Minggu, 19 Februari 2017

Mereka yang Terlupakan


February 19, 2017



Judul buku: Kamp Pengasingan Moncongloe
Resensi: Subarman Salim
Penulis: Taufik Ahmad
Penerbit: Desantara, 2008
__________

Moncongloe, sebuah kamp pengasingan, selama puluhan tahun tertutup dan seakan hilang dari denyut kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Moncongloe adalah dunia lain yang tidak tersentuh, namun di dalamnya berlaku sebuah hukum kehidupan yang dikendalikan oleh oknum di bawah sistem negara yang tiran.

Para tahanan diperlakukan laiknya budak yang segenap hidupnya diabdikan pada sang majikan. Para tahanan yang setiap hari dibebani dengan kerja membuka lahan kebun dengan menerabas lebatnya hutan untuk dipersembahkan kepada sang majikan, elit militer.

Demikian kerja yang harus dilakukan oleh setiap tahanan sepanjang waktu, tanpa seorang pun yang berani melakukan perlawanan, mungkin pernah berpikir untuk melarikan diri, hanya dalam pikiran. Karena, setiap penentangan selalu berbuah tendangan sepatu laras, tamparan, dan berbagai jenis kekerasan.

Dari kontrol militer ke kontrol sosial

Buku yang bercerita tentang komunitas Tahanan Politik (Tapol) PKI di daerah pengasingan mereka di Moncongloe, Sulawesi Selatan, berhasil menyingkap bagaimana Orde Baru menggiring mereka yang dianggap PKI menjadi tahanan politik.

Hasil riset ini juga menggambarkan bagaimana kehidupan mereka di penjara, bagaimana bentuk kontrol dari agen-agen negara, militer.

Namun keluar dari kamp para tahanan menemukan kekerasan belum selesai. Kontrol militer beralih ke kontrol sosial, label PKI adalah sebuah status sosial yang tidak memiliki tempat yang setara dengan orang lain di ruang-ruang publik, bahkan juga berlaku bagi anak cucu mereka.

Mereka adalah subordinat dan terbuang dari kehidupannya. Seorang Tapol Moncongloe mengisahkan drama hidupnya yang memilukan ketika harus rela menahan air mata tanpa menemui keluarga di tengah
penyamaran guna menghindari kejaran para Intel, meskipun akhirnya tertangkap juga.

Nyaris, semua Tapol Moncongloe adalah orang hilang dan mati. Mereka dianggap mati oleh keluarganya. Di sisi lain, mereka pun harus membuang jauh harapan untuk berkumpul kembali bersama keluarga tercinta.

“Persoalan Kamp Tahanan dan korban Gerakan 30 September 1965 masih merupakan sejarah tersembunyi. Komunitas ini selalu terpinggirkan karena dianggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965.” (hal.xxii)

Berjuang melawan tirani

Penulis berhasil menjajaki tidak hanya sejarah kehidupan mereka di pengasingan, tetapi juga berhasil menguak sejarah mentalitas, termasuk bagian terdalam pengalaman dan pandangan hidup mereka sebagai kelompok marginal.

Penulis juga menemuka tumbuhnya rasa solidaritas sebagai kekuatan utama mereka untuk bertahan hidup. Rasa solidaritas yang tinggi, serta
komitmen yang kuat membuat mereka bisa bertahan hingga saat ini.

Satu hal yang juga penting untuk menjadi bahan renungan kita adalah: mereka yang dituduh PKI justru menjalani hidup dengan penuh antusias dan berjuang keras melawan tirani.

Mereka yang tidak sedikitpun memiliki niat untuk mendukung atau melakukan kudeta terhadap pemerintah, namun akhirnya harus pasrah menjadi korban dari dari sebuah persistiwa yang menjadi antiklimaks
dari kebesaran nama PKI.

Semua karena PKI

Ketika PKI ditetapkan menjadi organisasi terlarang pasca peristiwa G30S 1966, maka implikasi politik tidak hanya mempengaruhi konstalasi elit dan hubungan partai politik, namun lebih jauh telah menyebabkan
hilangnya hak-hak hidup orang-orang yang dianggap sebagai anggota PKI.

“Dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia bentukan rezim Soeharto, G30S merupakan kekejaman yang luar biasa, sehingga kekerasan massal terhadap siapapun yang terkait dengannya dapat dilihat sebagai tindakan yang dapat dibenarkan dan bahkan terhormat. Oleh karena itu penangkapan, pemenjaraan, dan pengasingan masyarakat sipil yang diduga memiliki hubungan dengan PKI adalah sah dan menjadi sesuatu yang benar, meski tanpa melalui proses pengadilan. Dalam kurun waktu itu adalah resiko dan pilihan politik bagi anggota PKI, sekaligus kenyataan yang harus diterima sebagai langkah politik yang salah karena telah bergabung dengan PKI.” (hal.95)

Tapi mengapa, negara begitu mengharapkan musnahnya PKI? Dan yang lebih parah mengapa penghancuran PKI dan Ormasnya juga turut menyapu bersih kehidupan orang-orang biasa, orang-orang yang ikut organisasi karena kepedulian sosial atau karena jenuh dengan organisasi yang sepi dinamika –organisasi yang lebih memihak penguasa dan menggadaikan nasib orang-orang kecil.

Konflik pasca G30S 1966, sebetulnya tidak hanya melibatkan pertarungan ideologi. Ketika PKI secara resmi dibubarkan oleh negara, ideologi komunisme-sosialisme tidak serta merta turut lenyap. Bahkan tradisi diskusi, kuliah, dan praktek-pratek sosialisme-komunis masih terus dikembangkan, bahkan di dalam jeruji besi sekalipun.

Dengan riset yang menantang ini, penulis berhasil mengungkap bagaimana para tahanan politik tersebut memanfaatkan waktu yang sempit untuk terus belajar, berdiskusi dan mendebatkan sosilalisme.

Kekerasan sistemik

Sangat penting untuk memahami akar kekerasan yang terjadi di kamp
pengasingan Moncongloe. Tidak hanya untuk menemukan kebenaran dan
cerita mengiris hati yang telah lama terbuang. Lebih dari itu, kekerasan yang telah merampas hak hidup ratusan orang tersebut selama 30-an tahun itu demikian sistemik.

Penulis dengan seksama telah memberi gambaran tidak hanya berupa manuskrip hasil wawancara mendalam dengan pelaku, tetapi juga berhasil menemukan dokumen-dokumen terkait yang menjadi salah satu persyaratan mutlak sebuah karya ilmiah sejarah. Sehingga, karya ini tidak hanya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan cerita kelompok manusia yang terzalimi, namun dapat menjadi karya yang bernilai akademik tinggi, dengan menggunakan metode historiografi kontemporer.

Menurut temuan penulis, tidak semua tahanan Moncongloe adalah anggota PKI. Namun semua tahanan memiliki status sama sebagai tahanan politik mendapat perlakuan sama. Hal ini disebabkan karena metode penangkapan secara membabi buta.

Dari sinilah penulis melakukan penelusuran jejak dan kemudian menemukan komunitas Tapol yang hilang selama puluhan tahun.

“… sampai saat ini, selama 10 tahun “proses reformasi”, ternyata masih ada sebagian warga negara yang belum mendapatkan perlakuan yang wajar, belum mendapatkan hak-haknya yang selama ini sudah dipasung selama puluhan tahun.” (hal.10)

Buku ini adalah bukti salah satu sisi gelap pemerintahan Orde Baru. Ketika militeristik yang menjadi jiwa Orde Baru yang tidak hanya melibatkan oknum, namun bekerja sistemik hingga melahirkan syndrom di tengah masyarakat.

Orde Baru yang dikenal sebagai pemerintahan berkarakter militeristik,
kerap menggunakan cara militer untuk membungkam kritik atau potensi
oposisi yang dikuatirkan akan melahirkan benih-benih perlawanan terhadap pemerintah.

Karya ini juga hadir tanpa merujuk trend dan apolitis. Ketika tema-tema kekerasan Orde Baru mulai meredup, karya ini hadir seperti
menginterupsi suasana dan kesadaran kita, bahwa masih ada cerita kehidupan yang ahistoris yang tertutup rapi oleh rezim Orde Baru.

Ketika era reformasi menganak-emaskan tema politik dan demokrasi, karya ini lahir menyentuh titik nadir kehidupan sosial kita dengan suguhan cerita kehidupan tahanan politik yang telah lama tersembunyi dari denyut nadi kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Sejarah yang tak lagi elitis

Buku ini juga menjawab keraguan banyak orang mengenai sejarah yang elitis. Sejarah kini tidak hanya berupa kisah heroistik panglima perang dan sikap ksatria seorang raja. Sejarah juga tidak hanya merujuk kurikulum sekolah dan silabus mata kuliah perguruan tinggi.

Sejarah sesungguhnya juga ada di kehidupan petani, aktivitas buruh, para tahanan politik ataupun tentang kampung yang tidak tertera dalam peta.

Sejarah adalah perspektif, dan kini kita tidak lagi menggunakan kaca mata kuda untuk membaca sejarah versi pemerintah (Orde Baru). Sejarah kini menjadi milik rakyat yang juga punya hak untuk menulis, menulis kembali, atau menantang tulisan lama. Kini sejarah bukan lagi persoalan pembenaran, namun sejarah lebih kepada persoalan perspektif, atau lebih tepat sejarah adalah pilihan.

Karena, sejarah pun tidak melulu memihak kepada orang banyak. Sejarah adalah apa adanya dan sebagaimana yang terjadi..



0 komentar:

Posting Komentar