Rabu, 25 November 2015

Sepenggal Kisah Untung Samsuri

Wednesday, November 25, 2015



Di Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya. Dusun yang tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.

Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil mengingatnya sebagai Kusmindar atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.

Dari percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.

Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. "Ibunya pemain wayang orang desa kami," kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.

Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, "Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri," kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan.

Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo. Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.

Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958, menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.

Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. 
"Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu." Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. "Pesta paling meriah waktu itu," kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.

Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. "Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung," kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen. Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan terpandang. "Dia punya banyak kuli," ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.

Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.

Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia mengenakan pakaian kebesaran militer. Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang. 
"Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan menyambut kedatangannya," kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.

Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. "Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar," kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang. Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.

Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.

Di mata Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali, yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu. Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di Heiho pada 1943. Setelah Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas di Gombel, dekat Semarang, Jawa Tengah.

Pada 1961, pangkatnya sudah mayor. "Ada satu melati putih di pangkatnya." Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari mulut Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya hutan-hutan dibuatnya benderang. "Belanda tertipu," kata Sadali. "Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke kota-kota." Entah dengan cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.

Prestasi di Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel. Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan pengawal Tjakrabirawa.

Hingga dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun, bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung. 
"Jenderal Untung dikenal karismatis," Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal berdekatan dengan rumah Untung, memuji. Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikut menyebutnya Jenderal Untung. 
"Paling tidak ada orang Kebumen yang berhasil membebaskan Irian Barat," ujar Asibun, 40 tahun.

Mereka bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli. Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G-30-S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.

"Sekitar seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov," kata Syukur, yang kini 71 tahun. 
Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar Untung terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. "Dia hanya alat atau korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto." Sebaliknya, ia yakin Untung orang yang jujur dan bertanggung jawab.

Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi pahlawan pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajul itu terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian, kata dia, Untung nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.

Yang lebih unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. 
"Ia menjadi kasepuhan atau paranormal," kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu.



Letkol Untung menandatangani Berkas Pemeriksaan atas dirinya disaksikan (kiri ke kanan) : Kapt. Moh. Isa, Sultoni, Serda Djumali, Serda Muchtar, dan Pelda Slamet Matono

Kol. Witono berdialoh dengan Untung

Untung makan dengan lahap setelah tertangkap
Letkol Untung ketika menjalani hukuman mati di salah satu tempat di Jabar

Sumber: Kisah dan Sejarah  

0 komentar:

Posting Komentar