanan-kiri jalan, Saleh melihat umbul-umbul merah bendera berlambang palu-arit. Tapi begitu tiba di lokasi, dia ditolak oleh anggota PKI. Saleh disuruh pulang.
“Mereka menyuruh saya untuk makan yang enak-enak. Biasanya kalau ada yang menyuruh kita makan yang enak-enak dan orang itu bermusuhan dengan kita, mereka mempunyai tujuan tertentu. Boleh jadi mereka akan membunuh. Ini seperti pesan, kamu mau mati dan selagi sempat, makanlah yang enak-enak,” terang Saleh.
Tidak hanya itu. Timan pernah diusir saat mendatangi calon istrinya di desa Sidodadi. Timan adalah abang kandung Saleh. Saat itu Saleh ikut mengantar Timan untuk melaksanakan akad nikah. Jarak dari Pondok Gajah ke Sidodadi sekitar empat kilometer. Desa itu salah satu basis PKI di Aceh Tengah. Tapi rombongan keluarga Saleh ditolak. Alasannya, keluarga Saleh bukan anggota PKI.
“Dengan segala upaya kami tetap berusaha. Tetapi tetap tidak diterima.”
Pernikahan tetap harus dilangsungkan. Saleh menghubungi Imam Mukim Kute Teras yang membawahi desa Sidodadi. Imam Mukim itu adalah ketua Muhammadiyah tingkat kecamatan. Setelah itu, dengan bantuan Imam Mukim, akad nikah Timan bisa dilangsungkan.

Permasalahan masih belum selesai. Ketika akan melaksanakan hajatan di rumah mempelai keluarga Saleh, sebagian besar warga desa Pondok Gajah tak mau membantu mereka. Hajatan baru bisa dilakukan setelah Saleh meminta bantuan teman-temannya dari satuan Hansip di kecamatan.
“PKI pada saat itu seperti Golkar pada masa jayanya. Semua tingkatan ada orang PKI. Di sekolah, unsur pemuda, petani dan dalam struktur pemerintahan, militer maupun Sipil,” ungkap Saleh.
Saat Golkar berjaya di bawah rezim Orde Baru, Saleh tidak pernah mendukung partai itu. Istri Saleh bekerja sebagai guru. Pada masa itu, korps guru menjadi mesin politik yang jadi lumbung suara bagi Golkar.
Suami-istri itu wajib memilih partai itu. Tapi Saleh selalu berkelit.
Menjelang Pemilihan Umum, Saleh terkadang harus sembunyi di gua-gua atau di kawasan Dedesen, di tepi Danau Laut Tawar. Dia cemas karena kerap mendapat ancaman dari aparat.

Dedesen adalah tempat penangkapan ikan depik, ikan yang banyak terdapat Danau Laut Tawar. Tempat ini banyak terdapat di tepi danau, biasanya dibangun di antara pertemuan air dari pegunungan dan air danau. Bentuknya persegi, dan dikelilingi papan. Luasnya antara empat hingga lima meter persegi. Bagian atasnya ditutupi dedaunan, bagian dasarnya adalah dasar danau. Tempat itu menjadi tempat ikan depik bertelur.

AWAL Februari 2008, saya mengunjungi rumah Iwan Gayo di desa Paya Tumpi, Takengon, Aceh Tengah. Lelaki ini pernah bekerja sebagai wartawan. Dia juga pernah mendapat penghargaan Adinegoro, hadiah tertinggi dalam jurnalis yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1981.

Namanya melambung lewat sejumlah bukunya yang saya kenal saat duduk di bangku SMP Negeri Janarata Kecamatan Bandar. Iwan Gayo menulis Buku Pintar Seri Senior dan Buku Pintar Seri Junior. Buku-buku itu lumayan tebal. Isinya macam ensiklopedia. Sekarang dia menjadi kepala Hubungan Masyarakat Komite Percepatan Pembentukan Provinisi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA) yang berjuang untuk pembentukan Provinsi baru yang terpisah dari Provinsi Aceh.

Iwan menceritakan kepada saya tentang kondisi pada masa-sama kelam di Aceh Tengah. Tahun 1965 menjadi masa yang suram bagi penduduk di Aceh Tengah. Terutama guru-guru. Pendidikan bagi anak-anak sekolah jadi terabaikan. Iwan menyebut sejumlah gurunya yang hilang.
“Ibu Hamidah, Ibu Sambani, Pak Guru Rama, Pak Daud, dan Ibu Nurlaeli yang suaminya sopir truk,” ujar Iwan, mengenang.
Pak Guru Daud dan Pak Guru Rama sempat ditahan bersama Ibrahim Kadir dalam penjara di Takengon. Iwan Gayo belakangan tahu bahwa Guru Thd. Rama adalah Ketua PKI Aceh Tengah.
“Saya pernah melihat Pak Guru Daud di penjara Takengon,” katanya.
Dinding penjara itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk. Lubang-lubang besar di sana-sini. Di antara lubang-lubang itu Iwan Gayo mengintip kegiatan yang dilakukan para tahanan dalam penjara.
“Kebiasaan tahanan pada siang hari adalah berjemur di balik jendela yang berjeruji. Ada dua atau tiga orang yang berjemur secara bergantian,” kata Iwan.
Suatu kali, dia dilarang Pak Guru Daud mengintip-intip dari celah-celah dinding papan 
“Sana kamu, anak kecil!” Iwan menirukan ucapan Pak Guru Daud.
“Beberapa hari lagi kita akan menang!” kata Pak Guru Daud, lagi.
Iwan tak mengerti apa maksud Pak Guru Daud dengan kata-kata “kita akan menang”. Belakangan, dia hanya menebak-nebak, bahwa itu mungkin berhubungan dengan angkatan kelima PKI, yaitu petani dan nelayan yang dipersenjatai. Namun, Iwan merasa amat sedih. Dia jadi tidak bisa belajar. Apalagi ketika mengingat guru perempuan bernama Nurlaeli. Dia amat terpukul.
“Ibu Guru Nurlaeli saat itu baru melahirkan. Dia ditangkap, dibawa ke penjara dengan bayinya. Kemudian hilang, sampai sekarang tidak tahu kuburnya. Mungkin sudah dibunuh,” kata Iwan kepada saya.
Saya coba menghubungkan kesaksian Iwan ini dengan apa yang diungkapkan Ibrahim Kadir. Di antara malam-malam di mana Kadir ditahan dalam penjara, dia menyaksikan seorang perempuan dan bayinya yang tewas ditembak anggota WMD di bibir jurang. Barangkali, perempuan malang yang dimaksud Kadir adalah Ibu Guru Nurlaeli bersama bayinya yang dikenal Iwan.

IBRAHIM Kadir seakan kehilangan harapan ketika menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang yang sebelumnya ditahan di penjara itu. Saat itu, ketika dia sendiri tak tahu bagaimana nasibnya, Kadir menemukan ide dan berharap untuk segera dibunuh.

Ketika itu dengan kondisi badan yang masih lelah karena baru pulang dari mengantar para tahanan yang dieksekusi, dia menuju jendela sel tahanan. Sambil memandang ke luar dan memegang jeruji besi jendela penjara dia memulai aksinya, menyanyikan syair yang diciptakannya dengan keras-keras.
“Saya berharap, yang paling terganggu adalah sipir penjara, dan mereka semua marah dan langsung menembak saya di tempat. Sehingga kalau saya mati, ibu, istri, anak serta keluarga saya yang lain akan tahu di mana mayat saya. Teman-teman satu sel yang belum dibunuh yang mendengar syair tersebut, semuanya menangis,” kenang Kadir.
Syair itu dilantunkan dalam bahasa Gayo. Terdiri dari 23 Bait dan 92 baris. Dia memberi judul syair tersebut Sebuku, kurang lebih berarti ratapan.

Tanpa dia sadari, saat itu ada seorang serdadu yang merekam ratapannya. Keesokan harinya dari Gedung Panggung Hiburan Rakyat Gentala yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat Kadir ditahan, dari pengeras suara yang digunakan, para tahanan mendengar sayup-sayup syair yang dibawakan Kadir pada malam sebelumnnya. Pada saat syair tersebut diperdengarkan, di tempat tersebut sedang berlangsung pertemuan tokoh-tokoh partai, tokoh-tokoh tersebut berasal dari PNI, Masyumi, PSII dan partai lainnya. Kecuali dari PKI. 
“Bukankah itu syair yang kamu nyanyikan tadi malam?” tanya teman satu selnya waktu itu. Dan Kadir mengiyakan.
Belakangan syair itu malah menyelamatkan Kadir dari eksekusi. Dalam pertemuan tokoh-tokoh partai tersebut, ada yang tertarik dengan syair itu. Dan menanyakan siapa yang melantunkannya. Setelah ditelusuri, si penanya mendapat jawaban: Ibrahim Kadir. Beberapa tokoh PNI dalam pertemuan tersebut kontan marah. Mereka mengatakan bahwa Kadir bukan anggota PKI, melainkan anggota PNI.
“Saya tidak ada hubungannya dengan PKI dan memang benar saya anggota PNI,” kisah Kadir kepada saya.
Selang beberapa hari dari kejadian tersebut, Kadir dipanggil ke kantor Kodim Aceh Tengah. Dia dimasukkan ke sebuah ruangan. Di situ ada meja panjang yang ditutupi taplak meja hijau. Di belakangnya, di atas kursi duduk bersisian Kepala Kejaksaan Takengon, Bupati Aceh Tengah Aman Sani, Komandan Kodim, dan dua orang hakim. Mereka mengatakan, “Maaf, guru tidak bersalah.”
“Saya marah sekali,” ujar Kadir.
“Hampir saja saya tumbuk mereka. Saya tanya mengapa mereka tidak menanyakan itu pada awal-awal penangkapan saya. Mereka hanya minta maaf, dan mereka mengatakan mendapat informasi yang salah, kemudian saya dibebaskan,” tambahnya
Tahun 2000, syair-syair Sebuku yang menyelamatkan Kadir menjadi ide cerita film Puisi Tak Terkuburkan. Film itu digarap sutradara Garin Nugroho. Di situ, Kadir berperan sebagai pemeran utama. Tahun 2001, Kadir meraih penghargaan sebagai pemeran pria terbaik dalam Festival Film Internasional Singapore. Lewat film itu, masa kelam di dataran Gayo pelan-pelan diketahui orang banyak.

ULF Sundhaussen menulis tragedi kemanusiaan di Indonesia ini dalam bukunya yang berjudul The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967. Di situ dia mengatakan, “Salah satu daerah yang paling awal melakukan pembantaian terhadap anggota PKI adalah Aceh.”

Korban yang ditimbulkan oleh operasi ini sangat besar. Guru-guru dan orang pandai yang seharusnya bisa memajukan pendidikan untuk anak-anak Gayo dibantai dan jumlah korban diperkirakan mencapai 2500. orang. Sementara jumlah penduduk Aceh Tengah pada saat itu hanya 25.000 orang.

Banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya dapat dari informasi yang tidak jelas. Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah. Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban. Seperti urusan batas tanah, warisan dan urusan pribadi lainnya.

Tak ada verifikasi, dengan hanya mendapatkan informasi dari seseorang, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai. Banyak kasus seperti ini ditemukan, tak ada tempat untuk pembelaan bagi para korban. Untuk menggambarkan banyaknya korban akibat fitnahan seperti ini muncul istilah “tilok wan opoh kerong”. Artinya kurang lebih “menunjuk dari balik kain sarung”. Suatu tindakan yang menggambarkan seseorang yang melakukan fitnah untuk berbagai tujuan yang menyebabkan dibunuhnya orang yang dimaksud.

Yang banyak menjadi korban pada masa itu, selain masyarakat sipil dan kepala, adalah guru. Tidak jelas mengapa banyak guru yang menjadi korban. Entah karena pemimpin PKI di Aceh Tengah, Thd. Rama, adalah guru sehingga menyebabkan guru banyak dilibatkan, atau entah karena sebab lain. Ataukah memang para guru ini tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) non-Vaksentral yang berafiliasi kepada PKI.

Menurut Daud Beuramat, guru sekolah dasar pada tahun 1965 dan kini telah pensiun, saat itu banyak guru di Aceh Tengah yang tidak mengenal PGRI non-Vaksentral. Tapi mengetahui PGRI hanya berdasarkan nama pemimpinnya, seperti PGRI Subandrio dan PGRI M.E. Subiadinata.
“PGRI Non-Vaksentral dipimpin oleh Subandrio. Non Vaksentral artinya tidak tergabung dalam suatu wadah atau federasi,” kata Daud kepada saya.
Sedangkan Saleh menceritakan, ketika akan dibantai banyak sekali korban yang mengaku tak tahu apa itu PKI. Korban, kata dia, umumnya menganggap PKI adalah Persatuan Ketoprak Isaq. Isaq adalah nama suatu tempat di kabupaten Aceh Tengah yang letaknya di jalan menuju Aceh Tenggara. Atau karena hanya menandatangani sesuatu yang isinya tidak diketahui oleh korban, karena korban kebanyakan buta huruf.
“Jadi korban dibodoh-bodohi dan ditipu,” kata dia.
Untuk menggambarkan masyarakat yang ditipu, dituduh terlibat PKI, lalu dibantai, orang Gayo selalu mengingatkan temannya dengan mengatakan, “Enti sembarang teken, kahe kona geleh!” Artinya jangan sembarang tanda tangan, nanti kena potong!

Ada lagi satu istilah yang berasal akibat maraknya pembantaian yang terjadi pada saat itu. Jika seseorang melihat sekelompok orang naik di atas truk terbuka, maka kata-kata yang muncul dari orang yang melihat adalah “Oya male i geleh!” sambil menggerakan tangan di leher seperti isyarat mau memotong. Kalimat itu artinya, hayo kamu mau dibunuh!

Kata-kata itu masih sering diucapkan sampai sekarang jika melihat orang berada di atas truk, walaupun hanya bermaksud untuk gurauan. Trauma itu ternyata belum hilang.

Orang-orang tua yang mengalami masa tahun 1965 sering mengatakan, situasi saat itu lebih kejam ketimbang konflik tahun 2000. Tidak ada bunyi letusan senjata, tetapi mayat ada di mana-mana.
“Situasi pada saat itu lebih mengerikan dari konflik yang terjadi akibat pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” ujar Saleh.
Siklus kekerasan berulang, pada penerapan Daerah Operasi Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Beberapa anak-anak korban pembantaian tahun 1965 menjadi Tenaga Pembantu Operasi (TPO) TNI di Aceh Tengah. Saat konflik senjata makin meningkat di tahun 2000 sampai 2004, TNI kembali membentuk milisi-milisi pendukung operasi militer di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Anggota-anggota milisi ini banyak berasal dari desa Pondok Gajah, Pondok Kresek, Pondok Sayur, Sidodadi dan Blang Pulo. Desa-desa yang disebutkan tersebut dulunya merupakan daerah yang paling banyak penduduknya dibantai karena dituduh terlibat PKI. Dan anggota-anggota GAM sebagai lawan TNI/Polri di Aceh Tengah dan Bener Meriah banyak yang mempunyai hubungan dengan mantan anggota DI/TII. Hubungan itu seperti hubungan kekerabatan langsung dari orang tua atau kakek yang menjadi anggota DII/TII.

Saleh melihat sendiri unsur balas dendam oleh anggota DI/TII yang menjadi algojo dan bergabung dalam kelompoknya ketika melakukan pembersihan terhadap anggota PKI. Lelaki itu bernama Aman Budi. Saat hendak mengeksekusi, sambil mengayunkan pedang ke leher korban, ia mengatakan, “Mampus kau! Dulu ketika kami di hutan, kami sangat menderita karena perbuatan kamu.”

Pembersihan terhadap anggota PKI di Aceh Tengah, menurut Saleh, berlangsung dalam waktu enam sampai 10 hari. Setelah itu aparat TNI melarang segala penangkapan dan pembunuhan 
“Jika tidak ada perintah bahwa operasi harus diberhentikan, bakal habis keluarga yang dituduh sebagai anggota PKI,” ungkap Saleh. 
Sementara keluarga korban yang dituduh PKI, selain menderita trauma juga merasa malu karena mendapat hukuman sosial dikucilkan dan dianggap orang anti Tuhan. Tidak percaya pada Tuhan merupakan dosa yang sangat besar bagi orang Gayo yang beragama Islam. Selain itu, keluarga-keluarga ini tidak bisa menjadi pegawai negeri dan meminta bantuan kredit ke bank.

Namun Iwan Gayo menyaksikan hal yang sebaliknya. Mereka yang dibunuh umumnya justru orang-orang yang saleh. 
“Siapa bilang mereka tidak sembahyang? Semua guru dan orang-orang yang saya kenal dan dibunuh karena dituduh punya hubungan dengan PKI adalah orang yang taat beragama, mereka sembahyang,” tukasnya.
Meski begitu, pada masa merebaknya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia, orang Gayo lebih memilih untuk dikatakan PKI dari pada dikatakan GAM. Sebab, saat itu mengaku PKI tidak berakibat hilangnnya nyawa. Tapi jika dituduh GAM bisa-bisa nyawa melayang.

Konflik yang berakibat hilangnya kemerdekaan individu, rasa aman, nyawa dan harta, telah menumbuhkan suatu keinginan yamg kuat dari penduduk Gayo untuk hidup damai. Tapi mereka juga ingin pelaku kejahatan kemanusiaan itu dihukum. Kata-kata bijak Gayo mengatakan,
”Agih si belem, genap si nge munge.” Artinya Sudah cukup, jangan terulang lagi!
*) Mustawalad adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Dia menjabat Kepala Bidang Internal Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh.

(Tulisan ini pernah terbit di Majalah Pantau)
Sumber: LintasGayo