HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Selasa, 24 Februari 2015

Komnas HAM Akan Temui Polri Soal Larangan Diskusi Korban 65

Selasa, 24 Februari 2015 | 19:39 WIB 

Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya. ANTARA/Fanny Octavianus

TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Siti Noor Laila mengatakan dalam waktu dekat, pihaknya berencana menggelar pertemuan dengan Markas Besar Kepolisian untuk membicarakan sejumlah aksi kekerasan terhadap diskusi tentang korban 1965.

“Komnas berharap polisi punya standar bersama di seluruh Indonesia dalam memberi pengamanan terkait diskusi,” kata Siti saat dihubungi, Selasa, 24 Februari 2015. Siti berharap ke depan tak ada lagi diskusi tentang korban 1965 yang dibubarkan.

Pada Selasa, sekelompok massa termasuk Front Pembela Islam Surakarta melarang seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bersama Korban 65 di Surakarta. Seminar dengan tema Layanan Kesehatan Korban Tragedi 1965/1966 untuk Mewujudkan Rekonsiliasi tersebut dinilai menghidupkan kembali komunisme.

Sebelum di Solo, aksi pembubaran serupa juga terjadi di Bukittinggi, Ahad lalu. Sekelompok masyarakat membubarkan paksa diskusi yang digelar Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 di Bukik Cangang Kayu Ramang Kecamatan Guguk Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Pembubaran itu juga didukung kepolisian setempat.

Siti mengatakan lembaganya mengecam pelarangan dan pembubaran seminar tentang korban 1965 yang dilakukan sekelompok orang di Solo. Menurut Siti, aksi itu merupakan bentuk pelanggaran hak berekspresi, berserikat dan berkumpul.

Siti menyayangkan lambatnya respons pemerintah dalam menuntaskan kasus 1965. Selama ini rekonsiliasi yang diupayakan Komnas HAM sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah menunjukkan titik terang.

Menurut Siti, rekonsiliasi akan membantu menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa 1965.

IRA GUSLINA SUFA

https://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/24/063645005/komnas-ham-akan-temui-polri-soal-larangan-diskusi-korban-65

Senin, 23 Februari 2015

Diskusi Korban 65 Dibubarkan, Nusyahbani Lapor ke Jokowi

Senin, 23 Februari 2015 | 21:46 WIB 

Kuasa hukum Abraham Samad, Nursyahbani Katjasungkana, dikelilingi awak media terkai pemanggilan kliennya oleh kepolisian di Gedung KPK, Jakarta, 17 Februari 2015. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

TEMPO.CO, Padang - Nusyahbani Katjasungkana akan mengirim surat ke Presiden Joko Widodo dan Mabes Polri terkait pembubaran diskusi rehabilitasi korban tragedi 1965 Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. "Saya akan surati Jokowi dan Mabes hari ini," ujar Nursyahbani, Senin 23 Februari 2015.

Jika tak ada tanggapan yang memuaskan, Nursyahbani akan membawa persoalan ini ke lembaga HAM internasional. Nursyahbani ikut hadir dalam diskusi tersebut.

Pada Ahad lalu, acara diskusi tentang rehabilitasi korban tragedi pembantaian terhadap pengikut PKI 1965 di Bukittinggi, Sumatera Barat, dibubarkan. Acara tersebut digelar YPKP.

Menurut Nursyahbani, para korban merasa terancam dengan kejadian tersebut. Apalagi kebanyakan mereka telah berusia 70 hingga 90 tahun. "Ini menambah trauma mereka. Padahal trauma mereka baru akan sembuh," ujarnya.

Menurut Nursyahbani, kepolisian tidak mampu memberikan keamanan dan perlindungan terhadap korban yang pada umumnya lansia. "Ibu-ibu berusia 80 tahun itu tunggang langgang lari. Ada yang ngumpek di toilet," ujarnya. Mereka ketakutan.

Kata Nursyahbana, mereka itu bukan penjahat. Malah mereka korban 1965. Makanya negara harus memberikan perawatan kesehatan, dan menyebuhkan trauma psikologis yang dialaminya.

Kepala Kepolisian Resor Bukittinggi, Amirjan, menyangkal telah menerima surat pengajuan izin diskusi itu. Ia juga membenarkan ada beberapa kelompok di masyarakat setempat yang tidak menerima pelaksanaan kegiatan tersebut. "Ada kegiatan yang diduga gerakan PKI," ujarnya. Menurut versinya, setelah dimediasi, akhirnya kegiatan tersebut dibubarkan.

ANDRI EL FARUQI
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/23/058644703/diskusi-korban-65-dibubarkan-nusyahbani-lapor-ke-jokowi

Warga Bubarkan Diskusi Rehabilitas Korban Tragedi 1965

Senin, 23 Februari 2015 | 09:28 WIB 

Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya. ANTARA/Fanny Octavianus

TEMPO.CO, Padang - Diskusi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 di Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguk, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, dibubarkan warga pada Ahad, 22 Februari 2015. 

"Ya, kita dibubarkan paksa oleh warga," ujar Ketua YPKP 1995/1966 Sumatera Barat Nadiani, Senin, 23 Februari 2015.

Padahal, kata Nadiani, surat pemberitahuan kegiatan ini sudah dikirim ke kepolisian dan Pemerintah Kota Bukittinggi. Kegiatan ini mengagendakan konsultasi dan sosialisasi Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi korban tragedi kemanusiaan 1965-1966.

Menurut dia, diskusi ini membicarakan rehabilitasi para korban tragedi kemanusiaan 1965-1966. Diskusi ini tak berkaitan dengan ideologi Partai Komunis Indonesia (PKI). "Kita ingin merehabilitasi korban. Para korban yang telah lanjut usia akan diberi bantuan psikologi dan kesehatan," ujarnya.

Nadiani, yang sudah tinggal 60 tahun di kawasan itu, mengaku terkejut dengan kejadian ini. Ia menyesalkan sikap warga. "Kami hanya ingin memberi bantuan kepada korban kejahatan '65-66," ujarnya.

Adapun Kepala Kepolisian Resor Bukittinggi Amirjan menyatakan penyelenggaraan kegiatan itu tak berizin. Sebab, dia tak menerima surat izin pelaksana kegiatan tersebut. "Belum masuk ke kita," ujarnya, Senin, 23 Februari 2015.

Amirjan mengatakan ada beberapa kelompok masyarakat yang menolak kegiatan tersebut karena menduga ada pembahasan ihwal komunisme. "Ada kegiatan yang diduga gerakan PKI," ujarnya. Menurut Amirjan, setelah polisi melakukan mediasi, kegiatan tersebut akhirnya dibubarkan.

ANDRI EL FARUQI

https://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/23/078644528/warga-bubarkan-diskusi-rehabilitas-korban-tragedi-1965

Acara Korban '65 Dibubarkan Aparat dan Preman

Senin, 23 Februari 2015 | 08:48 WIB 

Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya. ANTARA/Fanny Octavianus

TEMPO.COJakarta - Tindak kekerasan terhadap korban peristiwa 1965 kembali terulang. Kali ini, ratusan preman dan aparat kepolisian membubarkan paksa acara yang digagas Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada Ahad, 22 Februari 2015.

Kepala Biro Pemantauan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menuturkan peristiwa itu terjadi saat YPKP menggelar acara sosialisasi Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Sekaligus temu korban '65 Sumatera," katanya saat dihubungi, Senin, 23 Februari 2015.

Acara itu awalnya akan diselenggarakan di pendopo kantor Bupati Padang Pariaman. Namun, beberapa aparat kepolisian dan tentara menekan Bupati Ali Mukhni agar menolak rencana itu. Karena itu, YPKP harus mencari lokasi lain.

Kemudian panitia sepakat menggelar acara tersebut di rumah salah seorang anggota YKPP di Bukittinggi. Feri hadir dalam acara tersebut bersama Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai, Ketua Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, dan tokoh wanita, Nursyahbani Katjasungkana.

Feri mengatakan, sekitar pukul 10.00 WIB, tiba-tiba ratusan preman menggeruduk lokasi penyelenggaraan acara itu. "Mereka dimobilisasi aparat," katanya. Kelompok preman tersebut memaksa masuk ke rumah untuk membubarkan acara.

Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Namun, kata Feri, polisi sudah jelas membiarkan tindak kekerasan tersebut terjadi. "Mereka hanya diam saat melihat lansia didorong-dorong dan diinjak," katanya.

Feri mengatakan Kontras akan mendatangi Markas Besar Kepolisian RI untuk mengadukan insiden ini. Feri melanjutkan, seharusnya aparat kepolisian dan tentara melindungi masyarakat, dan bukan mendukung premanisme.

SYAILENDRA
 
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/23/078644513/acara-korban-65-dibubarkan-aparat-dan-preman

Rabu, 18 Februari 2015

HSBC Tersangkut Skandal Pencucian Uang di Swiss

Senin, 16 Februari 2015

Jalan Sunyi Sutan Sjahrir

Rabu, 11 Februari 2015

Delapan Tahapan Genosida

11 February 2005

Genosida berarti suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok kepercayaan. Genosida adalah suatu proses yang terdiri dari delapan tahap. Tahapan- tahapan ini terjadi berurutan dan dapat diprediksikan sebelumnya.
Penggolongan atau klasifikasi : dalam suatu masyarakat yang majemuk, sering terjadi suatu pembedaan antara “kita” dan “mereka”. Perbedaan itu didasari oleh suku, ras, agama, golongan serta ideologi. Penggolongan Dayak dan Madura, Islam dan Kristen, Pribumi dan non- pribumi merupakan tahap awal genosida yang bisa dicegah dengan adanya suatu lembaga, kegiatan ataupun cara pandang yang mampu mengolah dan memfasilitasi perbedaan itu menjadi suatu hal yang positif. Dalam hal perbedaan suku, lembaga agama bisa memfasilitasi perbedaan itu. Dan dalam hal perbedaan agama, negaralah yang mampu memfasilitasinya, walau bukan menjadi satu- satunya pihak yang berperan.
Simbolisasi : kita memberi nama atau simbol tertentu untuk perbedaan itu. Banyak julukan- julukan yang ada di masyarakat seperti “cina” untuk warga keturunan ras Tionghoa, julukan “kaum salibis” untuk menggambarkan warga Kristen, “ekstrimis”, “komunis”. “fundamentalis” dan sebutan- sebutan lainnya untuk membedakan antar kelompok dan menerapkan julukan itu kepada setiap anggota kelompok. Simbolisasi adalah suatu hal yang lumrah dan tidak selalu berbuntut genosida, kecuali jika meningkat ke tahap berikutnya, dehumanisasi. Simbolisasi akan berpeluang besar meningkat ke tahap berikutnya jika bercampur dengan kebencian. Simbolisasi dapat dicegah misalnya dengan melarang secara resmi simbol- simbol kebencian, atau melarang kampanye- kampanye kebencian yang sering terjadi di masyarakat saat ini. Simbol swastika Nazi misalnya, menjadi simbol yang dilarang untuk dipergunakan.
Dehumanisasi : artinya kurang lebih “menurunkan derajat kemanusiaan”, “tidak menghargai kemanusiaan seseorang” atau “meniadakan hak pada seseorang”. Suatu kelompok mengingkari kemanusiaan kelompok lainnya, menganggapnya bukan manusia, sehingga meniadakan rasa berdosa dalam pembunuhan terhadap kelompok itu. Pada tahap ini propaganda- propaganda melalui media massa, selebaran atau sarana- sarana umum lainnya digunakan untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain. Guna mencegah tahap ini berkembang, haruslah dibedakan antara kampanye- kampanye kebencian dengan kebebasan mengutarakan pendapat. Kampanye kebencian bukanlah demokrasi, sehingga media massa yang menyebarkan kebencian harus ditutup, dan propaganda kebencian haruslah dilarang. Kejahatan dan kekejaman karena kebencian haruslah segera dihukum.
Pengorganisasian : Genosida selalu terorganisir, biasanya oleh negara, terkadang dilakukan oleh kelompok informal seperti milisi dan pasukan sipil atau oleh teroris. Pengorganisasian tercermin dari adanya pelatihan, pembekalan senjata dan perencanaan genosida. Dalam kasus Armenia dan Nazi, suatu pasukan khusus dibentuk untuk melakukan genosida. Untuk mencegah tahap ini berkembang, kelompok informal seperti milisi bersenjata haruslah dilarang keberadaannya. Perserikatan Bangsa- Bangsa harus mengusahakan agar penjualan senjata ke negara- negara yang terlibat genosida tidak terjadi.

Polarisasi/pemecahbelahan
: kelompok ekstrimis menyiarkan propaganda- propaganda yang bersifat memecah belah, hukum atau peraturan sering digunakan. Misalnya melarang perkawinan campur atau interaksi sosial antar kelompok yang berbeda. Kaum moderat, yang tidak ingin terlibat dalam situasi kebencian menjadi sasaran intimidasi dan pembungkaman. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberi perlindungan serta dukungan terhadap golongan moderat atau organisasi kemanusiaan. Jika sampai kelompok ekstrimis melakukan kudeta, hendaknya dikenai sanksi internasional.
Persiapan : pada tahap ini terjadi pengidentifikasian dan penyortiran terhadap korban, daftar- daftar korban dibuat dan disebarkan. Anggota dari kelompok korban dipaksa untuk mengenakan atribut tertentu. Korban- korban ini lalu dikelompokkan dan dikirim ke kamp- kamp konsentrasi atau dibuang ke daerah yang minus sehingga menderita kelaparan dan kekurangan kebutuhan hidup. Pada tahap ini, peringatan bahaya Genosida harus segera dibuat dan ditindaklanjuti, baik oleh PBB maupun badan- badan Internasional lainnya. Pengorganisasian kelompok humanitarian juga merupakan hal yang penting untuk membantu para korban dalam hal asistensi, advokasi, kampanye dll. Sebelum pembantaian simpatisan PKI tahun 1965 terjadi, daftar anggota- anggota PKI disebarkan oleh CIA dan daftar ini dipakai oleh angkatan darat guna melikuidasi PKI. Sedangkan contoh bagaimana korban dikirim ke daerah minus adalah ketika orang- orang keturunan Armenia dipaksa mengungsi ke daerah gurun oleh pemerintahan Turki.
Pembasmian : suatu pembunuhan massal yang disebut Genosida dimulai, seringkali secara legal (contoh pembantaian Nazi oleh Yahudi dan pembantaian orang Armenia oleh pemerintahan Turki). Disebut pembasmian karena bagi para pembasmi, hal ini mirip tindakan membasmi hama atau binatang, dimana korban tidak lagi dihargai eksistensi kemanusiaannya. Jika pembunuhan disponsori oleh negara, Angkatan Bersenjata yang bertindak melakukan hal ini dibantu oleh milisi sipil bersenjata. Walaupun tidak terlibat langsung, jika negara gagal melindungi warga negaranya dari ancaman genosida dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh kelompok lain, maka negarapun harus bertanggung jawab atas kegagalannya ini. Oleh karena itu sangatlah penting peran negara dalam mencegah perkembangan tahap genosida sedini mungkin. Terkadang genosida disusul tindakan balasan oleh kelompok yang dirugikan, sehingga mengakibatkan lingkaran kekerasan berlanjut. Dalam mengatasi pembasmian, diperlukan suatu kekuatan militer bersenjata yang bertugas mencegah berlanjutnya kekerasan. Suatu daerah bebas yang bisa menampung pengungsi perlu diadakan dan dilindungi oleh suatu pasukan internasional. Campur tangan internasional mendesak dalam hal ini.
Penyangkalan : selalu menyusul setelah terjadinya genosida. Penyangkalan ini merupakan indikasi bahwa genosida akan berlanjut. Pelaku genosida akan berusaha menghilangkan bukti- bukti misalnya dengan pembakaran jenazah, atau intimidasi dan ancaman terhadap para saksi. Pada genosida yang terencana rapi, biasanya penghilangan bukti ini sudah menjadi satu paket dalam kegiatan pembasmian, misalnya setelah korban- korban dihabisi, tubuh mereka lalu dikremasi atau dikuburkan di suatu tempat khusus yang sulit ditemukan. Para pelaku menyangkal keterlibatan mereka, dan sering justru menyalahkan para korban atas apa yang terjadi. Mereka mempersulit proses penegakan hukum dan terus berkuasa sampai mereka diturunkan paksa dan menjadi pelarian. Mereka tetap saja susah untuk diadili seperti apa yang terjadi pada Pol Pot atau Idi Amin, kecuali mereka tertangkap dan diadili. Pengadilan seperti yang terjadi terhadap pelaku di Yugoslavia atau Rwanda mugnkin saja tidak berhasil menyeret seluruh pelaku, namun dengan kemauan politik, beberapa dari mereka bisa diadili dan menjadi contoh agar di masa depan kejadian serupa tidak terulang kembali.
Disadur dari tulisan Dr. Gregory H. Stanton, Presiden Genocide Watch
Informasi lebih lanjut mengenai Genosida bisa dilihat di www.genocidewatch.org 

Rabu, 04 Februari 2015

“Penguburan Kembali Sitaresmi” – Cerpen yang Terinspirasi Kuburan Massal Plumbon

4 FEBRUARI 2015 | Yunantyo AS

Yang akan Anda baca ini adalah cerpen karya sastrawan Triyanto Triwikromo, menurut pengakuan penulisannya sendiri, cerpen tersebut terinspirasi kegiatanku bersama rekan-rekanku di Semarang, Unu Herlambang, Rian Adhivira, Setya Indra Arifin, Said Muhtar, Hasan Djajadiningrat, David Narendra, Exsan Ali, Heinrich Seta, Suluh Wening, Rama, M Syafig, dll, dalam usaha-usaha pemakaman ulang secara layak korban pembunuhan di kuburan massal tepi hutan jati Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Tanggal 24 Oktober 2014 saya bersama sejumlah penduduk Plumbon telah mengantar Triyanto Triwikromo dan sejarawan Rukardi ke lokasi kuburan massal korban Peristiwa 1965 tersebut, untuk memperlihatkan secara langsung situasi alam dan lingkungan masyarakat masyarakat Plumbon kepada Triyanto da Rukardi.
Triyanto Triwikromo meninjau langsung lokasi kuburan massal di Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, 24 Oktober 2014.
Tanggal 6 November 2014 situs bersejarah kuburan massal tersebut kami laporkan ke Komisi Nasional Hak Nazasi Manusia (Komnas HAM) yang laporannya kami tembuskan ke Kontras Jakarta dan beberapa LSM HAM lainnya dan telah mendapat respons positif dari Kontras (Fery Kusuma) dan Ikohi (Mugiyanto).Saat-saat ini saya dkk menelusuri keluarga korban berkaitan dengan upaya permohonan penetapan pemakaman ulang secara layak ke Pengadilan Negeri Semarang. Cerpen Triyanto Triwikromo berjudul “Pemakaman Kembali Sitaresmi” telah dimuat harian Kompas edisi Minggu 1 Februari 2015 di rubrik “Seni” halaman 27. Triyanto Triwikromo telah berterima kasih kepadaku karena telah menunjukkan dan mengantarkannya ke lokasi kuburan massal. Berikut di bawah ini materi cerpen yang bersangkutan. Selamat membaca!
***
SELAMA 50 tahun aku dipaksa menjadi orang bisu. Selama 50 tahun warga kampung mungkin sudah menganggap aku sebagai batu berlumut. Namun karena kau bersama puluhan anak muda tiba-tiba berniat membongkar gundukan menyerupai kuburan dan ingin memakamkan kembali siapa pun yang dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di Bukit Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada 24 perempuan tangguh itu kepadamu.
Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit kisah sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di hutan. Aku tak akan berkisah tentang perempuan-perempuan yang bisa berubah jadi lembu-lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar rerimbun pohon jati.
”Tetapi orang-orang sudah telanjur percaya pada cerita lama. Orang-orang telanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu bersama perempuan-perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel. Orang juga percaya Lembulunyu—yang bisa menghilang dan menyusup ke tubuh lembu paling tambun saat dikejar-kejar musuh—tak ditembak oleh serdadu, tetapi minum racun bersama 23 perempuan lain setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari 100 serdadu dengan menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,” katamu.
”Kau percaya pada kisah konyol yang diembuskan oleh para serdadu culas yang sedang mabuk itu?”
”Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukankah kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menakjubkan?”
Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian dalang bernama Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau ketahui sebagai sinden dan penabuh gamelan itu.
”TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”
Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa memergoki beberapa jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bisa menghitung berapa tentara yang pethenthengan sebelum mereka menghajar kepala-kepala ringkih dengan gagang bayonet.
Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh dan tak berceceran—kecuali kepala Sitaresmi—saat dihantam beberapa peluru serdadu.
”Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”
Dalang perempuan asal Kendal yang mahir mengoprolkan wayang dengan sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam karet tak tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh.
”Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”
Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit memercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau percaya atau tidak. Aku sekadar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi dan 23 perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa Sampun Pejah, mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menghina Gusti Allah.
Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini hanyalah kisah biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap tubuh tangguh istri Yudistira itu.
”Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, ”Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”
Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu tidak bilang, ”Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia—sebagaimana Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—tak berkutik saat Dursasana dan Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak sanggup menolongku?”
”Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit Mangkang?”
Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap alasan bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka sebagai tukang santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia sebagai penyebar agama sesat.
”Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak bersalah?”
Tentu saja dia tidak bersalah.
”Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan Sitaresmi?”
Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan apa pun yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat mendengarkan kisah bunyi klonthang-klonthang yang berdentang teramat keras ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri—istri Batara Indra—yang tak akan bisa dibunuh oleh manusia sesakti apa pun.
”Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing, ”tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus dibantai dan dikuburkan secara paksa?”
Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun peluru serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak mengikat tubuh Sitaresmi di pohon jati.
”Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.
Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.
”Tusuk matanya!”
Ilustrasi cerpen "Penguburan Kembali Sitaresmi" yang dimuat harian Kompas, 1 Februari 2015.
Ilustrasi cerpen “Penguburan Kembali Sitaresmi” yang dimuat harian Kompas, 1 Februari 2015.
Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya terlihat semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi menyanyikan tembang ”Maskumambang”. Tembang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus meh pejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.
Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak rupa-rupanya tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, ”Jika salah satu dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden, yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah menghabisi dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Sitaresmi!”
Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka belati.
Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan kencana yang sangat mereka kasihi.
”Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak.
Tiga sinden kian tegang. Mereka bergeming. Mereka ketakutan. Mereka gemetar.
”Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.
Di luar dugaan, tiga sinden itu justru berbalik ke arah penembak dan berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh para sinden. Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah mengucur di antara hujan yang terus mengguyur.
”Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu Tembak.
Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi, Sitaresmi memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba para penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka beramai-ramai mengencingi timah pembunuh itu.
”Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.
Apakah perlu kuceritakan?
”Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apa pun yang terjadi. Siapa pun akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu berlebihan.”
Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada cerita tentang Lembulunyu dan lebih memilih mengisahkan kepada siapa pun kisah Sitaresmi.
”Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan berhadapan dengan orang yang tidak percaya pada kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap benar, sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, aku yakin, hanya terjadi di kepalamu. Kau tidak bisa melawan mitos dengan mitos. Kau jangan terlalu percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya saksi. Bisa saja akan ada saksi lain yang akan menceritakan penembakan Sitaresmi dan 23 perempuan itu dalam versi lain.”
Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Kalaupun ada saksi lain, mereka—yang dipaksa menggali makam dan mengubur mayat-mayat berserakan—toh sudah mati diberondong senapan.
Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan kepadamu, tak ada gunanya lagi kisah ini ditutup-tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika kau bersama Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih akan membongkar makam dan menguburkan tulang-tulang mereka kembali dengan doa yang sebenar-benar doa. Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka. Aku tahu membongkar makam berarti membongkar hal-hal lain. Membongkar kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk orang-orang yang masih hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu akan ganti dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin juga ditembak mati.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu dibantai layak anjing buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya ingin menjadi saksi hidup bagi pembongkaran, penguburan kembali tulang-belulang, pengiriman doa bagi para arwah, dan senyum manis terakhir Sitaresmi.
Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 tahun dikubur di bawah rerimbun pohon jati, ketika semua tulang-belulang 23 perempuan lain membusuk dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan berubah. Tubuhnya tak membusuk. Tak ada lubang bekas peluru di tubuhnya yang berbau harum itu. Tak ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang menggerogoti. Tak ada…
Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan membisu lagi. Aku tak akan bicara lagi. Aku takut, seperti dulu, mereka memaksaku minum racun lagi…
Sumber: YunantyoWeblog 

Selasa, 03 Februari 2015

Film tentang Pembantaian 1965 di Indonesia Dipuji di Swedia


Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia | Selasa, 03/02/2015 20:00 WIB

Poster publikasi pemutaran dan diskusi film Senyap alias Look of Silence. (Dokumentasi: LPPM Sintesa)

Jakarta, CNN Indonesia -- Film yang berkisah soal sejarah kelam pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) menuai pujian di dunia. Setelah berhasil memenangi penghargaan tertinggi dari juri di Festival Film Venesia, kini giliran ajang film di Swedia yang terkagum-kagum akan The Look of Silence, alias film Senyap.

Film garapan sutradara Joshua Oppenheimer itu mendapat penghargaan Film Dokumenter Terbaik di Goteborg Film Festival, Swedia, Senin (2/2). The Look of Silence merupakan sekuel film Oppenheimer sebelumnya, yang berjudul The Act of Killing alias Jagal.

Kalau The Act of Killing bercerita dari sisi Anwar Ko Go yang mewakili masyarakat pembantai para terduga PKI, The Look of Silence lebih humanis.

Oppenheimer "meminjam" sudut pandang Adi Rukun, seorang ahli kaca mata di Deli Serdang yang kakaknya menjadi korban keganasan Negara pada PKI. Adi menemui satu per satu pembantai kakaknya, menjemput detik demi detik nyawa sang kakak dalam memori mereka.
"Sampai sekarang yang mendapat stigma negatif tetap korbannya, tapi saya tidak mau anak saya berpandangan negatif terhadap PKI," ujar Adi dalam pemutaran perdana film The Look of Silence di Taman Ismail Marzuki, tahun lalu. 
Ia ingin meluruskan sejarah yang diputarbalikkan selama sekian lama oleh Orde Baru. Sekaligus ingin membuka mata masyarakat bahwa pembantai PKI 1965 yang disebut-sebut sebagai pembela negara sejatinya telah "dicuci otak" dengan tujuan tertentu.

Oppenheimer, sutradara asal Amerika menggarap The Look of Silence bersama sekelompok kru Indonesia yang hanya mau disebut anonim. Riset dan pendekatannya tidak singkat.

Oppenheimer pernah mengatakan, kedua filmnya bertujuan membuka sejarah agar pemerintah sekarang menyadari kesalahannya dan meminta maaf, bukan sekadar mengorek luka lama dan menyebarkannya ke mata dunia.

Di Indonesia sendiri, The Look of Silence bisa diputar secara terbatas. Namun, beberapa kali pemutaran terpaksa batal karena mendapat serangan, seperti di Malang dan Yogyakarta.

Sayang, tak seperti The Act of Killing yang berhasil masuk nominasi Academy Awards untuk Fikm Dokumenter Terbaik, The Look of Silence hanya berjaya di festival-festival. The Act of Killing juga tak berhasil membawa pulang Piala Oscar tahun lalu, karena dikalahkan oleh film lain, 20 Feet from Stardom.

The Look of Silence bukan satu-satunya film dengan isu serius dan mendalam yang memenangi Goteborg Film Festival. Dalam festival yang berlangsung 23 Januari hingga 2 Februari 2015 itu, In Your Arms menjadi Film Terbaik. Film garapan sutradara berdarah Denmark, Samanou Acheche Sahlstroma itu berkisah soal euthanasia atau suntik mati.

Mengutip Variety, kemenangan membuatnya layak atas hadiah sebesar US$ 120 ribu. Sedangkan Ingmar Bergman International Debut Award jatuh kepada film The Lesson, yang bercerita soal guru di provinsi di Bulgaria yang terbelit utang.

In the Crosswind, film garapan Martti Helde menjadi Film Fitur Terbaik. Besutan sutradara asak Estonia itu bercerita soal penduduk di Baltik yang pada musim panas 1941 telah dideportasi ke Siberia. Mereka juga mendapat titah untuk dibunuh dari pemimpin Soviet, Joseph Stalin.

Sementara itu, The Swedish Church’s Angelos Award diberikan kepada film yang digarap Magnus Gertten, Every Face Has a Name. Film itu menggunakan cuplikan sesungguhnya dari arsip sejarah tentang kamp konsentrasi Jerman yang datang ke Malmo tahun 1945.

Penghargaan lainnya, Sven Nykvist Cinematography Award diberikan kepada film drama remaja, They Have Escaped. Penghargaan juri jatuh je tangan sutradara John Skoog untuk film Swedia, Reduit (Redoubt), sementara penghargaan publik diperuntukkan bagi film garapan Amanda Kernell, Northern Great Mountain.

Akhirnya, Mai Zetterling Scholarship diberikan kepada sutradara Swedia, Mans Mansson lewat filmnya Stranded in Canton.

(rsa/vga)