Jumat, 24 Februari 2017

Peristiwa Tanjung Morawa, Batu Terjal Kabinet Wilopo


Februari 2017


Kalau kita melihat kasus sengketa pertanahan dipelbagai daerah di Indonesia, sepertinya tidak ada ujung-ujungnya dan terus terjadi disetiap era pemerintahan presiden manapun. Permasalahan sengketa tanah memang sesuatu hal yang kompleks, disisi lain persoalan tanah merupakan permasalahan mengenai ruang hidup masyarakat yang menjadi tiang kehidupan. Masalah pertanahan bukan hanya masalah agraria, melainkan permasalahan politik penguasaan suatu lahan.

Dalam konflik yang terjadi disetiap daerah mengenai sengketa tanah. Terkadang berujung pada bentrokan antara masyarakat sipil dan aparat penegak hukum, dalam peristiwa sejarah nasional Indonesia, mungkin Peristiwa Tanjung Morawa dapat kita jadikan refleksi mengenai bentrokan sengketa tanah yang berujung pada konflik berdarah yang mengganggu stabilitas nasional pada saat itu. Saat itu pada 16 Maret 1953 di Tanjung Morawa, Sumatera Timur (sekarang Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini turut menyeret jatuhya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo di Era Demokrasi Liberal (1950-1959).

Permasalahan yang terjadi pada Peristiwa Tanjung Morawa adalah perebutan lahan seluas 225.000 Hektar yang merupakan lahan perkebunan kelapa sawit, teh, dan tambakau yang merupakan kepemilikan perusahaan Belanda, yaitu Deli Palnters Vereniging (DPV) yang sebelumnya sempat digarap oleh masyarakat Pribumi dan keturunan Tionghoa saat Jepang berkuasa di Indonesia.

Pokok permasalahan muncul ketika tanah yang sudah digarap oleh rakyat tersebut harus dikembalikan kepada DPV sebagai imbas dari kesepakatan Konferensi Meja Bunda (KMB). Kesepakatan itu membuat Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaan, tapi salah satu syaratnya mengembalikan lahan itu kepada para investor asing.

Luas tanah DPV yang dimiliki sebelum perang dunia II yakni seluas 255.000 ha. Dari tanah seluas itu pihak DPV meminta 125.000 ha tanah, sedangkan 130.000 ha dikembalikan kepada pemerintah.

Atas kesepakatan tersebut, Pemerintahan Kabinet Wilopo pada saat itu melalui Menteri Dalam Negeri, Mohamad Roem memerintahkan Pengosongan lahan tersebut. Perintah tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur, A. Hakim sebagai realisasi menjalankan kesepakatan KMP antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda.

Perintah tersebut semulanya akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa yang akan direlokasi dan meningglakan lahan DPV tersebut, namun terjadi aksi provokasi yang dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia (BTI–Organisasi Massa Tani dari PKI) sehingga terjadi penolakan yang dilakukan para petani yan semula akan menuruti kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut.


Buntut dari penolakannya ini adalah eksekusi paksa yang dilakukan pada tanggal 16 Maret 1953 dengan mengerahkan beberapa unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob).Para buruh tani  melakukan aksi demonstrasi untuk menggagalkan pentraktoran serta
perlawanan hingga terjadi bentrok.  Dalam insiden itulah timbul tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, di mana enam di antaranya tewas.

Insiden ini kemudian menjadi perbincangan dan perdebatan di Parlemen Indonesia. Dapat dibilang peristiwa ini dijadikan topik yang memanaskan kondisi politik di parlemen dan dimanfaatkan oleh opisisi kabinet. Karena peristiwa itulah golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela tindakan pemerintah. Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI), melayangkan mosi tidak percaya pada Kabinet Wilopo di parlemen.

Sebelum mosi tidak percaya tersebut ditindak lanjuti dan diputuskan. PM Wilopo memilih mengembalikan mandat kabinetnya kepada Presiden Soekarno, pada 2 Juni 1953.

0 komentar:

Posting Komentar