HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 23 Juli 2014

Amnesty International: Jokowi Mesti Wujudkan Janji-janji HAM


Rabu, 23 Juli 2014 01:54 WIB | Penulis: Rendy Sadikin

Joko Widodo dan Jusuf Kalla bersama sejumlah pimpinan partai pendukung dan sejumlah tokoh berkumpul di kediaman Megawati Soekarnoputri di Jalan Kebagusan, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2014) Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sempat metitikan air mata jelang pengumuman Hasil pilpres KPU. (TRIBUNNEWS.COM/Ferdi)

JAKARTA - Amnesty International mengatakan presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo, harus mewujudkan janji-janji kampanyenya untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia Indonesia yang mencemaskan.

Demikian disampaikan Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Richard Bennett, dalam siaran pers yang diterima Tribunnews, Rabu (23/7/2014).

Menurut Richard Bennet, Jokowi telah menjanjikan untuk mengutamakan urusan HAM selama masa pemerintahannya-–termasuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran serius HAM di masa lalu, melindungi kebebasan beragama, mereformasi kepolisian dan membuka akses ke Papua bagi para pemantau internasional.
“Merupakan sesuatu yang membesarkan hati bahwa Presiden Joko Widodo telah berbicara tentang komitmennya untuk hak asasi manusia selama masa kampanye presiden; sekarang saatnya dia harus mewujudkannya,” kata Richard Bennett.
Bennet mengatakan pemerintahan yang baru memiliki kesempatan untuk membuka halaman baru menuju era di mana HAM secara sejati dihormati di Indonesia.

Kemenangan Jokowi, imbuh Bennet, akan meningkatkan harapan banyak aktivis HAM dan korban yang telah berjuang melawan impunitas selama bertahun-tahun. 
"Harapan-harapan tersebut tidak bisa dihabisi,” terangnya.
Sebagai langkah paling awal, Amnesty International mendesak pemerintahan yang baru untuk mengambil evaluasi mendalam rekam jejak HAM Indonesia selama dekade terakhir dan memformulasikan sebuah rencana aksi yang jelas.
"Yang juga penting, hal ini harus dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sipil dan aktor-aktor penting lainnya,” ujarnya.

Sumber: TribunNews.Com 

Jumat, 18 Juli 2014

Berpulangnya Sang Penyair Kiri

Wenri Wanhar | 18 Jul 2014, 21:44


Sabar Anantaguna (1930-2014). Foto: Dok. Penerbit Ultimus Bandung.

SABAR Anantaguna, mantan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), mengembuskan nafas terakhir di RS Cipto Mangunkusumo Jumat (18/7), pukul 1.45 WIB. Setelah disalatkan usai salat Jumat di masjid yang berjarak 50 meter dari rumahnya, jasadnya dimakamkan di TPU Duren Sawit, Jakarta Timur.
S. Anantaguna lahir di Klaten, Jawa Tengah, 9 Agustus 1930, dengan nama Santoso bin Sutopangarso. Setelah beranjak dewasa, tanpa diketahui alasannya, dia mengganti namanya menjadi Sabar Anantaguna. Dia pernah aktif dalam riuh-rendah masa revolusi Indonesia.
Namanya tidak begitu terkenal karena dia memang orang bawah tanah. “Dia pekerja bawah tanah yang baik,” ujar Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat yang bertugas meliput di istana presiden periode 1960-an. Martin yang menghadiri prosesi pemakamannya tampak lebih banyak diam, tidak seperti biasanya.
Martin bercerita, tahun 1960-an, dirinya pernah sebulan tinggal seatap dengan Anantaguna di ruang belakang perpustakaan PKI. “Dia pendiam,” kata Martin. “Selama tinggal bersama, kami hanya bicara yang penting-penting saja. Walau satu meja saat makan maupun sarapan, kami diam-diaman. Dia baca koran, saya baca koran.” Perpustkaan itu kini menjadi mess Aceh di Menteng, Jakarta.
Pasca huru-hara 1965, Anantaguna dipenjara selama 13 tahun (1965-1978) tanpa pernah diadili. Lepas dari penjara Orde Baru, dia kerja serabutan untuk bertahan hidup. Jangankan pimpinan Lekra macam dia, anggota biasa saja dikucilkan dari masyarakat. Anantaguna juga kembali ke identitas kecilnya.
Pada 1980, ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan sayembara menulis, dia mengirim naskah berjudul Mewarisi dan Memperbaharui Kebudayaan Nasional. “Naskah itu saya kirim atas nama Santoso,” katanya saat dijumpai di Tebet, 17 Januari 2011, di sela diskusi buku Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. “Eh, menang. Juara satu. Hadiahnya diambil langsung ke P dan K dengan menunjukkan KTP.”
Anantaguna berkawan dekat dengan Njoto, salah satu pimpinan tertinggi PKI dan penulis pidato Sukarno. Mereka berkawan sejak kanak-kanak. Hingga dewasa pun mereka masih berkawan.
Ketika PKI ulang tahun saat masih berjaya, Anantaguna membuat puisi: Ulangtahun Partaiku / Perasaanku, djuga ulangtahunku. Puisi berjudul “Kepada Partai” ini sangat terkenal pada masanya.
Puisi lainnya tentang komunis berjudul “Potret Seorang Komunis”: Adakah duka lebih duka yang kita punya / kawan meninggal dan darahnya kental di pipi / tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati / Adakah tangis lebih tangis yang kita punya / badan lesu dan napas sendat di dada / tapi hasrat dan kerja berkejaran dalam waktu.
Dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer menyatakan bahwa sajak “Potret Seorang Komunis” karya Sabar Anantaguna dan “Demokrasi” karya Agam Wispi merupakan prestasi sastra realisme sosialis yang telah mendapatkan bentuk dan pengucapan yang tepat.
Menurut penyair Asep Sambodja, Anantaguna adalah salah satu penyair Lekra yang kuat dalam menyampaikan pesan namun tidak kehilangan greget kepenyairannya. Puisi-puisinya merupakan ekspresi dari hasil penyelaman dan penghayatan yang masuk ke lubuk sanubari masyarakat. Dan selalu saja yang menjadi perhatian untuk dibelanya adalah rakyat kecil. “Tidak salah kalau seorang Pramoedya Ananta Toer terpikat dengan puisi-puisi Anantaguna,” tulis Asep dalam blognya (7 November 2009)
Puisi Anantaguna kerap dimuat koran Harian Rakjat, organ PKI dengan oplah terbanyak pada 1960-an. Puisinya terangkum dalam kumpulan puisi Yang Bertanah Air Tidak Bertanah (1962), Kecapi Terali Besi (1999), dan Puisi-puisi dari Penjara (2010). Cerita pendeknya, bersama cerpenis A.A. Zubir, Agam Wispi, Sugiarti, dan T. Iskandar A.S. masuk dalam kumpulan cerita pendek Api 26 (1961).
Beberapa tahun terakhir ini, Anantaguna yang tidak gampang ditemui menjalin hubungan baik dengan sejumlah anak muda. Terutama yang bergiat di ranah kebudayaan. Dia kerap berpesan, “Berhentilah meratapi masa lalu. Berpikirlah untuk hari ini dan masa depan.”
Di pengujung usianya, Anantaguna masih berkarya. Dia menulis puisi dan esai. “Terakhir ke rumahnya baru-baru ini, saya dikasih tiga bundel kumpulan puisi dan kumpulan esai,” ujar Okky Tirto, pendiri komunitas Mata Budaya di pemakaman Anantaguna. “Waktu itu beliau bilang, ‘Bung, karena keterbatasan dana dan fisik, saya tak bisa keluar-masuk perpustakaan. Untungnya saya selalu ikuti berita. Ini jadinya’.”
Jika tak ada aral melintang, kumpulan esai berjudul Kebudayaan dan Globalisasi akan terbit akhir tahun ini.
Saat mengantar jenazah Anantaguna ke pusara, Okky yang merupakan cicit Tirto Adhi Soerjo, salah satu perintis pers Indonesia, mengirimi puisi berjudul “Kepada Anantaguna” via whatsApp. Begini cuplikannya: Penyair mati sisakan puisi / Apa guna sajak bicara sendiri.

Sumber: Historia.Id 




Kamis, 17 Juli 2014

Sekolah ala Tan Malaka


Bonnie Triyana - 17 Juli 2014

Mendidik manusia agar tak sekadar pandai tapi juga berjiwa merdeka dan peduli pada nasib rakyat.

Siswa-siswa SI School melepas kepergian Tan Malaka yang diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda pada 1922.

BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di antara permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana, pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah kampung. Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang kian lama kian renta dimakan usia.

Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat Islam cabang Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat Islam yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota Semarang.

Kurikulum yang progresif
Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs  ( pendidikan, Red).
Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.” Demi tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka menyusun kurikulum pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada waktu itu.

Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan kurikulum sekolahnya, pertamayakni memberi senjata cukup buat pencari penghidupan dan dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb); kedua, memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan (vereeniging); ketiga, menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, Red.).

Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah pengajaran bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur bahasa Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi yang mengenyam pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda.

Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan kepada siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya (cerdas, Red.) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.
” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, Red.) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.”
Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi anak-anak didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak untuk merasakan kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan orangtua mereka yang harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya.

Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta murid-muridnya untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang supaya bisa menyaksikan dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik.

Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan dan kemauan “hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”

Kamis, 10 Juli 2014

Dokumenter Peristiwa Solo 1965

10 Jul 2014


Sabtu, 05 Juli 2014

Setengah Abad Propaganda PKI Bersinar

SABTU 05 JULI 2014 00:28 WIB



PKI adalah partai politik di Indonesia pada era pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan Orde Lama. PArati ini menduduki peringkat ke empat suara terbanyak pada pemilu tahun 1955, setelah PNI, MASYUMI, PARTAI NU. Sama seperti partai yang ada saat ini, PKI adalah jalur atau media untuk aspirasi rakyat yang dilindungi dengan Undang-Undang sebagai pelaksanaan Sila ke-4 Pancasila dan batang tubuh UUD, pasal 28, yaitu kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat.
Pada awal 60-an mobilisasi masa PKI kian masif, sampai ke pelosok daerah. Partai ini berkembang pesat karena ideologi dan praktek-praktek politiknya. Menurut sejarah (dikutip dari buku “Dalil Pembunuhan Masal dan Kudeta Soeharto” ditulisoleh John Roosa, PKI bukanlah seperti yang kita ketahui dan pahami hari sejak rezim orde baru. Adalah rezim Orde Byang dengan propagandanya memutar, mengatur, merekayasa segala hal tentang PKI. Mulai dari Anti Tuhan, kekejaman, praktik-praktik kotor yang culas, sampai kepada darah mereka yang dianggap halal.
Komunis adalah ajaran dari barat, oleh Karl Marx, dianut sampai sekarang oleh beberapa negara. Diantaranya RRC, Russia, Korea Utara, Vietnam dan Kuba. Di Indonesia ada Tan Malaka yang serius dengan ideologi komunis tanpa anti Tuhan.Komunis adalah ajaran yang menyamaratakan seluruh rakyat, tidak ada perbedaan terlalu jauh antara si kaya dan si miskin, kemenangan bagi setiap pekerja, berdikari, bersatu teguh dan anti kapitalis.
Adalah Amerika Serikat yang dari awal selalu bertentangan dengan komunis ini. Bahkan terang-terangan berperang untuk ideologi ini. Kenapa? Jelas, karena hanya dengan demokrasi produk merekalah, yang membuat mereka di belakang layar berkuasa penuh pada negara kita. Amerika Serikat juga memusuhi para diktator. Karena itu menutup celah untuk mereka menguasai secara damai. Demokrasi menjual kedamaian yang miskin, menjual kebersamaan yang bersekat, mengagungkan hak asasi manusia sebagai tameng mereka.
Indonesia di awal Orde Baru adalah teman baik Amerika, bahkan disinyalir oleh beberapa sumber, peritiwa berdarah september 1965 didalangi oleh CIA sebagai perintah keputusan tertinggi di negaranya. Mari kita simak beberapa fakta yang akan memperlihatkan apakah PKI atau Orde Byang harus kita takuti.
  • PKI adalah pendukung Yang Mulia Pemimpin Revolusi Komandan Tertinggi Presiden Indonesia Soekarno. PKI lah yang sebenarnya melindungi Presiden Indonesia dari Jendral-Jendaral Kanan. Jendral-Jendral kanan ini ditunggangi oleh Amerika yang dengan maksud ingin menjatuhkan rezim Soekarno yang membuat mereka tidak dapat berbuat apa-apa atas kekayaan Alam Indonesia. 
  • Ini adalah kelanjutan penjajahan oleh sekutu yang menginkan seluruh Kekayaan alam Indonesia, setelah kita Merdeka. Upaya melindungi Presiden inilah yang dimanfaatkan oleh mereka untuk menggulingkan pemerintahan. Direkayasalah PKI akan memberontak karena menyiapkan Pasukan. Dilain sisi mereka antek-antek kapitalis ini juga menyusun penggulingan kekuasaan. Sederhananya aksi PKI yang tadinya melindungi, disusupi untuk merebut kekuasaan, sehingga pemerintahan terguling sebagai tujuan utama dan PKI sebagai pendukung pemerintah Indonesia Merdeka jatuh dimata rakyat Indonesia dan dunia sebagai penguat, dan pelindung kukasaan berikutnya.
  • Sejarah adalah milik pemenang Perang. Dengan begitu dengan diraihnya tampuk kekuasaan oleh Soeharto, berikutnya yang akan dilakukan adalah mengharamkan segala bentuk dukungan pada pemerintah sebelumnya. Cara itu ditempuh dengan banyak hal, Pembantaian masal atas nama Tuhan, pelarangan bagi PKI dan keturunanya, propaganda bagi generasi berikutnya, pencitraan di semua lini. Rezim ini memiliki banyak tahanan politik, dan tidak sedikit yang diculik dan hilang entah kemana.
  • Kenapa PKI jadi sebuah partai terlarang? Apa kesalahan PKI yang kongkret, fakta, apa yang terjadi jika kegagalan PKI sebagai partai politik juga diembankan pada Golkar atas kegagalanya pada tahun 1998.
  • Doktrin pada militer terhadap PKI lah yang selalu menakuti, menghantui seluruh rakyat, kemudian dijadikan pengawal berlangsungnya Propaganda itu
  • Adanya TAP MPR yang mengharuskan setiap penyebutan dan penulisan Gerakan 30 september harus diakhiri dengan PKI, terkenalah istilah G30 S PKI. Serta didokementasikannya kepalsuan tentang Pembunuhan Jendral-Jendaral besar melalui Film yang dibuat menarik, meracuni, dan mengelabui para penontonya.
Akhirnya kita harus kembali berpikir apakah sebenarnya PKI kah atau Ore Baru kah yang telah, menjajah, membantai, menghisap kekayaan alam kita bangsa Indonesia. Orde Barulah yang mengkianati Pancasila dengan berlangsungnya rezim 32 tahun, pengkianatan UUD 45 dengan berkuasanya asing terhadap kekayaan alam Indonesia, pelanggaran HAM dengan pembantaian massal. Generasi sekarang adalah generasi yang harusnya bisa mengetahui hal-hal yang samar, kita adalah generasi bermental, generasi berotak, dan generasi berhati, jangan ada lagi apa yang terjadi selama Orde Baru, ditambah Orde Paling baru oleh rezim sekarang.
PKI tidak seperti yang kita ketahui selama ini. Orde Baru juga tidak sedia seperti yang kita lalui.

Sumber: Tempo.Co 

Jumat, 04 Juli 2014

Maleficent dan Salawati Daud: The Hidden Triumph of Matriarchy?


Friday, July 4, 2014


Alkisah, cerita asli Sleeping Beauty tidak seperti yang didongengkan kepada kita selama ini.  Putri Aurora yang malang dan dikutuk untuk mengalami tidur  panjang bagaikan maut itu sebenarnya ialah korban atas kesalahan masa lalu sang ayah. Maleficent, seorang peri hutan yang tadinya baik hati berubah menjadi jahat demi melampiaskan kekesalannya atas pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh sang raja. Akan tetapi di akhir cerita, Maleficent yang terus mengamati Aurora tumbuh berkembang menjadi seorang gadis yang penuh cinta justru memutuskan untuk menarik kembali kutukannya. Tidak hanya itu, ia juga menyelamatkan Aurora dari kejahatan ayahnya sendiri.

Demikianlah kira-kira rangkuman atas film “Maleficent” yang dirilis oleh Disney beberapa minggu lalu. Angelina Jolie yang memerankan Maleficent di film ini berhasil membawakan karakter peri hutan yang amat berkuasa namun rapuh dari segi perasaan. Maleficent ditipu oleh seorang pemuda desa yang berambisi untuk menjadi raja. Sayap Maleficent yang indah menjadi korban atas niat jahat lelaki yang ia cintai itu. Sayap Maleficent ini di mata saya sejatinya merupakan simbolisasi dari trofi atau piala kemenangan sebagai bukti kejantanan laki-laki dalam menaklukkan energi alam yang dianggap liar dan tak beradab. Bukan cerita baru, wanita dijajah pria itu sudah hadir di tengah-tengah dunia sejak dulu kala. 

Sentra utama dongeng yang ditampilkan dalam wajah baru ini sebenarnya ada pada sisi si karakter utama: Maleficent. Maleficent, tidak seperti yang diyakini oleh banyak orang selama ini, tidak berniat untuk mencelakai Aurora hanya karena dirinya tidak diundang ke jamuan makan pembaptisan sang putri. Maleficent di sini merupakan simbolisasi dari perempuan yang terluka, dipaksa untuk tunduk pada dunia patriarki yang tidak mengharapkan figur perempuan untuk tampil di tatanan sosial masyarakat. Perempuan harus didomestikasi, dalam film ini disimbolkan melalui “pengebirian” sayap indah Maleficent.
Angelina Jolie sebagai Maleficent

Ada kisah menarik tentang sosok perempuan yang “dikebiri” sayapnya oleh Orde Baru dan diantagoniskan, persis seperti Maleficent ini. Namanya Salawati Daud. Jika anda tanya siapa dia hari ini, hampir seluruh suara akan langsung mengarah kepada satu kata “PKI!” atau “Gerwani!”. Ya, Salawati Daud memang merupakan seorang aktifis PKI di era 50-an. Ia bahkan turut serta dalam embrio yang kelak akan melahirkan perkumpulan Gerwani bersama Umi Sardjono. Pasca peristiwa G.30/S meletus, Salawati Daud yang saat itu menjadi anggota DPR digelandang oleh tentara keluar gedung parlemen untuk kemudian dijebloskan ke Penjara Bukit Duri. Sejak saat itu nama Salawati Daud bagaikan sebuah nista. Ia dihapus dari dokumen-dokumen sejarah dan dilupakan perannya sebagai tokoh awal pemberdayaan wanita di republik ini.

Salawati Daud ialah seorang perempuan Bugis dari Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugisnya mengajarkan Salawati untuk menjadi seorang perempuan yang tangguh, mitra setara lelaki yang sepadan, bukan sekedar pelengkap hidup semata. Sudah mengalir di dalam kultur Sulawesi Selatannya bahwa perempuan seperti halnya laki-laki bebas untuk mengekspresikan opini di hadapan publik. Sejak tahun 1930 ia aktif menentang kekuasaan kolonial Belanda di tanah air. Ia yang juga anggota Perserikatan Celebes bersama dengan Nadjamoeddin Daeng Malewa, Lindoe Marsajit, Th. Lengkong dan Nyonya Lumenta mendirikan Perhimpunan Perguruan Rakyat Selebes (PPRS) dengan tujuan memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi. Tercatat, Salawati juga merupakan seorang pionir perlawanan perempuan di bidang pers, ia mendirikan majalahWanita pada tahun 1945 serta menjadi direksi majalah Bersatu yang saat itu adalah bacaan laris.

Mental baja Salawati yang senantiasa menuntut keadilan bergejolak ketika pasukan NICA memasuki tanah air pasca kemerdekaan. Ia mengobarkan semangat gerilya dengan berkeliling daerah di Sulawesi Selatan serta memimpin sendiri perlawanan ke sebuah tangsi polisi di Masamba (saat ini ibukota Kabupaten Luwu Utara).Salah satu prestasi terbesar Salawati ialah saat ia ditunjuk sebagai Walikota pertama kota Makassar di tahun 1949. Dengan demikian, Salawati merupakan walikota perempuan pertama di Indonesia. 

Salawati Daud juga seorang tokoh mediator yang berusaha meredam ambisi Kahar Muzakkar saat hendak menggulingkan pemerintah Indonesia dengan gerakan DI/TII-nya. Suaminya yang seorang pejabat pemerintah di Maros amatlah mendukung aktifitas-aktifitas sang istri.

Pada tahun 1955, ia melanjutkan perjuangannya menyuarakan hak-hak sipil wanita ke Senayan dengan menjadi anggota DPR. Sayangnya, berbeda dengan Opu Daeng Risaju, Andi Depu dan Emmy Saelan yang menerima penghargaan dari rakyat Sulawesi Selatan sebagai pejuang-pejuang wanita, nama Salawati Daud tenggelam dalam dongeng-dongeng yang dihembuskan oleh pemerintah akan kejahatan ideologi komunisme di masa Orde Lama. Persis seperti Maleficent. Kita hanya mengenangnya dari logo Palu dan Arit yang dicitrakan jahat seperti iblis. Ia dikebiri oleh dunia lelaki Orde Baru, tidak hanya didomestikasi namun juga didemonisasi.

Satu hal lagi pelajaran moral yang saya dapat dari film Maleficent adalah: kebenaran, sebagaimana pula kejahatan, memiliki dua sisi. Terkadang kita terlalu awam untuk lekas menjatuhkan putusan “ini benar” atau “ini salah”. Ada banyak kisah yang melatari kenyataan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi. Kisah-kisah dan dongeng-dongengan lama mungkin perlu kita tilik ulang kembali. Siapa tahu ada Maleficent-Maleficent dan Salawati-Salawati lainnya yang terselip kepahitan zaman di antara belenggu-belenggu perjuangan. 

Malang, sebagai manusia kita cenderung bermain Tuhan. Kita tak dapat menerima ketakbersalahan seseorang, namun anehnya mengumbar-umbar ketarbersalahan diri kita sendiri meski telah terbukti kalah.

Selamat berakhir pekan, selamat menunaikan ibadah puasa. Jangan lupa menggunakan hak pilih anda dengan bijaksana di TPS terdekat tanggal 9 Juli 2014.

Yogyakarta, 5 Juli 2014

Sumber: LouieBuana 

Maleficent dan Salawati Daud: The Hidden Triumph of Matriarchy?

Friday, July 4, 2014


Angelina Jolie sebagai Maleficent

Alkisah, cerita asli Sleeping Beauty tidak seperti yang didongengkan kepada kita selama ini.  Putri Aurora yang malang dan dikutuk untuk mengalami tidur  panjang bagaikan maut itu sebenarnya ialah korban atas kesalahan masa lalu sang ayah. Maleficent, seorang peri hutan yang tadinya baik hati berubah menjadi jahat demi melampiaskan kekesalannya atas pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh sang raja. Akan tetapi di akhir cerita, Maleficent yang terus mengamati Aurora tumbuh berkembang menjadi seorang gadis yang penuh cinta justru memutuskan untuk menarik kembali kutukannya. Tidak hanya itu, ia juga menyelamatkan Aurora dari kejahatan ayahnya sendiri.
 
Demikianlah kira-kira rangkuman atas film “Maleficent” yang dirilis oleh Disney beberapa minggu lalu. Angelina Jolie yang memerankan Maleficent di film ini berhasil membawakan karakter peri hutan yang amat berkuasa namun rapuh dari segi perasaan. Maleficent ditipu oleh seorang pemuda desa yang berambisi untuk menjadi raja. Sayap Maleficent yang indah menjadi korban atas niat jahat lelaki yang ia cintai itu. Sayap Maleficent ini di mata saya sejatinya merupakan simbolisasi dari trofi atau piala kemenangan sebagai bukti kejantanan laki-laki dalam menaklukkan energi alam yang dianggap liar dan tak beradab. Bukan cerita baru, wanita dijajah pria itu sudah hadir di tengah-tengah dunia sejak dulu kala. 
Sentra utama dongeng yang ditampilkan dalam wajah baru ini sebenarnya ada pada sisi si karakter utama: Maleficent. Maleficent, tidak seperti yang diyakini oleh banyak orang selama ini, tidak berniat untuk mencelakai Aurora hanya karena dirinya tidak diundang ke jamuan makan pembaptisan sang putri. Maleficent di sini merupakan simbolisasi dari perempuan yang terluka, dipaksa untuk tunduk pada dunia patriarki yang tidak mengharapkan figur perempuan untuk tampil di tatanan sosial masyarakat. Perempuan harus didomestikasi, dalam film ini disimbolkan melalui “pengebirian” sayap indah Maleficent.

Ada kisah menarik tentang sosok perempuan yang “dikebiri” sayapnya oleh Orde Baru dan diantagoniskan, persis seperti Maleficent ini. Namanya Salawati Daud. Jika anda tanya siapa dia hari ini, hampir seluruh suara akan langsung mengarah kepada satu kata “PKI!” atau “Gerwani!”. Ya, Salawati Daud memang merupakan seorang aktifis PKI di era 50-an. Ia bahkan turut serta dalam embrio yang kelak akan melahirkan perkumpulan Gerwani bersama Umi Sardjono. Pasca peristiwa G.30/S meletus, Salawati Daud yang saat itu menjadi anggota DPR digelandang oleh tentara keluar gedung parlemen untuk kemudian dijebloskan ke Penjara Bukit Duri. Sejak saat itu nama Salawati Daud bagaikan sebuah nista. Ia dihapus dari dokumen-dokumen sejarah dan dilupakan perannya sebagai tokoh awal pemberdayaan wanita di republik ini.

Salawati Daud ialah seorang perempuan Bugis dari Sulawesi Selatan. Kebudayaan Bugisnya mengajarkan Salawati untuk menjadi seorang perempuan yang tangguh, mitra setara lelaki yang sepadan, bukan sekedar pelengkap hidup semata. Sudah mengalir di dalam kultur Sulawesi Selatannya bahwa perempuan seperti halnya laki-laki bebas untuk mengekspresikan opini di hadapan publik. Sejak tahun 1930 ia aktif menentang kekuasaan kolonial Belanda di tanah air. Ia yang juga anggota Perserikatan Celebes bersama dengan Nadjamoeddin Daeng Malewa, Lindoe Marsajit, Th. Lengkong dan Nyonya Lumenta mendirikan Perhimpunan Perguruan Rakyat Selebes (PPRS) dengan tujuan memajukan pendidikan bagi masyarakat pribumi. Tercatat, Salawati juga merupakan seorang pionir perlawanan perempuan di bidang pers, ia mendirikan majalahWanita pada tahun 1945 serta menjadi direksi majalah Bersatu yang saat itu adalah bacaan laris

Mental baja Salawati yang senantiasa menuntut keadilan bergejolak ketika pasukan NICA memasuki tanah air pasca kemerdekaan. Ia mengobarkan semangat gerilya dengan berkeliling daerah di Sulawesi Selatan serta memimpin sendiri perlawanan ke sebuah tangsi polisi di Masamba (saat ini ibukota Kabupaten Luwu Utara).Salah satu prestasi terbesar Salawati ialah saat ia ditunjuk sebagai Walikota pertama kota Makassar di tahun 1949. Dengan demikian, Salawati merupakan walikota perempuan pertama di Indonesia. Salawati Daud juga seorang tokoh mediator yang berusaha meredam ambisi Kahar Muzakkar saat hendak menggulingkan pemerintah Indonesia dengan gerakan DI/TII-nya. Suaminya yang seorang pejabat pemerintah di Maros amatlah mendukung aktifitas-aktifitas sang istri.

Pada tahun 1955, ia melanjutkan perjuangannya menyuarakan hak-hak sipil wanita ke Senayan dengan menjadi anggota DPR. Sayangnya, berbeda dengan Opu Daeng Risaju, Andi Depu dan Emmy Saelan yang menerima penghargaan dari rakyat Sulawesi Selatan sebagai pejuang-pejuang wanita, nama Salawati Daud tenggelam dalam dongeng-dongeng yang dihembuskan oleh pemerintah akan kejahatan ideologi komunisme di masa Orde Lama. Persis seperti Maleficent. Kita hanya mengenangnya dari logo Palu dan Arit yang dicitrakan jahat seperti iblis. Ia dikebiri oleh dunia lelaki Orde Baru, tidak hanya didomestikasi namun juga didemonisasi.
Satu hal lagi pelajaran moral yang saya dapat dari film Maleficent adalah: kebenaran, sebagaimana pula kejahatan, memiliki dua sisi. Terkadang kita terlalu awam untuk lekas menjatuhkan putusan “ini benar” atau “ini salah”. Ada banyak kisah yang melatari kenyataan mengapa sebuah peristiwa dapat terjadi. Kisah-kisah dan dongeng-dongengan lama mungkin perlu kita tilik ulang kembali. Siapa tahu ada Maleficent-Maleficent dan Salawati-Salawati lainnya yang terselip kepahitan zaman di antara belenggu-belenggu perjuangan. Malang, sebagai manusia kita cenderung bermain Tuhan. Kita tak dapat menerima ketakbersalahan seseorang, namun anehnya mengumbar-umbar ketarbersalahan diri kita sendiri meski telah terbukti kalah.

Yogyakarta,
5 Juli 2014

Sumber: Louiebuana 

3 Jenderal, 1 Fadli Zon dan 1 tudingan komunis

Jumat, 4 Juli 2014 09:07 | Reporter : Laurencius Simanjuntak


Kongres Nasional ke-18 Partai Komunis China. REUTERS

Sepekan menjelang berakhirnya masa kampanye Pilpres 2014, isu komunisme merebak. Adalah kubu Letjen (Purn) Prabowo Subianto - Hatta Rajasa yang mengembuskannya. Mereka menuding Joko Widodo ( Jokowi ) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP ), partai terbesar pengusung capres nomor satu itu, berbau-bau komunis.

Catatan merdeka.com, isu komunisme dari kubu Prabowo awalnya diembuskan oleh anggota Timses Prabowo - Hatta, Letjen (Purn) Suryo Prabowo. Kemudian isu sensitif itu dikicaukan oleh Sekretaris Timses Prabowo - HattaFadli Zon , lalu ditiupkan oleh bekas anak buah Prabowo Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Terakhir, sang capres Prabowo Subianto pun ikut bicara soal komunisme.

Berikut alur berembusnya isu komunisme dari kubu Prabowo kepada Jokowi:


Suryo Prabowo. ?2014 Merdeka.com

1. Letjen (Purn) Suryo Prabowo: Kampanye Jokowi-JK mirip komunis

Tim sukses pemenangan Prabowo - Hatta Rajasa , Letjen Purn Suryo Prabowo menuding kampanye pendukung Jokowi - Jusuf Kalla di Yogyakarta bertindak brutal. Menurut dia, aksi-aksi brutal seperti ini mirip komunis. 

"Kemarin (Rabu, 18/6) hanya ingin menyeberang jalan di depan kampusnya, mahasiswa UII di Yogya dipukuli massa kampanye 
Jokowi - JK hingga masuk rumah sakit. Sementara di Solo, Jepara dan beberapa daerah di Jawa Tengah spanduk Prabowo - Hatta yang jumlahnya tidak banyak dibanding spanduk Jokowi - JK disobek dan dirusak," ujar Letjen TNI Purn Suryo Prabowo di Tegal, dalam rilis yang diterima merdeka.com, Kamis (19/6).

Menurut dia, sikap brutal tim pendukung 
Jokowi - JK tersebut dinilai cermin dari model kepemimpinan rezim preman. "Preman dikumpulkan, yang bertato disuruh lepas baju, naik motor tanpa helm dengan suara knalpot sangat keras mengelilingi kota. Ini intimidasi dan teror nyata bagi rakyat," tegasnya.

Cara seperti ini, kata Suryo, mirip model komunis, yakni memaksakan kehendak menghalalkan segala cara untuk kekuasaan. 

"Komunis setingkat lebih berbahaya dari fasis. Cara melawannya tidak bisa dengan turun ke jalan. Kerusuhan itu yang mereka harapkan. Semakin mereka brutal semakin dekat kemenangan Prabowo - Hatta. Karena itu jangan lengah dan kendor dalam melakukan kampanye dari rumah ke rumah untuk menggenggam hati rakyat," imbaunya.

Jokowi langsung membantah isu yang menyebut keluarganya terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Jokowi dengan tegas menyebut isu PKI sebagai penghinaan terhadap nasionalisme dirinya dan keluarga.

"Isu yang menyebut saya PKI adalah penghinaan. Berulang kali saya jelaskan Bapak dan Ibu saya itu dua-duanya haji. Keluarga saya sudah jelas. Orang juga sudah kenal semua. Kakek saya lurah dari Karanganyar. Kalau kakek dari Ibu adalah pedagang kecil. Mau sampai kakek canggah pun sama alurnya seperti itu," kata 
Jokowi.


Fadli Zon. ?2012 Merdeka.com

2. Fadli Zon: Revolusi Mental punya akar kuat paham komunis

Sepekan kemudian atau tepatnya 26 Juni lalu, Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo - Hatta menghembuskan tudingan komunis lewat Twitter-nya. Dia menuduh Revolusi Mental ala Joko Widodo (Jokowi) berakar dari paham komunis.

"Indonesia tak ada hubungan dengan NAZI, yang ada dengan komunis. Nah 'Revolusi Mental' punya akar kuat tradisi paham komunis," kata Fadli Zon dalam akun Twitter-nya, Kamis (26/6).

Menurut Fadli, bapak komunis Karl Marx menggunakan istilah Revolusi Mental pada tahun 1869 dalam karyanya 'Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte'. Selain itu, lanjutnya, Revolusi Mental juga jadi tujuan 'May Four Enlightenment Movement' di China 1919 diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis China.

Sedangkan di Indonesia, kata wakil ketua umum Partai Gerindra itu, Revolusi Mental digunakan tokoh-tokoh berhaluan kiri untuk menghapus sesuatu yang berbau agama. 

"Aidit PKI, hilangkan nama Achmad dari nama depannya dan ganti dengan Dipa Nusantara (DN) dengan alasan 'Revolusi Mental' yaitu hapus yang berbau agama," ujarnya.

Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, membantah semua pernyataan Fadli Zon itu. Akademisi yang sedang melanjutkan studi di Universitas Murdoch, Australia, ini juga menggunakan teori untuk membongkar kesalahpahaman Fadli atas teks Karl Marx, sang bapak komunisme.

Airlangga membantah Fadli bahwa Marx menggunakan istilah 'Revolusi Mental' pada tahun 1869 dalam karyanya 'Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte'. Menurut Airlangga, inti karya Marx itu ada pada tesis: 

"Men make their own history, but they do not make it as they please; they do not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing already, given and transmitted from the past. (Manusia menciptakan sejarah tapi mereka tidak menciptakan sekehendak hatinya, namun di bawah kondisi yang sudah terbangun yang dihubungkan oleh proses sejarah)."

Airlangga menjelaskan, dari karyanya Marx menjelaskan bahwa kemampuan manusia sebagai agensi untuk mencipta sejarah ditentukan oleh kondisi-kondisi material yang sudah terbentuk. 

"Mengapa perlawanan kelas pekerja kalah di Prancis misalnya itu karena konfigurasi kelas dominan berbeda kepentingan dengan kepentingan mereka. Ini karya Marx buku analisis situasi sejarah," terang Airlangga lewat dinding Facebook-nya, Jumat (27/6).

Dosen yang menyatakan mendukung Jokowi ini menerangkan Revolusi Mental berbicara soal konsep kepemimpinan untuk mengubah mental rakyat Indonesia. 

"Bahwa seberat-beratnya masalah dan hambatan kita harus optimis dan menaruh harapan. Karakter yang baik, produktif, jujur dan optimis dibentuk melalui pendidikan," ujar Airlangga yang sering menulis opini di sejumlah media nasional ini. 

"Menyamakan '18th Brumaire' dan Revolusi Mental-nya Jokowi artinya Zon tidak paham apa yang ia sedang kemukakan," tegasnya.

Airlangga juga membantah Fadli Zon yang menyebut Revolusi Mental' menjadi tujuan 'May Four Enlightenment Movement' di China 1919 yang diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis China.

Menurut Airlangga, Chen Duxui ketika mengenalkan ide komunisme yang kemudian menginspirasikan Mao Zedong mendorong Revolusi Kebudayaan itu berbicara bahwa transformasi masyarakat China dari era feodal menuju sosialisme dapat mengubah tatanan budaya masyarakat Tionghoa dari hierarkhis menuju egaliter. Namun itu harus dimulai dari pertarungan dan pembelahan antar kelas sosial terlebih dahulu. 

"Revolusi mental berangkat dari pemahaman bahwa jalan untuk membangun mentalitas rakyat dibangun melalui persatuan Indonesia kolaborasi antar elemen bangsa. Terus samanya dimana? Lucu ya Zon," kata Airlangga. 

Sementara soal pergantian nama DN Aidit, menurut Airlangga, hal tersebut merupakan urusan pribadi sang ketua umum PKI sendiri. "IItu urusan Aidit sama keluarganya apa urusannya sama Revolusi Mental? Please dech katrok kok dibiakkan? " kata Airlangga.

"Makanya jangan kebanyakan fitnah. Kebiasaan Fitnah kok dipelihara. Peace," ujarnya.


kivlan zen. ?2014 Merdeka.com

3. Mayjen (Purn) Kivlan Zen: Ada bau komunis di kubu Jokowi

Di hari yang sama dengan kicauan Fadli Zon, bekas anak buahPrabowo Subianto di Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen juga menuding ada bau-bau komunis di kubu Jokowi - JK.

"Di bidang ideologi, paham-paham komunis emang sudah tidak eksis. Namun masih ada sampai sekarang segelintir dari nomor dua," kata Kivlan Zen di Hotel Crowne, Jl. Gatot Subroto Jakarta, Kamis (26/6).

Menurutnya, indikasi penganut komunis itu terlihat dari sebutan kawan pada pendukung Jokowi . Sebutan itu adalah panggilan kamerad untuk para aktivis komunis.

"Ada foto-foto Jokowi yang bertuliskan Kawan Jokowi . Sebutan kawan itu sama-sama sebutan kamerad, itu bau-bau PKI, bau-bau komunis," terangnya.

Selain itu, dia juga mengungkapkan adanya informasi dukungan China untuk membangunkan kembali ideologi komunis. Hal itu terlihat dari banyaknya propaganda yang menyerang wacana nasionalisme yang didengungkan Prabowo .

"Saya mendetek China akan memberikan Rp 15 triliun jika dapat membangun komunis di Indonesia. Sekarang ada indikatornya propaganda dan agitator menjelek-jelekkan Prabowo ," ujarnya.

Kawan Jokowi, salah satu relawan pendukung capres nomor satu ini, membantah tudingan Kivlan bahwa pihaknya berbau-bau komunis.

"Pernyataan Pak Kivlan bahwa kata Kawan identik dengan komunis adalah pernyataan tidak berdasar dan dangkal!! Dan ini merupakan bentuk kampanye hitam murahan yang bermaksud memecah belah persatuan bangsa," kata Sekretaris Jendral Kawan Jokowi , Ivanhoe, seperti keterangan tertulis, Selasa (1/7).

Ivan menjelaskan, 'kawan' dalam Kamus Bahasa Indonesia sama dengan sahabat/teman, oleh karena itu ada terminologi setiakawan. 

"Mungkin Pak Kivlan lupa kalau Hari Ke-setia-kawan-an Sosial Nasional yang diperingati setiap tgl 20 Desember di Indonesia didasarkan atas peristiwa ketika terjadi kemanunggalan TNI dan rakyat persis sehari setelah agresi militer Belanda. Dua kekuatan TNI dan rakyat Bersatu Bahu membahu dalam perjuangan bersenjata melawan penjajahan belanda pada 20 Desember 1948," papar Ivan.

Ivan menambahkan, kesetiakawanan yang tulus dilandasi rasa tanggung jawab yang tinggi kepada tanah air menumbuhkan solidaritas bangsa yang kuat untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman agresor. "Atas Dasar itulah tgl 20 Desember ditetapkan sebagai hari Kesetiakawanan Sosial Nasional oleh pemerintah RI," papar Ivan lagi. 

Oleh karena itu, menurut Ivan, tudingan komunis itu merupakan sesuatu yang serius dan tidak berdasar. "Apalagi keluar dari mulut seorang purnawirawan jenderal," tegasnya.


Prabowo Kopassus. ?facebook/prabowo subianto

4. Letjen (Purn) Prabowo: Ada yang ingin hidupkan komunisme lagi

Dua hari lalu, usai santap sahur bersama ratusan pendukungnya di GOR Satria, Purwokerto, capres Prabowo Subianto berorasi soal bahaya menghidupkan lagi paham komunis.

"Kalau ada kekuatan yang ingin menghidupkan komunisme kembali, akan berhadapan dengan kekuatan rakyat," kata Prabowo di hadapan pendukungnya di Purwokerto, Rabu (2/7).

Dia juga mengingatkan kepada para pendukungnya untuk selalu menerapkan politik santun. Dia menceritakan bahwa sejumlah spanduk gambar dirinya di beberapa kota besar dirusak oleh orang.

"Ada yang ingin menggunakan cara-cara tidak baik. Saya dapat laporan, gambar saya dirobek, diturunin, jangan kita balas. Sing becik ketitik, sing olo ketoro," ujar Prabowo disambut riuh pendukungnya.

Soal tudingan komunis yang digencarkan kubu Prabowo dan ditayangkan tvOne, Jokowi menganggap hal itu adalah sebuah penghinaan.

"Ini penghinaan besar bagi saya pribadi, masuk ke orang tua dan keluarga juga," ujar Jokowi di Holiday Inn, Bandung, Jawa Barat, kemarin.

Jokowi mengatakan, dia selama ini sudah merasa sabar dengan banyaknya tudingan dan fitnah yang merebak jelang Pemilihan Presiden tahun 2014.

"Sebenarnya kami kurang sabar apa sih? Kurang sabar apa? Sejak awal pertama kita diamkan, malah lama-lama menuduh PKI," kata Jokowi.

Sumber: Merdeka.Com