HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 30 Maret 2015

Cerita di Balik Lahirnya PSI

Hendri F. Isnaeni | Senin 30 Maret 2015 WIB

1.    Kongsi Kaum Soska-Soski

Untuk alasan taktis, Sjahrir dan Amir bersatu membangun Partai Sosialis. Sama-sama antifeodalisme dan perjuangkan kesetaraan.

Amir Sjarifuddin (kiri) dan Sutan Sjahrir (kanan).

PADA 19 November 1945, anggota Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan mengadakan pertemuan di Grand Hotel, Cirebon. Dalam pertemuan tersebut hadir Soebagio, Hamdani, Soemitro Reksodipoetro, Sastra, Djohan Sjahroezah, Soegondo Djojopuspito, Soegra, Leon Salim, Kartamoehari, Roesni Tjoentjoen, dan lain-lain.

Dalam pertemuan tersebut mereka bersepakat mendukung Kabinet Sutan Sjahrir-Amir Sjarifuddin, yang telah dilantik lima hari sebelumnya. Sjahrir tidak hadir dan hanya mengutus pengikutnya, Subadio Sastrosatomo, Soepeno, LM Sitorus, dan TB Simatupang.

PNI-Pendidikan didirikan pada 1932, sebagai tanggapan Hatta dan Sjahrir terhadap pembubaran PNI pascapenangkapan Sukarno. Untuk menyesuaikan dengan situasi politik yang baru semasa revolusi, PNI-Pendidikan menjadi partai politik yang baru. “Akhirnya dalam pertemuan tersebut diputuskan nama PNI-Pendidikan diubah menjadi Partai Rakyat Sosialis atau Paras,” tulis Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia.

Paras bertujuan: “menentang mentalitas kapitalistik, ningrat dan feodal; melenyapkan otokrasi dan birokratisme; berjuang ke arah masyarakat sama rasa sama rata; memperkaya semangat rakyat Indonesia dengan pandangan demokratik, dan mendesak pemerintah untuk bekerja sama dengan semua organisasi di dalam dan luar negeri untuk menggulingkan kapitalisme.”

Sementara itu, sebelum Paras berdiri, Amir Sjarifuddin telah terlebih dahulu mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) pada 12 November 1945 di Yogyakarta. Tujuannya membentukVolksfront (front rakyat) “guna mempertahankan dan memperkuat Republik; bekerja menuju sosialisasi perusahaan-perusahaan besar, hutan-hutan, dan tanah; dan meningkatkan industrialisasi, transmigrasi, ekonomi koperasi, mendorong perbaikan pertanian, dan membentuk serikat-serikat buruh. Volksfront harus menjadi sarana untuk mempersatukan kaum buruh, kaum tani, tentara, dan pemuda.”

Setelah Parsi dan Paras berdiri, Hatta selaku salah satu pemimpin PNI-Pendidikan, juga mengadakan pertemuan di rumahnya di Jakarta menyoal nama baru PNI-Pendidikan. Mayoritas peserta termasuk Hatta memutuskan nama Partai Daulat Rakjat Indonesia. Akan tetapi, menurut Hatta dalam Pendidikan Nasional Indonesia, “mereka yang berunding di rumah saya tidak mampu memperoleh cukup dukungan, dikalahkan oleh yang lain, yang setuju dengan keputusan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin untuk membentuk Partai Sosialis.”

Maka pada 16–17 Desember 1945, Paras dan Parsi mengadakan kongres fusi di Cirebon. Kedua partai setuju bergabung karena antara Sjahrir dan Amir tidak ada perbedaan prinsipil. “Terlebih, Sjahrir yang sangat sibuk sebagai perdana menteri. Dia hampir tidak memiliki waktu untuk mengurus organisasi,” tulis Soe Hok Gie, kelak menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis bagian dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalamOrang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Pada 17 Desember 1945 dilangsungkan kongres fusi. Sekira 57 anggota pimpinan dari kedua partai menyepakati penggabungan partai.

“Berdasarkan front rakyat, antikapitalisme, dan antiimperialisme, sekali lagi di Cirebon, Parsi dan Paras bergabung menjadi satu, Partai Sosialis. Sjahrir kini menjadi ketua partai yang baru, sedangkan Amir Sjarifuddin menjadi wakil ketua,” tulis Mrazek.

Dalam obrolan tentang politik seringkali muncul “joke” tentang Sjahrir dan pengikutnya yang disebut kaum “sosialis kanan” (sosialis-demokrat) atau Soska. Sementara Amir dan kelompoknya datang dari kalangan
“sosialis kiri” atau Soski. Penyatuan dua kelompok inilah yang membentuk PSI.

2.    Satu Partai Dua Watak

Penggabungan dua kelompok sosialis ini awalnya saling menguatkan. Goyah karena perbedaan terlalu mendasar.

Delegasi Indonesia pada perundingan Linggarjati sedang berembuk di halaman gedung pertemuan. (Ki-ka): J. Leimena, Moh. Roem, Soedarsono, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, AK Gani, Soesanto Tirtoprodjo. | Foto

PARTAI Sosialis terbagi ke dalam beberapa kelompok yang menginduk kepada Amir dan Sjahrir. Kelompok Surabaya terdiri dari kawan-kawan Amir dalam PKI ilegal, Gerindo, Partindo, dan organisasi gerakan bawah tanahnya. Kelompok Yogyakarta berpusat di sekeliling Wijono dan Muhammad Tauchid, yang terlibat dengan Amir mendirikan Parsi.

Kelompok Cirebon berakar pada PNI-Pendidikan dan hubungannya dengan gerakan bawah tanah Sjahrir. Kelompok Jakarta terdiri dari pemuda metropolitan dan sahabat dekat Sjahrir. Terakhir adalah kelompok kecil orang komunis yang baru datang dari Belanda, di sana terlibat dalam gerakan bawah tanah anti-Nazi.

Hubungan Sjahrir dan Amir cukup baik, namun perbedaan dalam gaya dan pandangan cenderung ditonjolkan oleh pengikut masing-masing. Menurut Indonesianis Ben Anderson, para pengikut Sjahrir menganggap kawan-kawan Amir bersifat ndesa, romantis, dan berpikiran “kacau”; sementara dalam kelompok Amir sering timbul perasaan bahwa pengikut Sjahrir bersifat congkak dan enggan mengalami kesulitan dan risiko
pekerjaan politik praktis di tengah massa.

Watak dan kepentingan dua sayap Partai Sosialis ini digambarkan dalam pembagian fungsi dalam partai. “Amir yang sesungguhnya memimpin partai karena bakatnya dalam pengorganisasian dan kebosanan Sjahrir terhadap urusan seperti itu,” tulis Anderson. Pengikut Amir juga dipusatkan dalam dewan pimpinan, sekretariat, dan badan komunikasi; sementara kelompok Sjahrir menguasai badan penerangan dan badan pendidikan.

Menurut Gie, walaupun pertentangan internal tidak muncul dalam Partai Sosialis, baik grup Amir maupun grup Sjahrir memiliki rencana sendiri untuk mencapai tujuan masing-masing. Persatuan Parsi dan Paras hanya berdasarkan antifasis dan kepentingan bersama menghadapi Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangannya. “Setelah bahaya ini hilang, persatuan yang terbentuk akan meretak,” tulis Gie.




3.    Ketika Tan Malaka Memilih Jadi Oposan

Sjahrir sempat menawari Tan Malaka untuk memimpin Partai Sosialis. Lebih memilih di luar arena kekuasaan.

Tan Malaka dan Sukarni.

Sebelum Partai Sosialis dibentuk, sebenarnya Sutan Sjahrir pernah meminta Tan Malaka untuk menjadi ketuanya. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka yang legendaris akan menguntungkan partai. Namun Tan Malaka menolak.

Menurut Sejarawan Harry A. Poeze Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan seorang revolusioner.

“Tan Malaka mengatakan bahwa ‘saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial demokrat.’ Dia juga tidak suka jabatan resmi. Dia ingin memberi gambaran bahwa dia di atas partai-partai,” ujar Poeze.

Alih-alih bergabung dengan Partai Sosialis, Tan Malaka malah mendirikan Persatuan Perjuangan, aliansi 141 organisasi politik, yang mengadakan kongres pada 15 Maret 1946 di Madiun. Kelompok ini jadi oposisi yang paling sengit terhadap kabinet Sjahrir. Kabinet Sjahrir menurut Tan Malaka terlalu lemah menghadapi Belanda lewat politik perundingannya. Tan Malaka ingin agar Indonesia merdeka 100% lewat perjuangan bersenjata, sementara Sjahrir menghindari pertumpahan darah.

Menurut Direktur Center for Social Democratic Studies, Imam Yudotomo, Sjahrir bersama kelompoknya mempunyai wawasan internasional yang cukup. Pada waktu revolusi, mereka tahu persis bahwa yang dihadapi Indonesia bukan Belanda, tetapi Sekutu. Jadi, strategi Sjahrir dan kawan-kawannya termasuk Amir, adalah berunding menghadapi Sekutu.

“Sementara Tan malaka tetap berjuang sampai Indonesia merdeka 100%. Oleh Sjahrir, ini dianggap tidak realistis karena tidak mungkin melawan Sekutu yang baru saja menang perang. Kalau meneruskan perang opini internasional pasti berada di tangan Sekutu karena oleh dunia Sekutu dianggap sebagai pembebas dari fasisme. Opini akan sangat tidak mendukung,” kata Imam, anak anggota Partai Sosialis, Muhammad Tauchid.

Kabinet Sjahrir-Amir semakin tertekan oleh Persatuan Perjuangan. Masyumi dan PNI juga menyatakan tidak percaya karena Kabinet Sjahrir-Amir berkompromi dengan Barat. Sjahrir mengundurkan diri pada 28 Februari 1946. Tidak lama kemudian Hatta mengumumkan bahwa Sjahrir dipilih kembali menjadi formatur kabinet. Kabinet ini mengumumkan Program Lima Pokok yang utama adalah “pemerintah berunding dengan van Mook atas dasar pengakuan negara Republik Indonesia (100%).”

Usaha membentuk kabinet koalisi gagal, karena menurut Anderson, kabinet “masih dikuasai oleh pemimpin-pemimpin Partai Sosialis dan tokoh-tokoh nonpartai yang bersimpati kepada gagasan-gagasan mereka atau dipertalikan kepada mereka oleh hubungan keluarga.”

Kepada pengikut setianya Aboe Bakar Loebis, Sjahrir mengeluhkan agitasi dari Persatuan Perjuangan. Loebis dan temannya Imam Slamet, mendapatkan tugas melakukan penangkapan dengan bekal surat yang ditandatangani dua menteri dari Partai Sosialis: Amir Sjarifuddin dan Soedarsono.

Mayor Soenadi, komandan Polisi Tentara di Madiun, melaksanakan tugas penangkapan itu. Pada 17 Maret 1946, Tan Malaka bersama pengikutnya, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Yamin dan Sukarni, ditangkap dan baru dilepaskan pada 15 September 1948. Persatuan Perjuangan praktis lumpuh dan dibubarkan pada 4 Juni 1946. Tetapi beberapa gelintir pengikut Tan Malaka masih melakukan oposisi dengan menculik Sjahrir pada 27 Juni namun segera dilepaskan karena Sukarno menuntut pembebasan Sjahrir, dan melakukan kudeta yang gagal pada 3 Juli.

Untuk memulai perundingan lagi dengan Belanda, Kabinet Sjahrir III dibentuk pada 2 Oktober 1946. Periode ini terjadi perundingan gencatan senjata di Jakarta pada 14 Oktober dan Perundingan Linggarjati pada pertengahan November 1946. Berdasarkan Perjanjian Linggarjati, Republik Indonesia diakui secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra.

“Dengan Perjanjian Linggarjati, dari sama sekali tidak diakui, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatra. Ini dimulai dari daerah penting dulu,” kata Agustanzil
Sjahroezah, anak pendiri dan sekretaris jenderal PSI, Djohan Sjahroezah.

Kelompok oposisi yang bergabung dalam Banteng Republik Indonesia menentang Perundingan Linggarjati. Sayap Kiri –koalisi Partai Sosialis, PKI, Partai Buruh Indonesia, dan Pemuda Republik Indonesia (Pesindo)– semula mendukung Perundingan Linggarjati. Namun, mereka mencabut dukungannya setelah Sjahrir berpidato radio pada 19 Juni 1947 yang menyatakan persetujuannya untuk mengakui, selama masa peralihan, kedudukan khusus wakil Mahkota Belanda dalam memerintah di Indonesia.

Menurut Subadio Sastrosatomo dalam “Sjahrir: Suatu Perspektif Manusia dan Sejarah,” Sayap Kiri yang didominasi komunis, tidak dapat menerima kebijaksanaan Sjahrir karena Sjahrir bukan komunis. “Dia mengadakan pidato tadi dengan tidak minta persetujuan dulu dari Sayap Kiri. Atas pertimbangan ini Sayap Kiri menolak kebijaksanaan Sjahrir,” tulis Subadio, termuat dalam Mengenang Sjahrir.

Sjahrir meletakkan jabatan pada 27 Juni 1947. Dia kemudian menjadi penasihat presiden. Bertugas mengemban misi diplomasi ke berbagai negara dan memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Amerika Serikat.


4.    Bubarnya Kongsi Sosialis

Partai kaum sosialis ini bubar di pengujung zaman revolusi. Amir dan Sjahrir memilih jalannya masing-masing.

Ketua umum PSI, Sutan Sjahrir, berpidato dalam rapat umum PSI di Lapangan Merdeka, Jakarta, 12 Juni 1955. 
Foto

SEBAGAI pengganti Sjahrir, Sukarno mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri dalam dua kali periode (Juli 1947-Januari 1948). Ini diduga karena Sukarno-Hatta memerlukannya untuk perundingan selanjutnya dengan Belanda. “Ada kegetiran antara Sjahrir dan Amir, yang secara luas dianggap sebagai meninggalkan Sjahrir untuk menjadi perdana menteri,” tulis Mrazek.

Tapi kemudian Amir juga jatuh. Dia menyerahkan mandatnya pada 23 Januari 1948 karena Perjanjian Renville. Masyumi dan PNI menarik diri dari kabinet, tentara kecewa karena harus hijrah meninggalkan kantong-kantong pertahanannya. Kelompok Sjahrir mengkritik Perundingan Renville karena secara de facto wilayah Indonesia yang diakui tinggal sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Apa yang dilakukan Amir terhadap Sjahrir (menentang Perundingan Linggarjati, red), kita lakukan begitu terhadap Amir dalam Perundingan Renville,” kata LM Sitorus, pengikut Sjahrir yang menduduki bagian organisasi Partai Sosialis, dalam wawancara dengan Yuwono DP pada 6 September 1989.

Presiden Sukarno menunjuk Hatta untuk membentuk kabinet baru. Amir melancarkan oposisi dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat, gabungan partai dan organisasi Sayap Kiri: Partai Sosialis, PKI, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani Indonesia.

Tokoh gaek PKI, Musso tiba di Yogyakarta pada Agustus 1948 dengan membawa misi baru Kominform –perubahan dari Komintern pada 1947– dari Moskow. Dia mendorong fusi tiga partai bermazhab Marxisme-Leninisme: Partai Sosialis, PKI ilegal, dan PBI, menjadi PKI. PKI kemudian memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan pemerintahan front nasional. Pecahlah Peristiwa Madiun 1948. (Baca: Akhir Tragis Republik Komunis)

Sementara itu, kelompok Sjahrir menyadari telah menjadi outsider dalam Partai Sosialis. Jika meneruskan perjuangan di dalam, mereka pasti dipecat. Sebelum dipecat, mereka keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 12 Februari 1948. Sedangkan kelompok Amir mempertahankan Partai Sosialis.

Menurut Gie, perpecahan Partai Sosialis memiliki arti mendalam. Amir merupakan gas, sementara Sjahrir merupakan rem. Partai Sosialis berjalan tanpa rem menjadi semakin radikal. Sementara itu, PSI yang kurang memiliki gas dalam perjuangan politik akhirnya mandek serta kehilangan vitalitas dan keberanian dalam merintis pemikiran-pemikiran politik baru. Tujuh tahun setelah berdirinya, PSI memfosil dan dikalahkan dalam pemilihan umum 1955.


Minggu, 29 Maret 2015

Sulawesi Bersaksi: Tuturan Penyintas Tragedi 1965

29/03/2015

 Sulawesi Bersaksi: Tuturan Penyintas Tragedi 1965 
 Tuturan Penyintas Tragedi 1965 
 Alamsyah A.K. Lamasitudju, Gagarisman, Muh. Abbas, Nurlaela A.K. Lamasitudu, Putu Oka Sukanta (Ed). 
 Esai 
 Lembaga Kreativitas Kemanusiaan 
 2013 
 21 x 14,8 cm 
 xiv + 224 hal. 
 

Buku ini merupakan kisah dari korban peristiwa tahun 1965 yang dipenjarakan tanpa tahu kesalahan mereka. Kisah-kisah yang ditulis oleh generasi muda Sulawesi ini bercerita tentang pengalaman mereka selama berada dalam penjara dan pergulatan mereka setelah keluar dari ambang pintu penjara.
Disunting oleh penulis Putu Oka Sukanta, yang pernah dipenjara selama 10 tahun oleh Orde Baru, buku tersebut, ditulis oleh para aktivis HAM muda dari Sulawesi Tengah, mengetengahkan wawancara dari seorang yang membantu pembunuhan empat orang tahanan di provinsi tersebut, selain juga memuat wawancara dengan 12 penyintas dan anak serta istri penyintas yang pernah disiksa, dipenjara, dan dipaksa bekerja setelah tragedi 30 September 1965.


Sejarawan Hilmar Farid mengatakan pada diskusi di Goethe Institut di Jakarta bahwa buku ini luar biasa karena kebanyakan laporan mengenai 1965 terpusat di sekitar Jawa, “Ketika Sulawesi maju ke depan, harus kita sampaikan pujian.”
Gagarisman, anak seorang pimpinan PKI Sulawesi Tengah, membacakan sebuah puisi di panggung di Goethe, menceritakan kisah keluarganya setelah ayahnya, Abdul Rahman Dg. Maselo ditahan pada 1965 dan dinyatakan hilang pada 1967.
Mereka tidak pernah mengetahui dengan pasti apa yang terjadi pada Maselo sampai 2007, ketika seorang pensiunan tentara, Ahmad Bantam datang dan menceritakan kepada keluarganya apa yang terjadi.
Bantam mengatakan bahwa ia dan dua sejawat berpangkat kopral pernah menggali dua lubang di sebuah bukit antara Donggala dan Palu. Ia mengatakan bahwa ia diperintah oleh atasannya, Kapten Umar Said, untuk duduk di mobil sementara Umar, dua tentara lain, dan seorang yang bersenjata api Sten mengawal tiga tawanan yang terikat, termasuk Maselo, ke lubang tersebut.
Terdengar suara letusan keras dan tiga orang tersebut kembali tanpa tahanan, kata Bantam.
Cerita Bantam, disampaikan lewat wawancara dengan Nurlela AK Lamasitudju, atau Ella, adalah satu-satunya laporan dari seorang yang membantu pembunuhan.
Semua laporan yang ditulis oleh Ella, Alamsyah AK Lamasitudju, Gagarisman, Muhammad Abbas, dan Nurhasanah, didasarkan pada wawancara mereka yang didukung oleh kelompok advokasi hak azasi manusia SKP HAM Palu, tempat Ella bekerja.
Sebagian besar penutur cerita berasal dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.
Ella mengatakan bahwa SKP HAM telah mendokumentasikan 1.210 cerita korban di Sulawesi Tengah, dan beberapa lagi di provinsi lain.
Buku yang diterbitkan oleh Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan dan didukung oleh Tapol Campaign (London), adalah bagian dari kerja SKP HAM untuk menjelaskan apa yang terjadi di Sulawesi, terutama di Palu.
Kerja bertahun-tahun ini telah menghasilkan sebuah permohonan maaf dari pejabat publik, suatu hal yang sangat langka di Indonesia. Pada Maret 2012, setelah melewati banyak diskusi, Walikota Palu Rusdy Mastura menyatakan permohonan maaf secara terbuka kepada korban dan penyintas pembantaian di Palu.
Walikota Palu mengatakan bahwa para penyintas, sebagian besar adalah orang-orang berusial lanjut yang telah dimiskinkan selama ini, akan mendapatkan layanan jaminan kesehatan dari anggaran pemerintah kota.
Sumber: Skp-HAM.Org 

Jumat, 27 Maret 2015

Seteru Sang Guru


Sebagian murid sekolah Islam Sumatera Thawalib balik arah menuju komunisme. Langkah awal melawan pemerintah kolonial

Wenri Wanhar - 27 Maret 2015

Datuk Batuah (kedua dari kanan).

HAJI Rasul risau. Pemimpin Sumatera Thawalib Padang Panjang itu tidak sependapat dengan komunisme. Dia berpandangan, komunis sebenarnya hendak menghilangkan agama dengan cara menunggangi agama.
“Suatu hari pada 1923, Haji Rasul berdebat sengit dengan Datuak Batuah dan murid-murid Thawalib yang pro komunis. Perdebatan itu menghilangkan wibawa Inyiak Rasul di depan murid Thawalib,” kata Ketua Alumni Thawalib Padang Panjang, Yan Hiksas kepada Historia.
Selepas itu, entah dari mana ujung pangkalnya, tiba-tiba beredar desas-desus bahwa Datuk Batuah dan Natar Zainuddin bersekongkol dengan para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang.
“November 1923, Belanda mengirim satu detasemen polisi bersenjata ke Koto Laweh untuk menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin,” tulis Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan Ke Integrasi.
“Setelah ditahan di Padang selama sekitar setahun, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927.”
Desember 1923, giliran Djamaludin Tamin yang ditangkap karena artikel-artikelnya di Pemandangan Islam memprotes penangkapan rekan-rekannya. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Mei 1924. Menjalani hukuman selama lima belas bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan dibebaskan pada September 1925.
“Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin. Puncaknya, Haji Rasul undur diri dari Thawalib. Dia pulang kampung ke Maninjau.
Awal 1925 Haji Rasul ke Jawa menemui menantunya, AR. Sutan Mansur yang telah menjadi pemuka Muhammadiyah di Pekalongan. Bulan Juni dia kembali ke Minang. Dan, langsung gencar mempropagandakan Muhammadiyah di setiap dakwahnya.

Perkumpulan Sendi Aman yang didirikannya di Sungai Batang, Tanjung Sani, Maninjau, atas persetujuannya menjadi Muhammadiyah cabang Maninjau. Ketuanya Haji Yusuf Amrullah, adiknya.
“Boleh dikatakan inilah cabang pertama Muhammadiyah di Sumatera dan di luar Jawa,” tulis Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera.
Atas arahannya, pada 20 Juni 1925 murid-murid Sumatera Thawalib Padang Panjang asal Maninjau mendirikan kelompok Tabligh Muhammadiyah. Jamaluddin Sutan dan Makmur Salim bertindak sebagai ketua dan sekretarisnya.
“Mereka menerbitkan Khatib al-Ummah. Inilah jurnal Muhammadiyah pertama di daerah ini,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib.
Meski menyokong Muhammadiyah, sepanjang hayatnya, Haji Rasul tidak pernah tercatat sebagai anggota, apalagi menjadi pengurus. Dia hanya lakon balik layar.
“Haji Rasul melihat Muhammadiyah bagaikan sebuah kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk lebih mempercepat gerakan pembaruannya,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau.
Basis-basis Muhammadiyah kian meluas. Akan tetapi, komunisme tak kalah hebat. Dalam laporan untuk gubernur jenderal, 23 Juli 1924, penasehat pemerintahan, R. Kern mencatat, komunisme kian subur.
“Walaupun Asisten Residen Whitklau telah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Zainudin, ternyata enam bulan setelah penangkapan itu, orang komunis lebih banyak dari yang sudah-sudah,” tulis Kern dalam laporan berjudul Voorstel om Natar Zainuddin en Hadji Datoeq Batoewah te Interneren, Adviz aan G.G.

Sekolah Rakyat Padang Panjang


Wenri Wanhar - 27 Maret 2015

Dari Padang Panjang hingga Silungkang, benih komunisme menyebar cepat. Mematangkan suasana perlawanan.

Sekolah Rakjat Padang Panjang, 1925. Leon Salim (duduk nomor dua dari kanan di baris depan memakai peci); Damanhuri Jamil (berdiri nomor dua dari kanan). Foto: repro buku "Prisoners at Kota Cane" karya Leon Salim.

SETELAH penangkapan orang-orang radikal di Sumatera Thawalib pada 1924, aktivis PKI mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di Padang Panjang. “Sekolah ini mengikuti pola sekolah yang didirikan Tan Malaka di Semarang,” tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi.

Di SR Padang Panjang inilah organisasi kepemudaan PKI, mulai dari Sarekat Rakyat dan Barisan Muda berkantor pusat. Menurut Gubernur Sumatera Barat G.F.E Gonggrijp, organisasi ini berbasis di sekolah-sekolah. Baik milik pemerintah maupun swasta.
“Selain Padang Panjang, seksi-seksi yang paling penting adalah seksi Koto Laweh, Gunung Bunga Tanjung, Silungkang, Solok dan Tiakar-Dangung Dangung, Payakumbuh,” dilansir dari memori serah terima jabatan Gubernur Gonggrijp.
Di Dangung Dangung, tiga orang pelajar; Damanhuri Jamil, Suhaimi Rasjad, dan Leon Salim dipecat dari sekolah menengah pemerintah pada April 1925 karena berusaha mendirikan cabang Barisan Muda di sekolahnya.
Ketiganya lalu pindah masuk SR Padang Panjang. Dan ditunjuk menjadi anggota dewan pusat Barisan Muda Sumatera Barat. 
“Anggota Barisan Muda di Padang Panjang sangat aktif,” kenang Leon Salim dalam Proyek Penulisan Riwayat Perjuangan Perintis Kemerdekaan.
Leon menceritakan, setiap akhir pekan mereka berkunjung ke cabang-cabang yang ada di Sumatera Barat. Membawa serta sejumlah surat kabar Pemandangan Islam, Djago-Djago!yang diterbitkan para pemimpin mereka.
Kongres PKI 1925 memutuskan bahwa Barisan Muda berganti nama jadi Internationale Padvinder Organisatie (IPO) atau Organisasi Pandu Internasional. “Organisasi ini serupa Pramuka. Berseragam dan berlatih secara teratur,” tulis M. Junus Kocek dan Leon Salim dalam Pergerakan Pemuda Minangkabau.
IPO punya slogan “Pemuda sedunia bersatulah!”. Nyaris mirip slogan komunis internasional, “Kaum buruh sedunia bersatulah!”. IPO Padang Panjang menerbitkan koran Signaal. Damanhuri Jamil menjadi ketua wilayah dan Leon Salim yang berumur 13 tahun jadi sekretaris.

Di samping Padang Panjang, komunis tumbuh subur di Silungkang yang berjarak sembilan mil dari kota tambang, Ombilin Sawahlunto. Maka pada September 1925, IPO menggelar rapat umum Pandu Internasional Silungkang.

Di Silungkang ada tokoh seorang saudagar terkemuka bernama Sulaiman Labai. Pada 1915, dia mendirikan Sarekat Islam (SI) Silungkang. SI cabang Silungkang berubah jadi Sarekat Rakyat pada 1924.
“Sebagian besar anggotanya ikut dengan para pemimpin mereka masuk menjadi anggota organisasi komunis ini,” tulis Abdul Muluk Nasution dalam Pemberontakan Sarekat Rakyat.
Sarikat Rakyat menerbitkan koran Suara Tambang dan jurnal bulanan Panas. Pemerintah Hindia Belanda galau. Nawawi Arief, editor Suara Tambang ditangkap pada 1924 dan disusul penangkapan Idrus, editor Panas pada 1925. Keduanya dituduh melanggar undang-undang pers.

Penangkapan ini justru memicu perlawanan. Anggota serikat buruh tambang naik jadi tiga ribu orang. Pembaca Suara Tambang naik jadi sepuluh ribu. 
“Gerakan komunis di Silungkang, tetap berpedoman kepada kepemimpinan di Padang Panjang,” tulis Kahin.
Berdasarkan keputusan Prambanan, 25 Desember 1925, orang-orang komunis di Minangkabau melakukan kegiatan bawah tanah. Mendirikan bengkel-bengkel kecil di daerah-daerah terpencil.
Membuat bom rakitan dan granat tangan serta senjata-senjata sederhana lain, dalam mempersiapkan pemberontakan yang akan datang.

Minang Kiri Sebelah Bofet Merah


Wenri Wanhar - 27 Maret 2015

Sumatera Thawalib jadi lahan subur tumbuhnya gerakan komunisme di Sumatera Barat. Saling silang pertarungan gagasan.

Bekas kantin Bofet Merah, sekarang jadi kantin Jujur. Foto: Jose Hendra/Historia.

KANTIN itu masih kantin yang dulu. Satu-satunya kantin di lingkungan Perguruan Thawalib Padang Panjang, Sumatera Barat.
“Dulu, kantin ini namanya Bofet Merah,” kata A. Rahman Yusuf, Ketua Yayasan Perguruan Thawalib, saat berbincang dengan Historia di depan kantin tua yang kini berganti nama jadi Kantin Jujur.
Bofet berasal dari bahasa Perancis, buffet. Artinya rak yang berdiri di ruangan makan, tempat menyimpan makanan untuk disajikan. Entah bagaimana pangkalnya, sampai hari ini, selain lapau, urang awak menyebut kedai atau warung makan dengan sebutan bofet.
“Bofet Merah itu tak hanya nama kedai. Tapi juga nama organisasi. Semacam koperasinya anak-anak Thawalib. Menjual kopi, dan aneka kebutuhan harian,” kenang Rahman.
Di kantin inilah persemaian bibit komunisme di ranah Minang bermula. Kantin tersebut pernah menjadi markas orang-orang kiri. Djamaludin Tamim dalam Sedjarah PKI menulis, organisasi Bofet Merah berdiri lima hingga enam bulan sebelum lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Semarang pada 1920.

Orang-orang Bofet Merah menerbitkan dua surat kabar, Djago-Djago! dipimpin Natar Zainuddin dan Pemandangan Islam yang pemimpin redaksinya Datuak Batuah. Donatur utama dua surat kabar tersebut Abdullah Basa Bandaro, seorang saudagar di Padang. Dia termasuk orang yang membawa Sarikat Islam ke Sumatera Barat.
“Pada awal tahun 1923 Datuk Batuah melawat ke Jawa dan juga ke Sigli. Di Jawa ia bertemu dengan Haji Misbach, tokoh Islam-komunis yang menarik perhatiannya karena mengadopsi komunis ke dalam Islam,” tulis Mestika Zed dalam Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat.
Tahun itu juga organisasi Bofet Merah menjelma jadi PKI cabang Padang Panjang. Posisi ketua dijabat Datuak Batuah. Sekretaris dan bendahara dijabat Djamaludin Tamim. Keduanya tokoh muda dan guru Sumatera Thawalib.
“Maka mulailah pelajaran di Thawalib mendapat jiwa baru, jiwa Islam yang revolusioner,” tulis Hamka dalam Kenang-Kenangan Hidup Jilid I. Paham ini lekas menyebar. Menurut Hamka, masa itu di Padang Panjang sering dijumpai kelompok-kelompok pemuda menyanyikan lagu Internasionale, 1 Mei, Kerja 6 jam sehari dengan bersemangat. Termasuk dirinya.
Bagi mereka, komunis sesuai dengan ajaran Islam. Sama-sama antipenindasan. Sama-sama membela kaum mustada’afin, kaum yang tertindas atau kaum proletar dalam terminologi Marxist.

Sumatera Thawalib didirikan dan dipimpin Haji Rasul, ayah Buya Hamka pada 1912. Diakui sebagai sekolah modern Islam pertama di Indonesia. Perpustakaan di sekolah ini, selain mengoleksi kitab-kitab agama, juga buku-buku politik, ekonomi, sosial dari macam-macam negara.

Dan juga, “berlangganan surat kabar dari berbagai negeri,” tulis Datuk Palimo Kajo dalam Sedjarah Perguruan Thawalib Padang Pandjang. Nah, berita-berita tentang revolusi Bolshevik 1917 di Rusia, yang ramai diulas suratkabar masa itu, menjadi bacaan dan buah bibir di Thawalib.

Menurut guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, orang-orang di Sumatera Thawalib sudah mempelajari marxisme sejak awal abad 20. 
“Langsung dari buku berbahasa aslinya. Bukan terjemahan,” katanya kepada Historia di Padang Panjang, tempo hari.

Komunis di Ranah Minang [3] Sekolah Rakyat Padang Panjang

Sekolah Ra′jat Padang Panjang, 1925. Leon Salim (duduk nomor dua dari kanan di baris depan memakai peci); Damanhuri Jamil (berdiri nomor dua dari kanan). 
Historia 

Komunis di Ranah Minang [2] Seteru Sang Guru

Historia 

Komunisme di Ranah Minang [1] Minang Kiri Sebelah Bofet Merah

Historia 

Intrik Soeharto Persilakan Soekarno Tangkap Sendiri Penculik Sjahrir

Randy Wirayudha | Jurnalis
Jum'at, 27 Maret 2015 - 08:00 wib

Overste (Letkol) Soeharto berada dalam dilema ketika diperintahkan menangkap atasannya sendiri

MENANGGAPI kabar penculikan Perdana Menteri (PM) Soetan Sjahrir, Presiden RI pertama, Soekarno tak hanya melayangkan maklumat pengambilalihan pemerintahan sementara. Soekarno juga memerintahkan penangkapan para dalang penculikan, di mana di antaranya terdapat atasan Overste (Letnan Kolonel) Soeharto.

Soeharto sendiri masih bertugas di komando wilayah Yogyakarta yang dipimpin Mayjen R.P. Soedarsono. Soedarsono ini juga yang jadi salah satu dalang penculikan Sjahrir di Solo, dalam rangkaian manuver kelompok “Persatuan Perjuangan” (PP), untuk menumbangkan Kabinet Sjahrir II.

Di markas Resimen III Wiyoro pimpinan Soeharto, utusan presiden, Sundjojo mendatangi Soeharto dengan perintah penangkapan Soedarsono. Sontak, hal itu menimbulkan dilema. Apalagi dianggapnya, Soedarsono tak didapati bukti langsung terlibat penculikan Sjahir.

"Sungguh gila gagasan itu, pikir saya, di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti secara tertulis," ujar Soeharto dalam buku ‘Peristiwa 3 Juli 1946: menguak kudeta pertama dalam sejarah Indonesia’.

Soeharto lantas mengembalikan surat dari Sundjojo itu melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. Mendapati penolakan perintah itu, Soekarno tambah geram dan bahkan menyebut Soeharto sebagai opsir ‘koppig’ atau keras kepala.

Di sisi lain, upaya menangkap Soedarsono tak hanya terjadi lewat perintah resmi, tapi juga rumor infiltrasi dari beberapa laskar. Oleh karenanya, Soeharto merasa berkewajiban untuk menganjurkan atasannya berlindung di Markas Resimen III Wiyoro, dengan pengawalan satu peleton pasukan.

Tapi yang terjadi kemudian sungguh unik. Letkol Soeharto yang mulai merasa ada keganjilan, ketika Soedarsono kemudian mengatakan mendapat perintah dari Panglima Soedirman, untuk bersama Soeharto menghadap ke Istana Presiden.

“Wah, keterlaluan panglima saya ini, dikira saya tidak tahu persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain selain balas ngapusi dia. Malam itu juga saya beri info ke istana, apa yang sedang terjadi. Saya persilakan (Soekarno) menangkap sendiri Mayjen Soedarsono,” ungkap Soeharto lagi.

Pada 3 Juli sembari ingin memberikan maklumat, Soedarsono justru ditangkap dan peristiwa itu pun dikenal sebagai “Peristiwa Kudeta 3 Juli ‘46”.
Sementara itu, Sjahrir sendiri sedianya sudah bebas dan sebelumnya pada 1 juli, datang ke Istana Presiden. Pelukan erat Soekarno menyambut Sjahrir sembari berkata:

“Biar dunia internasional tahu, bahwa Republik Indonesia masih mempunyai pemuda. Pemuda yang memiliki tanggung jawab tak hanya di garis depan, namun juga di belakang. Republik masih mempunyai seorang Perdana Menteri,”.

(raw)
http://news.okezone.com/read/2015/03/26/337/1124922/intrik-soeharto-persilakan-soekarno-tangkap-sendiri-penculik-sjahrir