Kamis, 12 November 2015

Penggalan Episode Terakhir Saksi Hidup 1965 Martin Aleida

Gilang Fauzi , CNN Indonesia | Kamis, 12/11/2015 17:33 WIB




Jakarta, CNN Indonesia -- Martin Aleida ditangkap bersama enam orang kawannya dalam penangkapan besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang diduga terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Penulis yang akrab dengan dunia sastra sejak muda itu ditangkap karena pernah bergabung dengan majalah kebudayaan Zaman Baru terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). 

Pada malam pekat pertengahan tahun 1966, Martin dibawa ke sebuah gedung sekolah tua berkeliling pagar kawat berduri persis di seberang Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Di kamp konsentrasi itu, Martin mendapati ada 300 lebih orang yang bernasib sama dengannya.


Siksaan dalam berbagai cara menimpa Martin setiap kali dia menjalani interogasi di Markas Komando Distrik Militer 0501. Interogasi kerap dilakukan tengah malam. Hal itu pula yang membuat para tahanan menamakannya Operasi Kalong.

Tidak jauh dari lokasi interogasi, ada sebuah dapur yang menjadi tempat para tahanan perempuan. Martin mendapati istri dari elite pemimpin PKI Njoto, Soetarni Soemosoetargijo, turut disekap di sana bersama lima anaknya yang masih di bawah umur.

"Semua aktivis perempuan ada di sana, termasuk kekasih yang kemudian menjadi istri saya," kata Martin dalam kesaksian yang menggetarkan di Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda.

Penyiksaan paling parah dialami oleh kolega Martin sekaligus Pemimpin Redaksi Zaman Baru. Martin melihat kolega kerjanya berpeluh darah tiap kali usai menjalani interogasi.

Rekan kerja Martin pasang badan memikul tanggung jawab atas nasib yang menimpa rekan-rekannya. Alhasil, siksaan yang didapat lebih parah: disetrum, masuk tong air dingin, menghabiskan satu piring sambal, dan dicambuk menggunakan buntut ikan pari.

"Setiap kali pulang ke kamar tahanan usai diinterogasi, dia akan membuka baju, dan dalam diam dia mengeringkan punggungnya yang masih bercucuran darah akibat cambukan," kata Martin di hadapan para hakim, jaksa penuntut umum, dan hadirin sidang.


Martin mengaku tidak bisa menjelaskan kenapa dia dibebaskan lebih cepat dibanding rekan-rekannya. Martin kala itu mendekam tidak lebih dari satu tahun.

Martin menduga dia dibebaskan lebih cepat karena aparat tidak mendapatkan data atau informasi apapun darinya, selain surat wasiat sang ayah yang pamit pergi untuk beribadah haji dan surat-surat cinta dari dan untuk kekasihnya.

"Tapi setelah dibebaskan, saya menemukan penjara yang lebih besar daripada penjara yang hanya satu sel. Di luar, saya tidak punya teman," kata Martin.

Di luar tahanan, Martin limbung. Dia bahkan kerap menghabiskan hari dengan menyusuri rel kereta api berpuluh-puluh kilometer hanya untuk mencari kawan.

Martin tak kuasa meratapi nasibnya sendiri, karena selepas dari tahanan dia tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan yang menjadi satu-satunya keahlian: menulis.

Tapi Martin tak mau berkubang dalam tangisan. Dia pun lantas mulai menulis cerita-cerita pendek dengan nama samaran Nurlan. 

Sejumlah karyanya mendapatkan pengakuan dan dimuat di sejumlah majalah sastra. Karya-karya itu pula yang mengantar dia bekerja di Majalah Tempo dan mengembalikan profesinya sebagai seorang wartawan.


Martin menyadari pengakuannya di Pengadilan Rakyat Internasional 1965 bakal membuat gerah pemerintah Indonesia. Tapi dia sudah menyiapkan mental sekiranya saat pulang ke tanah air diinterogasi atau bahkan ditahan.

"Ini adalah episode terakhir dalam hidup saya, dan saya harus memberikan sesuatu kepada bangsa saya," kata Martin di arena pengadilan usai menjalani persidangan.

Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag telah membuat Martin "Merasa dikelilingi satu dunia yang mengulurkan tangan kepada saya." Ini dirasa Martin sebagai sebuah berkah yang tidak ia dapatkan di negerinya sendiri.


Martin tetap pada pendirian bahwa komunisme bukanlah sebuah paham yang mesti dilawan, kecuali orang-orang yang menata pemerintahan diisi oleh orang-orang yang korup.

Dia pun masih meyakini, seandainya PKI masih ada, partai komunis itu bisa dan mampu membangun tatanan bangsa baru yang bernama sosialisme.

"Kalau itu gagal dan saya ditertawakan oleh dunia, tidak apa-apa. Paling tidak, saya sebagai manusia sudah punya cita-cita," kata Martin.


Indonesia menjadi terdakwa dalam Pengadilan Rakyat Internasional 1965. Negara dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda yang menyasar anggota PKI serta orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya. 

Pengadilan Rakyat 1965 diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia untuk mengakui kejahatan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya usai G30S –tragedi berdarah pada malam 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.

Sidang rakyat ini, kata Jaksa Penuntut Umum IPT 1965 Todung Mulya Lubis, digelar bukan untuk membela PKI, melainkan untuk mengungkap kebenaran dalam kasus kejahatan kemanusiaan periode 1965 seperti yang disimpulkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam hasil investigasinya.


Sumber: CNN Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar