Minggu, 15 Maret 2015

Menjemput Mistis di Perkebunan Djengkol Kediri

15 Maret 2015

Rute gowes kali ini agak istimewa, menelusuri Perkebunan Djengkol, di wilayah timur Kabupaten Kediri. Daerah ini secara geografis berada di perbatasan Kecamatan Plosoklaten dan Kecamatan Wates Kabupaten Kediri. Berada di kaki gunung Kelud, dengan kondisi topografi dominan perkebunan dan sawah penduduk.

Gerbang Masuk Perkebunan Djengkol

Anggota yang ikut kali ini tidak selengkap biasanya. Beberapa orang absen karena sakit atau alasan lainnya. Sehingga komposisi yang ada cuma diisi saya, pak Rudi, pak Rois, pak Yanuar, mas Hamim, pak Box, dan mas Munir.

Awal perjalanan cukup menyenangkan. Rute yang dipilih adalah jalan-jalan desa, yang nyaris tersembunyi dari jalan umum. Beberapa kali kami harus mengalah saat berpapasan dengan orang lain, karena sempitnya jalan. Termasuk ketika kami harus melalui jembatan kecil diatas waduk sungai desa.

Beristirahat di dam kecil

Setelah sekitar satu jam bersepeda, kami memasuki perkebunan Djengkol dari arah belakang. Wilayah Djengkol ini telah dikenal sebagai salah satu lembaran hitam sejarah Republik Indonesia. Di tempat ini, puluhan tahun yang lalu dikenal adanya “PERISTIWA DJENGKOL”, berupa pembantaian massal para pengikut, simpatisan, atau pun yang hanya difitnah ikut PKI.

Di Depan Penelitian Gula Perkebunan Djengkol

Menurut versi pemerintah, peristiwa Djengkol didalangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang memprovokasi Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi underbouw PKI. Karena peristiwa itu, banyak simpatisan PKI diciduk, ditahan, dan bahkan dibunuh di tempat ini. Termasuk pula mereka yang tidak tahu menahu, hanya kebetulan saja berada di tempat itu, ikut pula dibunuh.
“Saya kesini cuma antar minuman dan pisang goreng. Kenapa saya ikut dibunuh. Saya tidak tahu apa apa. Rasanya sakiitt….
 cuplikan manuskrip Mr Tukul Jalan-jalan: Tragedi Pembantaian PKI Kediri https://www.youtube.com/watch?v=nR4HmQ0nvho


Peristiwa Djengkol ini juga yang banyak diulas dalam Desertasi Hermawan Sulistyo, peneliti senior LIPI, untuk meraih gelar Doktornya dari Department of History, Arizona State University, USA. Tulisan mana kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul PALU ARIT DI LADANG TEBU.

Menyusuri jalan jalan di Perkebunan Djengkol

Sejak memasuki gerbang Perkebunan Djengkol, suasana wingit sudah terasa. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, rumah-rumah tua bergaya Belanda, termasuk keberadaan sebuah rumah tua yang jadi lokasi pembantaian PKI, turut membuat suasana menjadi mencekam. Rumah yang konon dibangun Belanda sejak tahun 1800 itu telah beberapa kali mengalami perbaikan, sebelum akhirnya digunakan sebagai markas PKI dan menjadi saksi bisu pembantaian massal.

Di Tengah Hutan Perkebunan Djengkol

Pak Rois yang sejak semula sudah merasakan “aroma” yang lain, mulai merasa gelisah.

“Seperti ada yang memanggil manggil, hooiii…….jangan kesitu!”, katanya.

Tanpa sadar, bulu kuduk pak Rois berdiri.

Di sebuah kolam, kami sempat berhenti sebentar. Foto-foto, dan mencoba bersepeda ke pulau di tengah kolam. Tanpa kami sadari, beberapa petani yang sedang menggarap sawah berhenti melakukan aktivitasnya, dan memandang aneh kepada kami. Sempat aku dengar seorang dari mereka berteriak melarang kami, dan meminta kami pergi dari tempat itu.

Kolam di tengah Perkebunan Djengkol

Tak ingin menambah masalah, kami segera bergeser ke tempat lain. Baru berjalan beberapa meter, mas Box berteriak, 

“Hooii….berhenti. Ada pohon besar. Yuk poto-poto di situ…”

Aku menoleh. Sadar yang dimaksud adalah sebuah pohon beringin besar di kiri jalan, aku pura-pura tidak mendengar, dan terus mengayuh sepedaku. Tidak banyak yang tahu, bahwa pohon beringin itu dikenal sebagai salah satu sumber mistis di perkebunan Djengkol, selain rumah pembantaian PKI. 

Berfoto di samping pohon Beringin besar

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, di pohon itu hidup ular besar dengan puluhan anak-anaknya, wanita berambut merah, dan aneka mahluk astral lainnya.

Namun begitu, kami sempat berhenti di depan rumah pembantaian untuk berfoto bersama, meskipun dari jauh. Tidak ada yang berani mendekat, untuk sekedar melihat dari luar. Kondisi fisik bangunan yang ditumbuhi rumput liar cukup membuat orang berpikir dua kali untuk masuk.

Foto di depan Rumah Pembantaian PKI

Konon kabarnya, di sudut dapur rumah tersebut, puluhan anggota Gerwani dibantai oleh sekelompok massa yang beringas. Perempuan-perempuan yang tersudut tersebut hanya pasrah menjemput maut tanpa bisa melarikan diri. Sementara di halaman depan, puluhan laki-laki hanya terduduk dengan tangan terikat di belakang, untuk kemudian dipenggal lehernya. Mayat-mayat mereka kemudian dibuang di sungai Brantas, atau di pendam di sebuah lubang yang menjadi kuburan masal.

Matahari semakin terik memancarkan sinarnya. Dan kami pun berlalu meninggalkan tempat itu. Berbeda dengan saat berangkat, tak banyak yang kami perbincangkan. Kami lebih banyak terdiam, bergolak dengan pikiran kami masing-masing.


Sumber: Blog Tri Hartanto 

0 komentar:

Posting Komentar