Sabtu, 11 Februari 2017

Operasi Penangkapan Para Tokoh PKI

February 11, 2017


Operasi Terhadap Sisa-Sisa Kekuatan PKI (1): Operasi Penangkapan Para Tokoh PKI[1]


Untuk menghancurkan kegiatan PKI sesudah gagalnya kudeta G30S/PKI, ABRI melakukan operasi-operasi intelijen yang ditujukan terutama kepada para tokoh PKI yang menjadi otak dari gerakan PKI untuk mengembalikan kekuatannya. Pengejaran terhadap tokoh nomor satu PKI D.N. Aidit dengan operasi intelijen membuahkan hasil dengan ditangkapnya Ketua CC PKI tersebut di Solo pada tanggal 23 November 1965. Brigjen Supardjo ditangkap pada tanggal 12 Januari 1967 di Jakarta. Demikian juga tokoh -tokoh PKI lainnya yang umumnya ditangkap melalui operasi intelijen.

a. Penangkapan Ketua CC PKI D.N. Aidit

Ketua CC PKI D.N. Aidit merasa usaha kudetanya di Jakarta menemui kegagalan, segera menyingkir ke Jawa Tengah tanggal 2 Oktober 1965 dinihari dengan menggunakan pesawat udara. Di Jawa Tengah orang-orang kepercayaannya sudah menunggu untuk menyelamatkan dirinya.

Tanpa diketahui oleh PKI, seorang intelijen bernama Sriharto alias Liem Han Koen menyusup memasuki lingkungan orang-orang PKI yang akan melindungi D.N. Aidit. Dengan demikian kedatangan D.N. Aidit ke Jawa Tengah telah diketahuinya. Selanjutnya Sriharto melaporkan sekaligus membuka identitas dirinya selaku anggota Direktorat Khusus Staf Angkatan Bersenjata/Kompartemen Pertahanan Keamanan untuk daerah “Jaringan Operasi (Jarop) Lebah” Surakarta (yang meliputi wilayah Surakarta, Yogyakarta, Magelang, dan Cilacap) kepada Kolonel Yasir Hadibroto selaku Komandan Pelaksana Kuasa Perang (Dan Pekuper) di Lojigandrung-Solo, bahwa ia telah menyusup ke dalam tubuh PKI. Ia mendapat kepercayaan dari PKI untuk menyelamatkan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Sriharto disusupkan ke dalam tubuh PKI melalui SBIM (Serikat Buruh Mesin dan Metal) di Purwosari.

Organisasi ini berada di bawah naungan SOBSI, selain anggota SBIM Sriharto pun menjadi Wakil Ketua Partai Indonesia (Partindo) cabang Karanganyar yang mengantarkan dirinya menjadi anggota legislatif (DPR-GR). Dengan demikian penetrasi ke dalam tubuh PKI berjalan mulus, sehingga Sriharto menjadi orang penting dalam tubuh PKI sejak tahun 1963, sesuai dengan sasaran yang dituju.

1) Rencana Operasi Penangkapan

Setelah mempelajari laporan dan rencana penangkapan, Kolonel Yasir Hadibroto yang didampingi oleh Kasi I Pekuper Kapten Hartono, disetujui suatu rencana operasi penangkapan. Dalam rencana operasi tersebut pengawal-pengawal Aidit sepenuhnya harus percaya bahwa ketuanya aman di tangan Sriharto, sehingga tiba saatnya penangkapan, kemungkinan terjadinya kegagalan dapat dieleminir sekecil mungkin. Karena sasaran yang dituju bukan hanya Aidit tetapi juga pengawal­-pengawalnya dan orang-orang yang melindungi Aidit serta mengorek sebanyak mungkin informasi yang diperlukan dari Aidit.

Untuk suksesnya operasi dibuat skenario yang memanfaatkan kondisi yang ada waktu itu dengan cara membuat kepanikan-­kepanikan Aidit dari bahaya yang mengancam keselamataanya. Skenario sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga dengan “jasa” Sriharto, tokoh tersebut akan selalu dapat “terhindar” dari penangkapan, dan selanjutnya Aidit akan makin percaya dan pasrah. Untuk dapat terlaksana seperti yang diharapkan, Sriharto bersikap seperti orang yang serba tahu soal-soal operasi yang akan dilakukan oleh militer.

2) Jalannya Operasi Penangkapan

Setelah menyusun rencana operasi penangkapan D.N. Aidit di Markas Brigif 4 Lojigandrung, Sriharto mulai melaksanakan tugas tersebut tanggal 12 Nopember 1965 sore. Ia menemui Siswadi di rumahnya.

Siswadi anggota Biro Khusus PKI yang juga pengurus Baperki yang menangani bidang kesenian. Siswadi inilah yang meminta Sriharto untuk melaksanakan “Tugas berat tapi mulia” yaitu menyelamatkan Ketua CC PKI D.N. Aidit, selanjutnya Sriharto diperkenalkan dengan Sudarmo seorang pengawal Aidit. Pada saat itu Sudarmo memberikan rincian tentang pemindahan Ketua CC PKI tersebut, sehubungan dengan keadaannya yang tidak mungkin lagi diam di tempat persembunyiannya.

Sudarmo memerintahkan apabila tempat baru sudah siap supaya menghubungi kembali Siswadi. Selanjutnya Sudarmo memberikan surat kepada Sriharto sebagai tanda untuk mengambil Aidit dari tempat persembunyiannya. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut: “Supaya radio yang diperbaiki disini dapat diserahkan kepada pembawa surat ini”.

Demikian pertemuan dengan Siswadi dan Sudarmo, sebelum Sriharto melapor kepada Kolonel Yasir Hadibroto.

Selanjutnya pada pertemuan tanggal 12 Nopember 1965 sore hari di rumah Siswadi, Sriharto berusaha menarik kepercayaannya. Sriharto menyatakan bahwa Siswadi sudah termasuk dalam daftar serta target penangkapan, karena Pekuper sudah menemukan daftar pengurus Baperki Surakarta. Begitu mendengar bahwa dirinya akan ditangkap, Siswadi menjadi panik karena persoalannya akan meluas juga kepada keselamatan Ketua CC PKI. Dalam suasana demikian, Sriharto memberikan jalan keluar. Untuk sementara agar Siswadi menyingkir dahulu, karena sifat dari operasi itu hanya seketika dan sekali itu saja.

Mengenai operasi pelaksanaannya pun Sriharto sudah mengetahui secara keseluruhan. Setelah memberikan jalan keluar pada sore hari itu juga Siswadi di bawa ke suatu tempat di sekitar Palur dengan menggunakan sepeda motor.

Sesuai dengan rencana, maka pada tanggal 12 Nopember 1965 malam, di kampung Kerten dilaksanakan Operasi oleh ABRI dengan dalih untuk menangkap Siswadi. Pelaksanaan operasi dipimpin oleh Kapten Hardijo dari Brigif 4. Pada pukul 24.00 Tim Operasi menggeledah dan memasuki rumah-rumah penduduk, setelah esok harinya Sriharto menjemput kembali Siswadi, dan menyatakan bahwa situasi telah aman bagi dirinya.
Selanjutnya ia menuruti apa saja yang disarankannya, terlebih lagi ia menjadi yakin apabila Aidit di tangannya akan aman.

Pada tanggal 14 Nopember 1965, Siswadi dan Sudarmo bertemu dengan Sriharto di rumahnya, untuk membicarakan pemindahan Aidit dari tempatnya, karena sudah terlalu lama tinggal di tempat tersebut. Baru ketika itulah Sudarmo memberitahukan tempat persembunyian Aidit yaitu kampung Sambeng di rumah kontrakan Hardjomartono alias Kasim seorang anggota SBKA. Setelah menganalisa dan mengevaluasi berbagai kemungkinan serta yang menyangkut internal dan eksternal security dicapai kata sepakat di antara mereka bertiga bahwa keesokan harinya tanggal 15 Nopember 1965 pukul 10.00 akan dilaksanakan penjemputan serta pemindahan Aidit dari kampung Sambeng ke Kerten di rumah Sriharto.

Mengingat tindakan mereka juga menggunakan taktik pendadakan, maka Sriharto segera melaporkan secepatnya perkembangan tersebut kepada Kolonel Yasir Hadibroto di Lojigandrung. Untuk meyakinkan atas kebenaran semua rencana dari pihak Aidit, maka Sriharto meminta agar diadakan tailing (mengawasi, mengikuti dan melaporkan setiap gerakan mereka) oleh pihak Intel Brigif 4, maksudnya untuk mengetahui secara pasti tentang diri Aidit dan hubungannya dengan eksternal security.
Kemudian Kolonel Yasir Hadibroto memerintahkan Letda Ning Prajitno untuk mengawasi secara terus-menerus lokasi Aidit berada. Hal ini dilakukan untuk mencegah Aidit meninggalkan tempat persembunyiannya secara tiba-tiba.

Sesuai dengan rencana, datanglah Sudarmo ke rumah Sriharto pada pukul 09.00 pagi tanggal 15 Nopember 1965. Dengan memakai jaket dengan badge GPTP (Gabungan Pejuang Tentara Pelajar), Sriharto berangkat membonceng Sudarmo yang berseragam dril, berkacamata hitam serta berpeci hitam sehingga sulit dikenali, perjalanan hanya 10 menit, mereka tiba di rumah Hardjomartono.

Sudarmo langsung masuk ke dalam rumah, sedangkan Sriharto ditemani Harjomartono alias Kasim di ruang depan. Karena sudah ada kontak, pembicaraan langsung membicarakan soal radio yang sedang diperbaiki, dimana Sriharto langsung dapat menanggapinya sehubungan telah diberi “Bon” pengambilan radio. Di dalam rumah ternyata ada adegan tukar-menukar pakaian. Pakaian Sudarmo dipakai oleh Aidit. Begitu Aidit keluar langsung memberi kode kepada Sriharto dengan cara mengangguk.
Pergantian pakaian tersebut merupakan suatu upaya untuk mengelabui, bahwa orang yang datang dan pergi dari rumah tersebut adalah orang yang sama, dengan skuter melalui route jalan besar Sambeng-Gondang- Manahan dan terakhir di Kerten rumah Sriharto, mereka sampai dengan selamat.

Kembali kepada rencana yang sudah dibuat, setelah Aidit meninggalkan kampung Sambeng pada tanggal 15 Nopember 1965 di kampung itu dilakukan operasi umum oleh Brigif 4 di bawah pimpinan Kapten Hardijo dengan dalih untuk mencari senjata. Padahal tujuan pokoknya adalah untuk mengetahui situasi di dalam rumah Hardjomartono, sambil membuat sket di mana Aidit bersembunyi, karena di dapat informasi Aidit akan dibawa kembali ke tempat semula. Kapten Hardijo telah ditunjuk untuk memimpin operasi penangkapan.

Pada tanggal 16 Nopember 1965 esok paginya, kira kira jam 09.00, Hardjomartono datang ke rumah Sriharto di Kerten dengan becak. Ia melaporkan kepada Aidit tentang adanya aksi penggerebegan pada malam harinya di Sambeng. Ternyata kejadian tersebut tidak dicurigai oleh pihak Aidit. Pada tanggal 17 Nopember 1965 Hardjomartono datang kembali ke rumah Sriharto dengan mengantar seorang kurir dari Jakarta, yang mengaku anggota Cakrabirawa yang melaporkan hasil-hasil pertemuan di Jakarta kepada D.N. Aidit. Orang tersebut selain melaporkan situasi juga menyerahkan revolver Colt 38 kepada Aidit.

Selanjutnya revolver tersebut diserahkan kepada Sriharto dengan ucapan
“Pakailah perlengkapan ini baik-baik selama Bung mengawal saya!”.

Sesuai dengan tugas yang diemban oleh Sriharto untuk menangkap Aidit, maka sernua pembicaraan dan kejadian diingat secara baik untuk disusun sebagai laporan. Semua laporan disampaikan kepada Kolonel Yasir Hadibroto. Selama Aidit di rumah Sriharto anggota Intel Brigif 4 yang dipimpin oleh Letda Ning Prajitno secara ketat mengawasi lokasi itu yang bertujuan :

a) Untuk mengetahui hal hal yang tidak diketahui oleh Sriharto yang berada di dalam rumah.
b) Kemungkinan terjadinya perubahan situasi secara mendadak.

Pada tanggal 20 Nopember 1965 setelah lima hari lima malam Ketua CC PKI D.N. Aidit berada di rumah Sriharto, pihak kita telah beberapa kali dihubungi oleh pihak- pihak tertentu. Selanjutnya Sriharto menyusun lagi rencana yang sudah disepakati, bahwa di daerah Kerten di mana lokasi tempat Aidit tinggal akan diadakan penggeledahan. Sriharto memberikan saran supaya Aidit pindah dan kembali ke tempat semula di Sambeng.

Alasannya adalah dari pada mencari lokasi baru yang belum tentu aman. Apalagi tempat tersebut telah digeledah oleh pihak pemerintah, sehingga tidak akan ada dua kali diperiksa. Saran Sriharto diterima oleh Aidit.
Pemindahaan dilaksanakan tanggal 20 Nopember 1965 pukul 14.30

Sesuai dengan kesepakatan pada tanggal 20 Nopember 1965 kira-kira pukul 13.00, Sudarmo berangkat terlebih dahulu dengan becak dari rumah Sriharto dengan menggunakan pakaian Aidit (celana wool dan kemeja tetoron abu-abu tua) menuju kampung Sambeng dengan tujuan untuk melakukan evaluasi terhadap kemungkinan arnan atau tidaknya kampung tersebut. Setelah dinyatakan aman tepat pukul 14.30 berangkatlah Sriharto dengan sekuter membonceng Aidit yang mengenakan pakaian drill milik Sudarmo, berkaca mata hitam dan berpeci menuju rumah Hardjomartono alias Kasim di kampung Sambeng.
Untuk penyamaran terhadap orang-orang di sekitar rumah itu, pada saat Sriharto pulang kembali, Sudarmo yang ganti dibonceng dengan pakaian sendiri yaitu drill warna khaki, berkaca mata hitam dan berpeci.

Setelah memindahkan Aidit, Sudarmo minta diantar ke rumah Mayor Kaderi (Dan Yon K) diJalan Slamet Riyadi untuk bersembunyi. Setelah itu Sriharto menjemput Siswadi untuk disembunyikan di rumah Mayor Kaderi.

3) Penentuan waktu dan hari penangkapan Aidit

Setelah melalui tahapan-tahapan pendahuluan sampai dengan pemindahaan kembali D.N. Aidit ke persembunyian semula, tibalah saatnya untuk melakukan penangkapan terhadap D.N. Aidit sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Tanggal 23 Nopember 1965 hari Senin pukul 03.00 adalah merupakan hari H dan jam D-nya. Komandan operasi penangkapan adalah Kapten Hardijo dari Brigif 4.

Pelaksanaan operasi dimajukan satu hari menjadi hari Minggu pukul 20.00. Dalam penggerebegan di rumah Hardjomartono alias Kasim, ternyata Aidit tidak ditemukan sekalipun seluruh rumah diobrak-abrik. Akan tetapi bagi Letda Ning Prajitno beserta beberapa anggotanya yakin bahwa D.N. Aidit belum meninggalkan temp at tersebut, karena mereka secara terus­menerus mengawasi tempat Aidit berada.

Sehubungan dengan tidak tepatnya rencana semula, maka langkah yang lain secara mendadak dilakukan, yaitu menangkap Sudarmo dan Siswadi yang berada di rumah Mayor Kaderi, untuk mengorek keterangan lebih jauh tentang D.N. Aidit. Sriharto yang berperan sebagai kawan mereka diborgol seolah-olah tertangkap. Ia dibawa ke rumah Mayor Kaderi untuk menangkap Siswadi dan Sudarmo. Namun usaha penangkapan terhadap kedua orang itu tidak berhasil, yang tertangkap hanya Sudarmo, sedangkan Siswadi lolos.

Sriharto memberitahukan kepada tim ketika tiba di Lojigandrung, bahwa di kamar Sudarmo ada koper yang berisi uang penuh dengan lembaran ribuan serta dokumen-dokumen penting milik Aidit. Oleh karena itu pasukan kembali lagi kesana ternyata unag dan dokumen sudah tidak ada lagi. Dalam penggeledahan Siswadi dapat ditemukan sedang bersembunyi di kolong tempat tidur yang ditutupi sprei. Keduanya lalu diinterogasi untuk mengetahui di mana Aidit disembunyikan.

Setelah kegagalan operasi pertama, maka pasukan yang dipimpin Kapten Hardijo ditarik ke posnya kembali. Namun regu pengintai yang dipimpin oleh Letda Ning Prajitno masih berada di sekitar itu. Oleh karena selama pengepungan tidak ada orang yang lolos dari pengamatannya, maka Letda Ning Prajitno masuk ke rumah Hardjomartono alias Kasim sekitar pukul 02.00 untuk memaksa Hardjomartono agar menunjukkan dimana sebetulnya Aidit bersembunyi. Setelah dipaksa dengan kekerasan ia menunjukkan tempat persembunyian Aidit yaitu di sebuah senthong yang di tutupi lemari. Ketika lemari di geser oleh Letda Ning Prajitno beserta Sertu Idit Sukardi, terlihatlah Aidit di belakangnya. Selanjutnya Aidit di tangkap dan diikat tangannya untuk dibawa ke Markas Brigif 4 di Lojigandrung.

Dengan tertangkapnya Ketua CC PKI D.N. Aidit, maka berakhir pula rencana PKI untuk menjadikan Solo sebagai basis perjuangan merebut kekuasaan. Perjalanan panjang dan sulit untuk menangkap Aidit tersebut karena pada saat itu sulit membedakan kawan dan lawan. Kegagalan penangkapan yang pertama adalah adanya unsur-unsur komunis di pihak kita.

b. Operasi Penangkapan Mantan Brigjen Supardjo

Operasi Kalong adalah sebutan suatu operasi untuk menangkap dan mengejar para tokoh G30S/PKI yang masih bebas setelah kudeta tanggal 1 Oktober 1965. Operasi Kalong dilancarkan sejak tanggal 15 Agustus 1966. Dalam pelaksanaan operasi ini semua unsur Intel ABRI bekerjasama. Sesuai dengan namanya “Kalong”, maka operasinya lebih banyak dilakukan pada malam hari.

Mantan Brigjen Supardjo yang menjabat wakil ketua Dewan Revolusi pada kudeta yang gagal itu, sejak tanggal 1 Oktober 1965 menghilang dan menjadi buronan ABRI. Ia terpaksa harus menghindar dari sergapan ABRl dan rakyat. Untuk beberapa lamanya Supardjo dapat lolos dari sergapan ABRl karena perlindungan dari oknum-oknum yang mendukung G30S/PKI.

Pada tanggal 2 Oktober 1965, Supardjo keluar dari wilayah basis PKI di Pondok Gede menuju ke daerah Senen. Ia tinggal sehari di sebuah gang sebelah Gedung Sandiwara Miss Cicih. Karena ada penangkapan terhadap orang-orang PKI di daerah ini, ia pindah ke Kramat Sentiong. Selanjutnya Supardjo dibawa oleh Udi seorang kurir ke rumah Marto Suwandhi seorang anggota PKI di Jalan Gunung Sahari. Di tempat ini ia tinggal selama satu bulan dan mulai banyak berhubungan dengan orang- orang PKI lainnya. Untuk keamanan selanjutnya Supardjo dibawa oleh orang yang bernama Saleh ke Cilincing dan tinggal di rumah Slamet Bernard seorang anggota PKI. Selanjutnya pindah ke rumah Sunardi, masih di daerah Cilincing.

Daerah Cilincing rupanya aman dan Supardjo tinggal disana sampai empat bulan lamanya. Ia berpindah-pindah rumah dari rumah Slamet Bernard, rumah Mayor Laut Suwardhi dan ke rumah Kapten Laut Ir. Nandang Safei untuk menghindari penggerebegan yang tiba­-tiba diadakan oleh ABRI maupun rakyat. Atas usaha Sunardi, ia memperoleh kartu penduduk Kelurahan Semper atas nama Syarief.

Operasi “Kalong” yang terus mengejar para tokoh PKI, membuahkan hasil dengan banyaknya teman-teman Supardjo tertangkap. Dari hasil pemeriksaan dan informasi yang di dapat, banyak tempat persembunyian dan pos perlindungan orang-orang PKI yang digerebeg oleh Kalong.
Akibatnya ruang gerak Supardjo semakin sempit. Oleh karena daerah Cilincing sudah dianggap berbahaya, maka Supardjo berusaha menyingkir dari daerah itu tanggal 2 Januari 1967, ia datang ke sekitar Halim untuk mencari tempat persembunyiannya yang baru.

Ia menyamar sebagai pedagang radio dengan nama Ibrahim. Lain halnya dengan rekan Supardjo, Amir Anwar Sanusi bekas Wakil Sekjen Front Nasional, yang terkenal dengan ucapan-ucapannya menjelang kudeta G30S/PKI bahwa “Ibu Pertiwi sedang dalam keadaan hamil tua”, ia menyamar sebagai tukang buah yang berpenampilan kumal. Anwar Sanusi pun sedang dalam kejaran operasi Kalong. Ia mengganti namanya dengan Udin alias M. Amin yang dilengkapi pula dengan kartu penduduk.
Keduanya sama-sama sedang berusaha untuk bersembunyi di daerah Halim.

Dalam perjalanan dari Cilincing ke sekitar Halim, Supardjo dijemput oleh Syawaludin (anggota PKI) di Kramatjati. Kemudian Syawaludin mengantarkan Supardjo ke rumah Kopral Udara Sutarjo di Kompleks Dwikora, Halim. Tenyata kedatangan Supardjo tercium oleh intel-intel Kalong yang dikerahkan mencarinya. Sebagai unsur pelaksana operasi “Kalong” Komandan Kodim 0501 Letkol Sudjiman, mengadakan koordinasi dengan Pangkowilu V dan Komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Kepada Kapten Inf. Suroso diperintahkan memimpin tim “Kalong” dengan tujuh orang anggotanya sekaligus mengadakan koordinasi dengan Komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Kolonel Rusman.

Dari hasil koordinasi dengan Pangkowilu V Komodor Udara Saleh Basarah menugaskan empat orang intelnya dipimpin oleh Letnan Udara I : Moch. Tohir dan delapan orang Polisi Angkatan Udara (Pol-AU) dipimpin oleh Kapten Udara Wihardono dan Letnan Udara I Basuki,[2] untuk diperbantukan dalam pelaksanaan operasi. Keikutsertaan un sur AURI sangat penting mengingat daerah yang akan dimasuki adalah Pangkalan Udara Halim.

Untuk menyesuaikan keadaan, anggota Angkatan Darat yang tergabung dalam tim operasi “Kalong” mengenakan seragam Angkatan Udara. Maksudnya agar penghuni rumah di Kompleks Halim tidak curiga terhadap orang luar yang datang memasuki Halim. Demikian juga kendaraan yang digunakan adalah Jeep Nissan milik AURI.

Tepat pada pulul 03.00 tanggal 12 Januari 1967 subuh, di suatu tempat di dekat Kompleks Halim, Kapten Inf. Suroso memberikan komando agar semua anggota menaiki dua buah Jeep Nissan AURl yang sudah dipersiapkan. Tetapi di tengah perjalanan salah satu kendaraan itu mogok. Berkat jasa seorang anggota AURl yang ikut dalam Tim, berhasil dicari kendaraan lain sebagai pengganti Jeep yang mogok itu. Akhirnya perjalanan dapat dilanjutkan.

Mendekati arah sasaran, mereka di perintahkan turun dan menyusun formasi. Menurut perkiraan Supardjo tidak akan menyerah begitu saja karena ia mempunyai sepucuk senjata jenis AK. Ada dua rumah yang menjadi sasaran yang diperkirakan tempat persembunyian Supardjo.
Sasaran pertama yakni rumah Kopral Yatimin. Ketika diadakan penggerebegan dan penggeledahan rumah itu kosong. Kapten Suroso yakin kemungkinan besar Supardjo ada di rumah yang kedua yakni rumah Kopral Udara Sutarjo. Tepat pukul 05.00 rumah kedua digerebeg. Kapten Suroso, Peltu Rosyadi, Lettu Udara Basuki dan Lettu Udara Moch. Tohir memasuki rumah Kopral Udara Sutarjo. Ketika ditanya, Kopral Sutarjo mengatakan tidak kenaI dengan Brigjen. Supardjo.

Kemudian Kapten Suroso memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa rumah tersebut. Di dalam rumah didapati tulisan-tulisan, guntingan pengumuman serta koran-koran yang di tempelkan didinding tembok kamar, bunyinya antara lain “Eks Brigjen Supardjo segera tangkap hidup atau mati”. Selain itu di salah satu sudut kamar yang lain tergantung sebuah kemeja berwarna putih. Dari dalam saku kemeja tersebut didapati sebuah kartu penduduk atas nama M. Syarief. Tidak jauh dari kamar didapati sepucuk senjata AK. Kemudian kartu penduduk diambil dan senjata AK diamankan.

Ketika melihat kartu penduduk itu, Kapten Suroso yang lebih dulu mengenali Supardjo, semakin yakin bahwa buronannya masih ada di sekitar tempat itu. Dengan keyakinannya Kapten Suroso memerintahkan semua anggotanya meningkatkan kewaspadaan baik yang di luar maupun di dalam rumah, karena pihak lawan jelas masih mempunyai jenis senjata AK yang biasa digunakan oleh PKI.

Penjagaan disusun secara berlapis walaupun saat itu Tim “Kalong” hanya berkekuatan 20 orang dan bersenjata pistol.

Berkat pengalaman Tim “Kalong” yang umumnya bergerak di malam hari dengan orang-orang yang terlatih, pemeriksaan di atas para-para rumah tidak dilewatkan, karena pemeriksaan di dalam rumah Supardjo tidak ditemukan, maka Kapten Suroso memerintahkan Sersan Sukirman naik ke atas para-para. Apalagi di dinding kamar mandi terlihat jejak telapak kaki yang masih basah.[3]

Sersan Sukirman melaporkan tidak melihat apa-apa diatas karena cuaca di dalam para-para sangat gelap sekali. Ia diperintahkan turun. Selanjutnya Kapten Suroso memerintahkan Peltu Rosadi agar naik memeriksanya sekali lagi. Dalam keadaan remang-remang Peltu Rosadi melihat ada benda putih di sudut para-para, sedangkan Kapten Suroso dari bawah mendengar bunyi yang mencurigakan diatasnya.

Peltu Rosadi kemudian berteriak, “Kalau manusia menyerah, kalau bukan saya tembak!”. Akhirnya benda putih itu yang tidak lain adalah Supardjo berkata “Ya saya menyerah!”. Peltu Rosadi selanjutnya memerintahkan ia turun. Supardjo yang hanya memakai baju kaos putih tanpa leher dan celana pendek putih tiba di bawah dan berkata, “Yah, sampai disini perjuangan saya.”

Setelah yakin yang ditangkap Supardjo, Kapten Suroso menanyakan dimana dokumen disembunyikan. Supardjo menjawab “ada di dalam para-para”. Kapten Suroso memerintahkan kembali anak buahnya untuk mengambil dokumen di dalam para-para. Ternyata ketika Supardjo bersembunyi di dalam para-para tidak membawa senjata, ia membawa radio transistor kecil. Para-para itu selain dipakai tempat persembunyian rahasia, juga berfungsi untuk menyimpan buku dan dokumen-dokumen penting.

Kemudiam Supardjo dipersilahkan memakai pakaian. Dengan memakai kemeja warna putih, celana wool dan sandal warna coklat, ia mengucapkan Selamat Hari Lebaran kepada Kapten Suroso dan mengatakan bangga terhadap intel ABRI yang menangkapnya.

Penangkapan Supardjo oleh Tim “Kalong”berlangsung setengah jam dari pukul 05.00 sampai pukul 05.30 pagi. Kemudian Supardjo dibawa ke Kodim 0501 dengan dikawal oleh Kapten Suroso bersama empat anggota AURI. Sedangkan Lettu Udara Moch. Tohir memimpin anggota lainnya menuju jalan Mustang Halim dengan kendaraan yang satunya untuk menangkap Anwar Sanusi yang bersembunyi di tempat itu.

c. Operasi penangkapan Amir Anwar Sanusi

Amir Anwar Sanusi adalah tokoh PKI yang merupakan buruan penting dari operasi “Kalong”. Anwar Sanusi mempunyai nama samaran alias M. Amin telah melakukan kegiatan politiknya, dan menyamar sebagai pedagang buah-buahan. Selama berbulan-bulan ia bisa bebas bergerak tanpa diketahui. Setiap hari ia berjalan kaki tanpa sepatu dan hanya berkain sarung serta berpakaian kumal sambil memikul buah-buahan.
Tetapi ketajaman intel ABRI akhirnya membongkar rahasia dirinya. Ia bersembunyi di Kompleks Halim. Operasi penangkapan dipimpin oleh Lettu Udara Moch. Tohir yang langsung berangkat ke sasaran setelah menangkap Supardjo.

Tempat tertangkapnya Supardjo dengan jalan Mustang hanya berjarak ± 2 km. Dengan berkendaraan Jeep anggota Tim menuju ke sasaran. Kurang dari 100 meter dari sasaran, terlihat sebuah mobil keluar dari jalan Mustang dan langsung dikejar, ternyata di dalamnya tidak ada Anwar Sanusi, tetapi Letnan Muda Udara Hasan Sagala beserta keluarganya yang hendak pergi sembahyang Idul Fitri, Jeep kembali ke tujuan. Sampai di rumah Letnan Muda Udara Sukarjo, terlihat seorang laki-Iaki keluar menuju kebun singkong. Lettu Moch.Tohir memerintahkan anak buahnya mengepungnya. Ketika dipanggil, laki-Iaki itu lari kembali masuk ke dalam rumah. Segera Lettu Udara Moch. Tohir dan Peltu Rosadi dari Kodim 0501 langsung menangkap orang tersebut.

Sewaktu ditanya siapa namanya, dijawab “M. Amin, pekerjaan tukang buah”, dari jawaban itu makin jelaslah bagi para petugas bahwa orang yang mengaku bernama Amin itu, tidak lain Anwar Sanusi yang sudah lama dicari-cari. M. Amin alias Udin si tukang buah itu segera dibawa ke Kodim 0501 di Jalan Budi Kemuliaan. Sekali pun ia tetap mengaku nama Amin alias Udin, Tim Kalong tidak bisa dibodohi. Untuk meyakinkan Supardjo dan M. Amin dikonfrontirkan di dalam suatu ruangan, tidak salah lagi bahwa M. Amin alias Udin adalah Anwar Sanusi.

Berbeda dengan penampilan Supardjo, penyamaran Anwar Sanusi sebagai M. Amin alias Udin yang pekerjaannya “tukang buah” sempurna sekali. Tubuhnya kurus, matanya seperti orang yang kurang tidur dan pakaiannya kumal. Dengan kemeja kuning, kain sarung warna coklat, tanpa alas kaki, rokoknya daun jagung, pandangannya seperti orang bodoh dan duduk di kursi panjang seperti orang sakit. Tidak mengesankan bahwa ia seorang tokoh penting PKI. Walaupun dengan cara itu, para petugas tidak bisa dikelabui, sehingga berakhirlah riwayat petualangan Anwar Sanusi. Ia ditangkap setengah jam setelah Supardjo ditangkap yakni pukul 06.00 pagi tanggal 12 Januari 1967, tepat pada hari Idul Fitri. Oknum-oknum AURl yang menyembunyikan Supardjo dan Anwar Sanusi yaitu Kopral Udara Sutarjo dan Letnan Muda Udara Sukarjo ditangkap dan ditahan oleh Polisi AURI.

d. Operasi Penangkapan Mbah Suro

Desa Nginggil terletak di tepi Bengawan Solo antara Ngawi dan Cepu perbatasan Kabupaten Elora dan Ngawi merupakan desa yang terisolasi. Di desa inilah Mbah Suro membuka praktek “pedukunan” yang dijadikan “sarang” bagi orang-orang pelarian PKI. Mbah Suro adalah bekas Kepala Desa dengan nama Mulyono. Karena propaganda orang-orang PKI, ia diangkat sebagai seorang tokoh sakti yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Propaganda disebarkan dari mulut ke mulut bahwa Mbah Suro adalah orang yang sakti. Desa Nginggil diubah menjadi tempat pertapaannya.

Demikian hebatnya propaganda itu, pelbagai kalangan masyarakat datang ke desa Nginggil untuk berobat atau untuk keperluan lain.
Oleh PKI untuk Mbah Suro diciptakan “murid-murid” atau propagandis yang menyebarluaskan berita bahwa ia merupakan dukun yang terkenal. Setelah gagalnya G30S/PKI, ajaran klenik Mbah Suro ini dijadikan alat untuk menghimpun kekuatan dan dana. Perkembangan selanjutnya “pertapaan” Mbah Suro dijadikan tempat penampungan pelarian orang-orang PKI. Berkat usaha propagandis itu, Mbah Suro bukan saja dianggap sebagai dukun yang sakti, tetapi sudah merupakan setengah dewa dan setengah raja.

Kondisi yang diciptakan PKI seperti itu membuat tidak sembarang orang dengan mudah dapat menemui Mbah Suro. Bila orang ingin bertemu harus melalui perantara atau cantrik. Selain itu pada upacara resmi Mbah Suro di persilahkan berpidato dan memberikan wejangan yang pokok-pokoknya sudah ditetapkan oleh PKI. Isi dari wejangan-wejangan tersebut ternyata menghasut dan membakar massa untuk berontak. Di antaranya disebutkan yang menjadi musuh-musuh PKI adalah ABRI, KAPPI, KAMI, NU dan golongan agama.

Untuk menghadapi musuh-musuh itu, PKI melalui tangan Mbah Suro membentuk Pasukan yang di beri nama “Banteng Ulung” (laki-laki) dan “Banteng Sarinah” (wanita). Mereka bersenjatakan senjata api dan golok yang sudah dijampi oleh Mbah Suro. Tidak ketinggalan pula ilmu kekebalan diberikan kepada anggota –anggota pasukannya itu. Oleh karena itu “pertapaan” Mbah Suro menjadi basis kekuatan PKI yang berbahaya.

Panglima Kodam VII/Diponegoro (sekarang Kodam IV), Mayor Jenderal Widodo segera memerintahkan “Penutupan” pertapaan Nginggil. Perintah itu dilaksanakan oleh Kodim 0721 selaku Pembantu Pelaksana Perang Kabupaten Blora. Perintah dari Kodim 0721 itu tidak dihiraukan oleh Mbah Suro beserta pengikut atau cantrik-cantriknya. Langkah selanjutnya Kodim Blora mengutus Sersan Salim untuk menemui Mbah Suro. Utusan ini malah dianiaya hingga luka-luka. Kemudian Kodim mengirim dua anggota yaitu Pelda Tego dan Sersan Prapto yang telah kenaI Mbah Suro, tetapi mereka pun kembali lagi dengan nihil. Begitu juga dengan utusan selanjutnya yaitu dengan mengirim Ajun Inspektur Polisi I (Peltu) Dharsono, Brigadir (Sersan Polisi) Widodo dan Brigadir (Sersan Polisi) Satam.

Pemerintah masih tetap bersabar walaupun beberapa utusan tidak ditanggapi. Selanjutnya Mbah Suro dikirimi surat agar dia mau insaf dan diajak untuk menyelesaikan persoalan pertapaan dengan baik serta penyelesaian pembunuhan- pembunuhan yang dilakukan oleh cantrik-cantrik Mbah Suro, serta penghentian propaganda partai terlarang PKI.
Himbauan ini pun tidak ditanggapi. Bagi pemerintah tidak ada jalan lain selain harus bertindak represif. Pada tanggal 5 Maret 1967, Pangdam VII/Diponegoro mengeluarkan Surat Perintah untuk menangkap Mbah Suro beserta pengikut- pengikutnya di “Padepokan Nginggil”. Batalyon 410, sebagian Batalyon 408 dan Batalyon 409 serta Kompi RPKAD yang di BP-kan Kodam diperintahkan untuk melakukan operasi penangkapan. Komandan pasukan dalam operasi ini ialah Mayor Sumardi. Tugas pasukan ditetapkan sebagai berikut :

Yon 408 , 409 dan 410 rnengadakan penutupan di seberang Bengawan Solo, sebelah utara dan selatan desa Nginggil dengan tujuan menghambat jalan pemunduran musuh.

Kompi RPKAD dipimpin Letnan Satu Feisal Tanjung ditugaskan menyusup ke desa Nginggil dengan tujuan agar musuh mau menyerah dan penyelesaian secara damai.

Dalam perintah operasi ini diberi catatan agar sejauh mungkin dihindari pertempuran . Tetapi karena pengikut Mbah Sura pasukan “Banteng Ulung” dan “Banteng Sarinah”begitu percaya bahwa mereka kuat dan kebal terhadap peluru, maka mereka menyerang pasukan RPKAD dengan senjata. Dengan terpaksa RPKAD membalas serangan mereka, sehingga terjadi kontak senjata  ½ jam. Pasukan Banteng Ulung dan Banteng Sarinah tidak berdaya dan menyerah.

Semula Mbah Suro tidak mau menyerah karena merasa dirinya sakti dan kebal. Tetapi setelah melihat cantrik-cantriknya banyak yang mati, ia keluar dari persembunyiannya dan menyerah. Dengan menyerahnya Mbah Suro, berakhirlah kampanye dan konsolidasi PKI di desa Nginggil melalui praktek pedukunannya yang meracuni masyrakat.

e. Operasi Penangkapan Nyono

Dari pembersihan-pembersihan yang dilakukan dalam Garnizun Jakarta Raya, berhasil ditangkap orang-orang PKI dan Pemuda Rakyat yang bergabung dengan G30S/PKI di Lubang Buaya. Tertangkap pula di antaranya tokoh penting komunis yaitu Nyono bersama teman-temannya yaitu Sanjoyo, Sucahyo dan Sugi Wiratmo. Nyono ditangkap pada tanggal 3 Oktober 1965 oleh operasi ABRI diJakarta. Pad a waktu ditangkap, Nyono mengaku bernama Sugiyono. Ada kisah unik saat terungkapnya Nyono sebagai tokoh PKI yang mengaku bernama Sugiyono itu.

Sugiyono ditangkap sebagai anggota PKI biasa yang tidak dikualifikasikan berat. Ketika petugas tahanan hendak memasukkan Sugiyono ke dalam kualifikasi kelas ringan yang segera akan dibebaskan, ia diminta menandatangani suatu daftar. Orang yang mengaku bernama Sugiyono itu telah menandatangani dan menuliskan namanya dengan jelas pada daftar tersebut dengan nama Nyono.[4]

Para petugas tahanan yang tidak mengenal wajah Nyono, pada saat itu juga memeriksa kembali orang yang bernama Sugiyono. Karena diyakini dialah tokoh PKI yang bernama Nyono itu, maka terbongkarlah kedok Nyono. Saat itu juga ia dimasukkan sebagai tahanan berkualifikasi berat.

f. Operasi Penangkapan Mantan Kolonel Inf. A. Latief

Operasi pembersihan terhadap G30S/PKI beserta tokoh­-tokohnya dilakukan ke segenap pelosok wilayah Kodam V /Jaya (sekarang Kodam Jaya). Operasi dilakukan bekerjasama dengan Angkatan lain serta organisasi massa.

Setelah gerakan mereka dinyatakan gagal, mantan Kolonel Inf. A. Latief bersama mantan Letkol Untung dan Kapten Inf. Suradi melarikan diri kearah selatan sampai di daerah Cipayung, Pasar Rebo, Jakarta. Setelah menanam senjata-senjatanya, pada tanggal 4 Oktober 1965 mereka pindah ke desa Kebon Nanas, Bogor. Tanggal 5 Oktober 1965, A. Latief kembali ke Jakarta untuk mencari hubungan dengan Presiden Sukarno melalui Supardjo.

Karena usahanya tidak berhasil, pada tanggal 9 Oktober 1965, ia menginap di rumah iparnya di Bendungan Hilir Pejompongan, Jakarta. Ia sempat mengirim surat kepada Mayjen Pranoto Reksosamudro untuk meminta perlindungan dan bila dianggap perlu agar dapat dikirim ke luar negeri. Kedatangan mantan Kolonel A. Latief di tempat itu rupanya telah tercium oleh operasi ABRI yang mengejarnya. Pada tanggal 9 Oktober 1965, satu Peleton dari Yon 328 bergerak ke Bendungan Hilir untuk menangkap A. Latief. Pukul 18.00 Latief dapat ditangkap, karena ia melakukan perlawanan, ia terpaksa ditembak dan mengenai lututnya sebelah kiri, kemudian ia dirawat di RSPAD sebelum diperiksa lebih lanjut.[5]

g. Operasi Penangkapan Mantan Letnan Kolonel Untung

Diantara para tokoh PKI yang menyelamatkan diri dari kejaran operasi ABRI ialah Komandan Dewan Revolusi Letkol Untung. Dari Kebon Nanas Bogor, ia kembali ke Jakarta tanggal 10 Oktober 1965. Ia pergi ke rumah Syam untuk membicarakan rencana selanjutnya.

Selama di Jakarta, Untung berpindah-pindah tempat yaitu di Polonia Jatinegara, Utan Kayu, dan Pejompongan. Kemudian pada tanggal 11 Oktober 1965, ia lari ke Jawa Tengah. Tetapi ketika menumpang bus “Mujur” menuju Semarang, di sekitar Brebes ia kaget karena melihat ten tara yang duduk disamping sopir.

Selanjutnya ia melompat keluar dari bus karena dirinya merasa diawasi. Dua orang anggota Hansip yang melihat ada orang meloncat dari bus tersebut, meneriaki maling. Untung lari ke sawah dan dikejar oleh Hansip beserta rakyat, akhirnya ia tertangkap dan dibawa ke kantor Polisi setempat. Kepada Polisi ia mengakui terus terang sebagai Letkol Untung, Pengawal Presiden, ia minta supaya jangan diserahkan kepada rakyat.

Kemudian ia dibawa ke Cirebon. Selanjutnya dengan menggunakan panser dan pengawalan kuat, ia dibawa ke Bandung kemudian ke Jakarta untuk diserahkan kepada Panglima Kostrad. Berakhirlah pelarian Letnan Kolonel Untung di daerah Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965.[6]

—DTS—

[1]     Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid V: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-Sisanya (1965-1981), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
[2]     Pancawarsa Hari Peringatan Kesaktian Pancasila, Dep. Hankam (Dokumen)
[3]     M. Nurdin As, Supardjo direnggut Kalong, PT. Varia, Jakarta, 1967, hal.44
[4]     Berita Yudha, Rabu, 1 Desember 1965
[5]     Berita Yudha, 14 Oktober 1965
[6]    Berita Yudha, 13 Oktober 1965

Sumber: G30S Versi Orba  

0 komentar:

Posting Komentar