Anggih Tangkas Wibowo
Prof. Dr. Aiko Kurasawa akan menyampaikan ceramah di LIPI
tentang bukunya yang akan terbit di Jepang mengenai G30S menurut arsip Jepang.
Buku itu merupakan buku pertama tentang G30S yang terbit di Jepang. Secara
internasional sekaligus buku pertama tentang G30S 1965 yang menggunakan arsip
berbahasa Jepang. Secara khusus Aiko Kurasawa juga melakukan wawancara dengan
Dewi Soekarno.
Sebelumnya, buku mengenai Dewi Soekarno dan
keterkaitannya dengan pampasan perang dari Jepang sudah terbit di. Tetapi Dewi
Soekarno juga saksi sejarah dalam peristiwa yang terjadi di Halim Perdanakusuma
tanggal 1 Oktober 1965. Apa saja yang disampaikan oleh Soekarno kepada Dewi
saat itu dan bagaimana kondisi dan situasi sebenarnya saat itu. Maka dari itu,
Pusat Penelitian Politik LIPI mengadakan seminar yang diselenggarakan pada
Selasa, 17 September 2013 yang bertempat di Ruang Seminar Lantai 1 Gedung Widya
Graha LIPI.
Acara tersebut dihadiri oleh peneliti-peneliti di
lingkungan Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK-LIPI), para
akademisi, praktisi, dan juga mahasiswa umum. Seminar ini menghadirkan tiga (3)
orang pembicara, yakni Prof. Dr. Aiko Kurasawa, Dr. Asvi Warman Adam, dan Dr.
Yosef Djakababa dengan moderator, Wahyudi Akmaliah Muhammad, M.Hum. Acara
dibuka oleh Dr. Muridan Satrio Widjojo, M.Si selaku Kepala Bidang Perkembangan
Politik Lokal P2P-LIPI. Muridan memaparkan bahwa arsip adalah sesuatu yang
sangat penting dan patut untuk didiskusikan dan dibuka kebenarannya. Ia juga
mengucapkan terima kasih kepada sejarawan Indonesia yang telah berperan dalam
meneliti tentang arsip-arsip yang ada di Indonesia dan di luar negeri.
Memasuki acara pertama, Prof. Dr. Aiko Kurasawa
memberikan ceramah tentang beberapa informasi dan analisa baru tentang
sikap dan peranan Jepang dalam Peristiwa 30 September 1965 dengan
memperkenalkan arsip Departemen Luar Negeri Jepang, Duta Besar, Shizuo Saito,
Dewi Soekarno dan beberapa wawancara yang dilakukan di Jepang termasuk dengan
Dewi Soekarno, dan Nishijima.
Professor dari Keio University ini menerangkan
posisi Jepang sebelum peristiwa 30 September 1965 boleh dikatakan bahwa pada
waktu G30S meletus, Jepang mempunyai kedudukan atau hubungan agak khusus dengan
Indonesia dan sangat berbeda dengan negara-negara Barat yang dijauhi oleh pemerintahan
Soekarno. Aiko melanjutkan dimana saat itu Duta Besar Jepang absen dari
Jakarta, yakni Duta Besar Saito kebetulan berada di Cilacap sesudah menghadiri
upacara peresmian salah satu proyek perusahan Jepang tanggal 30 September
1965.
Aiko Kurasawa menjelaskan saat meletus G30S, Dewi
Soekarno menyesali suaminya mengambil keputusan yang salah, dimana saat terjadi
Soekarno merasa tidak aman ketika ke Istana Negara sehingga ia menuju ke rumah
isteri keempat yang tinggal di daerah Slipi, seharusnya Soekarno sebagai
Presiden tetap ke Istana. Selanjutnya, Aiko menerangkan bahwa Jepang masih
terkena hipnotisme Sukarno, dimana pada masa itu pemerintah Jepang bersikap
ragu-ragu. Pada masa awal kebanyakan politikus dalam pemerintahan Jepang
bersimpati terhadap Soekarno secara pribadi dan mengharapkan beliauakan kembali
mengendalikan situasi.
Selanjutnya, Aiko mengatakan bahwa Jepang menarik
dukungan kepada Sukarno dan Dewi menyadari “Kita yang kalah”. Dewi mengatakan
hal tersebut Dewi menyesal sekali karena selama perjalanannya ke Jepang
dan Eropa situasi di Indonesia tiba tiba berubah dan Bung Karno memecat
Nasution dan beberapa menteri yang memusuhinya. Sepulangnya ke Indonesia Dewi
menghadapi “Supersumar”, tetapi dia belum bisa menyadari betapa penting dan kritis
peristiwa ini bagi Presiden Soekarno.
Aiko menyimpulkan ceramahnya dengan menjelaskan bahwa
kedudukan dan hubungan yang sangat ambivalen sebelum peristiwa 30 September
1965, respon pemerintah Jepang pada awal peristiwa ini tidak sejalan dengan
kebanyakan negara lain dalam dunia politik internasional. Hal itu dipengaruhi
oleh Duta Besar, Shizuo Saito, yang sudah lama kenal dengan Bung Karno sejak
zaman Jepang. Beliau sangat bersimpati kepada Bung Karno. Tetapi lama kelamaan
pemerintah Jepang juga mulai menjadi realistis dan mengharapkan adanya rezim
baru yang lebih memihak Barat dan berorientasi ke pembangunan ekonomi dengan
menerima modal asing. Begitu kebijakan dasar pembangunan berubah di
Indonesia, pemerintah Jepang cepat mengambil perakarsa untuk membantu
Indonesia membangun Orde Baru dan akhirnya menjadi donator paling besar bagi
rezim Soeharto. Di belakang itu memang terdapat keinginan kaum bisnis Jepang
yang dari dulu sudah berminat menanamksn modal di Indonesia. Sejak itu
politik luar negeri Jepang terhadap Indonesia lebih cenderung
mengutamakan ekonomi dan tindakan berdasar politik makin lama makin sedikit.
Dengan demikian, bagi Jepang dampak Peristiwa 30 September di Indonesia sangat
besar.
Pembicara selanjutnya, Dr. Asvi Warman Adam menjelaskan
tentang “Dimensi Internasional G30S”. Asvi mengatakan bahwa arsip-arsip
mengenai G30S sudah dirilis dan dibuka di berbagai negara. Pertama, mengenai
seminar di Jakarta yang bertemakan seminar internasional ”Indonesia and
the World in 1965”, di Goethe Institute, Januari 2011. Selanjutnya,
AS dan inggris, dimana AS menyerahkan daftar nama pengurus PKI dan bantuan uang
Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu dan Inggris mengirim
agennya, Norman Reddway, untuk membentuk sebuah lembaga di Singapura dan dari
sana melancarkan kampanye antikomunis.
Peneliti senior P2P-LIPI ini melanjutnya, bahwa Uni
Soviet melalui Ragna Boden yang meneliti arsip Uni Soviet menyimpulkan bahwa
Moskwa tidak terlibat dalam kudeta. Negara ini cenderung bersikap oportunistis.
Mereka tidak berani, misalnya, menampung tokoh PKI yang diburu aparat keamanan
di kedutaan besar mereka. Lanjutnya, di Perancis, reportase dan analisis pers
Perancis tentang Indonesia tahun 1965/1966 tidaklah mendalam, seperti diakui
pakar Perancis Francois Raillon. Tanggal 22 Maret 1966 koran Le Monde
menurunkan artikel panjang berisi puji-pujian tentang Soeharto yang dianggap
tokoh alternatif bagi Indonesia.
Asvi mengatakan, tahun 1965 terdapat dua Jerman di
Jakarta, yakni Jerman Barat yang telah membuka kedutaan besar sejak 1952 dan
Jerman Timur yang berstatus konsulat. Keduanya bersaing dan pihak Jerman Barat
merintangi pengakuan negara asing terhadap Jerman Timur. Kedutaan Besar Jerman
Timur baru dibuka pada era Orde Baru.
Namun, kedua Jerman itu bersikap skeptis terhadap politik
luar negeri Indonesia dan perkembangan PKI. Dalam ulang tahun PKI (Mei 1965)
negara komunis Jerman Timur tidak diundang. Setelah meletus G30S, Jerman Barat
melihat peluang ekonomi di Indonesia. Duta Besar Kurt Luedde-Neurath mengatakan
”kesempatan itu harus diambil, jangan dilepaskan.”
Lulusan doctor di Ecole des Hautes Etudes en Science
Socialaes, Paris, Prancis ini melanjutkan pembahasannya yaitu, di
Australia, Richard Tanter mengungkapkan betapa sedikit pengetahuan masyarakat
Australia tentang pembantaian massal tahun 1965 di Indonesia ketimbang
pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin Rusia, atau Khmer Merah Kamboja.
Yang disampaikan Paul Keating tahun 2008 mungkin bisa menjawab sikap politisi
Australia yang mendua itu: ”Andai kata Orde Baru tidak menyingkirkan Soekarno
dan PKI, akan terjadi destabilisasi di Australia dan seluruh Asia
Tenggara.”
Asvi mengatakan, arsip mengenai G30S yang belum dibuka
dan dirilis yakni, di Jepang dan China, dan saat ini arsip Jepang sudah
diteliti Prof. Aiko Kurasawa. Sedangkan di China, ada beberapa buku yang sudah
meneliti tentang arsip ini, salah satunya Cold War Inernational History
Project, Working Paper. Negara-negara di luar Indonesia sudah mulai
membuka arsipnya masing-masing, tetapi Asvi mengatakan “mengapa di Indonesia
arsip tentang 1965 malah mau disembunyikan lagi”, tegasnya.
Pembicara terakhir, Dr. Yosef Djakababa menjelaskan bahwa
di berbagai negara telah membuka arsip mengenai G30S/1965 sebagaimana
disampaikan oleh Dr. Asvi Warman Adam, tetapi selama ini belum ada yang
mengkaji tentang arsip-arsip tersebut dari Albania. Banyaknya ketidak pedulian
tentang arsip-arsip di Albania ini menimbulkan pertanyaan, padahal menark untuk
dikaji lebih dalam.
Selanjutnya, acara diskusi dan tanya jawab berlangsung
secara pro aktif. Buku mengenai arsip Jepang ini akan segera dirilis oleh Prof.
Aiko Kurasawa, dan sudah banyak yang menantikan terbitnya buku tersebut dan
tentunya sangat menarik untuk dibaca.
0 komentar:
Posting Komentar