11 NOVEMBER 2013 | 12:46
Di antara nama-nama pejuang perempuan yang memenuhi panggung sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, barangkali nama Francisca C. Fanggidaej tak begitu dikenal. Hampir tak ada literatur yang mengulas hidup dan perjuangannya. Namanya tenggelam bersamaan dengan hancurnya Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Peristiwa G 30 S 1965.
Walau begitu namanya justru tercatat dalam buku peringatan Konfrensi Kalkuta yang sangat bersejarah. Dalam konfrensi itu, sebagaimana dicatat Ita Fatia Nadia: Francisca C. Fanggidaej yang juga akrab dipanggil Sisca, berpidato untuk memberitahukan kepada dunia International tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Konfrensi Kalkuta sendiri merupakan konfrensi pemuda dari negara-negara terjajah yang sedang memperjuangkan kemerdekaan yang diselenggarakan di kota Kalkuta, India pada 1948 dan embrio dari konfrensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. (h. 9)
Saya sendiri baru mengenal namanya sekitar tahun 1999 via esai memoar yang dia tulis menyambut Indonesia yang sedang merayakan tahun emas kemerdekaannya. Pada momentum ini, Sisca menulis esai yang menggugah dan memberanikan tentang ingatannya terhadap perjuangan di sekitar kemerdekaan Indonesia berjudul Sekelumit Pengalaman Pada Masa Revolusi Agustus 1945-1949 (Mengenang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 50 tahun lalu) dengan nama F.C Fanggidaej. Esai memoar ini diambil dari internet yang kala itu masih langka dan tampaknya sudah tersebar luas di kalangan aktivis pro demokrasi. Sejak itu nama Fanggidaej tak terlupakan.
Dalam esai ini, Sisca mengajukan gambaran rakyat Indonesia yang miskin dan sengsara serta pertanyaan yang dilematis:
Pada 17 Agustus 1995 ini kita peringati ulang tahun ke-50 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dengan Republik Indonesia yang didirikan sebagai hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 itu rakyat Indonesia membentuk negaranya yang merdeka, menegaskan identitasnya sebagai bangsa yang bebas dari kolonialisme.
Tujuan dan cita-cita Republik Indonesia Proklamasi adalah untuk mengangkat, terutama mayoritas rakyat yang sengsara dari lembah kemiskinan ke kehidupan yang lebih baik dan layak, punya rumah dan cukup makan, di mana semua orang dihargai dan dihormati. Untuk memperjuangkan semuanya itu orang harus ada hak-hak politik dan demokrasi. Di Indonesia Orde Baru, hak untuk mengorganisasi diri dengan bebas, untuk mengeluarkan pendapat dan kritik dengan bebas secara lisan dan tertulis, tak mungkin direalisasi karena sistem kekuasaan yang represif yang telah dibangun dengan intensif selama 30 tahun terakhir ini.
Pada awal Orde Baru jutaan orang Indonesia tak bersalah dibunuh dan ratusan ribu lainnya dilempar ke dalam penjara dan kamp konsentrasi dalam satu tragedi nasional yang dampaknya sampai hari ini belum teratasi. Dalam keadaan demikian perlukah Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-50 diperingati? Dengan pertanyaan ini di hati dan di kepala, saya menukik ke masa lampau, 50 tahun yang lalu ketika saya sebagai pemuda berumur duapuluhan, dengan antusiasme yang menyala-nyala dan semangat pantang mundur menerjunkan diri ke dalam kancah gejolak dan pergolakan revolusi di Surabaya.
Kesimpulan bagi Siscapun jelas:
…Ya! Perlu!. Kita tidak boleh lupa pengorbanan yang begitu besar yang sudah diberikan oleh berbagai generasi pejuang demi mewujudkan cita-cita Proklamasi, yaitu suatu masyarakat Indonesia yang sungguh bebas, demokratik dan berkeadilan sosial. Kita masih jauh dari perwujudannya. Maka perjuangan itu masih berlanjut pada hari kini dan di masa depan. Pada hari ini harapan kita tak lain bahwa generasi muda yang kini berjuang untuk cita-cita itu mengambil semangat dan jiwa dari generasi kami yang pada Revolusi Agustus itu bergerak, dan agar mereka terus bekerja dengan cara mereka sendiri, di dalam kondisi nasional dan internasional yang sudah banyak berubah, dan akhirnya mencapai tujuannya!
***
Francisca C Fanggidaej dilahirkan di Pulau Timor pada 16 Agustus 1925 dan dibesarkan dalam keluarga yang menjadi produk politik penjajahan Belanda. Ayahnya bernama Gottlieb, berasal dari Roti, dikenal sebagai “Belanda Hitam” sedang ibunya Magda Mael berasal dari Timor. Bahasa utama dalam keluarga adalah bahasa Belanda yang membuat Sisca lebih fasih berbahasa Belanda daripada Indonesia. Semula ia bergabung dalam kelompok diskusi di kalangan intelektual muda Maluku di Surabaya di bawah kepemimpinan Gerit Siwabessy dan Dr. Latumenten. Dari group ini, ia dikirim ke Yogyakarta untuk menghadiri Kongres Pemuda di Yogyakarta pada November 1945 yang menghasilkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) yang mempunyai dua dewan: Dewan Perjuangan dan Dewan Pembangunan. Di dalam Kongres itu lahir juga PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia), yang merupakan fusi dari 7 organisasi pemuda yang bercita-cita sosialisme.
PESINDO sendiri mempunyai kekuatan bersenjata yang setanding dengan kekuatan TRI ketika itu. Memiliki kekuatan darat dan artileri, “Pesindo Laut” di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, begitu juga kesatuan putri yang terdiri dari pasukan tempur, kesatuan pengintai dan Palang Merah. Di Pesindo inilah, Sisca mengalami pahit getir perjuangan: mulai dari mewakili Pesindo di berbagai pertemuan internasional sampai pengejaran tentara Siliwangi ketika Peristiwa Madiun meletus. Bersama rombongan Amir Syarifuddin, Sisca harus berjalan jauh di malam hari melewati hutan-hutan dan desa-desa di Jawa Timur untuk menghindari pertemuan dengan tentara Siliwangi sementara ia sendiri dalam kondisi hamil. Dalam situasi ini ia pun dapat memetik pelajaran dari Amir Syarifuddin yang ia segani mengenai taktik menjalankan perang rakyat. (h.144) Peristiwa Madiun sendiri memakan korban: di samping pimpinan teras seperti Amir Syarifuddin, juga suaminya, Karno. Sisca tertangkap tapi tak dieksekusi barangkali karena kehamilannya.
Pasca Peristiwa Madiun Sisca pun memimpin Pesindo. Pada kongres Pesindo tahun 1950, Pesindo dinyatakan bukan lagi sebagai organisasi “pemuda sosialis” tetapi organisasi “pemuda rakyat”. Ia bersama Ir. Setiadi ditunjuk untuk memimpin organisasi “pemuda rakyat”. Karena merasa sudah terlalu tua dan tak cocok lagi berkiprah di organisasi pemuda, ia bersama Ir. Setiadi pun mengundurkan diri dari Pemuda Rakyat yang kemudian diteruskan Sukatno. Sisca lantas aktif di bidang kewartawanan dan memimpin INPS (Indonesian National Press Service) sambil terus bekerja sebagai freelance untuk Kantor Berita “Antara”. Pada tahun 1964, selaku anggota Komisi Luar Negeri DPR -GR ia menghadiri konfrensi Asia Afrika III di Aljazair sebagai anggota rombongan penasihat Presiden Sukarno. Konfrensi ini gagal karena tiba-tiba terjadi kudeta Boumediene. Sisca lantas diberi tugas lain dari Komite Perdamaian di tanah air yaitu menuju Helsinki untuk menghadiri konfrensi perdamaian sedunia tahun 1965. Sesudah itu ia lama tak kembali dan namanya nyaris tak terdengar. G 30 S meletus yang memaksanya menjalani hidup di negeri orang bertahun-tahun.
Francisca C. Fanggidaej sekarang tinggal di Zeist, sebuah kota kecil di provinsi Utrecht, Belanda. Di usia tuanya, ia pun masih mengikuti perkembangan situasi dan kondisi politik di Indonesia. Semua hidup dan perjuangannya sampai tahun 1965, ia tuangkan dalam buku Memoar ini dalam gaya bertutur yang lancar dan linear. Buku Memoar ini tentu adalah persembahan yang sangat berharga bagi rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan serangan neoliberalisme. Karenanya buku ini tentu layak dibaca sebagai cermin dan semangat terus berjuang menegakkan harkat, terlebih oleh kaum perempuan Indonesia yang terancam semakin disingkirkan dari ruang public dan politik. Bagi Sisca, tentu memoar ini belum mewakili seluruh hidupnya. Cerita dan kenangan-kenangan lain belum terungkapkan. Mungkin biarlah sejarawan yang menjawabnya…?
AJ Susmana, Koordinator Departeman Keuangan Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)
—————————————–
Data Buku:
Data Buku:
Judul: Memoar Perempuan Revolusioner
Penulis: Fransisca Fanggidaej
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2006
Tebal: 209 halaman
ISBN: 9793627670
Penulis: Fransisca Fanggidaej
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2006
Tebal: 209 halaman
ISBN: 9793627670
Catatatan: Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di tabloid PEMBEBASAN.
Sumber: Berdikari Online
0 komentar:
Posting Komentar