Bonnie Triyana
- 17 Juli 2014
Mendidik manusia agar tak sekadar pandai tapi juga
berjiwa merdeka dan peduli pada nasib rakyat.
Siswa-siswa SI School
melepas kepergian Tan Malaka yang diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda
pada 1922.
BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di
antara permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana,
pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah kampung.
Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang kian lama kian
renta dimakan usia.
Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat
Islam cabang Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat
Islam yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI
School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota Semarang.
Kurikulum yang progresif
Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs ( pendidikan, Red).
Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa
pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.” Demi
tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka menyusun kurikulum
pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada waktu itu.
Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan
kurikulum sekolahnya, pertamayakni memberi senjata cukup buat pencari
penghidupan dan dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda,
Jawa, Melayu, dsb); kedua, memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan
hidup dengan jalan pergaulan (vereeniging); ketiga, menunjukkan kewajiban
kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, Red.).
Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah
pengajaran bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas
berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur bahasa
Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi yang mengenyam
pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda.
Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan
kepada siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya
(cerdas, Red.) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.
” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, Red.) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.”
Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi
anak-anak didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School
menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk bermain
dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak untuk merasakan
kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan orangtua mereka yang
harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya.
Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik
murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati belas
kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta murid-muridnya
untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang supaya bisa menyaksikan
dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik.
Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan
dan kemauan “hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja,
malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”
0 komentar:
Posting Komentar