Kamis, 02 Februari 2017

Press-Release | KontraS

Release:

Hal: Pengaduan atas Dugaan Maladministrasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Penanganan Kasus HAM Berat Masa Lalu

Kepada Yang Terhormat,
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
Bapak Amzulian Rifai
Di tempat

Dengan hormat,
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Setara Institute, serta individu pegiat HAM dan demokrasi, bersama dengan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan ini melaporkan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kepada Ombudsman Republik Indonesia atas dugaan telah terjadi tindakan Maladministrasi oleh kedua lembaga negara tersebut dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.
Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut berkenaan dengan kesepakatan sepihak Kemenko Polhukam dan Komnas HAM untuk menempuh Rekonsiliasi atau non-judisial sebagai pilihan politik pemerintah dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat.
Langkah tersebut akan dilakukan dengan alasan Jaksa Agung tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil Penyelidikan Komnas HAM, seperti disampaikan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat (30/1/2017) sebagaimana dilansir dari laman
Langkah tersebut juga secara gencar diungkapkan oleh Menkopolhukam Wiranto (30/1/2017) bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat akan dilakukan melalui jalur rekonsiliasi dengan alasan kasus-kasus pelanggaran HAM telah lama terjadi, sebagaimana ia sampaikan dalam laman http://kbr.id/berita/nasional/012017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html
Bahwa dugaan tindakan Maladministrasi tersebut merujuk  pada:  Pasal 1 angka (3) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman:“Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan”.
Berdasarkan peraturan perundangan-undangan tersebut, kami menduga telah terjadi Maladministrasi dalam bentuk:
1.   Dugaan perbuatan melawan hukum dalam bentuk lahirnya kebijakan yang bertentangan dengan hukum;
2.   Dugaan perbuatan yang melampaui wewenang dan menggunakan wewenang untuk tujuan lain; serta
3.   Dugaan pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaran pelayanan publik hingga menimbulkan kerugian. 

Hal–hal tersebut sebagaimana kami uraikan sebagai berikut:
I. Rencana Rekonsiliasi oleh Kemenko Polhukam dan Komnas HAM Bertentangan dengan Kewajiban Hukum Negara dalam Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat
1.   Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Tahun 2002 menyatakan“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 28I ayat (4) juga menegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Begitu pula Pasal 28I ayat (5) yang menegaskan cita-cita bangsa Indonesia yakni “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.”
2.   Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
3.   Bahwa mekanisme hukum penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU tersebut, Komnas HAM bertugas melakukan penyelidikan perkara pelanggaran HAM berat untuk menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat.
4.   Bahwa Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justisia untuk 8 (delapan) perkara pelanggaran HAM berat, yakni Peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan II 1999; Peristiwa Mei 1998; Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998; Peristiwa Talangsari Lampung 1989; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2002 Papua (non-retroaktif); Peristiwa Simpang KKA 1999 dan Jambo Keupok 2003 Aceh (non-retroaktif).
5.   Bahwa hasil Penyelidikan tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan melakukan Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 21 dan 23 UU No. 26 Tahun 2000). Faktanya, sejak tahun 2002 Jaksa Agung menolak menindaklanjuti hasil Penyelidikan Komnas HAM ke tahap Penyidikan dan Penuntutan melalui Pengadilan HAM dengan sejumlah alasan yang tidak konsisten seperti ketidaklengkapan syarat formil dan materil atau alasan politis seperti belum adanya rekomendasi DPR dan Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc (Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).
6.   Bahwa meskipun telah ada rekomendasi DPR RI dalam kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998 Jaksa Agung tetap tidak melakukan Penyidikan dan Presiden tidak mengeluarkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM. Pada kasus Wasior-Wamena yang terjadi tahun 2002 (non-retroaktif) dan tidak membutuhkan rekomendasi DPR maupun Keppres, Jaksa Agung juga tetap menolak melakukan Penyidikan.
7.   Bahwa meskipun telah ada rekomendasi DPR RI kepada dan Presiden RI (tahun 2009) untuk penyelesaian Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa agar Presiden mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad Hoc, melakukan pencarian korban yang masih hilang, melakukan tindakan pemulihan dan meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa tidak juga dijalankan Presiden.
8.   Bahwa berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu tidak berkenaan dengan alasan legal formal semata tetapi lebih karena hambatan politik, yakni ketiadaan kemauan politik pemerintah menyelesaikan masalah ini sesuai dengan aturan hukum dan prinsip-prinsip hak korban (Kebenaran; Keadilan; Pemulihan dan Jaminan Ketidakberulangan) sebagaimana diatur dalam Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation dan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan), Resolusi Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985.
9.   Bahwa berdasarkan uraian di atas, mandeknya penyelesaian pelanggaran HAM berat lebih karena tidak bekerja institusi hukum dan politik, dalam hal ini Jaksa Agung, DPR dan Presiden, bukan semata disebabkan kasus sudah lama terjadi sebagaimana pernyataan Komnas HAM dan Kemenko Polhukam.
10.         Bahwa sebagai negara hukum, pemerintah seharusnya memastikan, mendorong dan menjamin penegakan hukum serta kebijakan politik yang dapat menyelesaian perkara pelanggaran HAM secara berkeadilan, bukan sebaliknya justru Kemenko Polhukam dan Komnas HAM mengambil kebijakan yang yang dapat menutup hak-hak para korban.
11.         Bahwa berdasarkan uraian di atas, sikap Komnas HAM dan Kemenko Polhukam memutuskan secara sepihak menempuh cara Rekonsiliasi telah bertentangan dengan kewajiban penegakan hukum, jaminan kepastian hukum, dan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.

II. Tindakan Kemenko Polhukam dan Komnas HAM Melampaui Wewenangnya dan Menggunakan Wewenang untuk Tujuan Lain
1.   Bahwa kewenangan Kemenko Polhukam diatur dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 43 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
2.   Bahwa berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan dalam poin 12, Kemenko Polhukam memiliki kewenangan bersifat koordinasi, dan oleh karenanya tidak dapat merumuskan kebijakan terkait penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.
3.   Bahwa Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM Berat diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000, dimana Undang-Undang tersebut tidak mengatur kewenangan Kemenko Polhukam dalam penyelesaian Pelanggaran HAM berat.
4.   Bahwa UU No. 26 Tahun 2000 hanya mengatur tugas Komnas HAM sebagai Penyelidik untuk untuk menemukan peristiwa yang diduga pelanggaran HAM berat (Pasal 18 ayat (1) UU a quo), Jaksa Agung sebagai Penyidik dan Penuntut (Pasal 21 dan 23), DPR RI memberikan usulan atau rekomendasi kepada Presiden dan kemudian Presiden mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc (Pasal 43 ayat (2)).
5.   Bahwa sebagai penyelidik, segala praktik politik—dengan alasan apapun: kurang alat bukti dan sebagainya—adalah diluar kewenangan hukum Komnas HAM dan mengingkari dasar hukum kewenangan kerja lembaga tersebut dalam perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat.
6.   Bahwa berdasarkan hal tersebut Kemenko Polhukam dan Komnas HAM tidak berwenang memutuskan secara sepihak pendekatan Rekonsiliasi dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki secara hukum melalui Penyelidikan Pro-Justisia.
7.   Bahwa Jenderal TNI (Purn.) Wiranto adalah salah satu aktor yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Nama Wiranto disebutkan di dalam laporan Komnas HAM sendiri: seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti, Semanggi I-II, Mei 1998, Penculikan dan penghilangan aktivis 1997/1998, dan Biak Berdarah. Tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa “Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.” Pernyataan lantang ini pula yang akhirnya menyulitkan Wiranto bergerak masuk dalam yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Watch List) di tahun 2003. Selain itu pada masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Wiranto juga dipecat dari jabatan Menko Polhukam, karena dugaan keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
8.   Bahwa berdasarkan sejumlah laporan di atas, patut diduga kebijakan politik yang dipimpin oleh Kemenko Polhukam dalam hal ini merupakan agenda cuci tangan, melanggengkan impunitas dan menghindari pertanggungjawaban hukum atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
9.   Bahwa berdasarkan uraian di atas maka patut diduga kebijakan pendekatan Rekonsiliasi yang digagas oleh Kemenko Polhukam adalah bentuk penggunaan kewenangan yang digunakan untuk kepentingan atau tujuan lain. Dalam hal ini kebijakan yang diambil oleh Kemenko Polhukam tidak sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam UU Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014. Terutama asas “tidak menyalahgunakan kewenangan” untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.
10.         Bahwa dalam berdasarkan uraian diatas secara hukum dan politik posisi Menko Polhukam tidak cakap untuk mengambil kebijakan terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat

III. Pendekatan Rekonsiliasi Sepihak Oleh Menkopolhukam dan Komnas HAM Menimbulkan Kerugian
1.   Bahwa kebijakan rekonsiliasi sepihak dengan konsep yang tidak jelas memunculkan banyak pertanyaan apa yang akan direkonsiliasikan, siapa yang dimaafkan dan memaafkan apabila tidak ada mekanisme hukum pengungkapan kebenaran yang bekerja terlebih dahulu.
2.   Model Rekonsiliasi yang tidak jelas dan tidak didasarkan pada pemenuhan hak korban akan keadilan, kebenaran dan pemulihan akan merugikan korban dan keluarga korban yang telah berjuang selama 13 tahun terahir. Upaya mendapatkan hak para korban atas kepastian hukum serta mengetahui kebenaran yang telah dilakukan justru berpotensi ditutup dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap impunitas dengan cara-cara pendekatan Rekonsiliasi yang tidak jelas alas hukum, arah dan cara bekerjanya.

IV. Rekomendasi kepada Ombudsman
Bahwa berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan tugas dan kewenangan Ombudsman, kami mendorong Ombudsman untuk segera:
Pertama, menindaklanjuti laporan ini dengan dengan memberikan rekomendasi evaluatif terhadap Kemenko Polhukam dan Komnas HAM terhadap pendekatan Rekonsiliasi sepihak yang berpotensi bertentangan secara hukum, melampaui wewenang dan merugikan korban dan keluarga korban.
Kedua, merekomendasikan kedua lembaga tersebut untuk mematuhi seluruh mekanisme hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat, mendorong lahirnya keputusan atau kebijakan politik yang akuntabel, transparan dan pro terhadap keadilan, pengungkapan kebenaran dan pemulihan bagi korban.
Ketiga, menghitung biaya yang dikeluarkan untuk rangkaian tindakan yang diduga Maladministrasi a quo dengan asumsi telah terjadi pemborosan atau penggunaan uang negara secara tidak layak.
Keempat, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi Ombudsman kepada publik.

Jakarta, 2 Februari 2017
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK),
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Imparsial,
Setara Institute,
Koalisi Seni Indonesia,
iLab.


0 komentar:

Posting Komentar