HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Sabtu, 28 November 2015

Sidik Kertapati, Pejuang yang Terasingkan


28 November 2015   16:35 - Ciput Putrawidjaja*


Banyak pejuang (dan pahlawan) yang terbuang, terpinggirkan, terasingkan atau bahkan sengaja dihilangkan dari lembaran sejarah Indonesia, lantaran pilihan politik yang berbeda dengan pemerintah yang berkuasa. Salah satunya adalah SIDIK KERTAPATI.

Dilahirkan di Klungkung Selatan, Bali pada tahun 1920, Sidik Kertapati merupakan salah seorang pemuda yg terlibat dalam gerakan-gerakan pemuda yg mempersiapkan proklamasi kemerdekaan RI. Sejak masa mudanya, Sidik telah menyatu dengan nasib rakyat kecil yang menderita di bawah penjajahan Hindia Belanda dan kemudian Jepang. Kepeduliannya itu membuat Sidik menceburkan diri dalam berbagai kegiatan perjuangan pemuda melawan penjajahan dan untuk kemerdekaan.

Salah satunya adalah Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka), dimana Sidik menjadi anggota Dewan Eksekutif, yang berjuang untuk berdirinya Negara Indonesia Merdeka. Gerindom didirikan oleh pemuda-pemuda revoluioner anti fasis sebagai reaksi pembubaran PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat).
Berpusat di Jalan Menteng 31 Jakarta, Gerindom banyak melakukan kegiatan-kegiatan membangun jaringan-jaringan bawah tanah pemuda revolusioner anti fasis dengan massa tani, buruh, pegawai kantor, mahasiswa dan angkatan bersenjata. Gerindom juga melakukan hubungan dengan tokoh-tokoh gerakan revolusioner lainnya, misalnya Wikana, Chaerul Saleh dan lain-lainnya dengan pedoman kerja sistem sel dan machtvorming.

Proklamasi Kemerdekaan RI

Menjelang Proklamasi 17 Agustus 45 Sidik melibatkan diri dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API), yang bermarkas juga di Menteng 31. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Sidik Kertapati bersama-sama dengan pemuda-pemuda revolusioner lainnya, seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati, Darwis, Suroto Kunto, AM Hanafie, Djohar Nur, Subadio, dan lain-lain, melakukan berbagai persiapan menghubungi sel-sel di bawah tanah untuk mempersiapkan kekuatan rakyat dalam menghadapi segala kemungkinan berkaitan dengan rencana Proklamasi Kemerdekaan.

Pada 19 September 1945, Sidik bersama aktivis pemuda lainnya berhasil mengumpulkan 200.000 orang di Lapangan Ikada Jakarta untuk mendengarkan pidato Bung Karno yg hanya berdurasi 10 menit saja, namun mampu menggugah semangat rakyat untuk mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehari sesudahnya, pada tanggal 20 September 1945, pasukan Kempetai Jepang mengepung gedung Jalan Menteng 31 dan melakukan penangkapan Sidik Kertapati dan pemimpin pemuda lainnya.

Selanjutnya mereka ditahan di markas Kempetai (di gedung Mako POM Guntur sekarang) dan kemudian dipindahkan ke penjara Bukitduri. Dari penjara tersebut, Sidik berhasil melarikan diri dan kembali bergabung dengan tokoh-tokoh API lainnya membangun gerakan perlawanan rakyat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan RI.

Berjuang Dengan Gerilya Bersenjata

Ketika Belanda datang membonceng pasukan Sekutu ke Indonesia, Sidik Kertapati bergabung dalam Laskar Rakjat Djakarta Raja (LRDR). Pada 22-24 November 1946, berlangsung kongres yang membentuk federasi dari berbagai laskar perjuangan rakyat yg ada menjadi Laskar Rakjat Djawa Barat (LRDB). Sidik Kertapati terpilih memimpin organisasi, bersama Astrawinata dan Armunanto.

LRDB tidak setuju dengan hasil persetujuan Linggarjati, menolak hijrah ke Yogyakarta dan memutuskan bergerilya melawan pasukan Belanda dan belakangan melawan DI/TII di wilayah Jawa Barat. Selama bergerilya inilah, Sidik sempat terkena peluru musuh yang sampai akhir hayatnya tetap bersarang di tubuhnya.

Berjuang di Parlemen


Selepas pengakuan kedaulatan RI, Sidik melanjutkan perjuangannya di akar rumput untuk membela kepentingan kaum tani melalui organisasi Sarekat Kaum Tani Indonesia (SAKTI) yang dipimpinnya, yang kemudian berfusi dengan organisasi2 petani lainnya menjadi Barisan Tani Indonesia (BTI).

Perjuangan politiknya tersebut dilanjutkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai anggota parlemen dari fraksi independen, Sidik terkenal dengan "mosi Sidik Kertapati" yang menggugat kebijakan menteri dalam negeri Mr. Mohamad Roem dalam peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara pada 16 Maret 1953. Akibat dari mosi ini Kabinet PM Wilopo meletakkan jabatan pada 2 Juni 1953.

Menjadi Eksil Akibat Peristiwa G30S

Peristiwa G30S pada tahun merubah drastis jalan hidup Sidik Kertapati. Karena aktifitas politiknya di dalam BTI, yg berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia, Sidik akhirnya terpaksa meninggalkan tanah air dan terpaksa puluhan tahun menjalani kehidupan sebagai seorang eksil (exile) untuk menghindari penangkapan dari pemerintah ORBA pasca G30S. Sidik terpaksa berpisah jauh dari isteri tercintanya, S. Rukiah yang seorang pengarang perempuan Indonesia ternama, yang juga jadi korban pemerintah ORBA dan meninggal pada tahun 1996, dan seluruh keluarganya.

Pasca runtuhnya ORBA, dengan bantuan sejumlah mahasiswa yang berempati, pada tahun 2002 Sidik Kertapati akhirnya dapat pulang kembali ke tanah air. Sidik Kertapati meninggal dunia pada usia 87 tahun pada 12 Agustus 2007 dan dimakamkan di Jakarta, masih dalam status Warga Negara Belanda.

Buku "Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945" Karya Sidik Kertapati"

Legacy: Buku "Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945"

Pengalamannya selama masa menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI diabadikan dalam buku "SEKITAR PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945”, yang sudah tiga kali dicetak. Selama masa rezim Orba (1967-1998) buku ini, sebagaimana banyak buku perjuangan revolusioner Indonesia menghilang dari peredaran atau dilarang terbit oleh pemerintah saat itu. Hingga pada tahun 2000, Penerbit Pustaka Pena mencetak ulang karya Sidik Kertapati.

Bagaimana sambutannya dapat dicuplik dari resensi surat kabar “Rakyat Merdeka” 13 Agustus 2000: “Tujuh belas Agustus pekan depan, Republik Indonesia genap 55 tahun. Tanpa terasa negeri ini sudah merdeka lebih dari setengah abad. Buku yang ditulis Sidik Kertapati ini mengungkap saat-saat bersejarah menjelang dan sesudah Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Banyak peristiwa penting yang terjadi dalam rentang waktu tersebut, yang tidak diketahui oleh generasi kini.

Gedung Juang Menteng 31, misalnya, tidak banyak generasi sekarang yang tahu kenapa gedung ini dipelihara dan dilestarikan. Gedung tua yang terletak di kawasan Menteng Jakarta Pusat ini dulunya punya andil dalam proses perjuangan bangsa menuju proklamasi.
Di gedung itulah para pejuang kita mengasah otak dan menyatukan pikiran untuk menumpas penjajahan.
“Keistimewaan buku ini, mampu mengungkapkan secara lengkap nama-nama yang terlibat langsung dalam perjuangan di sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 serta menyebut apa peranan masing-masing pemuda ini. Perjuangan kemerdekaan kita adalah perjuangan yang berdarah dari bangsa yang terjajah melawan dan menggulingkan penjajahnya”.

Sumber:

Ciput Putrawidjaja , Praktisi Inovasi dan Inkubasi Bisnis Teknologi Kelautan
Direktur Badan Pengelola Marine Science Techno Park Universitas Diponegoro (MSTP UNDIP)

Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927 (2-habis)




















Jumat, 27 November 2015

Sejarawan UGM : Genosida Intelektual Memberangus Ideologi dan Kaum Kiri di Kampus Pasca 1965


Nov 27th, 2015 - Oleh : Arif Novianto

Gerakan kontra-revolusi (Tragedi 1965) yang telah memukul mundur kesadaran dan kapasitas rakyat untuk memperjuangkan kehidupan mereka turut menghantam kehidupan Kampus-kampus di Indonesia. Kampus sebagai ruang kebebasan akademik, tak luput dari pusaran kejahatan kemanusiaan. Civitas akademik di Kampus, mulai dari dosen, staf dan mahasiswa, banyak yang dipecat, ditangkap dan tidak diketahui nasibnya. Mereka dianggap sebagai kaum kiri yang oleh militer pro-Soeharto dituduh terlibat pada peristiwa 30 September 1965.
Peristiwa kejahatan kemanusiaan 1965 turut membentuk bangunan dan wajah kampus di Indonesia sekarang ini. Bagaimana tragedi 1965 mengubah wajah kampus di Indonesia (kurikulum, dosen, kebebasan akademik)? Apa dampak dari perubahan di masa itu yang hingga kini tetap kokoh bertahan? Apa implikasinya bagi masa depan kampus di Indonesia? Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, MAP Corner-klub MKP UGM pada hari selasa 24 November 2015, mencoba mendiskusikannya bersama Abdul Wahid, seorang dosen di jurusan Sejarah UGM.

Menurut Abdul Wahid, peristiwa pembunuhan massal 1965 dapat disebut sebagai “politisida atau genosida“, sedangkan pemberangusan yang juga terjadi di dunia akademik ia menyebut dengan istilah “Intellectualcide“ (Genosida Intelektual). Sebelum melangkah lebih jauh tentang keterlibatan kampus, peran militer dan proses terjadinya genosida intelektual ini, Abdul Wahid memulai memantik diskusi dengan menjelaskan iklim politik Indonesia sebelum tahun 1965.

Dari tahun 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di Indonesia. Universitas negeri meningkat dari 8 (1959) menjadi 39 (1963), Universitas swasta tumbuh dari 112 (1961) menjadi 228 (1965), Akademi negeri bertambah dari 55 (1961) menjadi 88 (1965) dan total pada 1965 ada 335 universitas/institute dengan 278.000 mahasiswa. Jumlah masyarakat yang terdidik secara formal pada tahun-tahun tersebut jelas mengalami peningkatan beratus kali lipat jika dibanding pada tahun 1940. Saat itu, hanya ada 79 mahasiswa yang lulus di Hindia ketika diperkirakan total populasi koloni mencapai 70 juta orang. Sedangkan jumlah lulusan pendidikan tinggi antara 1924 dan 1940 adalah 532, hanya 230 di antaranya merupakan penduduk pribumi (Wal 1963, dalam Aspinall, 2012: 157).
Jumlah mahasiswa yang begitu besar, membuat para mahasiswa mulai dilirik oleh partai-partai politik sebagai calon potensial untuk membangun massa konstituen. Pada periode ini, politik aliran menguat dan letupan-letupan ketegangan antar aliran terus terjadi. Politik aliran juga merangsek ke gerakan mahasiswa, ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terbentuk pada 5 Februari 1947, berafiliasi dengan partai islam modernis yaitu Masyumi. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23 Maret 1954 berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dibentuk pada 1956 yang memiliki kedekatan dengan PKI dan juga ada Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang terbentuk pada 1955 yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Situasi politik nasional hingga tahun 1960an mencuatkan tiga kekuatan/idiologi besar yang saling bersaing yaitu PNI (nasionalis), NU (agamis) & PKI (komunis) yang oleh Soekarno hendak disatukan menjadi NASAKOM. Soekarno pada masa itu menjadi revolusioner dengan mengeluarkan kebijakan dan jargon politik radikal menentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme seperti “Manipol-Usdek”, “Ganyang Malaysia”, “Nefos” dan juga isu Papua Barat.
Bagi Soekarno, Universitas harus mampu menjadi “alat revolusi nasional”. Universitas diarahkan untuk mendukung “Manipol-USDEK” (Political Manifesto – UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi-Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) dan untuk mendukung propaganda anti-imperialisme dan the ‘new emerging forces’ (NEFOS). Kebijakan yang diambil oleh Soekarno bukan tanpa alasan, sisa-sisa ekonomi-politik kolonial, sisa-sisa feodalisme dan sisa-sisa kebudayaan kolonial mencoba untuk terus dihanguskan dalam revolusi nasional Indonesia.
Itu karena bagi masyarakat kecil atau kaum Marheins, kemerdekaan secara politik juga harus ditunjang kemerdekaan secara ekonomi yaitu untuk mencapai kesejahteraan. Sementara perjuangan untuk mencapai hal itu membutuhkan organisasi massa, kampanye politik dan advokasi. Sementara kaum kelas atas dan masyarakat yang masih dalam enclave kolonial, mereka juga turut membangun organisasi massa untuk mempertahankan keistimewaan dan ideologi mereka. Itulah yang membuat politik aliran sangat menguat.
Pandangan politik Soekarno telah membuatnya dekat dengan ideologi kiri dan PKI. Pada masa itu PKI menurut Ruth T. McVey merupakan partai yang paling modern dengan kaderisasi kuat yang mengakar ke bawah yaitu dilakukan secara institusional. PKI memiliki lembaga kebudayaan, gerakan perempuan dan juga lembaga pendidikan progresif seperti Universitas Rakyat, Universitas Res Publica, Akademi Ali Archam, Akademi Bachtarrudin, Akademi Ronggowarsito dan juga yang lain. Lembaga pendidikan PKI menjadi institusi pendidikan formal yang sangat menarik bagi rakyat.
Konteks iklim politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh terjadinya perang dingin antar dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (AS & Sekutunya) dengan Blok Timur (US & sekutunya). Hingga 1965, universitas menjadi ‘arena perang dingin’ karena menerima bantuan dari donor “Barat & Timur”. “Donor Barat” banyak membantu capacity building di bidang teknik, pertanian, peternakan, kedokteran dan pedagogik. Sedangkan “Donor Timur” membantu pembangunan “infrastructure”, di bidang sains, teknik dan humaniora. Pertarungan kedua blok juga merambah ke pemberian beasiswa-beasiswa pendidikan kepada para mahasiswa Indonesia.
Pada tahun 1960an, organisasi mahasiswa yang menjadi dominan adalah GMNI dan CGMI. Ini tidak terlepas dari afiliasi mereka kepada partai politik yang berkuasa saat itu, yaitu PNI dan PKI. Pada awal 1960an GMNI memili jumlah anggota 77.000 orang sedangkan CGMI sekitar 35.000 orang pada 1964an (Maxwell, 1997: 118). Organisasi mahasiswa intra-kampus Dewan Mahasiswa (Dema) dan Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema) menjadi arena persaingan politik antar gerakan mahasiswa. Ada dua kluster yang sering beradu mendapatkan posisi strategis di Dema dan Kodema ini, yaitu kluster berbasis agama: HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM dan kluster berbasis sekuler: GMNI, CGMI, Germindo, Perhimi dan IPPI. Pengaruh pertarungan gerakan mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Wahid juga sampai ke para dosen dan staff. Banyak intrik politik dari karir penunjukan pimpinan di kampus yang didasarkan pada kedekatan dosen dan staf pada organisasi kemahasiswaan tertentu.
Terjadinya operasi militer pada 30 September 1965 yang telah membunuh 6 Jenderal dan 1 Perwira Tinggi TNI AD, disikapi oleh militer pro-Soeharto dengan bergerak cepat dan memonopoli arus informasi publik dengan menuduh PKI sebagai pelaku operasi militer. Pemburuan dan kejahatan kemanusian kemudian terjadi diberbagai daerah dengan menyasar para komunis dan Soekarnois. Kampanye counter-revolutionary/anti-komunis di kampus dimulai serentak di minggu pertama Oktober yang dilakukan dengan proses seperti berikut:
1.   Menteri PTIP menerbitkan SK No.1/dar 1965 untuk membekukan 14 lembaga yang (diduga) berafiliasi ke PKI;
2.   SK No.4/dar 1965 untuk menutup 2 institut PKI lain;
3.   SK No. 16/dar 1965 membubarkan CGMI, Perhimi, IPPI;
4.   Ini ditindak lanjut dengan Instruksi TNI no. 22/KOTI/1965 tanggal 10 Oktober men-skrining semua kampus.

Proses skrining dimulai serentak sesudah Menteri PTIP mengeluarkan SK tanggal 24/10/1965: Hasil awal diumumkan pada 2/1/1966; beberapa universitas melaporkan hasil skrining. Hanya beberapa universitas yang mengumumkan hasilnya secara terbuka, kebanyakan menyembunyikannya (sebagai dokumen rahasia). Proses skrining ini dilakukan dengan mendata siapa saja kaum kiri di kampus. Skrining berjalan dengan dramatis dan tricky :
1.   Rektor universitas “ditunjuk”sebagai ketua tim penyelidikan khusus mahasiswa/pegawai (TPCM/TPCP) di bawah TNI untuk screen universitasnya, tetapi juga “binaannya”;
2.   “Pendataan” melibatkan mahasiwa dan dosen, untuk menyusun daftar nama “tersangka” (beberapa kemudian terlibat dalam proses “interogasi”, misalnya: Lukman Soetrisno di UGM);
3.   Proses berjalan hirarkhis, atasan memaksa bawahan untuk menyerahkan nama, seringkali secara serampangan tanpa verifikasi.

Dalam proses skrining karena kampus sebagai institusi tidak mempunyai data siapa saja mahasiswa, dosen atau staff yang memiliki afiliasi politik dengan PKI, maka para mahasiswa anti-komunis (dari organisasi yang bertentangan dengan CGMI seprti HMI) dimanfaatkan untuk menunjuk para mahasiswa yang masuk CGMI, Perhimi, IPPI atau yang berafiliasi dengan PKI.
Hasil dari proses skrining tersebut, UGM (Universitas Gadjah Mada) mencatat 115 Dosen atau Karyawan dan 3.006 Mahasiswa yang diduga terlibat dalam gerakan pemberontakan padahal jumlah mahasiswa di UGM saat itu sekitar 12.000 mahasiswa (UGM menjadi yang tertinggi). Mereka yang di data dalam proses skrining sebagian menjadi tahanan politik selama beberapa tahun; sebagian di-Buru-kan; dan lainnya tidak diketahui nasibnya.
Dalam penjelasannya Abdul Wahid memaparkan bahwa para mahasiswa yang terdata diwajibkan melapor ke kampus pada 3 kali 24 jam setelah hasil skrining dipublis di media massa, dan banyak sekali yang tidak melapor. Itu artinya mereka sudah dihantam dengan mekanisme yang lain di luar kampus. Karena proses skrining tersebut juga bersamaan dengan proses pemburuan dan pembunuhan massal kaum kiri di berbagai pelosok Indonesia.
Selain proses skrining atau pembersihan kaum kiri di kampus, dunia akademik kampus juga melakukan pembersihan terhadap buku-buku bertendensi kiri di perpustakaan dan merubah kurikulum mereka menjadi kapitalisme sentris. Proses tersebut dilakukan dibawah tekanan militer. Hal tersebut mendapat legitimasi dengan disahkannya TAP MPR RI No.XXV/MPRS/1966 yang berisi pelarangan terhadap idiologi komunisme/ marxisme-leninnisme.
Peristiwa 1965 menimbulkan pengaruh mendalam bagi universitas di Indonesia. Beberapa diantaranya sebagaimana yang dilihat oleh Abdul Wahid adalah sebagai berikut :
1.   Hilangnya satu generasi intelektual, produk dari periode tahun 1950an yang kosmopolitan dan liberal (termasuk mereka yang menjadi eksil)
2.   Penghapusan sistematis jejak dan pemikiran, gagasan memori dan unsur-unsur ‘kiri’ dari kampus Indonesia
3.   Reorientasi “komitmen dan ideologi” intelektual di beberapa kalangan akademisi Indonesia
4.   Kerjasama internasional menjadi sangat berorientasi Barat, khususnya USA dan Eropa Barat
5.   Dalam kurikulum, terutama ilmu sosial, teori Marxist/conflict “ditinggalkan” dan buku/literatur kiri “menghilang” dari perpustakaan kampus (TAP MPRS 25/1966)
6.   Budaya intelektual dan tradisi kritis menurun, sedangkan aktivisme politik mahasiswa dibatasi dengan ketat
7.   Minat riset seputar Peristiwa 1965, isu agraria, dan gerakan buruh menjadi lemah, atau dihindari karena self-censorship tapi juga karena kebijakan (kampus)
8.   Universitas menjadi semakin birokratis, kapitalistik dan market-oriented (Nugroho 2009)

Arif NoviantoMAP Corner-klub MKP UGM. Reportase ini disadur dari MAP Corner-Klub MKP UGM.

Wawancara dengan Soe Tjen: Meninjau Kembali Pembantaian 50 Tahun Lalu

27.11.2015 

Tak ada yang memberitahu Soe Tjen tentang nasib ayahnya dan genosida anti-komunis. Sampai ia mendengar kisah itu dari ibunya, setelah ayahnya meninggal dan Suharto turun tahta. Oleh Aria Danaparamita.  

Besar di Surabaya, pada massa Orde Baru Soeharto, buku sekolah yang ia baca menyatakan bahwa pada kegelapan malam 30 September 1965, Partai Komunis (PKI) kader Indonesia menculik dan membunuh enam jenderal dalam usaha kudeta.

Kemudian, Mayor Jenderal Soeharto mengerahkan tentaranya untuk menghancurkan pemberontak ini, dan munccullah sebagai pahlawan nasional - dan menuai imbalan kediktatoran 31 tahun di Indonesia.

Hanya sesudah ayah Soe Tjen meninggal dunia empat bulan setelah jatuhnya Suharto dari kekuasaan pada tahun 1998, ibunya mengemukakan sebuah rahasai: bahwa ayah Soe Tjen pernah menjadi tahanan politik di tahun 1960-an, disiksa untuk ideologi “kiri”nya.

Soe Tjen Marching di Frankfurt Book Fair 2015

Menandai peringatan 50 tahun yang disebut kudeta gagal PKI, masih saja menjadi bahan perdebatan sejarah mengenai siapa yang membunuh para jenderal dan yang memberi perintah atas pembunuhan ini.

Selama Perang Dingin mulai meningkat, Indonesia dari tahun 1960-an menyaksikan ketegangan politik di bawah proklamator Indonesia Sukarno, yang juga menjadi simpatisan PKI. Sukarno menyatukan paham komunisme dengan agama dan nasionalisme ke dalam cita-cita pemerintahannya pada tahun 1960an.


Berkembangnya komunisme secara pesat mengkhawatirkan Amerika Serikat dan CIA terus mengamati perkembangan ini. Pembantaian yang dipicu oleh peristiwa 30 September membalik posisi komunis dari kekuatan politik yang tangguh menjadi musuh yang harus dibasmi.

Namun, berbagai sejarah resmi telah menghilangkan kenyataan berikut: bagaimana regu tentara dan serta masyarakat sipil menangkap, membunuh, dan menyiksa tidak hanya anggota partai komunis, tapi juga siapa pun yang dituduh ada hubungan dengan politik kiri.

Ayah Soe Tjen bisa bertahan hidup dari penjara. Tapi Komisi Nasional Indonesia untuk Hak Asasi Manusia memperkirakan lebih dari 500.000 orang tewas di sekitar tahun 1965, dan ratusan ribu lebih dipenjarakan.
Setelah beberapa dekade ketakutan dan kesenyapan, beberapa orang mulai angkat suara. Komisi resmi menyatakan pembersihan "kejahatan terhadap kemanusiaan" pada tahun 2012 - tahun yang sama saat "The Act of Killing", film dokumenter Joshua Oppenheimer tentang jagal, dirilis. Film berikut, "Senyap", diputar perdana di Indonesia pada November lalu.

Bungsu dari empat bersaudara, Soe Tjen Marching selalu merasakan ada sesuatu yang tidak beres waktu dia kecil.

"Ketika saya bertanya untuk dokumen atau akte kelahiran atau apa pun, itu selalu rumit karena ayah saya mengubah namanya," kata penulis dan aktivis ini. "Sebagai seorang anak, saya mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Oppenheimer mengatakan banyak keluarga menyimpan rahasia untuk menghindari dicap sebagai komunis.

"Menurut saya, jutaan orang Indonesia hidup dalam keluarga yang menyimpan rahasia," kata Oppenheimer. "Mereka sudah tinggal dengan kisah kehilangan, dan trauma yang tak ingin diungkap oleh orang tua mereka, karena tidak ingin menanamkan stigma yang masih saja hidup karena ada hubungan dengan korban yang dituduh komunis.
Ayah Soe Tjen dipenjara antara tahun 1966 dan 1968 di Kalisosok di Surabaya, di mana belasan tahanan sempit disesalkan ke sel sempit yang dibangun untuk dua.
"Kakak saya mengatakan bahwa ketika ia mengunjungi ayah di penjara, punggungnya benar-benar hancur, ia tidak bisa berjalan, dan mereka pikir dia akan mati," kata Soe Tjen. "Para tapol itu disiksa dan tidak diberi makan, sehingga banyak orang meninggal."


Soe Tjen memutuskan untuk menguak kisahnya dengan melawan keinginan dari ibunya, yang masih hidup dalam ketakutan. Dia mulai bertemu korban atau keluarga korban, dan mendirikan kelompok solidaritas Keluarga '65. Dia sedang menulis sebuah buku dengan kesaksian dari korban dan keluarga, termasuk dirinya sendiri.

Pada awalnya, Soe Tjen mengatakan, berbagai ancaman membuatnya takut. "Saya mendapat mengancam ratusan kali: 'Akan diperkosa, dibunuh, disembelih,'" katanya.

Dan banyak sekali yang menuduh Soe Tjen Marching sebagai komunis, yang secara hukum masih dianggap subversif di Indonesia. Keputusan Majelis Rakyat No 25 tahun 1966 mengenai larangan "semua kegiatan yang menyebar atau mengembangkan ide-ide atau ajaran Komunis / Marxis-Leninis".

Ini antagonisme dirasakan antara Islam dan komunisme secara historis berakar pada persaingan politik, termasuk antara PKI dan organisasi Muslim Nahdlatul Ulama (NU), kata Kevin Fogg, seorang peneliti Islam di Asia Tenggara di Universitas Oxford.

"Perselisihan pahit antara NU dan PKI memuncak di akhir 1950-an, setelah komunis mendapat kemenangan besar dalam pemilu provinsi 1957 ... dan setelah PKI mulai mengusulkan - dan kadang-kadang melakukan tindakan menyita tanah," Fogg menjelaskan dalam email.

"Sebagian besar kebencian terhadap komunis adalah politik praktis, tetapi para pelaku ini kemudian bisa mengandalkan retorika agama untuk membenarkan surut apa yang mereka lakukan," kata Fogg.

Seperti film-film Oppenheimer mengungkapkan, banyak pelaku tetap berkuasa baik di tingkat lokal dan nasional. Tapi perlahan, korban dan keluarga korban mulai maju, kontra-narasi mereka memicu mungkin pertempuran terbesar belum alih kontrol dari sejarah Indonesia.

Untuk korban, perjuangan untuk keadilan masih jauh dari selesai.
"Tentu saja itu tidak mudah karena kroni Orde Baru masih berkuasa," kata Soe Tjen Marching. "Tapi itu pilihan Anda apakah Anda ingin tetap diam dan menyerah atau terus. Saya menolak untuk menjadi takut."

* Diterjemahkan dari hasil wawancara Al Jazeera dengan Soe Tjen Marching: Revisiting an Indonesian massacre 50 years on. (http://www.aljazeera.com/indepth/features/2015/09/revisiting-indonesian-massacre-50-years-150930055803832.html)
 
http://www.dw.com/id/wawancara-dengan-soe-tjen-meninjau-kembali-pembantaian-50-tahun-lalu/a-18878888

IPT 1965, Intan: Tujuh Keluarga Saya Hilang, Tapi Saya Terus Mencari


Jumat, 27 Nov 2015 12:11 WIB - Quinawati Pasaribu
“Kalau kita punya seekor binatang yang mati saja kita gali lobang dan kita kubur. Apalagi ini manusia, apa memang ada hukum rimba yang terjadi? Sehingga hal ini boleh terjadi?"
Suasana sidang Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Foto: KBR

KBR, Jakarta - Intan, tak bisa menahan getir ketika bersaksi di Pengadilan Rakyat Internasional di Kota Den Haag, Belanda. 
“Kalau kita punya seekor binatang yang mati saja kita gali lobang dan kita kubur. Apalagi ini manusia, apa memang ada hukum rimba yang terjadi? Sehingga hal ini boleh terjadi? Sampai saat ini tujuh keluarga saya hilang tanpa jejak. Kami tak tahu di mana mereka berada. Kami tak tahu mereka mati atau hidup. Sebagai anak kami sangat sakit melihat yang terjadi ini. Sehingga saat itu saya berkata, ‘Tuhan berikan pada hamba umur panjang sehingga suatu ketika menyaksikan hal itu'. Dan hari ini saya hadir di sini, bukan karena kekuatan saya tapi karena Tuhan yang luar biasa.”
Dari balik tirai, ia menceritakan tujuh keluarganya yang hilang kala tragedi September 1965 merebak di sejumlah wilayah; Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (NTT). 
“Pada tanggal 27 September 1965, beliau menumpang kapal laut dan tiba di tempat tujuan pada tanggal 2 Oktober. Pada saat itu di tempat ini terjadi kejadian begitu heboh. Karena saya tinggal di lembah sehingga saya tak tahu apa yang terjadi. Setelah saya sampai ke pasar, saya berjalan, sepi, tetangga bilang ada tragedi G/30S. Saya bertanya apa itu G/30S? Kakak kamu sudah diangkat. Salah dia apa? Dia dipukuli dan ada di rumah sakit. Saya ke sana, ternyata dia tidak ada di rumah sakit. Katanya dia ada di kantor polisi.”
Ayah Intan adalah bekas anggota dewan dan pejabat keuangan di daerah. Tapi jauh sebelum itu, ayahnya merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI).

Hingga kemudian, tak hanya ayahnya yang ditangkap paksa, pun kakaknya juga bernasib sama.

Dan, berlanjut ke ibunya yang menjadi tahanan rumah.
“Karena kakak saya sudah hancur babak belur, sekarang papa saya diangkat. Seminggu kemudian, mama saya ditahan dengan catatan, papa saya adalah anggota PKI di mana terjadi gerakan 30S. Saya bertanya, darimana bapak tahu? Memang sudah diadili sehingga berani menahan? Seminggu kemudian mama saya jadi tahanan rumah. Seminggu kemudian, saya datang jenguk papa saya, katanya tidak ada lagi. Katanya ada di penjara Kupang. Tapi di penjara, mereka bilang tak ada. Saya terus mencari datang ke Kodim, apa salah mama saya sampai harus ditahan?”
Intan, tak henti-hentinya mencari tujuh keluarganya yang hilang.

Ia bahkan nekad mendatangi Kodim di wilayahnya demi mencari tahu keberadaan mereka. Tapi sial, tak ada jawaban yang bisa menunjukkan dimana jejak keluarganya.
“Kodim tetap mengatakan ibu ini terlalu rewel, saya terus bertanya, mencari dan mencari tanpa ragu. Semua orang takut, tapi saya tetap pergi. Dan papa saya ditahan dari tanggal 5 Oktober sampai 7 April, saya mencari tapi tak menemukan. Kemana dia dibawa? Demikian juga kakak saya dan om saya, dua orang sepupu saya, om tante saya. Jadi mereka ada tujuh orang yang hilang. Saya terus mencari di mana mereka, kalau mereka bersalah sudah diadili? Dan sekarang kalau ada, mereka ditahan di mana? Kalau sudah mati, dikuburu di mana?”
Keluarga Intan porak poranda, adiknya pun sempat ditahan dan dicekal bepergian hingga 1975.

Hingga kini, setengah abad berlalu sejak peristiwa 1965 pecah, tujuh keluarganya masih tak tahu dimana rimbanya.

Malah, cap sebagai anak Partai Komunis Indonesia (PKI), masih melekat.
“Dan sampai dengan hari ini, sebagai anak, keluarga, terus menjerit sampai kadang tetangga mencibir seolah kami ini penghianat bangsa dan negara. Tapi kami bersyukur, bahwa lewat sidang ini Tuhan berkenan bahwa anda boleh mendengarkan kesaksian saya.”
Tak hanya cap negatif itu, keluarga Intan juga tak bisa menduduki posisi di pemerintahan.
“Kadang-kadang ada sindiran yang datang bahwa inilah mereka pengacau penghacur dan diskriminasi pekerjaan tak boleh jadi PNS dan kalau toh ada pangkat yang ditingkatkan dicut, itu yang terjadi.”
Harapan adanya keadilan bagi tujuh keluarganya muncul dari Sidang Rakyat Internasional di Kota Den Haag, Belanda. 
“Bahwa setiap kesalahan, itu tentu harus ada peradilan. Sebab tanpa peradilan, kita tak bisa memvonis seseorang dengan cara menghilangkan nyawanya. Itu yang menjadi harapan kami, sehingga kami dapat menceritakan itu untuk didengar bahwa itu yang sesungguhnya terjadi dan sangat tidak manusiawi.”
Sepuluh saksi korban tragedi 1965 membeberkan semua kekejaman Orde Baru yang ketika itu baru saja menguasai pemerintahan.

Dan, kekejaman itu tak akan dilupakan selama tak ada keadilan bagi jutaan korban 1965 yang dibunuh, diadili tanpa proses pengadilan, dipaksa bekerja dan mengalami kekerasan seksual. 


Kamis, 26 November 2015

Mahasiswa UGM Teliti Keterlibatan Universitas Dalam Peristiwa 1965


26/11/2015

Illustrasi

Pasca reformasi 1998, studi yang menarasikan peristiwa genosida 1965 semakin sering bermunculan. Umumnya, narasi peristiwa penumpasan massal simpatisan komunis ini dikupas dari sisi individu korban. Padahal penumpasan ini juga ikut melibatkan universitas.

Pembahasan mengenai keterlibatan universitas dalam peristiwa ‘65 ini menjadi benang merah dalam diskusi bertajuk “Universitas di Persimpangan Zaman”, Selasa, (24/11/2015), di Gedung MAP UGM. Hadir sebagai pembicara Abdul Hamid, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah UGM, yang memaparkan hasil penelitiannya tentang keterlibatan universitas tersebut.

Menurut Hamid, menjelang terjadinya peristiwa 65, banyak universitas yang dijadikan alat politik oleh pemerintah. Universitas dikenai beban politik dengan cara-cara yang beragam.
“Perlu digaris bawahi bahwa pemerintah menjadikan universitas sebagai alat politik sejak masa Sukarno dengan jargonnya, universitas harus menjadi alat revolusi,” ujarnya.
Hamid menjelaskan, pada akhir masa pemerintahan Sukarno terjadi persaingan ketat antar partai-partai dalam melakukan kaderisasi di universitas. Salah satunya adalah Partai Komunis Indonesia, sebagai salah satu partai yang jumlah kadernya berkembang pesat.
“Strategi PKI sangat modern yaitu dengan membangun kader melalui institusi pendidikan, yaitu dengan mendirikan Universitas Rakyat,” ungkap Hamid.
Selanjutnya,pada masa awal pemerintahan Suharto berkuasa, jumlah universitas di Indonesia meningkat pesat. Universitas yang dianggap sebagai wadah bagi kalangan intelektual semakin menjadi sasaran partai-partai untuk mencetak kader.
“Dari yang awalnya jumlah universitas hanya 8 pada 1959 menjadi 39 universitas sampai periode 1965,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hamid menjelaskan, masuknya politik di universitas menyebabkan suasana akademik yang tidak kondusif. Secara garis besar organisasi terbagi menjadi dua golongan, agamis dan sekuler.
“Organisasi agamis meliputi HMI, PMII, IMM. Sedangkan organisasi nasionalis atau sekuler seperti GMNI, Germindo, dan lain-lain,” ujarnya.
Menurut Hamid, perang dingin antara blok Soviet dan Amerika juga berimbas sampai ke Indonesia. Namun di bawah kepemimpinan Suharto arus perpolitikan Indonesia berubah haluan ke blok Amerika. Sementara penumpasan terhadap simpatisan komunis (blok soviet) mulai didengungkan pemerintahan dengan selogan anti komunisme.
“Ada 14 universitas yang dibekukan, salahsatunya universitas Respublika atau yang dikenal saat ini Tri Sakti,” ujarnya.
Hamid menjelaskan bentuk penumpasan di universitas yaitu dengan terbitnya SK no 22 yang menyerukan setiap universitas melakukan mengumpulkan data riwayat mahasiswa. Mahasiswa yang diindikasi terlibat unsur komunis atau terbukti dari keluarga anggota PKI akan disingkirkan.
“Ada mahasiswa yang dibuang luar pulau, dikeluarkan, dan wajib lapor,” katanya.
Menurut data yang telah digali dalam penelitiannya, Hamid menemukan jumlah mahasiswa yang disingkirkan oleh masing-masing universitas paling besar adalah mahasiswa UGM. Ada 3059 mahasiswa dan 115 dosen atau staf UGM yang diawasi pemerintah karena terindikasi simpatisan komunis.
“Data tersebut merupakan data resmi yang dikeluarkan Humas UGM dan pada saat itu diterbitkan di koran Kedaulatan Rakyat,” ungkap Hamid.
Menurut Hamid, dampak dari peristiwa 65 yang dilakukan secara kelembagaan di universitas adalah hilangnya kebebasan kajian akademik.
 “Kita tahu sendiri banyak buku-buku yang dilarang beredar dan ada teori-teori sosial yang dilarang dipelajari,” ujarnya.
Sementara menurut keluarga korban pembunuhan massal di massa kelam Indonesia sebenarnya terjadi dua kali. Tahun 1948 dan 1965.

 Tahun 1948 para aktivis Partai Komunis melakukan serangkaian operasi, pembunuhan ke sejumlah tokoh di desa-desam yang dinilai tidak sevisi dengan Partai Komunis. (*)

Rabu, 25 November 2015

Sepenggal Kisah Untung Samsuri

Wednesday, November 25, 2015



Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya. Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.

Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.

Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.

Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. "Ibunya pemain wayang orang desa kami," kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.

Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, "Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri," kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan.

Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo. Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.

Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958, menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.

Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. 
"Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu." Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. "Pesta paling meriah waktu itu," kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.

Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. "Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung," kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen. Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan terpandang. "Dia punya banyak kuli," ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.

Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.

Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia mengenakan pakaian kebesaran militer. Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang. 
"Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan menyambut kedatangannya," kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.

Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. "Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar," kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang. Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.

Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.

Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali, yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di Heiho pada 1943. Setelah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel, dekat Semarang, Jawa Tengah.

Pada 1961, pangkatnya sudah mayor. "Ada satu melati putih di pangkatnya." Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya hutan-hutan dibuatnya benderang. "Belanda tertipu," kata Sadali. "Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke kota-kota." Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.

Prestasi di Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.

Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung. 
"Jenderal Untung dikenal karismatis," Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal berdekatan dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya Jenderal Untung. 
"Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat," ujar Asibun, 40 tahun.

Mereka bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli. Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G-30-S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.

"Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov," kata Syukur, yang kini 71 tahun. 
Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. "Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto." Sebaliknya, ia yakin Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab.

Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.

Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. 
"Ia menjadi kasepuhan atau paranormal," kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu.



Letkol Untung menandatangani Berkas Pemeriksaan atas dirinya disaksikan (kiri ke kanan) : Kapt. Moh. Isa, Sultoni, Serda Djumali, Serda Muchtar, dan Pelda Slamet Matono

Kol. Witono berdialoh dengan Untung

Untung makan dengan lahap setelah tertangkap
Letkol Untung ketika menjalani hukuman mati di salah satu tempat di Jabar

Sumber: Kisah dan Sejarah