15 Maret 2015
“PENJAGAL ITU
TELAH MATI”
karya GUNAWAN BUDI SUSANTO
Penerbit: PATABA Press
Cetakan pertama: Juli, 2015
Tebal buku: xxviii + 152 halaman, 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-71978-4-8
Harga: Rp. 50.000,00 (belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan:
Pemesanan:
Benee Santoso
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450Wechat/Line : ben_kim13
Jalan Sumbawa Nomor 40 Kelurahan Jetis, Kota Blora, Jawa Tengah
Telepon +6287742070671/+6285711631124 BBM: 537CB695 WA: 089653169450Wechat/Line : ben_kim13
Buku Penjagal Itu Telah Mati ini adalahkumpulan
cerita pendek kedua karya Gunawan Budi Susanto yang sampai
tuntas sudah saya lahap. Gaya berceritanya khas, sama dengan
gaya penulis ini dalam kumpulan esai Edan-edanan pada Zaman
Edan (2008)dan kumpulan cerita pendek pertama Nyanyian Penggali
Kubur (2011).
Bolehlah saya
namakan gaya itu sebagai “mati ketawa ala sampean
bukan?”. Ya, itulah paten penulis kelahiran
Bojonegoro --yang pada masa lalu termasuk Karesidenan
Blora-Rembang– pada 11 Juli 1961 itu.
Itu mengingatkan saya pada tokoh pers dari Bojonegoro,
Tirto Adhie Soerjo, cucu Bupati Blora, anak kolektor pajak dan
cicit Bupati Lasem yang kawin denganketurunan Raja Demak, sang Ong
Kadut. Gunawan Budi Susanto dibesarkan di Blora dan sekolah di
Sekolah Dasar Negeri Jetis 2, yang tidak lain adalah tanah warisan
Mastoer yang pada era Orde Baru dijual oleh lurah. Sekolah
itubersebelahan dengan rumah masa kecil pengarang kontroversial individualis
dan pembela aliran realisme, Pramoedya Ananta Toer. Aliran itu di
Indonesia disebarkankali pertama oleh Marco Kartodikromo, yang tewas di
pembuangan Digul, yang dalam banyak publikasi disebutkan
kelahiran Solo. Padahal, yang kelahiran Solo adalah sangistri yang setia
menengok dia di pembuangan. Marco kelahiran Cepu, seperti pendiri Negara
Islam Indonesia, Maridjan Kartosoewirjo, yang tewas ditembak di Pulau
Seribu, Pulau Ubi, di Teluk Jakarta yang pada masa lalu
dikenal dengan nama Pulau Onrust.
Gunawan Budi Susanto adalah anak korban tragedi kemanusiaan
tahun 1965; holocaust yang oleh banyak pihakdinilai setara
dengan apa yang dilakukan Adolf Hitler terhadap Yahudi Jerman, walau dia
keturunan Yahudi tulen. Itulah yang dalam bahasa Latin dikenal
dengan nama sindrom tantrum.
Menelusuri cerita Gunawan Budi Susanto dalam buku
ini, saya tidak ragu menyatakan Gunawan Budi Susanto pun
menderita sindrom itu. Dia dipaksa oleh situasi, kondisi, dan
toleransi lingkungan menjadi manusia lain. Dan,dia terjebak dalam situasi
setengah putus asa menghadapi tragedi hidup, terutama dalam cerita pendek
“Ibu Terus-menerus Bungkam”. Namun akhirnya dia menemukan pencerahan dari
kekeliruan, kesalahan, penderitaan, dan lain-lainsebagai basis dari
keberhasilan yang tertunda. Guilermo Tolentino tidak salah ketika
menyatakan, “Pengalaman adalah basis ilmu, kesulitan adalah pendorong jiwa
(semangat), dan kerja keras adalah pencerahan.”
Tepat seperti D.D. Setiabudi, Indo Pasuruan, orangJawa
lulusan pertama dan suka kekerasan dari universitas di Swiss, yang
menyatakan bakat itu cuma 30 persen,sedangkan sisanya adalah
keringat. Begitulah kira-kira dalam membaca kumpulan
cerita pendek Gunawan Budi Susanto ini.
Saya mengalami trauma tahun 1965 tidak langsung,dimulai
dari pencabutan paspor, wajib lapor, dan baru kemudian mengalami
langsung tahun 1973 yang oleh banyak pihak disebut sebagai kebodohan dan
pengkhianatan.
Saya tahu, kalau tidak pulang saya bisa hidup
bermanja-manja di negeri yang dulu menjadi penjajah. Namun apakah itu
punya makna? Tak soal hidup macam apa, yang utama adalah makna hidup itu
sendiri. Dan, bagi saya dan barangkali juga Gunawan Budi Susanto, tugas
manusia adalah menjadi manusia, menciptakan surplus value atau value
added.
Orde Baru, yang
katanya orde final, akhirnya toh tumbang juga. Semua sudah
menjadi sejarah masa lalu. Sekarang, tugas kita membuat sejarah sesuai
dengan situasi dan kondisi dan toleransi yang baru. Lebih dari 30
tahun kita hidup dalam demam thugocracy=pemanisan. Dalam In Memoriam
A.A. Navis tulisan dedengkot wartawan Indonesia, Rosihan Anwar,
dinyatakan thugocracy diartikan sebagai orang bebas, vrijeman (Belanda), pareman (Minang), dan preman
yang bermakna derogatif: orang yang tidak peduli hukum dan suka kekerasan ke
dalam cracy yang lebih manusiawi. Itu adalah suatu langkah yang
penuh tanda tanya.
Kalau kita ingat ajaran Descartes yang tidak pernah usang,
kita harus berani mencoba supaya tidak usang lagi, yaitu Non cogito ergo
cogito, saya tidak berpikir pun saya berpikir. Kalau saya membaca
sembilan cerita pendek dalam buku Gunawan Budi
Susanto ini, Penjagal Itu Telah Mati, saya bukan sedang berpikir
tentang membaca cerita pendek,melainkan berpikir menelusuri reportase
proses atau proses tentang... itu sendiri, melihat sendiri, mengalami sendiri
seperti Peristiwa 1948 di Blora -- kota yang sampai sekarang
dikenal sebagai salah satu kota termiskin di Jawa Tengah, tetapi juga
satu-satunya kota di Indonesia yang mampu menerbitkan ensiklopedia.
Dan, bukan kota yang lain.
Orang-orang yang dituduh anggota PKI
dibunuh di depan publik yang digiring dari Pasar Kota Blora, yang berjarak
kurang dari 100 meter dari tempat pembunuhan massal itu, yaitu di
alun-alun. Kalau beringin di tengah alun-alun itu bisa bicara, dia akan
omong dan menulis seperti yang dilakukan Gunawan Budi Susanto. Trauma yang akan
melekat sampai ajal menjemput.
Ya, apalah arti cerita pendek, apakah pengaruhnya? Mohanda
Karamchand Gandhi (1869-1948), pejuang perlawanan diam ala ahimsa yang
berhasil mengguncang Amerika Serikat dan negeri penjajah Inggris
untuk memberikan kebebasan mengurus India sesuai dengan kehendak bangsa
India sendiri, walau secara tragis setahun setelah India merdeka (1947) mati
dibunuh oleh salah seorang pengikutnya 1948, menyatakan, “What you do may
not seem (so) important but it is very important that you do it.”
Dan, itu dilakukan Gunawan Budi Susanto, Darju
Prasetya, Asahan, Sutomodihardjo, Kaslan B, dan ratusan,bahkan ribuan
lain, untuk menggoreskan sejarah kelam bangsanya. Sejarah yang dibuat
bukan oleh para pemenang dan pemegang kekuasaan, melainkan oleh
mereka yang peduli terhadap sejarah sebagai memori kolektif. Sejarah yang siapa
tahu, seperti pendapat Toynbee, sejarawan Inggris, akan membuat suatu
bangsa menjadi lebih bijak,yang siapa tahu historia visol vagistra. Itulah
peran dan makna yang dilakukan Gunawan Budi Susanto.
Nyanyian Penggali Kubur adalah tragedi, Penjagal ItuTelah
Mati adalah karma, dan “Ibu Terus-menerus Bungkam” adalah
petaka nestapa yang membuat Gunawan Budi Susanto lahir baru dengan
pencerahan yang menerangi batin bawah sadarnya. Inilah norma yang layak dibaca
untuk direnungkan sebagai bagian dari syarat kemanusiaan.
“Maka bacalah buku ini dan bukan bakarlah,” kata
Pramoedya Ananta Toer. Saya punya moto sendiri,“Bacalah dan bakarlah....”
Silakan selesaikan sendiri kalimat tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar