HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 27 Februari 2017

Genjer di sekitaran rumah

Feb 27, 2017

  • Satu percakapan di Kediri selatan
Mass Graves, Misbach Thamrin

Hanya ada aku dan nenek di rumah siang itu. Sekarang nenek tak lagi berjualan di warung depan rumah setelah beberapa minggu yang lalu jatuh dan terpeleset. Sebab itu ia diminta istirahat oleh anak-anaknya. 
Dagingnya sudah hampir hilang dimakan usia. Punggungnya kian membungkuk. Kaki dan pundaknya tiap malam basah minyak oles. Mata dan rambut makin memutih. Makin menjadi pula setelah tak bekerja.
“Bagaimana waktu Belanda dulu, Mak?” Tanyaku padanya. Aku memanggil nenekku dengan sebutan Mak’e. Ia tak terlalu lancar memakai bahasa Indonesia. Setiap percakapanku dengannya digelar dalam Jawa. Sejak naik sekolah menengah, aku bicara dalam Jawa Inggil dengannya. Sebelumnya tidak.
“Orangnya tinggi-tinggi, bagus, bersih. Mereka banyak di daerah dekat pabrik gula. Pernah sekali waktu mereka datang dengan mobil besar-besar. Perang. Orang-orang sini, Mbah Kung juga, merobohkan pohon-pohon di jalan supaya mereka tak bisa lewat. Yang sengsara itu waktu kedatangan Jepang. Orangnya kecil-kecil, kulitnya kuning. Sipit-sipit. Sengsara itu, Le. Waktu Belanda, aku jual sayur-sayuran di pasar. Waktu Jepang aku diperintah kerja di pabrik kapas. Bikin benang. Bareng dengan yang lain. Orang-orang pakai pakaian dari karung. Jalan kaki dari rumah. Berangkat subuh pulang malam. Beras susah. Makanan susah. Seadanya saja.”
“Rumah ini Mbah Yut yang buat, Mak? Siapa nama Mbah Yut?” 
“Ya. Namanya Mbah Kromo. Kartodikromo. Tapi rumah ini dulu belum seperti ini. Dulu masih gubuk. Ditembok tinggi kemudian oleh Mbah Kung. Dibangun lagi kan baru kemarin-kemarin sama ayahmu.”  
“Kerja apa Mbah Yut?”  
“Ya tani. Nggelak cikar, Le. Sampai ke Blitar, Tulungagung.”
Kutanyakan juga bagaimana akhirnya bisa kenal dan bersama dengan Mbah Kung, seorang yang kukenal selama lebih kurang tiga tahun saja, itu pun hanya tiap akhir pekan. Dan itu juga tak rutin. Dari tutur saudara-saudaraku, juga cerita dari tetangga, aku tahu ia orang yang cukup disiplin, atau jika aku tak keliru maka boleh dibilang keras. Cukup terpandang dan disegani. Waktu sekolah dasar, saat lebaran aku datang sendirian ke tetangga-tetangga hingga cukup jauh — sekitar 3 km dari rumah — kurasai perlakuan mereka padaku sedikit berubah setelah kujawab pertanyaan mereka cucu siapa aku ini. Dari mereka-mereka juga aku tahu di rumah inilah mereka dulu bisa menonton televisi. Itu lebaran bertahun-tahun lalu.

Sekarang aku tak pernah berkunjung sejauh itu. Dua tiga rumah sudah bagus. Pernah tidak ke tetangga sama sekali. Padahal tak yakin juga aku apakah setiap lebaran maka begitu saja akan saling memaafkan tanpa perlu pertemuan yang menjelaskan untuk apa maaf itu dan untuk apa memaafkan. Apakah benar akan lunas segala dosa sesama manusia setelah lewat satu lebaran saja. Dan aku tahu jawabannya dari keluarga juga: tidak.

Aku juga kenal Mbah Kung dari catatan harian yang ditulisnya. Peristiwa kelahiranku ada di situ. Terkisah di satu buku bersampul cokelat, dengan huruf bersambung miring, yang ditulis dengan pena pancur bersama peristiwa-peristiwa lain yang sama kecilnya. Juga dari buku harian itu kudapati nama siapa-siapa yang pernah tinggal di rumah itu. Nama siapa-siapa yang pernah membantu keluarga kami. Yang diceritakan padaku sebagai siapa-siapa yang oleh keluarga sedang dibantu. Atau dalam Jawa: diopeni. Yang sebagian aku kenal, sebagian besar lain tidak. Dan tak pernah kupertanyakan.

Juga dari cerita Mak’e kemudian aku tahu, keluarganya termasuk keluarga-keluarga awal di dusun itu. Dan banyak tetangga-tetangga juga ternyata masih saudara. Mak’e menyebut nama-nama, hubungan kekerabatannya, juga cerita yang menyertainya yang aku tak hafal semuanya. Dan kubalasi cerita-cerita itu dengan nggih dan anggukan kepala. Kuisap kopiku yang mulai dingin. Kuseduh tadi sebelum menyantap makan siang. Sambil juga membayangkan bagaimana keluarga Mbah Yut, yang aku yakin bukan dari keluarga bangsawan atau priyayi, bisa punya cukup tanah untuk diwariskan ke putrinya yang seorang itu, dan lalu ke cucu-cucunya yang berjumlah sepuluh. Belum terjawab sampai sekarang.
“Bagaimana waktu PKI, Mak?”  
“Biyen aku diseneni Mbah Kung melu nyanyi genjer,” katanya.
Mak’e bercerita ia ditegur oleh Mbah Kung karena ikut melagukan genjer-genjer.

Aku membayangkan Mak’e, ketika ia masih segar sekitar tahun 1965 silam. Pagi hari di depan rumah, dengan rambut digelung, mengenakan kain jarit, kemben, serta stagen yang melilit perutnya. Ia sedang menyapu halaman depan rumah yang cukup luas. Jalanan masih berbatu. Matahari masih samar, embun masih bersisa. Dari timur, serombongan orang, mungkin dua puluh, laki-laki dan perempuan, melintas depan rumah. Menyanyikan lagu genjer. Mengingatkan bahaya setan desa.
“Banyak orang naik sepeda rombongan. Nyanyi genjer-genjer,” ceritanya ke Mbah Kung dalam Jawa.
“Orang-orang komunis itu,” jawabnya, juga dalam Jawa.
Di sekitar waktu itu, tiap pekan mereka — kader Partai Komunis Indonesia dan organisasi pendukungnya seperti Barisan Tani Indonesia, Pemuda Rakyat, Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia, Serikat Buruh Seluruh Indonesia — berkumpul dan melakukan agitasi di alun-alun Kota Kediri.

Membikin panggung rakyat. Mendeklarasikan siapa musuh rakyat — tujuh setan desa dan tiga setan kota. Bersamaan dengan itu juga, kelompok santri juga sedang sekuat tenaga menyebarkan selebaran, mengingatkan kepada kaum “beriman” tentang apa yang telah dilakukan oleh komunis di Madiun tahun 1948 dan apa yang terjadi di Kanigoro pada awal 1965.

Ramadhan di Januari 1965, terdengar kabar bahwa masjid pesantren Aljauhar, Kanigoro, Kecamatan Kras, yang diasuh oleh H Jauhari itu diserbu oleh komunis. Yang sampai di rumah waktu itu mungkin adalah kabar seperti ini: Waktu sembahyang subuh, segerombolan PKI datang ke masjid, masuk dengan masih menggunakan alas kaki, membubarkan pelatihan yang digelar oleh Pelajar Islam Indonesia (PII), mengobrak-abrik masjid, mengalungkan arit ke leher imam, merobek dan menyebar halaman Alquran ke seluruh penjuru halaman masjid.

Dan kabar seperti itu juga yang mungkin sampai ke Mbah Kung. Dan itu sebab ia kemudian meminta Mak’e untuk tidak ikut seperti komunis menyanyikan genjer-genjer.

Muhidin M Dahlan dalam catatan mudiknya, Syawal itu Merah, pernah membahas peristiwa Kanigoro. Dari tulisan itu kutemukan bantahan orang-orang komunis:
Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2.
Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan. 
Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom. (Harian Rakjat 11 Februari 1965)

Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Tema ini sadja pun sudah menundjukkan, bahwa maksud si pembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.

Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU. (Harian Rakjat 13 Februari 1965)

Kediri itu merah. Pada pemilu 1955 PKI menduduki peringkat pertama dengan 33% pemilih. Lebih besar 50% dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meningkat jadi 40% di 1957. 
Pada 1961, dari tulisan Kenneth R. Young dapat diketahui ada setidaknya tiga ribu buruh tani menduduki lahan di daerah Jengkol yang waktu itu masih milik pabrik gula yang dijalankan oleh militer.

Pada paruh Oktober 1965, di alun-alun yang pernah dipakai komunis melakukan agitasi, berkumpul para pendekar islam dari Banser/Ansor dan ormas-ormas Islam lainnya. Upacara besar tergelar. Dihadiri oleh tokoh-tokoh Islam di Kediri. Direncanakan oleh Ansor, GPII; dan militer.

Dikomandoi oleh Maksum Jauhari, putra dari H Jauhari yang pesantrennya diserbu PKI beberapa bulan sebelumnya. Aku mengenalinya dengan nama Gus Maksum. Nama itu sering kudengar. Ilmu kanuragannya tinggi. Ada yang pernah bilang padaku, saking hebatnya, kambingnya saja tak mau merasakan nikmat dunia. Sudah melepaskan yang duniawi. Kambingnya hidup memakan sampah. Belum lagi, cerita bahwa ia memiliki naga.
Dipimpin olehnya, orang-orang itu mendeklarasikan siapa musuh islam — setan-setan komunis.
13 Oktober 1965. Maka dimulailah pembantaian besar itu..

Misbach Thamrin

Entah berapa yang tiba-tiba menjadi halal darahnya. Ada yang mencatat, pada hari keempat setelah upacara besar itu, tertangkap setidaknya 40 ribu kader komunis. 
Dan lagi, pembantaian orang-orang komunis di Kediri termasuk yang paling mengerikan. Banyak hasil bantaian itu dibuang ke sungai Brantas dari belakang masjid agung. Mayat-mayat tak berkepala enggan tenggelam, bahkan sampai hanyut ke Surabaya. Saat-saat itulah Kediri benar-benar merah.

Masih terhitung satu kecamatan dengan rumah ini, di kawasan pelacuran, satu kilometer sebelah utara Pabrik Gula Ngadirejo, yang terjadi begitu mengerikan: di depan rumah-rumah banyak bergantungan kemaluan para perempuan Komunis — seperti gantungan pisang-pisang yang dijual. Cerita di Pare pun tak kalah mengerikan. Seorang suami dipenggal kepalanya dan istrinya yang sedang hamil dibelah perutnya dan dicincang janinnya. Tak terbayang menjadi perempuan komunis dan dituduh komunis saat itu.

Diminta membuka jarit, memperlihatkan pahanya bagian dalam, apakah ada lambang palu arit atau tidak. Jika ada, ditelanjangi, dipaksa melakukan tarian harum bunga, diperkosa lalu mati. 
Jika tak ada, disiksa, dipaksa mengaku, ditelanjangi, dipaksa melakukan tarian harum bunga, diperkosa, lalu mati. 
Tentu juga tak pernah ada yang berlambang palu arit pahanya!
Kekejian itu, direncanakan dan dilakukan oleh orang-orang beriman dan beragama. Bahkan oleh mereka yang tinggi ilmu agamanya.
“Komunis itu orang-orang macam apa sebenarnya. Mereka pakai pakaian dan ikat kepala hitam-hitam. Mencari-cari orang. Oleh Kung-mu aku disuruh diam di rumah,” kata Mak’e.
“Siapa yang dicari?” tanyaku.
“Ya banyak. Yang dicari terus dibawa. Hilang. Kalau tidak dibunuh. Dibawa ke Srayut. Pak Puh-mu biasanya melihat,” jawabnya
Lalu ia menyebutkan nama-nama. Anaknya ini. Anaknya itu. Suaminya ini. Suaminya itu. Banyak sekali. Mak’e menyebut seperti baru terjadi kemarin. Dan nama-nama itu tak bisa kuingat semua. Akan tetapi, ia bercerita bahwa PKI dengan seragam hitam-hitam dan ikat kepala itulah yang memburu orang-orang, menculik mereka, atau menumpas mereka di sumber air yang bernama Srayut.

Ada juga yang kabur lalu dibunuh di sawah. Ia juga ceritakan orang-orang yang sembunyi di rumahku. Minta tolong kepada Mbah Kung untuk disembunyikan, dan dari nama-nama orang yang meminta tolong itu memang ada yang selamat. Salah satu orangnya baru saja meninggal karena sakit tahun kemarin. Aku ikut ke pemakamannya.

Mak’e kemudian mengambil wudlu. Aku masih diam di kursi itu. Apa jadinya jika dulu ia ikut menembang genjer?

Minggu, 26 Februari 2017

Intel Indonesia Dilatih Intel Israel

Hendri F. Isnaeni - 26 Februari 2017

Intel Indonesia dilatih oleh intel Amerika, Inggris, dan Israel. Targetnya negara-negara komunis.

Pelatih dari Israel (kanan) dan agen lapangan Satsus Intel di Cipayung, 1971. Foto: dok. Ken Conboy.

PADA awal 1965, Kolonel Nicklany, Asisten Intelijen di Polisi Militer, mengawasi pembentukan unit intelijen khusus di tubuh Polisi Militer yang diberi nama Detasemen Pelaksana Intelijen Militer (Den Pintel Pom). Tujuannya, untuk melacak jejak para anggota PKI. Unit ini dikenal paling cakap dalam tubuh angkatan bersenjata.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Asisten Intelijen Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada awal 1968, Nicklany menyampaikan kepada para petinggi Den Pintel Pom perlunya satu unit baru yang bertugas untuk menangani kontraintelijen asing, yaitu menangkap mata-mata asing yang beroperasi di Indonesia, terutama dari negara-negara komunis.

Untuk unit tersebut, Komandan Den Pintel Pom, Mayor Nuril Rachman menyiapkan 60 orang (sepuluh perwira aktif dan 50 sipil) dari Polisi Militer. Pada 16 November 1968, unit ini diresmikan bernama Satuan Khusus Pelaksana Intelijen atau Satsus Pintel, yang kemudian dipendekkan menjadi Satuan Khusus Intelijen atau Satsus Intel. Unit ini bertanggungjawab kepada Asisten Operasi Polisi Militer, dan setelah tahun 1969, kepada Nicklany sebagai Deputi II Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia).

Menurut Nuril, unit ini akan membutuhkan biaya besar dan banyak peralatan. Nicklany yakin dapat menyediakannya setelah Ed Barbier dari CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) datang ke Markas Polisi Militer.

Menurut ahli sejarah intelijen di Indonesia, Ken Conboy, hingga akhir tahun 1968, Amerika memberikan bantuan keuangan secara rahasia untuk menggaji 60 personel, kendaraan untuk pengintaian, biaya sewa rumah aman (safe house) di Jalan Jatinegara Timur Jakarta Timur, tape recorder mutakhir merek Sony TC-800, serta peralatan penyadap telepon.

Hingga tahun 1970, kendaraan pengintaian Satsus Intel terdiri dari 16 sepeda motor, 3 sedan Mercedes, 2 Toyota Corolla, 3 Volkswagen, 1 Toyota Jeep, dan 1 minibus Datsun; dengan kaca belakang dilapisi penutup, minibus ini untuk melakukan pemotretan rahasia.

Selain itu, Amerika juga memberikan pelatihan. Pada September 1969, CIA mengirim instruktur kawakannya, Richard Fortin untuk memberikan pelatihan teknik pengintaian dasar selama dua minggu. Materinya mencakup keahlian membuntuti kendaraan dengan diam-diam, melakukan penyamaran, dan menangani para agen.

MI6 dan Mossad

Menurut Conboy, meskipun Amerika sebagai sponsor utama, bantuan juga datang dari Inggris. Pada akhir 1969, MI6 (Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris) mengirimkan personelnya guna memberikan pelatihan bagaimana cara menangani agen. Pada November 1970, seorang warga negara Inggris, Anthony Tingle, datang untuk memberikan pelatihan selama empat minggu.
“Jika paspornya diabaikan, Tingle sebenarnya seorang brigadir Israel berusia 50 tahun dan bekerja untuk badan intelijen Israel, Mossad,” tulis Conboy.
Kendati Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun Nicklany bersikap pragmatis: “Kita akan mendatangkan instruktur Israel ini karena mereka yang terbaik di dunia.”
Tingle disambut baik oleh para peserta pelatihan di Cipayung, Jakarta Timur. Pusat pelatihan ini sebelumnya adalah tempat berlibur yang disita dari Ratna Sari Dewi, istri Sukarno. Selain anggota Satsus Intel, peserta yang menghadiri kelasnya adalah para perwira Angkatan Darat yang akan menjabat sebagai atase militer di luar negeri.

Tingle mengajarkan tentang nuansa penyamaran identitas, yaitu perekrutan agen dengan cara berpura-pura; ini spesialis Mossad. Dia mengajar dengan ketat dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun yang mengandung lelucon.
“Dia tak pernah tersenyum, tak pernah tertawa, dan tak pernah mau wanita,” kata salah seorang muridnya. “Dan saya belajar lebih banyak darinya dibanding dari instruktur mana pun, baik sebelum atau sesudah itu.”
Pada 1973, Mossad mengirim pelatih keduanya untuk memberikan pelatihan kontraspionase dan bagaimana menggunakan agen dalam melakukan kegiatan kontraintelijen. Peserta kelas kedua ini seluruhnya dari Satsus Intel.

Jenderal TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, membenarkan bahwa intelijen Indonesia bekerja sama dengan intelijen Inggris dan Israel.
“Yang saya benarkan waktu itu mengadakan hubungan dengan Israel adalah intelijen kita. Itu sehubungan dengan penumpasan PKI. Dalam hal ini Pak Sutopo Yuwono, Pak Kharis Suhud dan Nicklany. Tiga orang ini yang saya izinkan,” kata Soemitro dalam biografinya, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH.
Waktu itu, Sutopo Yuwono adalah Kepala Bakin sedangkan M. Kharis Suhud menjabat Wakil Asisten I Angkatan Darat. 
“Kami mengadakan hubungan dengan Mossad (Israel) dan MI6 (Inggris). Keduanya sangat peka mengenai masalah komunis,” kata Soemitro.
Satsus Intel menargetkan para diplomat dari negara-negara komunis: Uni Soviet, Cekoslowakia, Jerman Timur, Vietnam Utara, dan Korea Utara, bahkan juga negara-negara Timur Tengah.

Jumat, 24 Februari 2017

Sering Diganggu, Warga Nekat Bongkar Makam Mantan PKI Dan Lihat Yang Mereka Temukan

Penulis : U. Osass | 24 Februari 2017 10:58


Warga Bali kerap melihat sosok manusia tanpa kepala bahkan kepala berguling-guling di jalan. Tepatnya di Desa Banjar Adat Mesean, Batu Agung, Kabupaten Jembrana, Bali. Penampakan tersebut diduga adalah jasad mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Resah akan kejadian tersebut yang sering terjadi pada malam hari warga nekat membongkar kuburan eks anggota PKI. Dan menurut warga sekitar, di desa itu hampir saban tahun ada saja orang yang meninggal dengan cara gantung diri.

“Di banjar (desa) ini sudah ada 50 orang warga yang mati gantung diri, sudah sejak lama hingga sekarang. Ini sangat aneh dan tidak bisa diterima akal sehat,” tutur Kelihan Adat Mesean, Ida Bagus Ketut Siwa, Kamis (29/10).

Menurut salah satu warga bernama Siwa, karena adanya kejadian aneh itu petinggi adat desa bertanya kepada Sulinggih (pemuka agama). Mereka diberi saran untuk melakukan proses pecaruan (pembersihan) di banjar kawasan yang sering dianggap leteh (kotor).

Penyebab karang (areal) banjar itu kotor, menurut Siwa, di dekat SDN 3 Batuagung, terdapat kuburan massal diduga kuburan dari eks anggota PKI. Mereka diduga sebagian korban operasi pembersihan yang digelar militer dan organisasi paramiliter, setelah insiden 30 September 1965. Dan mereka diduga dibunuh pada tahun 1966.

Siwa melanjutkan, karena jasad tersebut tak kunjung dipindahkan ke tempat yang lebih layak, apalagi tidak di-aben. Hal seperti inilah yang membuat roh dari eks anggota PKI marah kepada warga setempat. Sehingga tempat tersebut sering memakan korban yakni dengan cara menggantungkan diri.

Akan hal itulah yang membuat pihak banjar adat dan desa pakraman setempat memutuskan membongkar kuburan massal yang diduga dari eks anggota PKI untuk dipindahkan ke setra (kuburan) kemudian melaksanakan upacara pengabenan.

Tempat yang dimana mereka terkubur secara massal telah dilakukan ritual pecaruan yang bertujuan membersihkan tempat tersebut.

“Secara logika memang benar di tempat mereka terkubur itu kan bukan setra, melainkan jalan. Jelas saja lokasi itu menjadi kotor dan mereka ingin dipindah ke tempat yang lebih layak dan diaben,” ucap Siwa.

Setelah melakukan ritual seperti ini, warga berharap kejadian serupa tidak lagi menghantui para warga yang ingin melewati tempat tersebut. Dan tidak ada lagi warga yang mati konyol dengan cara membunuh diri.

sumber
  • Merdeka.com tidak bertanggung jawab atas hak cipta dan isi artikel ini, dan tidak memiliki afiliasi dengan penulis
  • Untuk menghubungi penulis, kunjungi situs berikut : uvuvwevwevwe-onyeten-1004312

Genosida Intelektual (Intellectualcide): Pemberangusan Ideologi dan Kaum Kiri di Kampus Indonesia Pasca September 1965

Arif Novianto | February 24, 2017




Gerakan kontra-revolusi (Tragedi 1965) yang telah memukul mundur kesadaran dan kapasitas rakyat untuk memperjuangkan kehidupan mereka turut menghantam kehidupan Kampus-kampus di Indonesia. Kampus sebagai ruang kebebasan akademik tak luput dari pusaran kejahatan kemanusiaan. Civitas akademik di Kampus dari dosen, staf dan mahasiswa banyak yang dipecat, ditangkap dan tidak diketahui nasibnya. Mereka dianggap sebagai kaum kiri yang oleh militer pro-Soeharto dituduh terlibat pada peristiwa 30 September 1965.
Peristiwa kejahatan kemanusiaan1965 turut membentuk bangunan dan wajah kampus di Indonesia sekarang ini. Bagaimana tragedi 1965 mengubah wajah kampus di Indonesia (kurikulum, dosen, kebebasan akademik)? Apa dampak dari perubahan di masa itu yang hingga kini tetap kokoh bertahan? Apa implikasinya bagi masa depan kampus di Indonesia? Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, MAP Corner-klub MKP UGM pada selasa 24 November 2015 mencoba mendiskusikannya bersama Abdul Wahid, seorang dosen di jurusan Sejarah UGM.
Menurut Abdul Wahid, peristiwa pembunuhan massal 1965 dapat disebut sebagai “politisida atau genosida”, sedangkan pemberangusan yang juga terjadi di dunia akademik ia menyebut dengan istilah “Intellectualcide” (Genosida Intelektual). Sebelum melangkah lebih jauh tentang keterlibatan kampus, peran militer dan proses terjadinya genosida intelektual ini, Abdul Wahid memulai memantik diskusi dengan menjelaskan iklim politik Indonesia sebelum tahun 1965.
Dari tahun 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di Indonesia. Universitas negeri meningkat dari 8 (1959) menjadi 39 (1963), Universitas swasta tumbuh dari 112 (1961) menjadi 228 (1965), Akademi negeri bertambah dari 55 (1961) menjadi 88 (1965) dan total pada 1965 ada 335 universitas/institute dengan 278.000 mahasiswa. Jumlah masyarakat yang terdidik secara formal pada tahun-tahun tersebut jelas mengalami peningkatan beratus kali lipat jika dibanding pada tahun 1940. Saat itu, hanya ada 79 mahasiswa yang lulus di Hindia ketika diperkirakan total populasi koloni mencapai 70 juta orang. Sedangkan jumlah lulusan pendidikan tinggi antara 1924 dan 1940 adalah 532, hanya 230 di antaranya merupakan penduduk pribumi (Wal 1963, dalam Aspinall, 2012: 157).
Jumlah mahasiswa yang begitu besar, membuat para mahasiswa mulai dilirik oleh partai-partai politik sebagai calon potensial untuk membangun massa konstituen. Pada periode ini, politik aliran menguat dan letupan-letupan ketegangan antar aliran terus terjadi. Politik aliran juga merangsek ke gerakan mahasiswa, ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terbentuk pada 5 Februari 1947, berafiliasi dengan partai islam modernis yaitu Masyumi. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23 Maret 1954 berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dibentuk pada 1956 yang memiliki kedekatan dengan PKI dan juga ada Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang terbentuk pada 1955 yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Situasi politik nasional hingga tahun 1960an mencuatkan tiga kekuatan/idiologi besar yang saling bersaing yaitu PNI (nasionalis), NU (agamis) & PKI (komunis) yang oleh Soekarno hendak disatukan menjadi NASAKOM (Nasionalis, Agamis & Komunis). Soekarno pada masa itu menjadi revolusioner dengan mengeluarkan kebijakan dan jargon politik radikal menentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme seperti “Manipol-Usdek”, “Ganyang Malaysia”, “Nefos” dan juga isu Papua Barat.
Bagi Soekarno, Universitas harus mampu menjadi “alat revolusi nasional”. Universitas diarahkan untuk mendukung “Manipol-USDEK’ (Political Manifesto – UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi-Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) dan untuk mendukung propaganda anti-imperialisme dan the ‘new emerging forces’ (NEFOS). Kebijakan yang diambil oleh Soekarno bukan tanpa alasan, sisa-sisa ekonomi-politik kolonial, sisa-sisa feodalisme dan sisa-sisa kebudayaan kolonial mencoba untuk terus dihanguskan dalam revolusi nasional Indonesia. Itu karena bagi masyarakat kecil atau kaum Marheins, kemerdekaan secara politik juga harus ditunjang kemerdekaan secara ekonomi yaitu untuk mencapai kesejahteraan. Sementara perjuangan untuk mencapai hal itu membutuhkan organisasi massa, kampanye politik dan advokasi. Sementara kaum kelas atas dan masyarakat yang masih dalam enclave kolonial, mereka juga turut membangun organisasi massa untuk mempertahankan keistimewaan dan ideologi mereka. Itulah yang membuat politik aliran sangat menguat.
Gejala politik “aliran” ini telah membuat setiap masyarakat bisa menjadi anggota salah satu organisasi politik atau kelompok-kelompok afiliasinya, tak terkecuali dalam dunia kampus. Partai dan basis massa yang berafiliasi dalam aliran berkembang diantara jalinan dua gejala (Lane, 2014: 56). Pertama, adanya kekosongan organisasi sosial dikarenakan penindasan kolonial yang berlangsung ratusan tahun. Yang kedua, adalah kebutuhan proses pembangunan bangsa agar memiliki isian ekonomi-politik yang nyata: kemerdekaan tak akan berarti apa-apa bagi rakyat bila terpisah dari perjuangan untuk memperbaiki kehidupan material dan peningkatan kekuatannya, sebagaimana dibandingkan dengan hari-hari saat mereka masih menjadi “subyek” eksploitasi dan penghisapan oleh sistem kanibalistik kolonial. Itulah yang juga melandasi pandangan Soekarno untuk melakukan pembelahan bukan pemersatuan. Hal tersebut dapat dilihat dari tulisan Soekarno seperti “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” & “Kapitalisme Bangsa Sendiri”. Bagaimana Soekarno selalu menghadirkan pembelahan antara yang pro dan anti-kapitalis, pro dan anti eksploitasi. Artinya yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya. Semua punya kepentingan yang saling berlawanan, padahal masih satu bangsa (Lane, 2011). Hal tersebut membuat setiap orang harus memilih akan berdiri pada sisi mana karena dua sisi tersebut saling berlawanan.
Pandangan politik Soekarno tersebut telah membuatnya dekat dengan ideologi kiri dan PKI. Pada masa itu PKI menurut Ruth T. McVey merupakan partai yang paling modern dengan kaderisasi kuat yang mengakar ke bawah yaitu dilakukan secara institusional. PKI memiliki lembaga kebudayaan, gerakan perempuan dan juga lembaga pendidikan progresif seperti Universitas Rakyat, Universitas Res Publica, Akademi Ali Archam, Akademi Bachtarrudin, Akademi Ronggowarsito dan juga yang lain. Lembaga pendidikan PKI menjadi institusi pendidikan formal yang sangat menarik bagi rakyat.
Konteks iklim politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh terjadinya perang dingin antar dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (AS & Sekutunya) dengan Blok Timur (US & sekutunya). Hingga 1965, universitas menjadi ‘arena perang dingin’ karena menerima bantuan dari donor “Barat & Timur”.Donor Barat” banyak membantu capacity building di bidang teknik, pertanian, peternakan, kedokteran dan pedagogik. Sedangkan “Donor Timur” membantu pembangunan “infrastructure”, di bidang sains, teknik dan humaniora. Pertarungan kedua blok juga merambah ke pemberian beasiswa-beasiswa pendidikan kepada para mahasiswa Indonesia.
Pada tahun 1960an, organisasi mahasiswa yang menjadi dominan adalah GMNI dan CGMI. Ini tidak terlepas dari afiliasi mereka kepada partai politik yang berkuasa saat itu, yaitu PNI dan PKI. Pada awal 1960an GMNI memili jumlah anggota 77.000 orang sedangkan CGMI sekitar 35.000 orang pada 1964an (Maxwell, 1997: 118). Organisasi mahasiswa intra-kampus Dewan Mahasiswa (Dema) dan Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema) menjadi arena persaingan politik antar gerakan mahasiswa. Ada dua kluster yang sering beradu mendapatkan posisi strategis di Dema dan Kodema ini, yaitu kluster berbasis agama: HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM dan kluster berbasis sekuler: GMNI, CGMI, Germindo, Perhimi dan IPPI. Pengaruh pertarungan gerakan mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Wahid juga sampai ke para dosen dan staff. Banyak intrik politik dari karir penunjukan pimpinan di kampus yang didasarkan pada kedekatan dosen dan staf pada organisasi kemahasiswaan tertentu.
Terjadinya operasi militer pada 30 September 1965 yang telah membunuh 6 Jenderal dan 1 Perwira Tinggi TNI AD, disikapi oleh militer pro-Soeharto dengan bergerak cepat dan memonopoli arus informasi publik dengan menuduh PKI sebagai pelaku operasi militer. Pemburuan dan kejahatan kemanusian kemudian terjadi diberbagai daerah dengan menyasar para komunis dan Soekarnois.  Kampanye counter-revolutionary/anti-komunis di kampus dimulai serentak di minggu pertama Oktober yang dilakukan dengan proses seperti berikut:
  • Menteri PTIP menerbitkan SK No.1/dar 1965 untuk membekukan 14 lembaga yang (diduga) berafiliasi ke PKI
  • SK No.4/dar 1965 untuk menutup 2 institut PKI lain;
  • SK No. 16/dar 1965 membubarkan CGMI, Perhimi, IPPI
  • Ini ditindak lanjut dengan Instruksi TNI no. 22/KOTI/1965 tanggal 10 Oktober men-skrining semua kampus
Proses skrining dimulai serentak sesudah Menteri PTIP mengeluarkan SK tanggal 24/10/1965: Hasil awal diumumkan pada 2/1/1966; beberapa universitas melaporkan hasil skrining. Hanya beberapa universitas yang mengumumkan hasilnya secara terbuka, kebanyakan menyembunyikannya (sebagai dokumen rahasia). Proses skrining ini dilakukan dengan mendata siapa saja kaum kiri di kampus. Skrining berjalan dengan dramatis dan tricky:
  • Rektor universitas ‘ditunjuk’ sebagai ketua tim penyelidikan khusus mahasiswa/pegawai (TPCM/TPCP) di bawah TNI untuk screen universitasnya, tetapi juga ‘binaannya’.
  • ‘Pendataan’ melibatkan mahasiwa dan dosen, untuk menyusun daftar nama ‘tersangka’ (beberapa kemudian terlibat dalam proses ‘interogasi’, misalnya: Lukman Soetrisno di UGM)
  • Proses berjalan hirarkhis, atasan memaksa bawahan untuk menyerahkan nama, seringkali secara serampangan tanpa verifikasi
Dalam proses skrining karena kampus sebagai institusi tidak mempunyai data siapa saja mahasiswa, dosen atau staff yang memiliki afiliasi politik dengan PKI, maka para mahasiswa anti-komunis (dari organisasi yang bertentangan dengan CGMI seprti HMI) dimanfaatkan untuk menunjuk para mahasiswa yang masuk CGMI, Perhimi, IPPI atau yang berafiliasi dengan PKI.
Tabel 01. Hasil Proses Skrining Kaum Kiri di Kampus pada Tragedi 1965
NoUniversitasDosen (karyawan)Mahasiswa
1.Universitas Gadjah Mada1153,006
2.Universitas Padjadjaran25227
3.IKIP Bandung1763
4.Universitas Diponegoro17Tidak tersedia
5.Univ. Sumatera Utara510
6.Universitas AndalasTidak tersedia39
7.Universitas Hasanudin95Tidak tersedia
8.Universitas Sam Ratulangi24100
9.IKIP MenadoTidak tersedia19
10Universitas Mulawarman1‘Beberapa’
Total2993464
Hasil dari proses skrining tersebut, UGM (Universitas Gadjah Mada) mencatat 115 Dosen atau Karyawan dan 3.006 Mahasiswa yang diduga terlibat dalam gerakan pemberontakan padahal jumlah mahasiswa di UGM saat itu sekitar 12.000 mahasiswa (UGM menjadi yang tertinggi). Mereka yang di data dalam proses skrining sebagian menjadi tahanan politik selama beberapa tahun; sebagian di-Buru-kan; dan lainnya tidak diketahui nasibnya. Dalam penjelasannya Abdul Wahid memaparkan bahwa para mahasiswa yang terdata diwajibkan melapor ke kampus pada 3 kali 24 jam setelah hasil skrining dipublis di media massa, dan banyak sekali yang tidak melapor. Itu artinya mereka sudah dihantam dengan mekanisme yang lain di luar kampus. Karena proses skrining tersebut juga bersamaan dengan proses pemburuan dan pembunuhan massal kaum kiri di berbagai pelosok Indonesia.
Arsip dokumen hasil proses skrining dari kampus-kampus di Indonesia memang banyak yang dirahasiakan atau tidak dibuka dokumennya kepada publik sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahid. Itulah mengapa membuat Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan kampus besar lain tidak ada dalam data hasil skrining diatas (lihat tabel 01). Abdul Wahid melihat hanya UGM yang memang terbuka dalam membuka hasil proses skrining di kampusnya, tanpa melakukan manipulasi data untuk mengurangi jumlah dosen, staff dan mahasiswa yang terdata dalam proses tersebut.
Selain proses skrining atau pembersihan kaum kiri di kampus, dunia akademik kampus juga melakukan pembersihan terhadap buku-buku bertendensi kiri di perpustakaan dan merubah kurikulum mereka menjadi kapitalisme sentris. Proses tersebut dilakukan dibawah tekanan militer. Hal tersebut mendapat legitimasi dengan disahkannya TAP MPR RI No.XXV/MPRS/1966 yang berisi pelarangan terhadap idiologi komunisme/ marxisme-leninnisme.
Tabel 02. Hasil Skrining di UGM Versi 2/1-66 Berdasarkan Fakultas
tabel hasil skrining pemberangusan kaum kiri komunis soekarnois di UGM yogyakarta
Namun ketika ditanya tentang keterlibatan kampus (seperti UGM) secara Institusional dalam melakukan genosida intelektual, Abdul Wahid menyatakan bahwa data yang dimilikinya sampai saat ini belum menemukan adanya keterlibatan kampus secara institusional. Abdul Wahid cenderung melihat bahwa kebijakan kampus waktu itu tak bisa terlepaskan dari tekanan militer yang telah melakukan kudeta merangkak, karena relasi kampus tak bias dilepaskan pada relasi kuasa diatasnya. Sedangkan keterlibatan orang-orang kampus yang turut melakukan intrograsi, penyiksaan dan pembunuhan paska September 1965 itu lebih bersifat personal. Seperti Loekman Soetrisno (LS) yang namanya disebut-sebut turut terlibat dalam kejahatan kemanusian 1965 dalam kesaksian seorang korban di IPT 1965. Abdul Wahid menyatakan bahwa LS pada waktu itu selain seorang dosen juga merupakan anggota CPM (Corps Polisi Militer). Sehingga perlu penelitian lebih mendalam untuk melihat dan menemukan terlibat tidaknya kampus secara institusional dalam proses genosida intelektual dan kampus juga harus membuka diri dengan memberikan akses terhadap dokumen-dokumen rahasia mereka, karena tragedi 1965 telah menciptakan sejarah kelam bagi perkembangan Indonesia selanjutnya.
Peristiwa pembunuhan massal dan genosida intelektual paska September 1965 ini memang telah menimbulkan pengaruh mendalam bagi universitas di Indonesia. Beberapa diantaranya sebagaimana yang dilihat oleh Abdul Wahid adalah sebagai berikut:
  1. Hilangnya satu generasi intelektual, produk dari periode tahun 1950an yang kosmopolitan dan liberal (termasuk mereka yang menjadi eksil)
  2. Penghapusan sistematis jejak dan pemikiran, gagasan memori dan unsur-unsur ‘kiri’ dari kampus Indonesia
  3. Reorientasi ‘komitmen dan ideologi’ intelektual di beberapa kalangan akademisi Indonesia
  4. Kerjasama internasional menjadi sangat berorientasi Barat, khususnya USA dan Eropa Barat
  5. Dalam kurikulum, terutama ilmu sosial, teori Marxist/conflict ‘ditinggalkan’ dan buku/literatur kiri ‘menghilang’ dari perpustakaan kampus (TAP MPRS 25/1966)
  6. Budaya intelektual dan tradisi kritis menurun, sedangkan aktivisme politik mahasiswa dibatasi dengan ketat
  7. Minat riset seputar Peristiwa 1965, isu agraria, dan gerakan buruh menjadi lemah, atau dihindari karena self-censorship tapi juga karena kebijakan (kampus)
  8. Universitas menjadi semakin birokratis, kapitalistik dan market-oriented (Nugroho 2009)
Dampak Peristiwa 1965 bagi universitas (negeri) di Indonesia memang sangat besar; mulai dari sisi SDM dan personalia, akademik, hingga manajerial aspek. Strategi anti-komunis Orde Baru pasca 1965 bisa dianggap sebagai kekerasan (kultural) intelektual yang turut membentuk ‘state of the art’sistem pendidikan tinggi Indonesia saat ini. Kisah tidak menyenangkan ini (inconvenient story) sudah seharusnya diintegrasikan ke dalam narasi sejarah 1965 dan tentunya penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami kompleksitasnya.
Sumber: MAP Corner UGM