Senin, 06 Februari 2017

Tokoh PKI di TMP Kalibata

Reporter: Arbi Sumandoyo | 06 Februari, 2017


Di Blok E, kami menemukan jasad tokoh Partai Komunis Indonesia disemayamkan. Di nisan tertulis Alimin Prawirodirdjo, tokoh nasional, wafat pada 26 Juni 1964. Petugas keamanan makam plus pembersih TMP Kalibata tak mengetahui siapa sosok Alimin. Mereka hanya mengenal Kiai Haji Agus Salim karena namanya terdengar hampir mirip. 
Lokasi makam Alimin di belakang lima pusara “pahlawan revolusi”. Ia termasuk kuburan paling lama dari ribuan jasad yang dikebumikan di TMP Kalibata. Setidaknya itu bisa dilihat dari lokasi pusara, tak jauh dari pintu masuk area pemakaman. 

Nama Alimin tenggelam dalam jagat pahlawan nasional yang semarak dan setiap tahun dirayakan negara. Namanya juga dilenyapkan pada diorama makam, di depan pintu masuk TMP Kalibata. 

Di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Alimin barangkali sebuah anomali. Bahkan di antara jajaran pahlawan nasional. Di negara yang anti-komunis ini, Alimin bisa menjadi pahlawan dan bersemayam di Kalibata. Tentu saja keterlibatannya dalam pergerakan nasional hanya bisa dibantah oleh orang-orang yang buta sejarah.

Beruntunglah Alimin. Dia meninggal pada 1964 ketika Sukarno masih berkuasa sebagai presiden seumur hidup. Hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata pun masih membuka pintu untuk jenazahnya. Bahkan gelar pahlawan nasional dianugerahkan oleh Sukarno, berdasar Surat Keputusan Presiden Nomor 163 tanggal 26 Juni 1964. Tak hanya Alimin, berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 53 tanggal 23 Maret 1963, Sukarno juga menganugerahi Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. 

Makam Alimin tak jauh dari makam “pahlawan revolusi”, yang dimakamkan satu setengah tahun setelah Alimin. Hingga hari ini belum ada pihak yang dengan kurang-ajar memindahkan makamnya, seperti dialami jenazah Heru Atmodjo. Dan, karena buku teks sejarah menenggelamkan peran kaum komunis dalam pergerakan kebangsaan Indonesia, banyak pula yang belum tahu siapa Alimin. 

Tokoh PKI di TMP Kalibata


Dari sekian tokoh pergerakan Indonesia terpelajar, Alimin termasuk golongan langka. Kebanyakan orang terpelajar bukanlah berasal dari kaum kere. Setelah memimpin permainan bersama kawan-kawannya, seorang Belanda yang terkenal karena jabatannya sebagai Penasehat Urusan Pribumi bernama G.A.J. Hazeu memberinya beberapa keping uang. Hazeu terpesona pada sikap sama rasa sama rasa bocah ini yang membagi-bagikan uang tersebut.

Menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia (2010), Alimin bin Prawirodirdjo lahir di Solo pada 1889 dari keluarga miskin. Ia dijadikan anak angkat oleh GAJ Hazeu. Ia mengeyam pendidikan di sekolah Eropa di Betawi. Ayah angkatnya berharap Alimin akan bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah. Namun ia malah masuk dunia politik dan menjadi jurnalis.

Semula Alimin adalah wartawan koran Djawa Moeda dan bergabung dengan Boedi Oetomo. Setelah muncul Sarekat Islam yang begitu jelas garis perlawanannya pada politik pemerintah kolonial, Alimin pun bergabung di sana. Selama beberapa waktu, ia juga pernah tinggal di rumah kost milik Tjokroaminoto.

Bersama dokter radikal Tjipto Mangunkusumo, ia bergabung dalam organisasi bernama Insulinde. Juga ikut serta sebagai editor di jurnal bernama Modjopahit di Betawi. Alimin belakangan aktif mengorganisir para buruh pelabuhan dan pelaut. Ketika organisasi komunis pertama di Indonesia bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) lahir, Alimin bergabung di situ. Belakangan organisasi itu menjadi Partai Komunis Indonesia. Dia menjadi pimpinan wilayah Jakarta sejak 1918.

Menurut Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Alimin yang bergerak di pelabuhan Tanjung Priok juga berhubungan dengan jawara Banten. Belakangan, PKI wilayah Jakarta dengan sadar merekrut para jawara itu dalam pergerakan. Sikap militansi dan solidaritas kaum jagoan dari dunia hitam itu memberi perlindungan bagi PKI dari gangguan penjahat lain yang disewa oleh penguasa kolonial maupun kaum kapitalis industri sekitar Jakarta.

Setelah Pemberontakan PKI 1926, Alimin berkelana dari satu negara ke negara lain, seperti Tan Malaka. Mereka berhasil lolos dari kejaran pemerintah kolonial. Ia baru kembali lagi ke Indonesia pada 1946. Sempat sebentar aktif di PKI yang baru dibangun lagi, tapi sebagai tokoh tua ia kemudian tersingkir. Belakangan Alimin, yang menikah dengan Hajjah Mariah dan dikarunai dua putra, Tjipto dan Lilo, tinggal di Jakarta. Hingga ia meninggal pada 1964. 
Sumber: Tirto.Id 

0 komentar:

Posting Komentar