HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 22 November 2013

Memahami Operasi Strategi Devide et impera




Mendengar frasa devide et impera tentu bukan hal yang asing bagi kita semua, dalam pelajaran sejarah di sekolah dasar dan menengah kalimat ini sering disebut-sebut. Devide et impera dalam pemahaman kita seringkali diringkas dalam istilah politik pecah belah atau politik adu domba (KBBI). Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan strategi kolonialisme Belanda terutama pada Perang Jawa (Diponegoro), Perang Paderi (Imam Bonjol) dan Perang Aceh (Teuku Umar). Efek dramatis lain yang menggambarkan strategi ini adalah penghasutan yang dilakukan oleh sebuah kelompok kepada kelompok lainnya (Oxford Dictionaries).

Sayangnya, pemahaman umum mengenai strategi ini cuma sampai disini, kebanyakan orang yang menggunakan istilah inipun tidak benar-benar tahu apa sebenarnya devide et impera itu apalagi memahami bagaimana strategi ini beroperasi. Istilah devide et impera berasal dari bahasa spanyol yang dalam bahasa indonesia menjadi belah dan kuasai. Istilah ini merujuk pada sebuah strategi perang yang mengkombinasikan strategi politik, ekonomi dan sosial untuk menguasai sebuah wilayah atau kelompok.

Dalam artikel ini saya akan mengeksplorasi secara singkat bagaimana strategi ini di implementasikan sebagai strategi politik. Eksplorasi ini dimaksudkan untuk memahami memeriksa ulang pemahaman kita mengenai strategi devide et impera. Secara khusus sudut pandang yang digunakan pada artikel ini adalah sudut pandang politik.


Sekilas tentang devide et impera

Secara historis, strategi devide et impera berkembang dari strategi penaklukan para Conquestador (penakluk) Spanyol atas suku-suku Indian di Amerika Latin pada abad 15 (1462). Penaklukan ini membawa era baru bagi Eropa dengan ditemukannya emas, perak, lahan produktif yang luas dan jumlah tenaga kerja dari populasi asli yang diperbudak. Spanyol mendapatkan surplus yang luar biasa hingga mampu memajukan peradabannya dan menginspirasi negara-negara lain disekitarnya.

Sejak saat itu, negara-negara seperti Inggris, Portugis dan Perancis mulai melakukan ekspansi mencari sumber-sumber kekayaan alam. Ekspansi ini menjangkau asia pasifik melalui penguasaan jalur dagang di Maluku hingga ke Australia saat ini, Afrika tropis, hingga India. Ekspansi tersebut tidak lah mudah, meskipun daerah-daerah yang mereka kuasai mengalami keterbelakangan teknologi perang namun perlawanan terhadap koloni-koloni mereka terus berlanjut.

Pada saat yang hampir bersamaan, Inggris mengalami tekanan dari perlawanan Irlandia Utara di wilayahnya sendiri. Perlawanan ini ditaklukkan melalui metode yang lebih rumit daripada perang yaitu dengan mempelajari masyarakat Irlandia dan membangun sentimen horizontal diantara mereka sehingga kekuatannya melemah. Perawanan Irlandia dapat dipukul mundur dan dimanipulasi melalui segregasi sosial untuk memastikan terjadnya konflik horizontal. Pengembangan metode penaklukan yang dilakukan oleh Inggris ini kemudian diterapkan juga oleh negara-negara kolonial baik dalam perang maupun untuk menguatkan kekuasaannya di tanah jajahan.

Sejak saat itu, devide et impera tidak lagi hanya menjadi strategi perang namun lebih menjadi strategi politik yang mengkombinasikan seluruh pengetahuan yang dibutuhkan dalam penaklukan. Devide et impera juga menghasilkan berbagai varian perluasan taktik yang bisa kita temukan dalam rasisme, regionalisme dan fanatisme religius. Namun perlu dipahami bahwa strategi pada dasarnya merupakan alat yang mengabdi pada tujuannya yang juga bervariasi. Kolonialisme merupakan salah satu tujuan ekonomi-politik yang melahirkan strategi ini, namun dalam perkembangannya strategi ini dapat diterapkan dalam berbagai situasi.

Dalam konteks Indonesia dimasa kolonial, pemerintahan kolonial Belanda menggunakan beberapa model pembelahan yang dapat dilihat dalam konstruksi aturan, yaitu; pertama, melakukan segregasi sosial berdasarkan Staatsregeling No. 163 IS/1854 yang membagi populasi di Hindia belanda menjadi tiga lapisan (Eropa, Timur Jauh meliputi Cina, India dan Arab dan Pribumi). Ketiga populasi tersebut juga menggunakan mekanisme kontrol hukum yang berbeda yaitu hukum positif bagi Eropa, hukum agama bagi Timur jauh dan hukum adat bagi Pribumi.

Operasi lain dari strategi ini juga dilakukan dengan memperdalam perbedaan antar etnis dan melakukan sabotase terhadap komunikasi antar etnis. Sabotase dilakukan dengan mengangkat etnis tertentu menjadi lebih unggul dari etnis lainnya atau merekrut etnis tertentu dalam jajaran administratur maupun militer kolonial. Strategi ini juga dilakukan didalam komunitas etnis dengan memberikan kesempatan terbatas bagi lapisan elit dari etnis tersebut untuk mendapatkan pendidikan barat.

Strategi ini memiliki titik balik ketika kelompok yang terbelah tersebut mulai memahami keterpisahan mereka dan kesamaan kepentingan mereka. Selain itu juga ketika konflik yang melebar secara horizontal dapat diselesaikan, koordinat konflik akan berubah pada koordinat vertikal sehingga pengguna strategi ini dapat diidentifikasi dengan mudah sebagai musuh. Perjuangan kemerdekaan nasional merupakan salah satu bentuknya.

Pada praktek perluasannya, devide et impera tidak berhenti pada masa kolonial namun juga terus bergulir hingga sekarang sebagai strategi mempertahankan kekuasaan. Strategi devide et impera dapat ditemukan dalam beberapa kasus kediktatoran seperti kasus Zaire dibawah kepemimpinan Mobutu Sese Seko (Daron Acemoglu, April-May 2004), Republik Dominika dibawah Trujillo (Eric A. Posner, 2010), hingga Indonesia pada masa Orde Baru. Fenomena lain adalah pertentangan antara negara Islam di Timur tengah berdasarkan Mahzab (Sunni vs Syiah) dan etnis (Kurdi, Yahudi, Arab, Persia) (Brumberg, October 2002).

Penerapan strategi ini dapat dilakukan secara represif dengan melakukan karantina teritorial maupun penyerangan terhadap kelompok tertentu. Di lain pihak, strategi ini juga dapat diterapkan secara ideologis dengan mengeksploitasi perbedaan yang ada di masyarakat juga melakukan represi terhadap pemikiran tertentu dan menciptakan teror psikologis seperti ancaman ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Teror acak terhadap etnis (cont; kasus Sampang, Ambon dan Sampit) tertentu dan sentimen rasial (cont; diskriminasi etnis Tionghoa) juga merupakan bagian dari strategi ini.

Secara politik, strategi ini dapat diterapkan dengan melakukan reshuffle kabinet dengan waktu yang tidak beraturan (Daron Acemoglu, April-May 2004). Biasanya hal ini dilakukan jika setiap menteri dalam kabinet merupakan representasi dari kelompok sosial atau kelompok politik tertentu, reshuffle dilakukan untuk memecah konsentrasi oposisi didalam pemerintahan. Model lain juga dapat dilihat dari diskriminasi pemerataan dana pusat, bantuan dana luar negeri dan pembangunan infrastruktur ekonomi.


Devide et impera sebagai strategi politik

Ide mengenai strategi devide et impera tidak dapat diatribusikan pada disiplin keilmuan tertentu. Strategi ini merentang dalam ilmu sosial, hukum, politik hingga matematika, strategi ini merupakan strategi yang rumit dan saling berhubungan tapi berbeda dalam mekanisme, detail dan dampaknya. Namun sebagai strategi yang telah diuji berulang kali, devide et impera memiliki syarat situasional dan prinsip operasional yang dapat diamati.
Machiavelli  dalam Art of War menggambarkan strategi ini sebagai strategi yang dijalankan oleh pemimpin perang untuk melemahkan konsentrasi perlawanan musuh dalam kutipan berikut;

“A Captain ought, among all the other actions of his, endeavor with every art to divide the forces of the enemy, either by making him suspicious of his men in whom he trusted, or by giving him cause that he has to separate his forces, and, because of this, become weaker.” (Machiavelli, [1521] 2003)

Kutipan diatas menggambarkan bahwa, strategi ini berkaitan erat dengan dominasi, politik dan efisiensi. Strategi ini digunakan untuk merebut kekuasaan juga mempertahankan kekuasaan dengan memecah perlawanan kelompok besar kedalam kelompok-kelompok kecil sehingga mudah ditaklukkan sekaligus mencegah kemungkinan kelompok-kelompok kecil tersebut untuk bersatu. Artinya pengguna strategi ini harus mampu membelah sekaligus mempertahankan pembelahannya atau bahkan memperluas pembelahan dalam komunitas-komunitas lawan.

Strategi ini pada masa kolonial menghasilkan sentimen nasionalisme dari kelompok-kelompok yang dibelah yang kemudian bersatu melawan penjajah yang menggunakan strategi devide et impera. Namun tidak berarti strategi ini sudah tidak dapat lagi digunakan karena pada prakteknya setelah pembebasan nasional, negara masih mungkin menggunakan strategi ini untuk menekan oposisi dalam pemerintahannya. Hal ini disebabkan oleh pembelahan yang lama dan perbedaan yang semakin menguat antara kelompok sebelum persatuan muncul sehingga pembelahan kembali muncul setelah tujuan persatuan tercapai.

Secara historis, penggunaan strategi ini memiliki basis material yang sama yaitu kekuasaan sebagai suprastruktur strategi dan kepemilikan sumber daya alam sebagai infrastruktur yang membentuk motif kekuasaan. Namun secara dialektis, strategi ini beroperasi dengan membentuk diskriminasi dan mempertentangkan identitas kelompok. Setiap kelompok yang dipertentangkan biasanya berkaitan dengan kepemilikan terhadap sumberdaya tertentu baik alam maupun tenaga kerja. Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan dalam memandang devide et impera sebagai strategi politik.

Strategi devide et impera tidak menciptakan pemilahan baru melainkan mengeksploitasi perbedaan dalam identitas kelompok sehingga kelompok-kelompok tersebut membedakan dirinya dengan yang lain. Eksploitasi perbedaan identitas kelompok dilakukan dengan mempertentangkan nilai yang ada di dalam suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Oleh karena itu pengguna strategi ini harus mempelajari persamaan dan perbedaan yang dimiliki oleh kelompok yang akan dikuasai sehingga mampu memunculkan celah pertentangannya.

Strategi devide et impera mengharuskan penggunanya memiiki model pengorganisiran kelompok dan waktu yang tepat untuk meluaskan isu. Hal ini hanya dimungkinkan jika pengguna strategi memiliki dominasi pengetahuan dan kekuatan hegemonik atas kelompok tersebut. Hegemoni dapat diperoleh dari pemilikan teknologi produksi ataupun pemilikan komoditas yang dibutuhkan oleh kelompok yang akan dikuasai. Hegemoni kelompok ini juga harus dikembangkan dalam bentuk represi untuk memastikan pembelahan kelompok yang dikuasai tetap terjaga (Mann, 1987).

Model pengorganisiran kekuasaan memegang peran penting dalam mempertahankan kekuasaan. Ketika kelompok lawan dikuasai untuk memastikan pembelahan horizontal diperlukan model rotasi kelompok yang menjauhkan kelompok dari kemungkinan persatuan dan kemungkinan menguasai aset kekuasaan. Oleh karena itu distribusi kekuasaaan dan surplus juga perlu dibatasi sementara komunikasi antar kelompok pun harus disabotase melalui pelembagaan komunikasi (sensor dan manipulasi isu) untuk menutup terjadinya potensi persatuan kepentingan yang lebih luas.


Simpulan

Kekuatan utama dari strategi devide et impera adalah kemampuannya memecah konsentrasi dan keleluasaannya melakukan represi. Kekuatan ini tidak berarti mutlak, persatuan dari kelompok yang dibelah tetap menjadi ancaman bagi jalannya strategi ini. Selain itu dalam konteks negara yang mempertahankan kekuasaan kelemahan lain adalah frustasi politik yang melahirkan kekuatan politik diluar lembaga yang dibentuk. Kekuatan alternatif tersebut biasanya menggunakan tekanan politik diluar aturan rotasi politik yang dibuat oleh penguasa seperti protes hingga perjuangan bersenjata untuk melawan represi politik.

Strategi devide et impera dalam sudut pandang politik merupakan strategi penaklukan yang dilakukan dengan mengkooptasi potensi kekuatan lawan. Kooptasi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan pengetahuan, keterbatasan akses informasi, model kepemilikan alat produksi, lemahnya kesadaran politik dan yang paling utama adalah disorganisasi sosial. Strategi ini tidak dapat dilakukan oleh individu secara parsial melainkan oleh kekuatan terorganisir yang memiliki dominasi pengetahuan ataupun sumber daya ekonomi. Antitesa terhadap strategi ini adalah reorganisasi sosial, distribusi pengetahuan dan kesadaran politik. dengan memahami strategi ini, kita dapat mengidentifikasi dampak strategi ini sekaligus mengidentifikasi pelakunya.

Rolip Saptamaji, Koordinator Kajian Politik Kontemporer Forum Studi Ilmu Politik UNPAD Bandung, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNPAD

___________

Pustaka
Brumberg, D. (October 2002). Democratization in the Arab World? The Trap of Liberalized Autocracy. Journal of Democracy Vol 13 No 4, 56-68.
Daron Acemoglu, J. A. (April-May 2004). Alfred marshall Lecture: Kleptocracy And Divide and Rule: A Model of Personal Rule. Journal of European Economic Association, 162-192.
Eric A. Posner, K. E. (2010). Divide and Conquer. Journal of Legal Analyses vol 2 No 2, 417-471.
KBBI. (t.thn.). Pecah. Dipetik november 21, 2013, dari kbbi.web.id: http://kbbi.web.id/pecah
Mann, M. (1987). Rulling Class Strategies and Citizenship. Sociology vol. 21 No. 3, 339-354.
Nazemroaya, M. D. (2008, January 17). America’s Divide and Rule Strategies in the Middle East. Global Research.
Oxford Dictionaries. (t.thn.). definition. Dipetik November 22, 2013, dari www.oxforddictionaries.com: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/divide?q=divide+and+rule#divide__22
Walden Bello, A. K. (2004, August 10). G20 Leaders Succumb to Divide and Rule Tactics: The Story Behind Washington’s Triumph in Geneva. Dipetik Agustus 22, 2013, dari focusweb.org: http://www.focusweb.org/main/html/Article408.html

Kamis, 14 November 2013

Fransisca Fanggidaej, Pahlawan yang Dilupakan

14 November 2013 ; 10:20 | Opa Jappy*

Bermula dari kaka' yang tinggal di Singaraja, Bali menulis Status di Fb (lihat capture)tentang seorang Perempuan Revolusioner, yang usianya jauh di atas kami, berasal dari Rote - NTT, dan berdiam di Belanda. Ia adalah Fransisca Fanggidaej, seorang Perempoean Pejoeang dan Pejoeang Perempoen, yang karena berbeda pandangan dengan Orba, maka puluhan tahun berdiam di China serta sejak 1985 tinggal di Belanda hingga Tuhan memanggil kembali ke hadapan-Nya.
Bermula dari kaka' yang tinggal di Singaraja, Bali menulis Status di Fb (lihat capture)tentang seorang Perempuan Revolusioner, yang usianya jauh di atas kami, berasal dari Rote - NTT, dan berdiam di Belanda. Ia adalah Fransisca Fanggidaej, seorang Perempoean Pejoeang dan Pejoeang Perempoen, yang karena berbeda pandangan dengan Orba, maka puluhan tahun berdiam di China serta sejak 1985 tinggal di Belanda hingga Tuhan memanggil kembali ke hadapan-Nya.
13843922941358555376
Litaay Diana Mamie, A.J.Litaay-Sjioen disaat 10 Nov. 1945, jadi pemimpin laskar wanita, 3 srikandi. Adiknya mamie, tante Fietje Nolten-Sjioen meninggal di Utrecht sudah lama, dan Fransisca Fanggidaej terakhir di panggil pulang BAPA tadi pagi. Ayahnya Ir.Godlief Fanggidaej, bertugas di Jawa Timur sebagai insinyur. Mamie, ayahnya Pdt.I di NTT. Mereka bertiga = pahlawan tanpa jasa, tapi nama-nama ada tertulis dalam buku arsip Kantor Arsip Surabaya, dan storynya di tulis oleh Brigjen Barlan dan bukunya ada di museum ABRI Jkt. Mereka sudah tiada, harap akan muncul srikandi2 gagah berani, jujur, wibawa, inner beauty nampak dan wibawa dijaman ini karena Indonesia perlu srikandi-srikandi2 masa kini yg siap bekerja tanpa pikir tujuan kaya, punya cita2 MERDEKA SEUTUHNYA (dijaman perang dimana dapat semangat srikandi?) SEMANGAT ! 
Itu adalah sepenggal kisah dan ingatan pada diri mereka yang mengenal sosok Fransisca Fanggidaej; namun, tak diketahui oleh generasi baru di NTT, apalagi Indonesia. Mungkin saja, kita, anda, saya yang sedang baca ini, juga baru tahu-mengenal nama Fransisca Fanggidaej; wajar, karena memang kurang informasi tentang dirinya.
Sosok Francisca C. Fanggidaej, walau ia suku Rote, namun lahir 1925 di Noël Mina, Timor. Ibunya bernama Magda Maël, seorang anak bangsawan di Timor; Ayahnya, Gottlieb Fanggidaej, seorang pegawai tinggi di Hindia Belanda, yang pada saat itu bertugas di Noel Mina, Timor Tengah Selatan.
[Cuma ada sedikit ingatan dan informasi tentang masa kecil Francisca di Kupang, kemudian di Surabaya. Namun, bisa diambil simpulan kecil, karena ia terlahir sebagai anaka pejabat tinggi Hindia Belanda; bahkan di rumah, ia hanya diizinkan berbahasa Belanda, sehingga bertumbuh merasakan dirinya sebagai seorang bangsa Belanda, maka tentu ia menikmati banyak kemudahan di masa kecil.  Francisca bersekolah Belanda, di Europeesche Lagere School (ELS) dan MULO, yang khusus untuk warga Belanda, anak-anak pegawai Hindia Belanda, dan Bangsawan]
Keberadaannya di Surabaya cuma sedikit terekam, karena mereka yang tua-tua dan pernah mengenalnya serta bisa bertutur tentangnya, telah tiada. Yang sempat teringat adalah masa muda Fransisca, ia berbeda pandangan dengan ayah-ibunya yang pejabat tinggi Hindia Belanda. Fransisca ingin agar rakyat Timor (pada waktu itu, belum terbayang Indonesia Merdeka) mengalami kemajuan dalam segala bidang sejajar dengan Belanda, dan kemerdekaan.
Pandangan masa depan, yang beda dengan orang tuanya, serta jiwa revolusioner tersebut, menjadikan ia tetap di Tanah Jawa seletal menyelesaikan MULO; kemudian bertumbuh dan bergabung dengan pegerakan kaum muda (pra-) Indonesia. Sejalan dengan itu, wawasan keindonesiaannya mulai berkembang. Fransisca tidak lagi berpikir tentang Timor, melainkan Indonesia, ya Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan organisasi Pemudan Republik Indonesia di Surabaya, Jatim.
13843955181871085387Pada awal kemerdekaan, ketika Fransisca masih berusia pemuda berumur duapuluhan, ia bergabung dengan pergerakan kaum muda di Surabaya, dan denga antusiasme yang menyala-nyala dan semangat pantang mundur menerjunkan diri ke dalam kancah gejolak dan pergolakan revolusi di Surabaya. Karena riak-riak juang untuk harus mempertahankan Proklamasi telah ada, jauh sebelum 10 Nopember 1945.
Semangat, fasih bicara, dan ketermukaannya, menjadikan Fransisca terpilih sebagai wakil Pemuda RI Surabaya untuk mengikuti Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta, pada 6-10 November 1945. Tanggal 10 Nopember, ketika selesai Kongres, rombongan dari Surabaya tak bisa pulang karena pertempuran antara rakyat dan tentara Sekutu.
[Jika tak salah info] Karena semangat perjuangan yang besar, Fransica berusaha menerobos blokade Sekutu, dan berhasil sampai di markas pemuda perlawanan; teman-temannya yang lain tertahan di Madiun, dan bergabung dengan pergerakaan pemuda disana.
Sudah menanti teman-teman perempuan pejuang 1945; mereka menjadi bagian dari Rakyat Indonesia di Surabaya, yang bertempur melawan pasukan Sekutu." 1384565741279956245
Setelah pertempuran Surabaya, Francisca aktif dalam Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, dan kefasihan berbahasa Belanda dan Inggris, menjadikan ia menyuarakan semangata kemerdekaan melalui Radio Gelora Pemuda di Madiun. Di samping melalu Radio Gelora, Fransisca ngajarin anggota bala tentara Belanda dan Inggris tentang kemerdekaan dan kolonialisme.
Setelah masa pertempuran mempertahankan Kemerdekaan agak mereda, Fransisca tetap aktif sebagai tokoh pemuda melalui Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia,bahkan seringkali menjadi/meawakili BKPRI pada pertemuan pemuda tinggkat Internasional. Pada 1957, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat mewakili wartawan. Sebagai anggota delegasi parlemen, ia berkunjung ke Kuba pada 1960 dan 1953, serta berjumpa Fidel Castro.
Pada tahun 1964, Presiden Soekarno memilih dan mengangkatnya sebagai salah satu penasehat presiden - staf inti kepresidenan, dan sering mengikuti perjalanan Presiden ke ke berbagai negara. Kedekatan dengan Presiden dan besar dari/di Pemuda Sosialis Indonesia (yang kemudian mejadi Pemuda Rakyat, organisasi pemuda dibawah PKI), menajdikan Fransisca sebagai orang yang tak disukai Orba.
Pada tahun 1965, ketika ia berada di Chili sebagai anggota delegasi Indonesia pada Kongres Organisasi Wartawan Internasional, terjadi tragedi G30S, Fransisca tidak bisa kembali ke Indonesia; ia dilarang pulang ke Tanah Air. Sejak itu, 1965-1985, Fransisca tinggal Republik Rakyat Cina, dan sejak 1985 menetap di Belanda [Zeist, Utrecht, Belanda] hingga 14 Nopember 2013, Tuhan memanggilnya kembali kehadapan-Nya.
Itu sedikit tentang Oma, Tante, dan Aunt Fransisca Fanggidaej; satu dari sekian banyak Perempuan Revolusioner Indonesia, kelahiran Timor; yang hidup dan kehidupannya bukan cuma untuk Orang Timor, namun bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia, serta dunia (Di Belanda, Francisca menjadi anggota Komite Indonesia-Belanda, dan ikut mendirikan Stichting Azië Studies-Yayasan Studi Asia).
Akhir kata, mari kita coba renungkan kata-kata dari Fransisca Fanggidaej


Pada awal Orde Baru satu juta orang Indonesia tak bersalah dibunuh dan ratusan ribu lainnya dilempar ke dalam penjara dan kamp konsentrasi dalam satu tragedi nasional yang dampaknya sampai hari ini belum teratasi.
Dalam keadaan demikian perlukah Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diperingati? Dengan pertanyaan ini di hati dan di kepala, saya menukik ke masa lampau, ketika saya sebagai pemuda berumur duapuluhan, dengan antusiasme yang menyala-nyala dan semangat pantang mundur menerjunkan diri ke dalam kancah gejolak dan pergolakan revolusi di Surabaya.
Kita tidak boleh lupa pengorbanan yang begitu besar yang sudah diberikan oleh berbagai generasi pejuang demi mewujudkan cita-cita Proklamasi, yaitu suatu masyarakat Indonesia yang sungguh bebas, demokratik dan berkeadilan sosial. Kita masih jauh dari perwujudannya.
Maka perjuangan itu masih berlanjut pada hari kini dan di masa depan. Pada hari ini harapan kita tak lain bahwa generasi muda yang kini berjuang untuk cita-cita itu mengambil semangat dan jiwa dari generasi kami yang pada Revolusi Agustus itu bergerak, dan agar mereka terus bekerja dengan cara mereka sendiri, di dalam kondisi nasional dan internasional yang sudah banyak berubah, dan akhirnya mencapai tujuannya!
Akhir  kata,
Selamat Jalan Perempuan Revolusioner, jerih dan juangmu tak hilang dimakan rayap zaman, serta tak pernah punah dari dalam semua hati,  sebab dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.
Engkau teelah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagimu mahkota kebenaran yang dikaruniakan kepadamu oleh Tuhan, Hakim yang adil.
1384398964107329998[/caption] 1384393116652045893

Sumber: Kompasiana 

Senin, 11 November 2013

Dari ‘Belanda Hitam’ Menjadi Perempuan Revolusioner

11 NOVEMBER 2013 | 12:46




Di antara nama-nama pejuang perempuan yang memenuhi panggung sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, barangkali nama Francisca C. Fanggidaej tak begitu dikenal. Hampir tak ada literatur yang mengulas hidup dan perjuangannya. Namanya tenggelam bersamaan dengan hancurnya Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Peristiwa G 30 S 1965.
Walau begitu namanya justru tercatat dalam buku peringatan Konfrensi Kalkuta yang sangat bersejarah. Dalam konfrensi itu, sebagaimana dicatat Ita Fatia Nadia: Francisca C. Fanggidaej yang juga akrab dipanggil Sisca, berpidato untuk memberitahukan kepada dunia International tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Konfrensi Kalkuta sendiri merupakan konfrensi pemuda dari negara-negara terjajah yang sedang memperjuangkan kemerdekaan yang diselenggarakan di kota Kalkuta, India pada 1948 dan embrio dari konfrensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. (h. 9)
Saya sendiri baru mengenal namanya sekitar tahun 1999 via esai memoar yang dia tulis menyambut Indonesia yang sedang merayakan tahun emas kemerdekaannya. Pada momentum ini, Sisca menulis esai yang menggugah dan memberanikan tentang ingatannya terhadap perjuangan di sekitar kemerdekaan Indonesia berjudul Sekelumit Pengalaman Pada Masa Revolusi Agustus 1945-1949 (Mengenang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 50 tahun lalu) dengan nama F.C Fanggidaej. Esai memoar ini diambil dari internet yang kala itu masih langka dan tampaknya sudah tersebar luas di kalangan aktivis pro demokrasi. Sejak itu nama Fanggidaej tak terlupakan.
Dalam esai ini, Sisca mengajukan gambaran rakyat Indonesia yang miskin dan sengsara serta pertanyaan yang dilematis:
CoverPada 17 Agustus 1995 ini kita peringati ulang tahun ke-50 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dengan Republik Indonesia yang didirikan sebagai hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 itu rakyat Indonesia membentuk negaranya yang merdeka, menegaskan identitasnya sebagai bangsa yang bebas dari kolonialisme.
Tujuan dan cita-cita Republik Indonesia Proklamasi adalah untuk mengangkat, terutama mayoritas rakyat yang sengsara dari lembah kemiskinan ke kehidupan yang lebih baik dan layak, punya rumah dan cukup makan, di mana semua orang dihargai dan dihormati. Untuk memperjuangkan semuanya itu orang harus ada hak-hak politik dan demokrasi. Di Indonesia Orde Baru, hak untuk mengorganisasi diri dengan bebas, untuk mengeluarkan pendapat dan kritik dengan bebas secara lisan dan tertulis, tak mungkin direalisasi karena sistem kekuasaan yang represif yang telah dibangun dengan intensif selama 30 tahun terakhir ini.
Pada awal Orde Baru jutaan orang Indonesia tak bersalah dibunuh dan ratusan ribu lainnya dilempar ke dalam penjara dan kamp konsentrasi dalam satu tragedi nasional yang dampaknya sampai hari ini belum teratasi. Dalam keadaan demikian perlukah Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-50 diperingati? Dengan pertanyaan ini di hati dan di kepala, saya menukik ke masa lampau, 50 tahun yang lalu ketika saya sebagai pemuda berumur duapuluhan, dengan antusiasme yang menyala-nyala dan semangat pantang mundur menerjunkan diri ke dalam kancah gejolak dan pergolakan revolusi di Surabaya.
Kesimpulan bagi Siscapun jelas:
…Ya! Perlu!. Kita tidak boleh lupa pengorbanan yang begitu besar yang sudah diberikan oleh berbagai generasi pejuang demi mewujudkan cita-cita Proklamasi, yaitu suatu masyarakat Indonesia yang sungguh bebas, demokratik dan berkeadilan sosial. Kita masih jauh dari perwujudannya. Maka perjuangan itu masih berlanjut pada hari kini dan di masa depan. Pada hari ini harapan kita tak lain bahwa generasi muda yang kini berjuang untuk cita-cita itu mengambil semangat dan jiwa dari generasi kami yang pada Revolusi Agustus itu bergerak, dan agar mereka terus bekerja dengan cara mereka sendiri, di dalam kondisi nasional dan internasional yang sudah banyak berubah, dan akhirnya mencapai tujuannya!
***
Francisca C Fanggidaej dilahirkan di Pulau Timor pada 16 Agustus 1925 dan dibesarkan dalam keluarga yang menjadi produk politik penjajahan Belanda. Ayahnya bernama Gottlieb, berasal dari Roti, dikenal sebagai “Belanda Hitam” sedang ibunya Magda Mael berasal dari Timor. Bahasa utama dalam keluarga adalah bahasa Belanda yang membuat Sisca lebih fasih berbahasa Belanda daripada Indonesia. Semula ia bergabung dalam kelompok diskusi di kalangan intelektual muda Maluku di Surabaya di bawah kepemimpinan Gerit Siwabessy dan Dr. Latumenten. Dari group ini, ia dikirim ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Pemuda di Yogyakarta pada November 1945 yang menghasilkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) yang mempunyai dua dewan: Dewan Perjuangan dan Dewan Pembangunan. Di dalam Kongres itu lahir juga PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), yang merupakan fusi dari 7 organisasi pemuda yang bercita-cita sosialisme.
PESINDO sendiri mempunyai kekuatan bersenjata yang setanding dengan kekuatan TRI ketika itu. Memiliki kekuatan darat dan artileri, “Pesindo Laut” di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, begitu juga kesatuan putri yang terdiri dari pasukan tempur, kesatuan pengintai dan Palang Merah. Di Pesindo inilah, Sisca mengalami pahit getir perjuangan: mulai dari mewakili Pesindo di berbagai pertemuan internasional sampai pengejaran tentara Siliwangi ketika Peristiwa Madiun meletus. Bersama rombongan Amir Syarifuddin, Sisca harus berjalan jauh di malam hari melewati hutan-hutan dan desa-desa di Jawa Timur untuk menghindari pertemuan dengan tentara Siliwangi sementara ia sendiri dalam kondisi hamil. Dalam situasi ini ia pun dapat memetik pelajaran dari Amir Syarifuddin yang ia segani mengenai taktik menjalankan perang rakyat. (h.144) Peristiwa Madiun sendiri memakan korban: di samping pimpinan teras seperti Amir Syarifuddin, juga suaminya, Karno. Sisca tertangkap tapi tak dieksekusi barangkali karena kehamilannya.
Pasca Peristiwa Madiun Sisca pun memimpin Pesindo. Pada kongres Pesindo tahun 1950, Pesindo dinyatakan bukan lagi sebagai organisasi “pemuda sosialis” tetapi organisasi “pemuda rakyat”. Ia bersama Ir. Setiadi ditunjuk untuk memimpin organisasi “pemuda rakyat”. Karena merasa sudah terlalu tua dan tak cocok lagi berkiprah di organisasi pemuda, ia bersama Ir. Setiadi pun mengundurkan diri dari Pemuda Rakyat yang kemudian diteruskan Sukatno. Sisca lantas aktif di bidang kewartawanan dan memimpin INPS (Indonesian National Press Service) sambil terus bekerja sebagai freelance untuk Kantor Berita “Antara”. Pada tahun 1964, selaku anggota Komisi Luar Negeri DPR -GR ia menghadiri konfrensi Asia Afrika III di Aljazair sebagai anggota rombongan penasihat Presiden Sukarno. Konfrensi ini gagal karena tiba-tiba terjadi kudeta Boumediene. Sisca lantas diberi tugas lain dari Komite Perdamaian di tanah air yaitu menuju Helsinki untuk menghadiri konfrensi perdamaian sedunia tahun 1965. Sesudah itu ia lama tak kembali dan namanya nyaris tak terdengar. G 30 S meletus yang memaksanya menjalani hidup di negeri orang bertahun-tahun.
Francisca C. Fanggidaej sekarang tinggal di Zeist, sebuah kota kecil di provinsi Utrecht, Belanda. Di usia tuanya, ia pun masih mengikuti perkembangan situasi dan kondisi politik di Indonesia. Semua hidup dan perjuangannya sampai tahun 1965, ia tuangkan dalam buku Memoar ini dalam gaya bertutur yang lancar dan linear. Buku Memoar ini tentu adalah persembahan yang sangat berharga bagi rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan serangan neoliberalisme. Karenanya buku ini tentu layak dibaca sebagai cermin dan semangat terus berjuang menegakkan harkat, terlebih oleh kaum perempuan Indonesia yang terancam semakin disingkirkan dari ruang public dan politik. Bagi Sisca, tentu memoar ini belum mewakili seluruh hidupnya. Cerita dan kenangan-kenangan lain belum terungkapkan. Mungkin biarlah sejarawan yang menjawabnya…?
AJ SusmanaKoordinator Departeman Keuangan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)
—————————————–
Data Buku:
Judul: Memoar Perempuan Revolusioner
Penulis: Fransisca Fanggidaej
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2006
Tebal: 209 halaman
ISBN: 9793627670
Catatatan: Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di tabloid PEMBEBASAN.

Sumber: Berdikari Online 

Jumat, 08 November 2013

25 Fakta Tentang Gerwani

Historia | 8 November 2013


Pasca peristiwa G30S 1965, cerita mengenai Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) hampir semuanya berbau fitnah. Kehadiran sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya, Jakarta, pada malam 1 Oktober 1965, dikaitkan dengan keterlibatannya dalam peristiwa G30S 1965.

Sejak itu, kampanye fitnah tentang Gerwani mengalir deras.Gerwani difitnah menyilet kemaluan para Jenderal dan mencungkil matanya. Tak hanya itu, kehadiran Gerwani di Lubang buaya juga dikaitkan dengan pesta seks bebas dan tarian seksual “Harum Bunga”.

Propaganda fitnah itu awalnya dilancarkan oleh koran-koran milik Angkatan Bersenjata. Propaganda itu kemudian dipahatkan melalui diorama di museum Lubang Buaya. Lalu, sejak tahun 1980-an, fitnah itu dikemas melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Cerita fitnah itu juga diawetkan melalui penulisan buku-buku sejarah versi Orba.

Kini, setelah Orba runtuh, kebenaran perlahana-lahan terkuak. Berbagai kesaksian dan penelitian sejarah membuktikan kebohongan berbagai fitnah murahan Orba tersebut. Sebaliknya, berkat penggalian sejarah yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dan sejarawan, berbagai dokumen justru memperlihatkan peranan besar Gerwani dalam perjuangan bangsa Indonesia dan pembebasan perempuan.

Berikut ini 30 fakta tentang Gerwani yang kami himpun dari berbagai kesaksian dan dokumen yang sudah terpublikasi luas, baik melalui penerbitan buku-buku, jurnal, maupun internet.
  1. Sebagian besar pendiri Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang kelak berganti nama menjadi Gerwani, adalah perempuan-perempuan revolusioner yang pernah terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme dan revolusi bersenjata pasca Proklamasi 17 Agustus 1945. Pemimpin terkemuka Gerwis, yakni SK Trimurti, sudah terlibat dalam pergerakan anti-kolonial bersama Bung Karno sejak tahun 1930-an. Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ia ditunjuk sebagai Menteri Perburuhan pertama dalam sejarah Republik; Tokoh pendiri lainnya, Salawati Daud, adalah walikota Makassar yang pertama di bawah pemerintahan RI sekaligus Walikota perempuan pertama di Indonesia. Ia aktif di pergerakan anti-kolonial sejak tahun 1930an. Tak hanya mengorganisir perlawanan, Salawati Daud turut bergerilya dan mengangkat senjata melawan Belanda; Tokoh Gerwani yang lain, seperti Soedjinah, Umi Sardjono, Soelami, dan lain-lain, juga tercatat ikut memanggul senjata membela kemerdekaan Republik Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
  2. Gerwis, yang berdiri tanggal 4 Juni 1950, aktif dalam kampanye dan aksi-aksi menuntut pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), menentang kembalinya modal asing, dan mengutuk peristiwa reaksioner peristiwa 17 Oktober 1952 (upaya sejumlah perwira AD mengkudeta Bung Karno dan membubarkan parlemen).
  3. Pada tahun 1952, Gerwis aktif dalam memperjuangkan hak-hak kaum tani, seperti di Semarang, Kendal, Tanjung Morawa (Sumut), Brastagi (Sumut), dan lain-lain.
  4. Pada tahun 1955, Gerwani (Cat: Gerwis berganti nama menjadi Gerwani di kongres II tahun 1954) aktif memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan yang demokratis. Di DPR, Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono menegaskan bahwa perjuangan mengesahkan UU perkawinan harus dipandang sebagai perjuangan melengkapi revolusi nasional.
  5. Pada tahun itu juga Gerwani mengadvokasi seorang perempuan bernama Maisuri, yang dipenjara karena menolak kawin paksa dan memilih lari dengan pacarnya. Gerwani juga mengecam dan mengusut tuntas kasus pembunuhan Attamini, seorang perempuan dari keluarga miskin di Malang, oleh seorang pedagang kaya keturunan Arab.
  6. Gerwani paling keras menentang poligami, perkawinan anak-anak, dan pelecehan terhadap perempuan. Bagi Gerwani, pengertian kemerdekaan nasional sepenuhnya meliputi juga penghapusan terhadap poligami, kawin paksa, pelacuran dan beban kerja ganda.
  7.  Pada tahun 1957, Gerwani mendukung aktif perjuangan bangsa Indonesia untuk mengusir kolonialisme Belanda di Irian Barat. Gerwani bahkan mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawati untuk pembebasan Irian Barat. Tak hanya itu, Gerwani memobilisasi 15.000 wanita ke Istana Negara, saat peringatan Hari Perempuan Sedunia, 1 Maret 1961, untuk menentang pembentukan negara boneka Papua oleh kolonialis Belanda.
  8. Pada tahun 1957, Gerwani aktif mendukung gerakan buruh untuk menasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan milik Belanda. Langkah ini sekaligus upaya pemerintahan Bung Karno untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial. Dalam kampanye nasionalisasi terhadap perusahaan minyak Caltex, Gerwani dan SOBSI menggalang pembantu rumah tangga untuk memboikot majikan mereka. Aksi itu meluas ke restoran dan toko-toko untuk menolak melayani orang asing.
  9. Pada tahun 1960-an, Gerwani berkampanye untuk ketersediaan pangan dan sandang bagi rakyat. Tak hanya itu, gerwani rajin melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kenaikan harga bahan pokok. Salah satu demonstrasi besar yang digalang Gerwani untuk menolak kenaikan harga terjadi pada tahun 1960. Bung Karno merespon aksi tersebut dan berjanji menurunkan harga dalam tiga tahun.
  10. Di desa-desa, anggota Gerwani giat bekerjasama dengan Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk membela dan memperjuangkan hak-hak kaum tani, seperti hak atas tanah, pembagian hasil panen yang adil, dan lain-lain. Gerwani juga menggelar kursus dan pelatihan bagi perempuan tani di desa-desa. Gerwani juga aktif memperjuangkan dilaksanakannya UU Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU Perjanjian Bagi Hasil (PBH).
  11.  Gerwani aktif memperjuangkan hak-hak buruh perempuan. Pada tahun 1950-an, Gerwani berhasil mendesak Kongres Wanita Indonesia (Kowani) untuk mengadopsi piagam hak-hak perempuan, yang di dalamnya ada bab khusus tentang hak buruh perempuan, seperti hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memasuki semua pekerjaan dan promosi jabatan, kesetaraan upah, dan penghapusan segala bentuk diskriminasi di tempat kerja. Gerwani dan SOBSI juga kerap menggelar aksi bersama menuntut upah yang sama, cuti menstruasi dan hamil, hak perempuan mendapat promosi dan perlakuan yang sama di tempat kerja.
  12.  Pada tahun 1962, Gerwani mendukung politik Bung Karno untuk mengganyang negara boneka bentukan Inggris di Malaya, yakni federasi Malaysia. Tak hanya berkampanye dan menggelar aksi demonstrasi, Gerwani juga menyetorkan anggotanya untuk menjadi sukarelawati dan dipersiapkan untuk dikirim dalam operasi Trikora.
  13.  Gerwani aktif menentang pemberontakan PRRI/Permesta, yang dibelakangnya adalah kepentingan imperialisme AS. Bagi Gerwani, meneruskan revolusi berarti melawan PRRI/Permesta.
  14.  Pada tahun 1960, Gerwani aktif mendukung kampanye pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang diserukan oleh Bung Karno. Untuk keperluan itu, Gerwani mendirikan banyak sekali tempat-tempat belajar dan menggelar kursus-kursus PBH.
  15.  Gerwani aktif dalam memperjuangkan hak-hak anak-anak. Gerwani, misalnya, mendirikan fasilitas pengasuhan untuk anak-anak. Salah satunya adalah tempat penitipan anak. Pada pertengahan 1960, Gerwani punya 1.500 balai penitipan anak semacam itu. Pada tahun 1963, Gerwani resmi mendirikan Yayasan Taman Kanak-Kanank (TK) Melati, yang pengurusnya bekerja penuh mengurus penitipan anak. Pada tahun 1960, Gerwani juga merumuskan “panca-cinta” sebagai pedoman pendidikan anak-anak, yaitu cinta tanah air, cinta orangtua dan kemanusiaan, cinta kebenaran dan keadilan, cinta persahabatan dan perdamaian, dan cinta alam sekitar.
  16.  Gerwani aktif berkampanye untuk pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya. Gerwani menuding korupsi sebagai salah satu biang kerok kenaikan harga-harga. Beberapa aksi demonstrasi yang digalang Gerwani berisi tuntutan penghapusan korupsi dan retooling aparatur negara.
  17.  Gerwani aktif menentang pelacuran. Bagi Gerwani, pelacuran bukan kesalahan perempuan, kondisi sosial dan ekonomi-lah yang memaksa mereka menjadi pelacur. Gerwani yakin, pelacuran akan lenyap di Indonesia apabila sosialisme sudah dipraktekkan.
  18. Gerwani juga aktif menentang pornografi dan memboikot film-film yang merendahkan martabat perempuan. Pada tahun 1950-an, Gerwani aktif berkampanye menentang film-film yang mempromosikan kebudayaan imperialis, terutama film-film Amerika Serikat (AS). Salah satu film yang diprotes berjudul Rock ‘n Roll, yang dianggap bisa meracuni pikiran anak-anak muda. Film lain yang diprotes semisal Rock Around the Clock (1956) dan Don’t Knock the Rock. Selanjutnya, dalam kerangka melawan kebudayaan imperialis, Gerwani mendukung berdirinya Lembaga Film Rakyat.
  19.  Hingga Januari 1964, Gerwani mengklaim punya anggota sebanyak 1.750.000 orang. Dan mereka yakin, pada akhir 1965 bisa melipatkan gandakan anggota menjadi 3 juta orang. Tak hanya itu, cabang-cabang Gerwani juga berdiri di hampir semua daerah.
  20.  Gerwani aktif dalam kampanye dan menggelar aksi-aksi menentang imperialisme, seperti aksi menentang aksi imperialisme Belanda saat kampanye Trikora, lalu aksi menentang kolonialisme Inggris melalui kampaye Dwikora, menuntut nasionalisasi perusahaan milik negara-negara imperialis, dan mengecam keterlibatan imperialisme AS dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
  21.  Gerwani memiliki majalah bulanan bernama Api Kartini, yang mengulas banyak persoalan: dari pergerakan perempuan, situasi ekonomi-politik nasional, budaya, masalah-masalah perempuan, resep masakan, jahit-menjahit, dan lain-lain. Anggota redaksinya terdiri dari: Maasje Siwi S, S Sijah, Darmini, Parjani Pradono, SK Trimurti. Turut membantu redaksi, antara lain: Rukiah Kertapati, Sugiarti Siswadi, Mr Trees Sunio, Sulami, Rukmi B Resobowo, Siti Suratih, Sulistyowarni, Sutarni, Sudjinah, dan Sarini.
  22.  Gerwani aktif berkampanye tentang perlunya gerakan politik perempuan dan mendorong perempuan masuk ke gelanggang politik. Gerwani berharap lebih banyak wanita yang menjadi anggota DPR dan DPRD, kepala desa, Bupati, Gubernur, Menteri, dan lain-lain. Pada pemilu 1955, sejumlah pimpinan Gerwani masuk daftar calon anggota DPR melalui PKI, seperti Salawati Daud, Suharti Suwarto, Ny. Mudigdo, Suwardiningsih, Maemunah, dan Umi Sardjono.
  23.  Gerwani aktif dalam Gerakan Perempuan Internasional, khususnya melalui Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS). Melalui GWDS, Gerwani berkampanye tentang penghentian perlombaan persenjataan, pelarangan percobaan senjata atom, mempromosikan perdamaian dunia dan menentang perang, mendukung Konferensi Asia Afrika, penghapusan apartheid, penghapuasan diskriminasi rasial dan fasisme, dan mengecam agresi imperialis di berbagai negara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan lain-lain.
  24.  Gerwani mendukung konsep Bung Karno mengenai Demokrasi Terpimpin, Manipol (Manifesto Politik) dan Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. 
  25. Gerwani merupakan pendukung setia Bung Karno. Gerwani juga mati-matian membela politik Bung Karno yang anti-imperialis dan anti-kolonialis, tidak hanya dalam kata-kata dan statemen politik, tetapi dalam aksi dan tindakan politik. Misalnya, Gerwani menyetorkan kadernya sebagai sukarelawati dalam proses perjuangan pembebasan Irian Barat dan menggagalkan pembentukan negara Boneka Inggris di Malaya. Tak hanya itu, pasca peristiwa G30S 1965, ketika kekuasaan Bung Karno sudah di ujung tanduk, sejumlah aktivis Gerwani di persembunyian menerbitkan  buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno) untuk menggalang massa mempertahankan Bung Karno.
Yani Mulyanti, kontributor Berdikari Online

http://www.berdikarionline.com/25-fakta-tentang-gerwani/

Seminar “G30S/1965 Versi Jepang” dengan Prof. Dr. Aiko Kurasawa

Anggih Tangkas Wibowo
Prof. Dr. Aiko Kurasawa akan menyampaikan ceramah di LIPI tentang bukunya yang akan terbit di Jepang mengenai G30S menurut arsip Jepang. Buku itu merupakan buku pertama tentang G30S yang terbit di Jepang. Secara internasional sekaligus buku pertama tentang G30S 1965 yang menggunakan arsip berbahasa Jepang. Secara khusus Aiko Kurasawa juga melakukan wawancara dengan Dewi Soekarno.

Sebelumnya, buku mengenai Dewi Soekarno dan keterkaitannya dengan pampasan perang dari Jepang sudah terbit di. Tetapi Dewi Soekarno juga saksi sejarah dalam peristiwa yang terjadi di Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965. Apa saja yang disampaikan oleh Soekarno kepada Dewi saat itu dan bagaimana kondisi dan situasi sebenarnya saat itu. Maka dari itu, Pusat Penelitian Politik LIPI mengadakan seminar yang diselenggarakan pada Selasa, 17 September 2013 yang bertempat di Ruang Seminar Lantai 1 Gedung Widya Graha LIPI. 

Acara tersebut dihadiri oleh peneliti-peneliti di lingkungan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK-LIPI), para akademisi, praktisi, dan juga mahasiswa umum. Seminar ini menghadirkan tiga (3) orang pembicara, yakni Prof. Dr. Aiko Kurasawa, Dr. Asvi Warman Adam, dan Dr. Yosef Djakababa dengan moderator, Wahyudi Akmaliah Muhammad, M.Hum. Acara dibuka oleh Dr. Muridan Satrio Widjojo, M.Si selaku Kepala Bidang Perkembangan Politik Lokal P2P-LIPI. Muridan memaparkan bahwa arsip adalah sesuatu yang sangat penting dan patut untuk didiskusikan dan dibuka kebenarannya. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada sejarawan Indonesia yang telah berperan dalam meneliti tentang arsip-arsip yang ada di Indonesia dan di luar negeri. 

Memasuki acara pertama, Prof. Dr. Aiko Kurasawa memberikan ceramah tentang beberapa informasi dan analisa baru tentang sikap dan peranan Jepang dalam Peristiwa 30 September 1965 dengan memperkenalkan arsip Departemen Luar Negeri Jepang, Duta Besar, Shizuo Saito, Dewi Soekarno dan beberapa wawancara yang dilakukan di Jepang termasuk dengan Dewi Soekarno, dan Nishijima. 

Professor dari Keio University ini menerangkan posisi Jepang sebelum peristiwa 30 September 1965 boleh dikatakan bahwa pada waktu G30S meletus, Jepang mempunyai kedudukan atau hubungan agak khusus dengan Indonesia dan sangat berbeda dengan negara-negara Barat yang dijauhi oleh pemerintahan Soekarno. Aiko melanjutkan dimana saat itu Duta Besar Jepang absen dari Jakarta, yakni Duta Besar Saito kebetulan berada di Cilacap sesudah menghadiri upacara peresmian salah satu proyek perusahan Jepang tanggal 30 September 1965. 

Aiko Kurasawa menjelaskan saat meletus G30S, Dewi Soekarno menyesali suaminya mengambil keputusan yang salah, dimana saat terjadi Soekarno merasa tidak aman ketika ke Istana Negara sehingga ia menuju ke rumah isteri keempat yang tinggal di daerah Slipi, seharusnya Soekarno sebagai Presiden tetap ke Istana. Selanjutnya, Aiko menerangkan bahwa Jepang masih terkena hipnotisme Sukarno, dimana pada masa itu pemerintah Jepang bersikap ragu-ragu. Pada masa awal kebanyakan politikus dalam pemerintahan Jepang bersimpati terhadap Soekarno secara pribadi dan mengharapkan beliauakan kembali mengendalikan situasi. 

Selanjutnya, Aiko mengatakan bahwa Jepang menarik dukungan kepada Sukarno dan Dewi menyadari “Kita yang kalah”. Dewi mengatakan hal tersebut Dewi menyesal sekali karena selama perjalanannya ke Jepang dan Eropa situasi di Indonesia tiba tiba berubah dan Bung Karno memecat Nasution dan beberapa menteri yang memusuhinya. Sepulangnya ke Indonesia Dewi menghadapi “Supersumar”, tetapi dia belum bisa menyadari betapa penting dan kritis peristiwa ini bagi Presiden Soekarno. 

Aiko menyimpulkan ceramahnya dengan menjelaskan bahwa kedudukan dan hubungan yang sangat ambivalen sebelum peristiwa 30 September 1965, respon pemerintah Jepang pada awal peristiwa ini tidak sejalan dengan kebanyakan negara lain dalam dunia politik internasional. Hal itu dipengaruhi oleh Duta Besar, Shizuo Saito, yang sudah lama kenal dengan Bung Karno sejak zaman Jepang. Beliau sangat bersimpati kepada Bung Karno. Tetapi lama kelamaan pemerintah Jepang juga mulai menjadi realistis dan mengharapkan adanya rezim baru yang lebih memihak Barat dan berorientasi ke pembangunan ekonomi dengan menerima modal asing. Begitu kebijakan dasar pembangunan berubah di Indonesia,  pemerintah Jepang cepat mengambil perakarsa untuk membantu Indonesia membangun Orde Baru dan akhirnya menjadi donator paling besar bagi rezim Soeharto. Di belakang itu memang terdapat keinginan kaum bisnis Jepang yang dari dulu sudah berminat menanamksn modal di Indonesia.  Sejak itu politik luar negeri  Jepang terhadap Indonesia lebih cenderung mengutamakan ekonomi dan tindakan berdasar politik makin lama makin sedikit. Dengan demikian, bagi Jepang dampak Peristiwa 30 September di Indonesia sangat besar. 

Pembicara selanjutnya, Dr. Asvi Warman Adam menjelaskan tentang “Dimensi Internasional G30S”. Asvi mengatakan bahwa arsip-arsip mengenai G30S sudah dirilis dan dibuka di berbagai negara. Pertama, mengenai seminar di Jakarta yang bertemakan seminar internasional ”Indonesia and the World in 1965”, di Goethe Institute, Januari 2011. Selanjutnya, AS dan inggris, dimana AS menyerahkan daftar nama pengurus PKI dan bantuan uang Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu dan Inggris mengirim agennya, Norman Reddway, untuk membentuk sebuah lembaga di Singapura dan dari sana melancarkan kampanye antikomunis. 

Peneliti senior P2P-LIPI ini melanjutnya, bahwa Uni Soviet melalui Ragna Boden yang meneliti arsip Uni Soviet menyimpulkan bahwa Moskwa tidak terlibat dalam kudeta. Negara ini cenderung bersikap oportunistis. Mereka tidak berani, misalnya, menampung tokoh PKI yang diburu aparat keamanan di kedutaan besar mereka. Lanjutnya, di Perancis, reportase dan analisis pers Perancis tentang Indonesia tahun 1965/1966 tidaklah mendalam, seperti diakui pakar Perancis Francois Raillon. Tanggal 22 Maret 1966 koran Le Monde menurunkan artikel panjang berisi puji-pujian tentang Soeharto yang dianggap tokoh alternatif bagi Indonesia. 

Asvi mengatakan, tahun 1965 terdapat dua Jerman di Jakarta, yakni Jerman Barat yang telah membuka kedutaan besar sejak 1952 dan Jerman Timur yang berstatus konsulat. Keduanya bersaing dan pihak Jerman Barat merintangi pengakuan negara asing terhadap Jerman Timur. Kedutaan Besar Jerman Timur baru dibuka pada era Orde Baru.

Namun, kedua Jerman itu bersikap skeptis terhadap politik luar negeri Indonesia dan perkembangan PKI. Dalam ulang tahun PKI (Mei 1965) negara komunis Jerman Timur tidak diundang. Setelah meletus G30S, Jerman Barat melihat peluang ekonomi di Indonesia. Duta Besar Kurt Luedde-Neurath mengatakan ”kesempatan itu harus diambil, jangan dilepaskan.” 

Lulusan doctor di Ecole des Hautes Etudes en Science Socialaes, Paris, Prancis ini melanjutkan pembahasannya yaitu, di Australia, Richard Tanter mengungkapkan betapa sedikit pengetahuan masyarakat Australia tentang pembantaian massal tahun 1965 di Indonesia ketimbang pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin Rusia, atau Khmer Merah Kamboja. Yang disampaikan Paul Keating tahun 2008 mungkin bisa menjawab sikap politisi Australia yang mendua itu: ”Andai kata Orde Baru tidak menyingkirkan Soekarno dan PKI, akan terjadi destabilisasi di Australia dan seluruh Asia Tenggara.” 

Asvi mengatakan, arsip mengenai G30S yang belum dibuka dan dirilis yakni, di Jepang dan China, dan saat ini arsip Jepang sudah diteliti Prof. Aiko Kurasawa. Sedangkan di China, ada beberapa buku yang sudah meneliti tentang arsip ini, salah satunya Cold War Inernational History Project, Working Paper. Negara-negara di luar Indonesia sudah mulai membuka arsipnya masing-masing, tetapi Asvi mengatakan “mengapa di Indonesia arsip tentang 1965 malah mau disembunyikan lagi”, tegasnya. 

Pembicara terakhir, Dr. Yosef Djakababa menjelaskan bahwa di berbagai negara telah membuka arsip mengenai G30S/1965 sebagaimana disampaikan oleh Dr. Asvi Warman Adam, tetapi selama ini belum ada yang mengkaji tentang arsip-arsip tersebut dari Albania. Banyaknya ketidak pedulian tentang arsip-arsip di Albania ini menimbulkan pertanyaan, padahal menark untuk dikaji lebih dalam. 

Selanjutnya, acara diskusi dan tanya jawab berlangsung secara pro aktif. Buku mengenai arsip Jepang ini akan segera dirilis oleh Prof. Aiko Kurasawa, dan sudah banyak yang menantikan terbitnya buku tersebut dan tentunya sangat menarik untuk dibaca. 



LIPI 

Kamis, 07 November 2013

Lapangan Lengkong, Bekas Pembantaian PKI 1965

07 November 2013

Boleh percaya atau tidak, Misteri lapangan Lengkong; Bekas Pembantaian PKI 1965

Lapangan LENGKONG dulu aliran sungai Widas yang diurug, aliran sungai bekas pembantaian PKI 1965
Cerita ini berasal dari Mas IW yang jualan di sekitar lapangan Lengkong. Lapangan Lengkong berada di kota Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur Indonesia.

Lapangan Lengkong dibuat oleh pemerintah daerah setempat untuk memenuhi kebutuhan olah raga bagi masyarakat sekitar Lengkong.

Karena lahan yang terbatas di Lengkong akibat banyak tanah desa yang sudah dijual, maka areal tangkis yang seharusnya untuk menghindari banjir apabila sungai Widas meluap, tanah tangkis tersebut disulap menjadi lapangan bola.

Lapangan Lengkong memang berada di pinggir sungai Widas. Sebelum diluruskan, bekas tanah lapangan Lengkong itu adalah aliran sungai Widas.

Dahulu, menurut orang tua di desa Lengkong, sungai Widas pernah menjadi catatan sejarah kelam di Republik ini.

Pada tahun 1965, terjadi Tragedi Kemanusiaan di Republik Indonesia. Nyaris 1 juta jiwa melayang dengan dipenggal kepalanya!

Dan sebagaian dari 1 juta jiwa itu ada di aliran sungai Widas yang sekarang menjadi lapangan Lengkong.

Dengan terjadinya Tragedi Kemanusiaan itu, hampir seluruh warga desa Kecamatan Lengkong, alergi untuk makan ikan Lele !

Hingga kini, ada pantangan bagi warga asli Lengkong untuk memakan ikan Lele karena dulu ikan tersebut pernah menyantap tubuh-tubuh tanpa kepala di dalam sungai Widas.

Di Lengkong tidak ada bakoel yang menjual lele goreng karena khawatir gak ada yang beli.

Tragedi Kemanusiaan yang membekas itulah hingga kini tetap menjadi misteri bagi lapangan Lengkong.

Dan setiap kali ada pertunjukan musik, atau pasar malam, atau keramaian lainnya, pasti datang hujan yang sangat lebat hingga pertunjukan tersebut bubar!

Pernah ada seorang pengusaha pasar malam yang membuka pasar malam di lapangan Lengkong, setelah tenda-tenda dari besi dipasang di lapangan Lengkong, nyaris selama 2 minggu rencana pertunjukan tersebut, datang hujan lebat hingga kemudian pengusaha Tionghoa itu kolaps dan menjual besi-besi tenda pasar malamnya ke seorang pengusaha LAS di Lengkong.

Apakah kejadian itu ada kaitannya dengan mayat-mayat tanpa kepala yang dulu berada tanah bekas sungai Widas yang sekarang menjadi lapangan Lengkong?

Hari ini tanggal 7 November 2013, ada serombongan pasar malam yang berasal dari Blitar Jawa Timur. Mereka berpindah setelah membuka pasar malamnya di Ponorogo Jawa Timur. Dengan 11 truk mereka membawa peralatan pasar malam dari Ponorogo ke Lapangan Lengkong Nganjuk.

Dan belum selesai mereka memasang tenda pasar malamnya, mereka disambut awan hitam dan hujan lebat!

Hingga kini ada kepercayaan yang beredar luas di masyarakat Lengkong, kalau ada pasar malam pasti turun hujan!

Apakah mayat-mayat tanpa kepala itu merasa terusik dengan pasar malam di lapangan tersebut sehingga menurunkan hujan dan angin untuk mengusir mereka ? Wallahu'alam
_____

Foto-Foto Misteri Lapangan Lengkong [kiriman mas IW]
Mereka DATANG dari PONOROGO dengan 11 TRUK
Mereka disambut AWAN HITAM

Hari yang tadinya TERANG BENDERANG berubah menjadi GELAP


Mas IW pulang lebih cepat, HUJAN sudah mengguyur lapangan Lengkong

Selasa, 05 November 2013

Bachtiar Siagian Dan Misteri Realisme Sosialis Dalam Film Indonesia

Bachtiar Siagian




Bachtiar Siagian adalah sutradara Indonesia dan seniman Lekra yang paling misterius. Karyanya sebagai sutradara film barangkali tinggal kepingan ingatan beberapa orang Indonesia sezamannya yang masih hdiup. Pasca-peristiwa G30S,  tentara membumihanguskan karya-karyanya, bersama film-film bikinan seniman Lekra lainnya seperti Bachtiar Effendy dan Kotot Sukardi. Bachtiar sendiri dipenjara tanpa diadili di Pulau Buru. Ia baru dibebaskan di akhir 1970-an, setelah nasib para tapol Buru mendapat perhatian dari dunia internasional.
Selepas Orde Baru, karya-karya pegiat Lekra, kita tahu, kembali hadir di khalayak ramai. Buku-buku yang dulu dilarang, kini leluasa diterbitkan ulang dan menjadi bagian dari boom singkat literatur sayap kiri pasca-1998. Roman-roman Pram dibaca tanpa harus sembunyi-sembunyi. Lagu-lagu seperti Genjer-Genjer atau Oentoek Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno-nya Lilis Suryani sempat mampir di telinga anak muda. Namun Bachtiar tak seberuntung rekan-rekannya. Yang dimusnahkan tentara bukanlah DVD, VCD, VHS, Betamax, atau media portabel lain yang bisa diakses secara rumahan, karena memang belum ada di jaman itu—Anda pun dijamin takkan bisa menemukan film-filmnya di torrent. Dengan menghancurkan lusinan gulungan seluloid—yang tak gampang digandakan layaknya cerpen yang ditulis di atas kertas atau lagu yang direkam di pita magnetik—Angkatan Darat membabat habis warisan Kiri dalam sinema Indonesia. Kabarnya, Sinematek masih menyimpan satu atau dua judul, dengan kondisi yang tentu saja memprihatinkan.
Dampaknya luas. Kita tak pernah tahu seperti apa tradisi realisme sosialis dalam film Indonesia, sebagaimana dalam sastra atau lukisan. Ketika tahun lalu orang ramai membicarakan restorasi film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, yang dalam sejarah sinema Indonesia sering disebut-sebut sebagai rival Bachtiar, tak satupun bandingannya bisa dimunculkan. Jauh-jauh hari, Krishna Sen, sarjana kajian media asal Australia, mengulas Bachtiar dalam salah satu bab disertasinya tentang film Indonesia (diterbitkan  tahun 1994 dengan judul Indonesia Cinema: Framing the New Order).  Sen membandingkan kedua maestro, lantas membela posisi Bachtiar. Namun, analisis Sen mengandung keterbatasan, jika bukan persoalan yang sangat mendasar. Pasalnya,  film-film Usmar Ismail dibandingkan dengan materi  pra-produksi film-film Bachtiar (skenario) serta sumber sekunder lainnya seperti ulasan di media cetak. Ketika dipresentasikan di Jakarta tahun 1980an, Misbach Yusa Biran, karib Usmar sekaligus pendiri Sinematek Indonesia yang dulu berseberangan dengan Bachtiar, menilai disertasi Sen tak memenuhi standar akademis.[1]  Klaim yang berlebihan memang; seolah-olah kelemahan 1 bab membatalkan keseluruhan isi  disertasi. Namun dalam ketiadaan sumber-sumber utama, Misbach—di luar afiliasinya di masa lalu—juga tak sepenuhnya keliru.
Ada baiknya kita menilik kembali apa yang dikatakan Sen dalam karya ilmiahnya. Realisme Usmar adalah realisme psikologis.[2] Konflik-konflik protagonisnya lebih bersifat batiniah. Iskandar, tokoh utama Lewat Djam Malam misalnya, adalah seorang veteran dengan pandangan dunia yang pesimis dan fatalis, yang nasibnya berakhir dalam kematian. Ia merasa bersalah telah mengeksekusi keluarga yang dicap pengkhianat di jaman Revolusi Fisik. Ia juga kecewa lantaran menemukan kawan-kawan seperjuangannya kini kaya dari korupsi, termasuk si kolonel yang memerintahkan eksekusi tersebut. Ia pun tak betah dengan lingkaran pergaulan calon istrinya yang sibuk dengan dansa-dansi dan pulang pagi (untuk mengakali jam malam, tentunya). Penyesalan semakin bertambah setelah Iskandar menembak mati sang kolonel, hingga akhirnya kalut tak tentu arah dan tertabrak mobil patroli tentara (yang lagi-lagi teman-temannya sendiri!). Iskandar, bekas mahasiswa teknik yang terpanggil untuk memanggul senjata; kekecewaan pasca-revolusi;  korupsi dan kemewahan duniawi—kritik sosial Lewat Djam Malam nampaknya lebih pas dengan aspirasi kelas menengah Indonesia jaman kita yang gencar mengecam korupsi dan—belakangan setelah mapan—punya impian hidup asketis-spiritual ketimur-timuran.
Berkebalikan dengan Usmar, realisme Bachtiar lebih optimis dan tidak berasyik-masyuk dengan urusan kedirian. Orang boleh mengira-ngira apakah ‘optimis’ di sini berarti mewakili Realisme Sosialis a la Zhdanov yang sering jadi bulan-bulanan intelektual kanan sekaligus kiri anti-Stalinis. Mungkin iya, mungkin tidak. Toh, kebenarannya sulit dibuktikan (kalau pun iya, ada masalah?) Namun setidaknya dari skenario, veteran Johan, protagonis dalam Corak Dunia, film Bachtiar yang dirilis tahun 1955 (setahun setelah Lewat Djam Malam), tak tenggelam dalam fatalisme Iskandar.[1] Johan sempat terjun ke dunia bandit begitu perang usai, namun segera ‘kembali ke jalan yang lurus’ setelah bertemu seorang perempuan tua, lalu jatuh hati pada putrinya yang buta. Dengan bantuan rekan seperjuangan Johan yang kini bekerja sebagai dokter bedah mata,  sang gadis  kembali melihat dunia. Apa lacur, ia bergidik menyaksikan wajah Johan yang penuh bekas luka. Johan pun segera menarik diri dan merenung. Tapi dasarnya tak punya urat galau, perenungan Johan berujung pada kesimpulan progresif-revolusioner: luka di wajahnya diakibatkan oleh perang, yang jika ditarik lebih jauh lagi adalah produk imperialisme. Dasarnya pula bukan anak priyayi, Johan tidak pergi ke klinik bedah plastik, melainkan mengorganisir kawan-kawannya sesama veteran dalam gerakan pasifis—dan akhirul kalam, mengikuti formula film-film romantis, bersatu kembali dengan sang nona. Maka, jika bagi Usmar Revolusi Fisik berakhir di jalan buntu; bagi Bachtiar, ia sekadar  Revolusi Permanen yang baru saja dimulai.
Jumlah film yang dihasilkan orang Lekra terbilang sedikit, jika dibandingkan dengan produksi di ranah lainnya seperti sastra atau sandiwara panggung. Kiprah Lekra dalam film lebih diingat lantaran keterlibatannya dalam Papfias (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika), di mana Bachtiar aktif, guna merespon Masalah Abadi Perfilman Indonesia, yakni bioskop nasional yang didominasi film impor Hollywood beserta konsekuensinya: penganaktirian film lokal yang sampai sekarang tetap jadi tontonan kelas kambing di jaringan bioskop 21. Ironisnya, langkah ini dituduh lawan-lawan Papfias sebagai siasat memasukkan film-film dari negara komunis—sebelas-duabelas dengan  aksi mogok buruh belakangan ini yang dituding telah disetir ‘antek asing’ oleh Apindo.
Beberapa skenario film Bachtiar, termasuk Corak Dunia, masih tersimpan di perpustakaan Sinematek.  kondisi Mengingat kondisi Sinematek yang kapiran, lebih baik Anda cepat-cepat saja ke sana sebelum dimakan rayap atau ditilep intel Kodim. Barangkali Anda tertarik mengkopinya, atau bahkan mengembangkannya jadi film baru. Jika Anda berkesempatan melancong ke Vietnam, Korea Utara, RRC, Rusia, atau negeri-negeri bekas Blok Timur lainnya yang dulu turut serta dalam Festival Film Asia-Afrika (1964), kunjungilah arsip film mereka. Siapa tahu Anda beruntung menemukan Corak Dunia, Turang, Daerah Hilang, dan banyak lagi yang lainnya.
Sekian pengantar untuk penggalan catatan harian Bachtiar Siagian. Kami berterimakasih kepada keluarga beliau yang telah mengizinkan kami memuat manuskrip ini. Selama membaca!
Rujukan
[1] Joss Wibisono,  2012, ‘Sejarah Musik Bedjat’ , dapat diakses di http://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/14/sedjarah-musik-bedjat-oleh-joss-wibisono/
2  Krishna Sen, 1994, Indonesian Cinema: Framing the New Order, London: Zed Books, hal. 41-6.
________
Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo dalam rapat Dewan Juri Festival Film Asia Afrika 1964 di gedung Ganefo. Foto: Koleksi Oey Hay Djoen/ISSI
Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo dalam rapat Dewan Juri Festival Film Asia Afrika 1964 di gedung Ganefo. Foto: Koleksi Oey Hay Djoen/ISSI

CATATAN MENGENAI HUBUNGANKU DENGAN TEATER*

Oleh Bachtiar Siagian

Sejak masih kecil, aku gemar pada kesenian, terutama seni musik, sastra dan teater. Kegemaran itu mungkin karena pengaruh dari kedua orang tuaku. Ibuku, biarpun ‘anak kebun’ dan buta huruf, gemar bermain alat musik harmonium. Entah dari siapa dia belajar memainkan alat itu aku tak tahu. yang jelas dia mahir memainkan lagu-lagu melayu, biarpun kakek dan nenekku orang Sunda. Setiap waktu senggang dia selalu bermain musik dan aku senang mendengarkannya.
Karena kami memiliki alat musik harmonium itu, akhirnya akupun bisa memainkannya. Ketika telah menjadi remaja, aku ikut orkes gambus dan memainkan harmonium. Setelah ada akordeon, aku juga memainkan alat itu. Selain bermain harmonium atau akordeon kadangkala aku juga ikut menari ‘japin’, tarian gambus. Orkes mini sering diundang bermain di pesta-pesta perkawinan. Biasanya duduk di tikar atau permadani, sejak sore hingga larut malam. Selain memainkan lagu-lagu melayu, sesekali juga memainkan lagu-lagu Mesir modern.
Selain ibuku gemar bermain harmonium seorang diri, ayahku gemar membaca syair-syair sambil bernyanyi. Pada waktu itu memang ada pembaca-pembaca syair dengan menyanyi sering diundang ke pesta-pesta untuk membaca syair-syair kisah lama. seperti kisah Puteri Hijau atau kisah-kisah Timur Tengah dan Arab.
Karena sering mendengar ayahku membaca syair-syair seperti itu, akupun akhirnya gemar membawa syair-syair tersebut yang umumnya ditulis dengan tulisan Melayu (huruf Arab).
Selain gemar membaca syair, ayahku juga gemar menonton teater klasik a la opera barat maupun tonil modern. Aku pernah menonton Dean’s Opera dari Malaya, pernah menonton Dardanella, tonil Miss Tibu atau rombongan Blauw Wit yang acapkali mengkritik keadaan sosial ketika itu. Misalnya kisah ‘Diantara Dua Peti Mati’, yang sering dilarang.
Selain teater modern atau opera maupun tonil di kota, di perkebunan tanah Deli sering ada pertunjukkan ‘Bangsawan Kebun’, suatu bentuk opera kuno dengan cerita raja dan jin iprit.
Rombongan ‘Bangsawan Kebun’ itu biasanya mengadakan pertunjukan di berbagai perkebunan dan berpindah-pindah. Pemain-pemainnya tentu pemain kelas bawah yang sudah exit (keluar) dari rombongan kota.
Di samping gemar menonton ‘Bangsawan Kebun’, ataupun opera dari Malaya maupun Dardanela, aku juga sering menonton ‘Ketoprak Dor’, dengan gaya opera barat dan musiknya bukan pakai gamelan tetapi pakai harmonium dan tambur tektek dor, birama wals.
Di kotaku juga ada opera Cina, yang disebut Wayang Cina yang biasanya datang dari Singapore.
Setelah aku di Medan, aku acapkali melihat teater modern dengan lakon-lakon terkenal, seperti kar ya Ibsen, Multatuli dll. Teater itu diorganisasi oleh Belanda-belanda perkebunan yang tergabung dalam ‘Medansche Tooneel Vereeniging (persatuan toneel Media) dan selalu mengadakan pementasan di sebuah sositen yang bernama Witte Sociteit. Tentu saja yang menonton adalah orang-orang Belanda.
Di samping orang-orang Belanda, kaum intelektual Indonesia dan para wartawan, juga punya kegiatan di bidang teater. Di Medan ada beberapa perkumpulan teater, antara lain Surya Negara ‘Cahaya Andalas’ dll. Dan sering mengadakan pementasan di Medan.
Di antara repertoar yang pernah dipentaskan, ialah Gadis Modern, karya Adlin Afandy. Pernah juga lakon Lintah Darat yang sering dipertunjukkan Dardanela, dipentaskan di pentas amatir di Medan.
Aku sendiri mendirikan sebuah kelompok drama yang bernama Kencana di Binjai dan punya pengalaman pahit ketika mengadakan pertunjukan di Belawan, beberapa bulan setelah Jepang menduduki negri kita.
Menulis Drama
Sebelum Jepang menduduki negri ini, aku sudah mulai menulis drama. Lakon terdiri dari 4 babak itu kuberi judul ‘Dr. Darman’. Melukiskan tokoh seorang nasionalis. Ketika itu aku aktif memimpin sebuah organisasi pemuda, Surya Wirawan dan menjadi anggota Parindra cabang Binjei. Ketua Parindra ketika itu pak Rustam, kemudian diganti sdr. Ali Hadibroto. Parindra cabang Binjai itu merupakan lanjutan dari Boedi Oetomo, yang sudah berdiri di Binjei beberapa tahun setelah berdirinya Budi Utomo di Jawa.
Menjelang pecahnya perang Dunia II, kelompok dramaku sempat mengadakan pementasan di gedung bioskop Deli Binjai. Para pelakunya ketika itu terdiri dari pemuda-pemuda Binjai beserta beberapa pelajar Taman Siswa dan anggota Kepanduan Bangsa Indonesia.
Setelah pecah Perang Dunia II, aku menulis drama berjudul ‘Angin Berkisar’, temanya mengungkapkan harga diri kebangsaan dan konflik antara seorang suami berbangsa Indonesia dan istrinya seorang Peranakan Belanda.
Pengalaman Pahit di Teater.
Ketika Jepang menduduki negri ini, semua partai dan organisasi pemuda dan kepanduan dibubarkan Jepang. Ketika itu aku dengan beberapa pemuda-pemudi, diantaranya Dahlan Lubis, Sorim Kemisem, Husin Suleiman. Sponsor dananya adalah istri sdr. Sormin, kak Maimunah.
Kami mengadakan pertunjukan pertama di kota pelabuhan Belawan, di sebuah gedung bioskop. Kami mendapat izin pertunjukan dari pihak Kepolisian.
Penonton cukup banyak dan seluruh kursi gedung bioskop sudah terisi. Tepat jam 20.00 pertunjukan dimulai. Aku menjadi pemain utama dan sekaligus sutradaranya. Ketika babak pertama selesai, penonton menyambut dengan tepuk tangan meriah. Tetapi ketika babak kedua berlangsung, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Beberapa orang Kenpeitai Jepang naik panggung dan membubarkan pertunjukan.
Aku dan sdr. Dahlan dibawa ke kantor Kempeitai Belawan. Di situ aku dipukuli, bukan saja oleh orang Kempeitai Jepang tetapi juga oleh seorang India yang menjadi pembantu Kempeitai itu. Barangkali orang India itu termasuk anggota tentara India yang pro Jepang, dari Malaya.
Setelah disiksa beberapa jam, lewat tengah malam aku dan Dahlan dibawa ke Medan dengan sebuah sedan Chevrolet. Kami dimasukkan di ruang bagasi (tempat ban serep) yang ada dibagian belakang setang itu dan pintunya ditutup. Aku yang diborgol dan hampir tak dapat bernapas, tak sadarkan diri. Aku baru sadar setelah berada di atas rumput basah, dilapangan kantor HVA, jalan Babura Medan yang dijadikan kantor Kempeitai. Aku dan temanku dimasukkan ke sebuah kerangkeng besi, bekas kerangkeng sirkus Harmston yang sudah bubar. Biasanya dalam kerangkeng itulah dipertunukan permainan dengan hewan-hewan buas. Kerangkeng itulah yang dipasang ditengah lapangan rumput, di belakang kantor HVA Medan.
Kerangkeng itu tak beratap dan jika siang dibakar terik matahari dan malam dibasahi embun atau hujan. Aku dan teman serta seorang Belanda, berasal dari salah satu perkebunan dengan Tebing tinggi, seorang India, berada di kerangkeng itu. Makan hanya diberikan sehari sekali, berupa bubur. Minum juga hanya diberi sekali ketika makan.
Di situ aku diperiksa, disiksa. Di dalam kerangkeng tak memakai baju, hanya bercelana pendek. Setiap malam diperiksa dan dipukuli. Aku dituduh mengadakan propaganda Indonesia Merdeka dan anti Jepang.
Selain diperiksa dan disiksa sebagai tertuduh, aku dan tahanan lain, kira-kira 3 orang lagi, diharuskan juga menonton! orang-orang yang sedang diperiksa dan dituduh. Sekali pernah aku diharuskan melihat seorang gadis Cina, berumur lebih kurang 25 tahun, diperiksa. Gadis itu telanjang bulat dan si pemeriksa memgang cerutu yang berapi. Acapkali pemeriksa itu menusuk cerutu berapi itu ke kemaluan si gadis yang tentu saja menjerit-jerit. Aku tak tahu mengapa gadis Cina itu disiksa, tetapi kemudian setelah aku keluar kudengar gadis itu ditangkap karena dirumahnya terdapat radio dan dia dituduh menjadi anggota Liga Anti Fasis.
Setelah lebih kurang dua minggu berada di dalam kerangkeng besi di tengah lapangan rumput kantor HVA belakang, masuk lagi seorang tahanan lain, seorang Belanda perkebunan dari daerah Asahan. Dia ditangkap karena memiliki radio penerima. Setelah beberapa malam di kerangkeng itu, pada suatu malam, dengan berbisik-bisik Belanda itu meminta kesediaanku untuk menyampaikan cincin kawinnya kepada istrinya, seorang wanita Indonesia di daerah Tebing Tinggi. Setelah menyerahkan cincin itu, pagi subuh dia dibawa dan tak pernah lagi kembali. Tentunya telah dipancung.
Setelah lebih kurang sebulan di kerangkeng itu, pada suatu pagi aku di panggil ke kantor dan diberi secangkir kopi manis. Setelah memakai baju, aku diangkut ke kantor Kempetai pusat di dekat Hotel De Boer Medan, bekas kantor Deli Maatschapaj. Di situ aku bertemu dengan bung Jacob Siregar, yang ketika itu membantu Kapten Inouse, Kepala Kempeitai yang terkenal itu.
Setelah diintimidasi dengan pedang samurai, aku dibolehkan pulang setelah meneken surat perjanjian bahwa aku tidak akan aktif lagi dalam gerakan politik.
Setelah itu aku kembali ke rumah pak Ranu, mertuaku, yang juga seorang nasionalis anggota Parindra. Istrinya, putri pungutnya, Kemisem-lah yang menjadi primadona pementasanku di Binjai dan Belawan.
Selama di Binjai, dengan bantuan sdr. Ali Hadibroto yang ketika itu memimpin kperasi konsumsi yang merupakan alat penyalur makanan yang didistribusi oleh Jepang.
Aku membuka warung kopi di simpang tiga jalan kampung Rambung Bangkatan. Selain kopi juga istriku membantu membikin goreng pisang dan ketan untuk dimual. Dia sendiri, selain aktif dalam kelompok dramaku, sebelum pembubaran partai-partai aktif memimpin Pandu Puteri KBI di Taman Siswa Binjai. Salah seorang guru Taman Siswa dan pemimpin KBI, adalah anggota Parindra. Salah seorang anak Uwakku, abang ayahku, kebetulan menjadi Taman Siswa, Jaafar Siagian.
Setelah beberapa bulan membuka warung kopi, pada suatu pagi datang Tahmad Jaafar, seorang pianis beserta temanku yang ikut aktif di kegiatan teater di Binjai, ….. Bung Ahmad Jaafar mengajak aku ikut bergabung dengan kelompok sandiwara mereka yang sedang populer ketika itu. Namanya…… Di kelompok itu ikut B. H. Hutajulu, seorang penyair dan tokoh pemuda, Hadely Hasibuan, seorang wartawan.
Aku dan istriku mengambil keputusan untuk bergabung dengan kelompok itu dan kami langsung berangkat ke Kutaraja (Banda Aceh), di mana kelompok itu sedang mengadakan pertunjukan.  Sejak itulah aku terjun ke dunia teater profesional.
Sebelum aku bergabung dengan rombongan sandiwara itu, istriku telah melahirkan anak kami yang pertama, yang kubero nama Razally, ketika bayi itu lebih kurang 3 bulanlah kami mulai ikut berkeliling. Aku menjadi aktor, istriku menjadi primadona. kami berkeliling dari kota ke kota di seluruh Aceh dan Sumatera Timur. Pertunjukan kami selalu sukses. hampir disetiap kota, akan menerima hadiah karangan bunga dari penonton.
Setelah berkeliling setahun, rombongan kami itu diperkuat dengan ikutnya pak Saleh Umar menjadi penulis beberapa lakon, antara lain yang terkenal ialah Corak Dunia (pernah kuadaptasi menjadi film), Menanti Hari Esok, Panggilan Kewajiban, bunga Anggrek, dll. Sdr. Hadley Hasibuan juga ikut aktif berkeliling.
Setelah Jepang menyerah kalah, rombongan kami aktif di bioskop Royal, Medan. Kadangkala mengadakan pertunjukan. Hamka, tokoh ulama dan pengarang terkenal, seiring juga datang menemui kami. Dia sendiri menulis repertoir.
M. Saleh Umar, yang tokoh pergerakan nasional dan pengurus Gerindo, tidak aktif lagi karena kegiatan organisasi perjuangan di Sumatera Timur, seperti Harimau Liar dll. Karya-karya yang menarik dan dia selalu memakai samaran Surapati.
Ketika kami sedang menganggur dan tinggal di bioskop royal itulah terjadi Peristiwa Jalan Bali, pertempuran antara para pejuang dengan tentara NICA.
Diantara anggota sandiwara kami yang ikut bertempur ketika itu adalah Yusman Kandow, yang kemudian menjadi Mayor A. D. Bakar Boopeng (Bopo yang kemudian aktif memimpin Laskar Rakyat di Medan Area.
Karena sandiwara KINSEI telah bubar, setelah proklamasi, aku dan beberapa pemuda membentuk rombongan baru di Binjai dan mengadakan pertunjukan di Tanjung pura, Binjai pangkalan Brandan.
Setelah itu kami berkeliling daerah Sumatera Timur dengan sponsor dari Dinas Penerangan Angkatan Darat, Resimen……
Setelah itu aku diajak oleh John Hutapea untuk memperkuat kelompoknya di Tarutung, Tapanuli. Aku berangkat dengan beberapa artis ke sana dan mengadakan pertunjukkan.
Setelah itu aku kembali ke Binjai dan bergabung kedalam Pesindo. Aku menulis naskah-naskah drama, antara lain Rosanti, San Yaru, Darah Rakyat.
Pada bulan…… th, 1946, aku menjadi sekertaris Persatuan Perjuangan Langkat. Pada suatu ketika kami mengadakan pertunjukan drama di bioskop Deli, Binjai. Lakonnya ‘Darah Rakyat’ karyaku. Yang menonton sebagian besar Laskar Rakyat dari Medan Area.
Setelah pertunjukan berhenti, sekitar jam 23.00, laskar yang menonton pertunjukanku menyerbu istana Kerajaan Langkat di binjai. Bendera Kerajaan diturunkan diganti Sang Dwi
Dari panggung ke film.
Di zaman pendudukan Jepang itu aku sempat dipilih oleh seorang Jepang untuk membantunya membikin sebuah film semi dokumenter mengenai Tonary Gumi dengan film BW 16 mm.
Itulah pertama kalinya aku berkenalan dengan media film. Dari orang Jepang itu pula aku sempat mendapat pelajaran singkat bagaimana membikin sebuah film.
Pelajaran film lain yang pernah kuperoleh, ialah membaca naskah Film Art (Pudovkin), ketika revolusi dan aku berada di Aceh. Naskah itu dalam bahasa Cina dan oleh seorang teman Cina aku dibantu untuk bisa memahami isinya.
Setelah penyerahan kedaulatan dan aku keluar dari tentara aku mulai menulis skenario berjudul Kabut Desember, bertolak dari pengetahuanku yang minim itu.
Pada suatu ketika bung Saleh Umar yang ketika itu menjadi anggota DPR, menghubungkan aku dengan Adam Malik, ketika itu memimpin Kantor Berita Antara. Di samping itu beliau juga aktif dibidang impor film dari Cina. Dengan bantuannya kami dirikan sebuah perusahaan film, Mutiara Film, dengan direktur Bariun AS. Dan Mutiara film-lah yang memproduksi filmku pertama Kabut Desember, dengan peran utama Sakti Alamsah dan Dahlia.
Sebagai pemain pembantu, Kamal Rangkuti dari Medan dan …… juga dari Medan. Sakti Alamsyah sendiri adalah wartawan dari Pikiran Rakyat Bandung.
Karena aku masih asing dengan peralatan teknis film 35 mm bersuara. Aku dibantu oleh seorang teman, sutradara dan pernah berpengalaman di Singapura, Jaafar Wiryo. Sebagai juru kamera adalah Chu To, dari Hongkong yang kebetulan bekerja pada Garuda Studio. Disampung dia ada juga cameraman lain, juga dari Hongkong. Juga seorang soundman dan ahli laboratorium Studio Garuda terletak di Kebayoran Lama.
Ada pengalaman khas ketika itu, yaitu adanya orang-orang film senior yang ‘melecehkan’ aku, karena aku belum pernah jadi sutradara dan tahu-tahu menyutradarai film dengan pemain kelas I seperti Dhalia.
Ketika shooting ada juga yang iseng mengintip caraku bekerja dan memang ‘lain’ dari cara mereka yang lama. Tema cerita Kabut Desember itu sendiri lain dari kisah-kisah film model lama.
Pengalamanku ketika membikin 16 mm dengan orang Jepang di Medan, teori-teori Pudovkin yang sempat kupelajari melalui naskah terjemahan yang sempat kupelajari ketika masih berada di Aceh sebagai prajurit. Kiranya banyak membantuku untuk menciptakan sesuatu film baru.
Sama dengan direksi PT. Muara Film, Barioen AS, aku tak sejalan sehingga akhirnya aku meninggalkan Muara Film setelah Kabut Desember selesai.
Karena prestasi yang kucapai, aku dapat kesempatan lagi untuk membikin film lain yang diproduksi oleh Garuda Film yang dipimpin oleh tuan Oei See Moh. Aku mengadaptasi karya Surapati (Saleh Umar) Corak Dunia dalam bentuk karya film dan merekrut Mieke Wijaya, seorang new comer sebagai pemain utama.
Film itu berhasil dengan sukses. Seorang tokoh pendidikan Pak Kasur, yang ketika itu bekerja di Badan Sensor Film sempat memuji-muji film tersebut sebagai film pendidikan yang bagus. Nyatanya memang film itu sempat di ekspor ke RRC, Vietnam dan Korea.
Melalui Corak Dunia itu pula, aku mulai mengorbitkan Soekarno M. Noor disamping Mieke Wijaya dan berhasil.
Setelah berhasil mencapai prestasi melalui dua film pertama itu, banyak kalangan film yang menawarkan aku kesempatan untuk memproduksi film.
Di antaranya, dari sdr Abu Bakar Abdy, dari Medan. Dengan modal gabungan Abubakar Abdy dan Garuda Film aku memproduksi film musik Melati Senja, dengan pemain utama Lies Noor dan aku sendiri, dibantu bing Slamet, Mimi Mariani. Selain sebagai aktor, aku bertindak sebagai sutradara.
Film itu ternyata sukses dan setelah itu aku membikin film Daerah Hilang yang bercorak kritik sosial mengenai tanah gusuran, dengan pemain utama Soekarno M. Noor dan new comer Ida Farida dari Medan. Ida Farida kemudian menjadi istri Abu Bakar Abdy.
Sayang, film Daerah Hilang kena sensor keras dan beberapa bagian harus di-‘gunting’ sehingga film itu jadi tak punya makna apa-apa. Ketika itu Ketua Badan Sensornya adalah Ny. Maria Ulfah Santoso.
Karena Daerah Hilang telah ‘dihancurkan’ oleh Badan Sensor, secara komersial dia mengalami kegagalan.
Setelah itu sdr. Abu Bakar Abdy mendirikan Rencong Film. Lalu aku membuat rencana sebuah film perjuangan yang berlangsung di Sumatera Utara, Tanah Karo, daerah di mana aku pernah aktif bergerilya melawan Belanda.
Dengan kerjasama antara Rencong Film dan Yayasan Gedong Pemuda yang diketuai oleh Kolonel Jamin Ginting, Panglima Bukit Barisan, kami memproduksi film Turang dengan pemain-pemain new comer, anak Medan, seperti  Nyzmah yang sempat meraih aktres terbaik dalam festival drama di Medan Zoubier Lelo, Hadisyam Tahax, Ahmadi Hamid, aktor yang sem…
Lokasi shooting-nya di daerah Karo. setelah selesai film itu ikut dalam festival Film Nasional, menantang karya-karya cinema yang sudah mapan, seperti Usmar Ismail dll. Ternyata Turang meraih hadiah pertama sebagai film terbaik.
Film itu kemudian dibeli release copyright-nya oleh beberapa negara sosialis, antara lain Uni Sovyet, RRC, Vietnam, Korea.
Oleh karena aku berhasil mencapai prestasi menciptakan film terbaik, banyak kalangan cineast lama, antaranya kelompok Usmar Ismail, Perfini, mulai membenciku dan melancarkan kampanye yang menuduh aku ‘orang politik yang masuk film’ dan karena aku anggota seksi film Lekra (Lembaga Film Indonesia, aku dituduh komunis, walau aku bukan anggota PKI.
Di samping menjadi anggota Lekra, aku memang menjadi anggota dan kemudian salah seorang pengurus Sarikat Buruh Film dan Seni Drama (Sarbufis), yang anggotanya terdiri dari para artis teater dan film, termasuk anggota-anggota kelompok ketoprak, wayang orang dll.
Di antara anggota dan pengurus Sarbufis, termasuk sdr. Tanu Honggonegoro alias Tan Sing Hwat, seorang sutradara film lama, Jaafar Wiryo, sutradara dll.
Mungkin itu juga menyebabkan kalangan orang-orang Perfini Usmar Ismail membenciku dan sering memfitnahku sebagai orang kiri.
Selain itu, Rencong Film sebagai badan usaha produksi film, ikut menjadi Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).
Oleh karena sdr. Abubakar Abdy yang sibuk sebagai orang bisnis tak sempat aktif, akulah yang ditunjuk menjadi wakil Rencong Film. Ada dua perusahaan film asal Medan yang menjadi anggota, yaitu Rencong Film dan Radial film yang dipimpin oleh Amir Yusuf.
Aku dan Amir Yusuf punya pandangan yang sama mengenai dunia film. Dia juga seorang pejuang.
Pada suatu konprensi PFFI memilih pengurus baru, Amir Yusuf terpilih sebagai ketua dan aku sebagai sekertaris jendralnya. Golongan Perfini tersingkir.
Kami segera menyusun suatu program perjuangan film Nasional, hasil suatu Musyawarah Film Nasional yang di’boikot’ oleh kelompok Usmar, tetapi juga bersaing dalam produksi, ikut ambil bagian.
Salah satu inti persoalan yang dibahas dalam musyawarah film tersebut adalah dominasi film Amerika yang di bawah AMPAI.
Pada bulan…… th. dibentuk Panitia Aksi Boikot Film AS, yang anggotanya terdiri dari organisasi-organisasi film seperti PPFI, Pifin, Persatuan Bioskop Seluruh Indonesia, Sarbufis, Lembaga film, organisasi-organisasi kebudayaan.
Setelah itu dilakukan pemboikotan film AS di seluruh Indonesia dan demonstrasi di depan gedung AMPAI.
Disamping pemboikotan film AS yang selama ini memonopoli  gedung bioskop, kalangan progresif juga mempersiapkan Festival Film Asia Afrika. Golongan Perfini, Usmar, menentang festival film Asia Afrika dan mereka aktif dalam Festival Film Asia yang disponsori Taiwan, kendati pemerintah Taiwan terang-terangan anti Republik Indonesia.
Pada bulan… th… dapat diselenggarakan Festival Film Asia Afrika I di Jakarta. Aku duduk sebagai salah seorang ketua panitia sedangkan ketua umumnya adalah Ny. Utami Suryadarma.
Selain menjadi salah seorang Ketua Panitia, aku juga menjadi salah seorang anggota juri film yang dipertandingan ketika itu.
Golongan Perfini Usmar memboikot festival film tersebut dan tetap aktif mendukung festival film Taiwan.
Walaupun tujuan Aksi Boikot Film Amerika dan Festival Film Asia Afrika, adalah untuk kepentingan pertumbuhan dan perkembangan film nasional, termasuk film-film Perfini, namun golongan Perfini menyebutnya dan menuduhnya sebagai upaya untuk kepentingan PKI.
Di samping kegiatan-kegiatan tersebut, di Medan aku dan beberapa wartawan Medan, termasuk Murad Abdullah, Edy Elison Kr dll. mendirikan sebuah Lembaga Pendidikan Film dan mulai mengadakan kegiatan pendidikan ke jurusan penulisan skenario film. Anggota yang tergabung lebih kurang 50 orang dan kuliah serta sekertariatnya bertempat di Gedung Rencong Film, di Jalan Asia Medan. Diantara yang aktif mengurus sekertariatnya adalah sdr. Rusly Tahir, seorang wartawan bersama Murad Abdullah.
Di samping kegiatan Pendidikan di Medan, juga di Jakarta kami mengenakan semacam taman latihan untuk bidang film, diselenggarakan oleh Lembaga Film Indonesia.
Di samping kegiatan menyelenggarakan Aksi Boikot Film, Festival film Asia Afrika, aku juga aktif membantu panitia Konferensi Wartawan Asia Afrika dengan membikin film dokumenter Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing, setelah peristiwa G. 30 S.
Aku juga aktif dalam delegasi Indonesia ke Konverensi Perdamaian di Tokyo, bersama Ibu Utamai Suryadarma. Aku membikin film dokumenter. Aku bawa kamera 16 mm dan dengan bantuan seorang teman di Jepang untuk memegang lighting, aku shoot sen…
Selama di Nusakambangan, oleh seorang Perwira pembina Mental Nasrani aku diminta mengadakan pertunjukan drama dalam rangka memperingati Hari Natal. Aku menulis sebuah naskah berjudul ‘Kasih dan Pengorbanan’. Kami berlatih selama sebulan,terdiri dari teman-teman Tapol dari berbagai daerah yang ada di Nusakambangan diantaranya sdr. Marmo SH, asal Yogya.
Ketika dipertunukkan selama beberapa malam, seorang Pendeta dari Purwokerto yang menyaksikan pertunjukan itu, mengajak banyak orang dari Purwokerto untuk pergi melihat pertunjukan itu ke Nusakambangan. Bahkan dia meminta izin untuk bisa membawa rombongan kami mengadakan pementasan di Purwokerto, tetapi dia tak memperoleh izin itu.
Ketika sering ke Medan memberi pelajaran menulis skenario di Lembaga pendidikan Film Medan, aku menulis sebuah drama puisi berjudul Buih dan Kasih.
Naskah itu pernah dipentaskan di Pantai Cermin, atas sponsor Bupati Kab. Deli Serdang, Abdulah Eteng. Pelakunya adalah Nizmah, hadisyam Tahax dll. Pertunjukan itu diadakan di sebuah panggung atas air. Penonton melihat dari pantai. Pertunjukan itu selesai, ketika air pasang.
Ketika itu yang menghadiri pertunjukan lebih dari 10.000 orang, datang dari berbagai kota dengan mobil. Ketika akan pulang terjadi kericuhan. Ketika datang mobil itu diparkir dijalan ke pantai yang jauhnya lebih kurang 5 km dari jalan raya. Ketika hendak pulang mobil yang paling ujung (yang datang awal) tak bisa keluar, sebelum mobil mobil dibelakangnya pergi, sedangkan jalan itu jalan kampung hanya bisa dilalui satu mobil, tak bisa berpapasan.
Sampai tengah malam barulah urusan pulang itu usai, sementara orang kelaparan dan protes kepada pak Bupati.
Langkat, a.l. Tengku Latifah, Tengku Kamali h. Mengapa hal itu dapat terjadi, karena pemimpin orkes kami itu, Asbah yang bermain Hawaian bertitel Orang Kaya, termasuk kalangan bangsawan berdarah biru. Kami sering bermain di istana Sultan di Binjai.
Seorang teman akrabku, Abdulah Kamil, yang dekat dengan teman-temanku dari Pemuda Gerindo, sering mengkritikku karena ikut dalam band istana itu. Abdulah Kamil kemudian pindah ke Malaya dan kemudian sempat menjadi Duta Besar RI di PBB.
Di samping ikut band Hawaian itu, aku juga ikut orkes keroncong yang dipimpin oleh temanku bernama Pon. Pernah beberapa kali ikut kongkurs di Pasar Malam.
Ada hal yang menghambat aku dalam bermain musik. Kakekku yang fanatik beragama, melarang aku bermain musik katanya alat musik itu maksiat yang akan membawa orang ke neraka.
***
Membantu AURI
Setelah Konfrensi Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18 April 195(?), situasi politik dalam negri terasa tegang. Pada tanggal 20 Desember th. 1956 terjadi peristiwa Dewan Banteng lalu menyusul aksi-aksi pembentuk apa yang disebut Dewan-Dewan dan peristiwa Boike Ninggolan di Sumut.
Pada tanggal 30 November1957 terjadi penggeranatan terhadap Bung Karno di Cikini lalu pada tahun berikutnya, 15 Februaru 1958, terjadi pemberontakan PRRI-Permesta yang didalangi oleh Amerika Serikat.
Hal itu terbukti dengan tertangkapnya Allan Pope, seorang penerbang AS.
Karena Republik ini dalam keadaan bahasa, melalui Kapten AURI Rasidi, aku menjadi sukarelawan AURI. Ketika itu Panglimanya Suryadarma dan Kepala Stafnya Siswadi.
Aku dan Kapten Rasidi serta seorang Bintara AURI, pemuda asal Nias, diterbangkan ke Pulau Nias.
Rencana di Nias ialah membangun sebuah lapangan terbang, karena sebelum itu sering pesawat-pesawat terbang tak bertanda terbang dari arah Pulau Cocos melewati Tapanuli. Dan besar kemungkinan mereka mendrop senjata untuk para pemberontak, Nainggolan CS.
Sebelum berangkat ke Nias, aku mampir ke Medan menghubungi SM Tarigan, ketua BTI Sumatra utara untuk membicarakan kemungkinan pengerahan anggota. BTI di Nias bekerja bakti membangun lapangan terbang itu.
Maksud itu memperoleh dukungan dan aku serta Kapten Rosidi segera berangkat ke Gunung Sitoli dengan menumpangi sebuah pesawat Catalina.
Setelah terbang lebih satu jam kami mendarat di perariran Gunung Sitoli.
Kami tinggal di sebuah rumah yang baru didirikan untuk rumah Bupati Nias. Ketika itu Bupatinya ayah dari seorang teman sastrawan di Medan Bokor Hutasuhut dan Kepala Polisinya orang dari Tanah Karo, Sembiring.
Kami segera mulai membangun lapangan terbang itu dengan bantuan rakyat Nias yang bekerja secara sukarela. Sebagian besar adalah anggota Barisan Tani.
Lapangan terbang itu diberi nama Hunanbou yang letaknya arah ke barat Gunung Sitoli.
Ketika itu aku menggubah sebuah lagu mars berjudul Hunanbou, yang liriknya menganjurkan kerjabakti demi kepentingan dan kemajuan pulau Nias.
Banyak pengalaman-pengalaman khusus selama di Nias antara lain mengenai apa yang disebut black magic.
Pada suatu hari aku oleh Dr. Muller, yang Kepala RS di Gunung Sitoli diberi kesempatan untuk melihat laboratoriumnya. Di sana ditunjukan sebuah botol, seperti toples, yang berisi kaki burung elang dengan kuku-kukunya yang tajam, dililit oleh rambut.
Menurut kata dokter Jerman itu, benda itu ditemukan dirahim seorang wanita yang perutnya membunting selama beberapa bulan dan dikira hamil. Setelah dioperasi, ditemukanlah barang ajaib itu.
Di depan asmara kami ada seorang guru wanita yang parasnya lumayan. Kami berkenalan baik. Dia mengajar di SGKP.
Pada suatu hari aku kaget, ketika mendengar suara wanita menjerit-jerit dan tertawa terkekeh-kekeh. Ketika aku keluar rumah, ternyata sudah banyak orang datang ke rumah guru itu karena wanita kenalanku itu sakit. Dia menjerit-jerit dan bertelanjang bulat di kamarnya, memanjat-manjat dan kadangkala tertawa terkekeh-kekeh seperti orang gila.
Aku segera menghubungi Dr. Muller untuk meminta bantuannya. Namun dokter itu menasehati agar aku lebih baik pergi ke sebuah desa menjemput seorang dukun. Dia meminjamkan landrovernya dan malam itu juga dukun itu kujemput ke sebuah kampung yang cukup jauh.
Ternyata, setelah dukun itu datang, wanita itu dapat disembuhkan dengan secara baik.
Menurut keterangan, dia ‘dibikin’ orang yang sakit hati karena lamarannya ditolak oleh orangtua si guru itu.
Pengalaman lain lagi, mengenai penyakit malaria tropika yang mengganas di Pulau itu. Ada seorang penduduk desa, agak jauh dari Gunung Sitoli, yang anak perempuannya berumur lebih kurang 5 tahun sakit dan tak sembuh-sembuh. Anak itu sudah sangat kurus.
Karena ada tanda-tanda dia kena serangan malaria, kuberikan satu dosis obat Malaria dari Bayer, Resochin, yang memang kami bawa sebagai persediaan menangkal malaria selama di Nias.
Setelah beberapa hari dia minum obat itu secara teratur anak itu sembuh dan oleh ayahnya anak itu ‘diberikan’ kepadaku sebagai anak. Dan agar anakku itu tidak kubawa keluar Nias, orangtuanya menebusnya dengan sebuah cincin emas dengan permata sebuah geliga kelas yang putih dan selalu berobah-obah.
Ketika aku pulang, cincin itu kubawa dan anak angkatku itu tetap tinggal di Nias.
Setelah beberapa bulan di Nias, lapangan terbang itu dapat digunakan untuk pesawat-pesawat ringan. Aku dan Kapten Rasidi kembali ke Jakarta.
Kami diangkut oleh sebuah spedboot Alri ke Teluk Bahur Padang dan dari padang dengan Gia ke Jakarta.
Karya-Karya Film Periode 1955-1981
1. Kabut Desember     pelaku: Dahlia, Sakti Alamsyah     skenario/sutradara
2. Melati Senja            pelaku: Lies Noor, Bing Slamet       skenario/sutradara
3. Daerah Hilang       pelaku: Sukarno M. Noor                  skenario/sutradara
4. Corak Dunia            pelaku: Mieke Wijaya,
                                         Sukarno M. Noor                                 skenario/sutradara
                                                                                                         (diekspor ke RRC, Korea, Vietnam,
Jerman, Uni Sovyet)
5. Baja Membara         pelaku: Farida Ariani, Arifin,
                                          Ali Yugo, Sofia Waldy (ekspor ke
Uni Sovyet, RRC, Korea, Jerman    skenario/sutradara
6. Memburu Menantu  pelaku: Ludruk Marhaen                  skenario/sutradara
7. Kamar 13                     pelaku:                                                   skenario
8. Notaris Sulami          pelaku: Fifi Young, Rima Melati    skenario/sutradara
9. Iseng                            pelaku:                                                   skenario
10. Membangun Hari Esok pelaku: Diky Zulkarnaen, Nani Wijaya   skenario/sutradara
11. Piso Surit                            pelaku: Mieke Wijaya, Ahmady Hamid   skenario/sutradara
                                                     (Ekspor ke Uni Sovyet, Inggris)
12. Violeta                                 pelaku: Bambang Hermanti,
                                                     Rima Melati, Fifi Young                               skenario/sutradara
13. Sekejap Mata                     pelaku: Mieke Wijaya, Zainal Abidin      skenario/sutradara
14. Busana Dalam Mimpi     pelaku:                                                              skenario
15. Tiga Dara Mencari Cinta        pelaku:                                                     skenario
16. Tomboy                                        pelaku:                                                     skenario
17. Intan Mendulang Cinta          pelaku:                                                      skenario
18. Gemerlap dalam Badai            pelaku:                                                     skenario
19. Karma Pala                                 pelaku:                                                     skenario
20. Membelah Kabut Tengger    (video — beredar di Malaysia              skenario
                                                              pernah disiarkan RCTI
Karya Film Dokumenter 16 mm. periode 1955/1981
1. Upacara Adat Aron Tanah Karo
2. Seni Ratuh Duk Aceh
3. Kesenian Gayo Alas
4. Kesenian Sedati Aceh
5. Danau Toba dan Penduduknya
6. Danau Air Tawar, Takengon Aceh
7. Awan Indonesia           (ekspor ke Jepang NHK.)
8. Fkoating Bank Kalimantan Barat (BNI)
9. Patung-patung kayu Amrus Natalsya                  (Ekspor ke Uni Sovyet, Ceko, Jepang)
10. Bank Keliling BNI Jawa Tengah-Jawa Timur
11.Pameran Uang Republik Indonesia (BI)
12. Konfrensi Kaliurang BNI
13. Tambang Batu Bara Ombilin
14. Pahlawan Nasional Ngurah Rai (pelebon di Bali)       (diekspor ke AS/Nitour)
15. Pameran Industri Jakarta
16. International Journalist Conference Jakarta
17. Afro Asia Journalist Conference, Bali
18. Peace Conference, Tokyo, Jepang
19. Ganefo (Games of the New Emerging Forces, Jakarta)
20. Afro Asian Film Festival Jakarta
21. Pabrik Rokok BAT Surabaya
22. Pabrik Tekstil Pasuruan
23. Procer & Gamble Surabaya
24. Belum Terlambat, Dep. PDK                                                     )
25. Tantangan dan Harapan, Dep. PDK                                      ) Semi Dokumenter
26. Kabutpun Berlalu, Dep. PDK                                                     )
27. Rentang yang Menantang Dep. Pertanian                            )
28. Perlindungan Rentang Direktorat Pengairan
29. Terang Satu, Terang Semua  Dirjen Koperasi (Listrik Pedesaan)                             Semi Dokumenter
30. Desa Terang, Hati Benderang              Dirjen Koperasi/Listrik Masuk Desa        Semi Dokumenter
31. Kawasan Industri Pulo Gadung
32. Kawasan Pabrik Baja Cilegon PT. Krakatau Steel
33. Dok Kapal Keruk
dll.
Karya-Karya Drama Teater
1. Dokter Darma                                  ketika dipentaskan di Belawan, zaman pendudukan Jepang, penulisnya ditangkap Kempeitai
2. Darah Rakyat                                   drama satu babak
3.DB (Darah Buruh)                            drama 2 babak (dilarang pementasannya)
4. Sanyaru                                                drama satu babak.
5. Lorong Belakang                            diterbitkan sebagai buku di Medan
6. Antara Kasih                                    drama 3 babak
7. Angin Berkisar                                 drama 3 babak
8. Caping                                               Komedi Tragik
9. Buih dan Kasih                                drama Puisi, dipentaskan di teater Pantai, pantai Cermin
10. Kasih dan Pengorbanan             drama 3 babak
11. Aster Merah                                     drama radio, beberapa kali disiarkan oleh RRI
12. Musim Rindu                                 drama radio
13. Puteri Bulan                                    drama tari dan nyanyian operette
 *Dalam dokumen asli yang disimpan oleh keluarga Bachtiar, judul catatan ini dicoret. Redaksi LKIP) sengaja tetap mempertahankan judul tersebut.
Pengantar oleh Windu Jusuf

Sumber: IndoProgress