Sebagian murid sekolah Islam Sumatera Thawalib balik arah
menuju komunisme. Langkah awal melawan pemerintah kolonial
Wenri Wanhar - 27 Maret 2015
Datuk Batuah (kedua dari
kanan).
HAJI Rasul risau. Pemimpin Sumatera Thawalib Padang
Panjang itu tidak sependapat dengan komunisme. Dia berpandangan, komunis
sebenarnya hendak menghilangkan agama dengan cara menunggangi agama.
“Suatu hari pada 1923, Haji Rasul berdebat sengit dengan Datuak Batuah dan murid-murid Thawalib yang pro komunis. Perdebatan itu menghilangkan wibawa Inyiak Rasul di depan murid Thawalib,” kata Ketua Alumni Thawalib Padang Panjang, Yan Hiksas kepada Historia.
Selepas itu, entah dari mana ujung pangkalnya, tiba-tiba
beredar desas-desus bahwa Datuk Batuah dan Natar Zainuddin bersekongkol dengan
para penghulu adat untuk memberontak terhadap pemerintah dan membunuh
orang-orang Eropa, termasuk asisten residen Padang Panjang.
“November 1923, Belanda mengirim satu detasemen polisi bersenjata ke Koto Laweh untuk menangkap Datuk Batuah dan Natar Zainudin,” tulis Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan Ke Integrasi.
“Setelah ditahan di Padang selama sekitar setahun, keduanya diasingkan ke Timor dan kemudian dipindahkan ke Boven Digul pada awal 1927.”
Desember 1923, giliran Djamaludin Tamin yang ditangkap
karena artikel-artikelnya di Pemandangan Islam memprotes penangkapan
rekan-rekannya. Ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara pada Mei 1924. Menjalani
hukuman selama lima belas bulan di penjara Cipinang, Jakarta dan dibebaskan
pada September 1925.
“Para siswa Sumatera Thawalib menyalahkan Haji Rasul karena penangkapan guru-guru muda mereka,” tulis Kahin. Puncaknya, Haji Rasul undur diri dari Thawalib. Dia pulang kampung ke Maninjau.
Awal 1925 Haji Rasul ke Jawa menemui menantunya, AR.
Sutan Mansur yang telah menjadi pemuka Muhammadiyah di Pekalongan. Bulan Juni
dia kembali ke Minang. Dan, langsung gencar mempropagandakan Muhammadiyah di
setiap dakwahnya.
Perkumpulan Sendi Aman yang didirikannya di Sungai
Batang, Tanjung Sani, Maninjau, atas persetujuannya menjadi Muhammadiyah cabang
Maninjau. Ketuanya Haji Yusuf Amrullah, adiknya.
“Boleh dikatakan inilah cabang pertama Muhammadiyah di Sumatera dan di luar Jawa,” tulis Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera.
Atas arahannya, pada 20 Juni 1925 murid-murid Sumatera
Thawalib Padang Panjang asal Maninjau mendirikan kelompok Tabligh Muhammadiyah.
Jamaluddin Sutan dan Makmur Salim bertindak sebagai ketua dan sekretarisnya.
“Mereka menerbitkan Khatib al-Ummah. Inilah jurnal Muhammadiyah pertama di daerah ini,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib.
Meski menyokong Muhammadiyah, sepanjang hayatnya, Haji
Rasul tidak pernah tercatat sebagai anggota, apalagi menjadi pengurus. Dia
hanya lakon balik layar.
“Haji Rasul melihat Muhammadiyah bagaikan sebuah kendaraan yang bisa ia tumpangi untuk lebih mempercepat gerakan pembaruannya,” tulis Tamrin Kamal dalam Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau.
Basis-basis Muhammadiyah kian meluas. Akan tetapi,
komunisme tak kalah hebat. Dalam laporan untuk gubernur jenderal, 23 Juli 1924,
penasehat pemerintahan, R. Kern mencatat, komunisme kian subur.
“Walaupun Asisten Residen Whitklau telah mengemukakan bahwa pergerakan perlawanan akan padam setelah tertangkapnya Datuk Batuah dan Zainudin, ternyata enam bulan setelah penangkapan itu, orang komunis lebih banyak dari yang sudah-sudah,” tulis Kern dalam laporan berjudul Voorstel om Natar Zainuddin en Hadji Datoeq Batoewah te Interneren, Adviz aan G.G.
0 komentar:
Posting Komentar