Randy Wirayudha | Jurnalis
Jum'at, 27 Maret 2015 - 08:00 wibOverste (Letkol) Soeharto berada dalam dilema ketika diperintahkan menangkap atasannya sendiri
MENANGGAPI kabar penculikan Perdana Menteri (PM) Soetan Sjahrir,
Presiden RI pertama, Soekarno tak hanya melayangkan maklumat
pengambilalihan pemerintahan sementara. Soekarno juga memerintahkan
penangkapan para dalang penculikan, di mana di antaranya terdapat atasan
Overste (Letnan Kolonel) Soeharto.
Soeharto sendiri masih bertugas di komando wilayah Yogyakarta yang dipimpin Mayjen R.P. Soedarsono. Soedarsono ini juga yang jadi salah satu dalang penculikan Sjahrir di Solo, dalam rangkaian manuver kelompok “Persatuan Perjuangan” (PP), untuk menumbangkan Kabinet Sjahrir II.
Di markas Resimen III Wiyoro pimpinan Soeharto, utusan presiden, Sundjojo mendatangi Soeharto dengan perintah penangkapan Soedarsono. Sontak, hal itu menimbulkan dilema. Apalagi dianggapnya, Soedarsono tak didapati bukti langsung terlibat penculikan Sjahir.
"Sungguh gila gagasan itu, pikir saya, di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti secara tertulis," ujar Soeharto dalam buku ‘Peristiwa 3 Juli 1946: menguak kudeta pertama dalam sejarah Indonesia’.
Soeharto lantas mengembalikan surat dari Sundjojo itu melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. Mendapati penolakan perintah itu, Soekarno tambah geram dan bahkan menyebut Soeharto sebagai opsir ‘koppig’ atau keras kepala.
Di sisi lain, upaya menangkap Soedarsono tak hanya terjadi lewat perintah resmi, tapi juga rumor infiltrasi dari beberapa laskar. Oleh karenanya, Soeharto merasa berkewajiban untuk menganjurkan atasannya berlindung di Markas Resimen III Wiyoro, dengan pengawalan satu peleton pasukan.
Tapi yang terjadi kemudian sungguh unik. Letkol Soeharto yang mulai merasa ada keganjilan, ketika Soedarsono kemudian mengatakan mendapat perintah dari Panglima Soedirman, untuk bersama Soeharto menghadap ke Istana Presiden.
“Wah, keterlaluan panglima saya ini, dikira saya tidak tahu persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain selain balas ngapusi dia. Malam itu juga saya beri info ke istana, apa yang sedang terjadi. Saya persilakan (Soekarno) menangkap sendiri Mayjen Soedarsono,” ungkap Soeharto lagi.
Pada 3 Juli sembari ingin memberikan maklumat, Soedarsono justru ditangkap dan peristiwa itu pun dikenal sebagai “Peristiwa Kudeta 3 Juli ‘46”.
Sementara itu, Sjahrir sendiri sedianya sudah bebas dan sebelumnya pada 1 juli, datang ke Istana Presiden. Pelukan erat Soekarno menyambut Sjahrir sembari berkata:
“Biar dunia internasional tahu, bahwa Republik Indonesia masih mempunyai pemuda. Pemuda yang memiliki tanggung jawab tak hanya di garis depan, namun juga di belakang. Republik masih mempunyai seorang Perdana Menteri,”.
Soeharto sendiri masih bertugas di komando wilayah Yogyakarta yang dipimpin Mayjen R.P. Soedarsono. Soedarsono ini juga yang jadi salah satu dalang penculikan Sjahrir di Solo, dalam rangkaian manuver kelompok “Persatuan Perjuangan” (PP), untuk menumbangkan Kabinet Sjahrir II.
Di markas Resimen III Wiyoro pimpinan Soeharto, utusan presiden, Sundjojo mendatangi Soeharto dengan perintah penangkapan Soedarsono. Sontak, hal itu menimbulkan dilema. Apalagi dianggapnya, Soedarsono tak didapati bukti langsung terlibat penculikan Sjahir.
"Sungguh gila gagasan itu, pikir saya, di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti secara tertulis," ujar Soeharto dalam buku ‘Peristiwa 3 Juli 1946: menguak kudeta pertama dalam sejarah Indonesia’.
Soeharto lantas mengembalikan surat dari Sundjojo itu melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. Mendapati penolakan perintah itu, Soekarno tambah geram dan bahkan menyebut Soeharto sebagai opsir ‘koppig’ atau keras kepala.
Di sisi lain, upaya menangkap Soedarsono tak hanya terjadi lewat perintah resmi, tapi juga rumor infiltrasi dari beberapa laskar. Oleh karenanya, Soeharto merasa berkewajiban untuk menganjurkan atasannya berlindung di Markas Resimen III Wiyoro, dengan pengawalan satu peleton pasukan.
Tapi yang terjadi kemudian sungguh unik. Letkol Soeharto yang mulai merasa ada keganjilan, ketika Soedarsono kemudian mengatakan mendapat perintah dari Panglima Soedirman, untuk bersama Soeharto menghadap ke Istana Presiden.
“Wah, keterlaluan panglima saya ini, dikira saya tidak tahu persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain selain balas ngapusi dia. Malam itu juga saya beri info ke istana, apa yang sedang terjadi. Saya persilakan (Soekarno) menangkap sendiri Mayjen Soedarsono,” ungkap Soeharto lagi.
Pada 3 Juli sembari ingin memberikan maklumat, Soedarsono justru ditangkap dan peristiwa itu pun dikenal sebagai “Peristiwa Kudeta 3 Juli ‘46”.
Sementara itu, Sjahrir sendiri sedianya sudah bebas dan sebelumnya pada 1 juli, datang ke Istana Presiden. Pelukan erat Soekarno menyambut Sjahrir sembari berkata:
“Biar dunia internasional tahu, bahwa Republik Indonesia masih mempunyai pemuda. Pemuda yang memiliki tanggung jawab tak hanya di garis depan, namun juga di belakang. Republik masih mempunyai seorang Perdana Menteri,”.
0 komentar:
Posting Komentar