HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 20 Oktober 2008

Buku Lekra Paling Komprehensi



Jika kita mendengar kata Lekra, maka yang langsung terpikirkan oleh kita adalah sebuah lembaga kebudayaan bentukan PKI yang pernah membikin ricuh panggung budaya Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1950-1965).
Mereka adalah tukang ganyang, pembuat onar, pemicu konflik tak berkesudahan dengan para sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), dan telibat pembakaran buku-buku di depan Kantor USIS (Pusat Informasi Amerika)
Stigma negatif yang ditempelkan pada Lekra ini terus melekat dalam benak kita dan keterlibatan Lekra dalam pembakaran buku yang sebenarnya tak terbuktikan itu telah menjadi mitos abadi.
Itu terjadi lantaran hal ini terus ditulis di berbagai media dan dikisahkan oleh para sastrawan-sastrawan senior penandatangan Manifestasi Kebudayaan ketika menggambarkan situasi politik dan budaya Indonesia di tahun 50-60an.
Mitos tersebut seolah tak terbantahkan karena suara-suara mantan aktifis Lekra yang menyangkalnya telah dibungkam ketika penguasa orde baru ‘menjahit’ mulut para lawan-lawan politiknya.
Tak hanya itu, secara sengaja sejarah dan kiprah Lekra di ranah budaya Indonesia dikerdilkan hingga yang tercatat sekedar pertarungan antara dua kubu dalam isu kesusasteraan nasional: Lekra vs Manikebu.
Lalu apa dan bagaimana sesungguhnya Lekra ? Apa saja yang telah dikerjakannya selama lembaga kebudayaan ini menguasai panggung budaya Indonesia selama lima belas tahun (1950-1965)?
Tak banyak yang mengetahuinya karena tak satu buku pun yang secara komprehensif pernah menulis tentang Lekra hingga akhirnya terbitlah buku bertajuk “Lekra Tak Membakar Buku” karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.
Buku ini bisa dikatakan buku yang paling komprhensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks.
Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifestasi Politik (Manipol)-nya Soekarno.
Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Dalam Konggres-nya inilah Lekra mencoba merumuskan berbagai aksi nyata di lapangan kebudayaan yang memihak Rakyat, anti imperialis, dan anti feodal!
Masih dalam bab yang sama, diungkapkan pula kelahiran dan peran Lekra secara umum sebelum dibahas secara detail di bab-bab berikutnya.
Satu hal yang menarik adalah terungkapnya bahwa Lekra bukanlah salah satu organ PKI seperti yang selama ini banyak diasumsikan orang. Hal ini tampak saat diselenggarakannya Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) yang sepenuhnya dilakukan oleh PKI.
Memang dalam kenyatannya banyak seniman-seniman Lekra ikut terlibat, namun kapasitas mereka sebagai seniman “progresif revolusioner” dan bukan sebagai Lekra secara institusi.
Jika Lekra memang organ resmi PKI tentu saja konferensi ini akan dilaksanakan oleh Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang paling siap dan kompeten untuk menyelenggarakannya, atau setidaknya nama Lekra akan selalu disebut-sebut.
Pada kenyataannya hingga resolusi KSSR diumumkan, Lekra tak pernah disebutkan sebagai bagian dari PKI.
Karena itulah buku ini menyebutkan secara gamblang bahwa: “ Lekra tak pernah menjadi underbow PKI. Lekra adalah organisasi merdeka yang tak masuk dalam kendali komando PKI…Walau tak bisa dipungkiri bahwa banyak pekerja budaya komunis yang menjadi anggota Lekra di pucuk-pucuk pimpinannya. “ (hal 61)
“Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi.(hal 63)
Selain itu terungkap pula bahwa Pramoedya Ananta Toer bukanlah komunis. Hal ini terungkap ketika PKI hendak melakukan “pemerahan total” pada Lekra melalui konggres KSSR.
“..bahkan Nyoto yang pendiri Lekra pun menolak ‘pemerahan total’ Lekra dengan pertimbangan hengkangnya tenaga-tenaga potensial Lekra yang non-Komunis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan sebagainya.” (hal 62)
Setelah bab Mukadimah, buku ini membahas mengenai Riwayat Harian Rakjat yang merupakan terompet PKI dan Koran politik nasional terbesar pada masanya, dan tempat dimana sastrawan-sastrawan Lekra mengisi secara penuh lembar-lembar kebudayaannya yang merupakan sumber utama dari lahirnya buku ini.
Kemudian mulailah buku ini membahas semua kerja Lekra dan pemikiran-pemikiran seniman Lekra diberbagai bidang kebudayaan yang dibagi secara bab per bab mulai dari sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, dan buku.
Dari berbagai bahasan dalam buku ini akan terlihat bahwa para Lekra sangat militan dalam melaksanakan kerja budaya yang segaris dengan prinsip Manipol yang menentang kebudayaan imperialis dan sepenuhnya memihak sekaligus memberdayakan kebudayaan Rakyat.
Di tangan Lekra beberapa seni dan kebudayaan rakyat yang telah terkurung dalam kebudayaan feodal (wayang, tari-tarian keraton, dll) yang tadinya hanya dipentaskan di kalangan dan tempat-tempat tertentu, kini dikembalikan pada rakyat sehingga semua rakyat bisa menikmati dan mengembangkannya.
Lekra juga membabat habis semua bacaan-bacaan, film, musik yang tidak sesuai dengan garis kebijakan Manipol termasuk karya-karya sastrawan Manikebu. Sebagai gantinya, Lekra menumbuh kembangkan bacaan, film, dan musik yang sesuai dengan jiwa revolusioner.
Dalam berbagai simposium kebudayaannya Lekra mencatat dan menginventarisir semua kesenian-kesenian rakyat dan mengurus hak ciptanya. Kalau saja apa yang dikerjakan Lekra tak terkubur oleh sebuah prahara politik di tahun 65 mungkin kini tak ada ceritanya kalau kesenian reog ponorogo, dan beberapa lagu daerah diklaim sebagai milik budaya negara tetangga kita.
Dalam bidang musik, selain mengecam musik ngak-ngik-ngok yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian nasional, Lekra juga sangat prihatin terhadap perilaku anak-anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dewasa yang liriknya cengeng dan cinta-cintaan.
Karenanya Lekra membahasnya secara khusus dalam Konferensi Lembaga Musik Indonesia (LMI/Lekra).
Kondisi ini tampaknya tak jauh berbeda dengan keadaan sekarang dimana anak-anak tak memiliki lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka sehingga tak heran kalau kita mendengar anak-anak menyanyikan lagu –lagu cinta orang dewasa.
Di bidang buku, kita akan melihat bagaimana saat itu pameran-pameran buku tak sekedar ajang bisnis semata, melainkan menjadi ajang propaganda politik melalui buku-buku yang dipamerkan.
Secara menarik kita akan diajak melihat siapa-siapa saja yang ikut dalam pemeran buku yang saat itu bernama “Gelanggang Buku” dan buku-buku apa saja yang dipamerkan.
Hal ini mungkin bisa berguna bagi penyelenggara pameran buku di masa kini yang umumnya hanya memindahkan aktifitas toko buku ke dalam pameran.
Kemudian dibahas pula politik sebagai panglima buku, politik buku pelajaran, lembaga penerbitan buku Lekra, dan bab khusus “Lekra tak membakar buku” yang berisi fakta-fakta bahwa Lekra tak pernah membakar buku dan melarang peredaran buku-buku yang notabene adalah wewenang Kejaksaan Agung.
Berdasarkan guntingan-guntingan Koran Harian Rakjat yang menjadi dasar buku ini, kedua penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa “tak satupun individu yang menyebutkan bahwa Lekra secara keorganisasian maupun individu-individu ikut serta dalam pembakaran buku”. (hal 476)
Masih banyak sepak terjang Lekra yang akan kita dapat di buku ini. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia.
Kini kita patut bersyukur, karena kiprah Lekra yang telah dengan sengaja dihilangkan dari sejarah bangsa ini kembali terkuak dan dapat dibaca oleh semua orang. Ini semua berkat ‘kegilaan’ dua penulis muda yang dengan tekun menyelisik sekitar 15 ribu artikel kebudayaan di Harian Rakjat selama 1.5 tahun yang tersimpan dalam ruang terlarang untuk dibaca di sebuah perpustakaan di Jogya.
Artikel-arttikel itu terpaksa mereka salin karena lembar koran yang sudah usang sebagian besar sudah tak memungkinkan lagi untuk di foto copy.
Dari ribuan artikel yang mereka baca dan salin inilah mereka dan menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku utuh yang enak dibaca, .
“Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana dan raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potongan-potongan berita braksen ejaan lama itu?” (hal 6).
Tampaknya kegilaan ide dan ketekunan kerja yang dilakukan Muhidin dan Rhoma Dwi Aria tak sia-sia.
Buku yang awalnya diprediksi oleh kedua penulisnya hanya akan setebal duaratusan halaman ternyata menggelembung menjadi hampir 600 halaman karena semakin meluasnya temuan-temuan baru yang mereka temukan untuk diungkapkan.
Jangan menciut melihat ketebalannya, karena walaupun tebal dan bersumber dari ribuan artikel-artikel yang berdiri sendiri namun kedua penulis berhasil merangkainya menjadi sebuah buku yang sistematis, runut, tak bertele-tele, dan enak dibaca.
Lampiran-lampiran risalah rapat, hasil komunike, struktur organisasi, dan sebagainya merupakan bonus bagi mereka yang berniat meneliti lebih dalam mengenai Lekra.
Melihat lengkapnya bahasan dalam buku ini tampaknya inilah buku tentang Lekra yang paling komprehensif yang pernah diterbitkan di Indonesia semenjak Lekra berdiri hingga kini.
Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.
Selain itu, ketika saya selesai menamatkan buku ini, saya bertanya-tanya mengapa judul bukunya “Lekra tak Membakar Buku”, padahal yang dibahas lebih dari sekedar jawaban atas pernyataan tersebut. Menurut saya judul tersebut mengecilkan luasnya cakupan yang dibahas dalam buku ini.
Ketika kedua hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang penulisnya (Muhidin M Dahlan), ia mengatakan bahwa tak adanya narasumber dari para tokoh sejarah dalam menyusun buku ini sudah disadarinya sejak awal, “Itulah kelemahan sekaligus kekuatan buku ini”, ungkapnya.
Wawancara terhadap tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup dilakukan hanya sebatas konfirmasi nama, tak bisa lebih dari itu, faktor usia tampaknya menjadi kendala karena mungkin ingatan mereka sudah tak jernih lagi.
Sedangkan untuk judul, Muhiddin menjelaskan bahwa dalam proses kreatifnya ia cenderung mengambil judul bab yang paling kuat. Selain itu bab “Lekra tak Membakar Buku” adalah yang ditulis paling awal ketika buku ini dikerjakan, dan dari bab inilah maka pembahasannya menjadi semakin berkembang.
“Tidak ada bab itu sebagai pemicunya , maka tidak akan ada buku Lekra,” demikian imbuhnya.
Kritik lainnya untuk buku ini adalah hurufnya yang terlalu kecil dan beberapa kesalahan cetak sehingga mengganggu kenyamanan membaca.
Untuk ukuran huruf mungkin ini salah satu cara untuk menyiasati agar buku ini tidak bertambah ‘gemuk’ yang tentunya akan mengakibatkan harganya menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh khalayak ramai.
Terlepas dari baik buruknya buku ini, saya berani mengatakan bahwa buku ini buku merupakan karya monumental yang mendokumentasikan penggalan sejarah berkebudayaan di Indonesia.
Karenanya buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para pecinta sejarah, pemerhati, dan pelaku gerakan kebudayan Indonesia. Kiprah Lekra selama lima belas tahun tampil apa adanya dalam buku ini. Ada yang buruk, ada pula yang baik.
Yang buruk bisa menjadi pelajaran agar hal serupa tak terulang kembali. Sedangkan apa yang baik dari kerja kreatif Lekra setidaknya dapat menjadi inspirasi dan bisa dijadikan contoh dalam mengembangkan kebudayaan kita saat ini.
Yang pasti buku ini akan membuka mata kita bahwa sejarah Lekra tak sekedar berisi polemik tak berkesudahan dengan pengusung Manifes Kebudayaan.
Lekra bukan hanya diisi oleh orang-orang yang haus kuasa, tukang boikot, tukang cela, dan pembuat onar panggung kebudayaan, tapi Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang telah memberi warna dan sumbangsih yang luar biasa bagi kebudayaan Indonesia sebelum tragedi nasional menumbuk dan menghancurkan semua hasil kerja keras yang dipupuk selama 15 tahun tanpa henti itu.
Cover yang dipermasalahkan
Baru saja sehari terpajang di toko-toko buku, tiba-tiba Toko Buku Gramedia menarik seluruh buku Tilogi Lekra Tak Membakar Buku dan mengembalikan pada penerbitnya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Usut punya usut ternyata mereka khawatir dengan cover buku “Lekra Tak Membakar Buku” yang memuat gambar ‘palu arit’ yang merupakan lambang PKI.
Mereka tampaknya khawatir karena pelarangan logo PKI hingga kini belum dicabut oleh pemerintah. Karenanya TB Gramedia bersikukuh tak mau memajang buku ini jika covernya belum diganti.
Sebenarnya lambang PKI pada buku ini tak terlalu kentara karena hanya berupa gambar timbul (embossed) tanpa bingkai dan warna, nyaris tak terlihat terutama dari jarak jauh.
Sehingga sekilas yang terlihat hanyalah cover putih polos dengan judul buku berwarna merah di bagian bawahnya.
Sebenarnya desain cover seperti ini menggambarkan keberadaan Lekra dengan PKI. Lekra bukanlah salah satu organ PKI, tapi tokoh-tokoh Lekra adalah orang-orang yang juga tergabung dalam PKI. Jadi dibilang PKI bukan, dibilang bukan PKI juga salah.
Awalnya penerbit maupun penulisnya tetap ingin mempertahankan cover tersebut, namun tampaknya daripada buku ini tersendat peredaraannya dan di sweeping oleh pihak-pihak tertentu sehingga kesempatan masyarakat untuk membaca buku ini menjadi terhalang, akhirnya diambil jalan kompromi.
Daripada membuang-buang waktu dan dana untuk mengganti cover baru, maka ditutuplah lambang palu aritnya dengan kertas putih.
Akhirnya buku monumental ini kini tersaji dengan wajah yang tambal sulam, hal yang buruk dan tak memenuhi kaidah estetika sebuah buku….

Judul: Lekra Tak Membakar Buku
(Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965)
Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M Dahlan
Penerbit: Merakesumba
Cetakan: I, Sept 2008
Tebal: 584 hlm ; 15×24 cm

Senin, 13 Oktober 2008

Mahkamah Agung Perkuat Kemenangan Eks-Tapol

Senin, 13 Oktober 2008 | Kartu Tanda Penduduk:

Ketika dibuka, ternyata bingkisan' itu berisi putusan Mahkamah Agung No. 400 K/TUN/2004. Nani jadi ingat langkah  hukum yang ia tempuh lima tahun lalu, ketika ia menggugat Camat Koja Jakarta Utara. Bertahun-tahun perkara itu berada di pengadilan, pindah dari satu ruang ke ruang lain, dari tangan seorang hakim ke tangan hakim lain. Hingga akhirnya, 27 September lalu, bingkisan' putusan berkekuatan hukum tetap itu ia terima.

Alhamdulillah, saya seperti mendapat kehormatan. Terima kasih kepada semua orang yang selama ini membantu perjuangan saya, kata Nani di sela-sela syukuran sederhana di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jum'at (10/10) siang.

Nani Nurani pantas bersyukur. Lewat putusan setebal 12 halaman, Mahkamah Agung menegaskan kemenangan perempuan kelahiran Cirebon 23 Februari 1941 itu. Majelis hakim agung beranggotakan Titi Nurmala Siagian, H. Imam Soebechi dan Prof. H. Ahmad Sukardja menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi yang diajukan Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Dalam pandangan majelis, permohonan kasasi yang diajukan Camat Koja telah melampaui tenggat waktu yang ditetapkan undang-undang.

Meskipun Mahkamah Agung (MA) hanya mempertimbangkan aspek formalitas gugatan, menurut Asfinawati, putusan MA menjadi preseden yang baik bagi ratusan ribu bahkan jutaan orang yang terkena stigma PKI atau terlibat G.30.S tanpa pernah dihadapkan ke persidangan. Putusan ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak pihak untuk melakukan perbaikan, timpal Taufik Basari, Direktur LBH Masyarakat.

Bisa jadi, bagi sebagian orang kasus Nani Nurani hanya persoalan administrasi biasa, yaitu tak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi Nani merasa diperlakukan diskriminatif ketika Camat Koja menolak memperpanjang KTP yang sudah habis masa berlaku, dan karena Pemohon sudah berusia 60 tahun-- memberikan KTP seumur hidup. Penolakan itu didasarkan pada kenyataan bahwa Nani adalah bekas tahanan politik (eks-tapol) Golongan C. Tujuh tahun saya ditahan di Penjara Bukit Duri tanpa pernah diadili ke pengadilan, tegas perempuan yang kini tinggal di Plumpang, Jakarta Utara itu.

Tindakan pejabat tata usaha negara, dalam hal ini Camat Koja, yang menolak menerbitkan KTP seumur hidup itulah yang menjadi dasar bagi Nani melayangkan gugatan ke PTUN. Berdasarkan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 1996, Nani mestinya berhak atas KTP seumur hidup berhubung yang bersangkutan sudah berusia 60 tahun lebih.

Camat hanya bersedia memperpanjang KTP lima tahun, dan menolak mengeluarkan KTP seumur hidup. Penolakan Camat sepintas bukan tanpa dasar, dan disampaikan sebagai argumen di pengadilan. Pasal 25 ayat (2) Perda di atas menegaskan bahwa KTP seumur hidup hanya diberikan kepada mereka yang sudah berusia 60 tahun lebih, WNI yang bertempat tinggal tetap, dan ini yang perlu digarisbawahi tidak terlibat langsung atau tidak langsung dengan organisasi terlarang.

Nani mengakui ia pernah dipenjara selama tujuh tahun. Tetapi sampai saat ini tidak pernah ada persidangan atau putusan hakim yang menyatakan Nani Nurani terlibat dalam G.30.S ataupun organisasi PKI.

Argumen ini pula yang akhirnya dipakai majelis hakim PTUN Jakarta untuk mengabulkan gugatan Nani. Statusnya sebagai tapol lebih karena Nani pernah sekali ikut menari pada ulang tahun PKI pada 1965. Keikutsertaannya dalam acara itu pun lebih karena Nani adalah penari di Istana Cipanas. Majelis hakim PTUN Jakarta dipimpin Disiplin F. Manao bukan saja mendalilkan tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan Nani terlibat organisasi terlarang. Tetapi juga menganggap bahwa tindakan tidak memberikan KTP seumur hidup kepada orang yang berhak adalah pelanggaran hak asasi warga negara. Usia dan kondisi fisiknya penggugat rentan sehingga pengurusan bolak balik KTP melanggar hak yang bersangkutan. Dan, tindakan penolakan itu melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Tim penasihat hukum tergugat dari Biro Hukum Pemda DKI Jakarta mengajukan banding. Kala itu, Sri Astuti, kuasa hukum tergugat dari Biro Hukum Pemda DKI menegaskan bahwa Camat Koja hanya menjalankan peraturan yang berlaku mengenai eks-tapol dan KTP, yaitu TAP MPRS 1966 dan Kepmendagri No. 24 Tahun 1991. Namun, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta lewat putusan No. 203/B/2003/PT.TUN.JKT memperkuat pertimbangan hukum dan amar pengadilan di bawahnya. Lagi-lagi lewat Biro Hukum Pemda DKI Jakarta, Camat Koja mengajukan kasasi.

Dan seperti yang disebut di atas, lewat putusan yang dibacakan 15 Mei lalu, Mahkamah Agung memberikan bingkisan Lebaran kepada Nani Nurani.

Sumber: HukumOnline 

Senin, 06 Oktober 2008

Kedutaan RRC dan Orang Tionghoa Jadi Sasaran

Renne R.A Kawilarang | Senin, 6 Oktober 2008 | 09:14 WIB


Benny Setiono. | Photo : VIVAnews/Renne Kawilarang

Sampai saat ini Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) DKI Jakarta, Benny Setiono, mengaku tak habis pikir bagaimana bisa Tragedi G30S yang konon didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) berlanjut pada pembekuan hubungan diplomatik Indonesia dengan Cina (RRC) dan diikuti penyerangan serta praktik diskriminasi atas etnis Tionghoa seperti dirinya. “Yang sangat mengherankan adalah orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat saya belajar juga menjadi sasaran kemarahan,” kata Setiono yang terpaksa drop out dari bangku kuliah setelah kampusnya, Universitas Res Publica (kini menjadi Tri Sakti), dibakar massa 15 Oktober 1965. 

Di rumahnya yang asri di kompleks Kemang Pratama Bekasi, Setiono mengungkapkan kepada VIVAnews tidak saja analisisnya mengenai penyebab pembekuan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina selama 23 tahun, namun juga pengalamannya menyaksikan kemarahan massa anti komunis kepada fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina dan etnis Tionghoa di Indonesia setelah manuver politik yang gagal dilakukan PKI dalam Insiden 30 September 1965. Terlampir pula beberapa kutipan dari buku karya Setiono berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” yang menghantar pria kelahiran Desa Ceracas, Kuningan, Jawa Barat, 31 Oktober 1943 tersebut meraih penghargaan Wertheim Award 2008 di Belanda.     

Bisakah Anda mengenang kembali peristiwa kerusuhan anti-China yang berujung pada pembekuan hubungan diplomatik RI-RRC, yang ditandai dengan penyerbuan Universitas Res Publica dan Kedubes RRC?Ketika itu saya baru lulus tingkat tiga fakultas ekonomi di Universitas Res Republica (kini Tri Sakti). Suasana di sekitar Kedutaan Besar RRT dan fasilitas-fasilitan milik kedutaan pasca kudeta gagal PKI sangat mencekam. Huru-hara di sana-sini dan marak terjadi penyerangan dan demonstrasi anti komunis Cina pasca manuver politik yang gagal dilancarkan PKI. Beberapa kali berlangsung demonstrasi di Kedutaan Cina. [Namun] yang sangat mengherankan adalah orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat saya belajar juga menjadi sasaran kemarahan. Dalam buku yang saya tulis, terungkap bagaimana pelampiasan kemarahan massa anti-komunis kepada pemerintah Cina melalui gedung Kedutaan dan Konsulatnya di Indonesia. 

Dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik,” Setiono mengupas secara mendalam kemarahan massa dan kelompok-kelompok mahasiswa anti komunis yang didukung Angkatan Darat atas fasilitas pemerintah Cina di Indonesia. Demonstrasi atas pemerintah RRC pasca Tragedi G30S kali pertama berlangsung pada 10 November 1965 di Makasar dengan sasaran Konsulat Cina. Kerusuhan selanjutnya berlanjut atas sejumlah fasilitas milik pemerintah Cina di  beberapa kota,  termasuk Jakarta dan Medan. Puncak serangan  terjadi pada hari Minggu 1 Oktober 1967. Pada hari yang bertepatan dengan Hari Nasional RRC, ribuan demonstran dari berbagai kesatuan Laskar Ampera, ARK, KAMI, KAPPI dan KAPI menggunakan sebuah truk untuk mendobrak pintu gerbang Kedutaan Besar RRT dan menyerbu ke dalamnya. Mereka menjarah barang-barang yang terdapat di dalam kedutaan dan membakar mobil-mobil dan perabotan serta alat-alat kantor. Terjadi perkelahian antara para demonstran dan staf kedutaan. Beberapa orang staf kedutaan menderita luka-luka karena terjangan peluru dan terpaksa menginapp di rumah sakit militer. Demikian juga beberapa orang demonstran menderita luka-luka, malahan salah seorang kemudian meninggal dunia. Bendera RRC kemudian diturunkan dan diganti dengan bendera merah putih. Gedung kedutaan kemudian diserahkan kepada pihak militer yang segera menutup gerbangnya. 
Setelah penyerangan itu, pemerintah memutuskan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC (9 Oktober 1967). Akhir bulan Oktober seluruh diplomat Cina dan Indonesia dipulangkan dan kembali ke negara masing-masing. Kepentingan kedutaan dan pemerintah RRC saat itu diwakili oleh Rumania. Satu persatu fasilitas pemerintah Cina diambil alih penguasa . Sampai sekarang tidak ada kompensasinya, malahan fasilitas-fasilitas yang diambil alih tersebut berubah fungsi menjadi ruko, apartemen dan lain-lain.  Seharusnya fasilitas-fasilitas tersebut dikembalikan.

Apa yang membuat massa anti komunis begitu marah dengan Cina sampai menyerang Kedutaan dan fasilitas-fasilitas Pemerintah Cina di Indonesia?Saat itu kan [sebelum Tragedi G30S] pemerintah Indonesia dia era Bung Karno  sangat erat dengan pemerintah Cina. Partai Komunis Indonesia yang punya massa besar pun saat itu berkiblat kepada komunis Cina. Nah ketika PKI habis diberantas setelah gagal menjalankan operasi, Bung Karno menjadi sasaran berikut dan berhasil dilucuti kekuasaannya pada 11 Maret 1966. Selanjutnya sasaran berikut ada Cina yang dianggap mendukung kampanye PKI untuk mengganyang sejumlah perwira Angkatan Darat yang menjadi komponen kekuatan anti komunis. Kecurigaan itu dikipasi oleh negara-negara Barat yang menyatakan bahwa musuh utama itu kan dari Utara (Cina).  Apalagi di pertengahan dekade 1960-an Cina mengalami radikalisasi politik saat pemimpinya, Mao Zedong, menerapkan “Revolusi Budaya.” Pemerintah Cina melalui Radio Peking terus menyiarkan protes atas insiden-insiden yang terjadi di Indonesia pasca G30S.

Melalui “Tionghoa dalam Pusaran Politik,” Setiono menjelaskan dampak Revolusi Budaya yang mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Cina, yang sangat sensitif tidak saja kepada negara-negara Barat yang menjadi musuhnya melainkan juga kepada kondisi domestik negara-negara sekutunya, termasuk Indonesia. Di masa Revolusi Budaya (1966-1969), seluruh tatanan dan nilai yang dianggap feodal dan borjuis di Cina dihancurkan. Jadi tidak mengherankan kalau hal ini juga tercermin dalam politik luar negeri Cina yang radikal. Sikap radikal tersebut ditunjukkan oleh Duta Besar Cina untuk Indonesia saat itu, Yao Chung Ming. Pemerintah RRC melalui siaran Radio Peking dan kantor berita Hsinhua [Xinhua] gencar melalukan agitasi menyerang pihak reaksioner Angkatan Darat Indonesia yang dituduh sebagai antek imperialis Amerika Serikat.
Anda menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat Anda kuliah juga menjadi sasaran kemarahan massa anti komunis. Mengapa bisa demikian? Terus terang saya tidak habis pikir, apa hubungannya kami dengan G30S? Mungkin saja karena banyak mahasiswa Tionghoa pada saat itu aktif di organisasi yang beraliran kiri, Tiongkok, seperti CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Nah setelah kejadian G30S akhirnya sekolah kita (Universitas Res Publica) diserbu oleh massa yang mengaku anti komunis. Kami tidak mau diserang begitu saja, maka saya waktu itu ikut jaga kampus bersama teman-teman. Namun datanglah tentara. Ditembaki, mana mungkin kami bisa melawan. Kampus kami mulai diserang sekitar tanggal 7 Oktober 1965 sebelum akhirnya dibakar tanggal 15 Oktober 1965. Begitu mereka masuk gedung kampus dibakar  dan dijarah, nangislah kita. 

Setelah itu kami tercerai berai. Sejak saat itu saya tidak mungkin lagi kembali kuliah karena turut dikejar-kejar [aparat]. Di saat yang bersamaan orang-orang Tionghoa yang aktif di Baperki ditangkap. Padahal nggak ada urusannya, tahu apa sih mereka mengenai G30S? Tokoh-tokoh asing pun ada yang ditangkapi seperti pimpinan Chung Hua Chung Hui atau Chung Hua Chiao Toan Chung Hui (Chiao Chung). Masalahnya, di saat yang sama Radio Peking terus menyiarkan protes atas insiden-insiden yang terjadi di Indonesia. Situasi pun kian memanas. Pada April 1966 semua sekolah Tionghoa yang dianggap sekolah asing ditutup, jadi waktu itu banyak yang putus sekolah.

Dalam bukunya, Setiono mengungkapkan bahwa pasca Tragedi G30S, intensitas kerusuhan anti Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah dan mobil-mobil milik etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Ditambah tindakan represif penguasa militer, hal tersebut akhirnya menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan dan menjadi salah satu sebab mengapa etnis Tionghoa selama 32 tahun enggan terlibat lagi dalam ranah politik dan memusatkan perhatian dan kegiatan di bidang bisnis. 
Setelah sekitar 23 tahun memutuskan hubungan diplomatik dengan Cina, Suharto menormalisasi hubungan Jakarta-Beijing tahun 1990. Apa yang mendasari perubahan kebijakan pemerintah tersebut? Apakah lebih karena tekanan luar atau berkat desakan dari komunitas Tionghoa di Indonesia? Ketegangan RI-Cina muncul karena dilatarbelakangi Perang Dingin. Lagipula ketika itu Cina kan diguncang gerakan radikalisme melalui Revolusi Budaya. Perang Dingin akhirnya selesai. Namun apakah dengan demikian hubungan Indonesia dan Cina kembali berlanjut karena desakan orang-orang Tionghoa, saya rasa tidak demikian. Pengalaman saya waktu berkantor di Glodok mengungkapkan bahwa ketika mulai ada tanda-tanda dibukanya kembali hubungan Indonesia dengan Cina, para pedagang di Glodok saat itu tidak antusias. Mereka menilai kalau hubungan dibuka kembali, justru membuat mereka susah. Mungkin karena Indonesia melihat desakan internasional saat Cina mulai berubah sejak pemerintahan Deng Xiaoping. AS sendiri kan mulai berubah dengan  menjalin hubungan dengan Cina. Jadi bukan karena desakan orang Tionghoa di Indonesia namun karena perkembangan internasional. 


Hubungan RI-China kini dikabarkan kian erat. Apakah ini bisa menjadi jaminan bagi berakhirnya era diskriminasi atas keturunan Tionghoa di Indonesia?Menurut saya, orang Tionghoa harus hati-hati, karena hubungan ini sangat peka dan berbahaya. Orang Tionghoa bisa selalu jadi korban, karena kalau ada apa-apa kita sebagai korban nggak pernah diurus. Apalagi sekitar 95 persen orang Tionghoa di sini sudah berstatus warga negara Indonesia, sehingga pemerintah Cina – seperti pada kasus Mei 1998 – tidak ambil pusing karena itu dianggap urusan dalam negeri Indonesia. 

Namun banyak organisasi Tionghoa menyatakan diri berorientasi ke Cina. Tidak heran karena mereka ini kan semasa kecil dididik di Tiongkok, berbahasa Indonesia susah dan sejarah negeri ini tidak tahu dan terpaksa menjadi WNI. Sekarang ekonomi Cina kan luar biasa maju dan telah menjadi madu yang menarik banyak pihak. 

Pemerintah Cina kan punya semboyan “dimana bumi berpijak, di situ langit dijunjung,” sekarang orang Tionghoa bukan yurisdiksi mereka. Tapi tetap saja ibarat kepala dibiarkan, buntut justru dipegang. Apalagi banyak organisasi Tionghoa selalu berhubungan dengan Tiongkok. Saya kritik keras itu karena membahayakan. Nanti disebut loyalitas kita ke negara ini nggak ada, padahal mereka punya banyak kepentingan bisnis dengan Beijing.  

Situasi di Cina sekarang mirip dengan kondisi Indonesia di zaman Soeharto. Distribusi kekayaan berpusat ke segelintir orang dengan perkiraan akan menetes ke bawah, nyatanya kan tidak begitu. Lalu mereka menerapkan sistim partai tunggal dan konglomerasi serta mengundang banyak modal asing. Sebaliknya buruh dan rakyat kecil menjadi korban kesewenang-wenangan.  Kapitalisme yang dibangun di Cina kan masih dalam tahap awal yang sarat dengan eksploitasi. Menjadi kaya sudah menjadi prioritas sehingga segala cara ditempuh. 

Lalu bagaimana seharusnya warga keturunan Tionghoa mengembangkan potensi masing-masing tanpa terpengaruh pada baik-buruknya hubungan Indonesia dengan Cina?Kesimpulan saya, kita orang Tionghoa di sini bila tidak ingin ada lagi kerusuhan  maka kita harus masuk ke mainstream. Jangan lagi mengacu kepada Cina Daratan atau Taiwan atau jangan ikut-ikut sikap pejabat atau tentara. Orang Tionghoa harus masuk ke akar rumput dimana dia hidup tanpa harus menanggalkan ke-Tionghoaan-nya. Indonesia kan bangsa yang pluralis. Jadi tidak usah lagi takut dengan mengganti nama atau menyangkal kebudayaan leluhur.

Sumber: Viva.Co.Id 

Minggu, 05 Oktober 2008

“Momok komunis” yang mulai bangkit

Catatan:  A. Umar Said
Paris, 5 Oktober 2008


Mohon kepada para pembaca untuk mencermati dan merenungkan bersama-sama isi pernyataan KASAD, Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo, di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya tentang « Upaya kebangkitan komunis makin nyata » yang diuacapkannya pada tahlil di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya Jakarta.


Sebab, pernyataan KASAD Jenderal Agustadi (harap baca berita Antara di bawah ini) memberikan petunjuk yang jelas bahwa sampai pada saat ini TNI (yang dulunya dinamakan ABRI) pada dasarnya masih sama saja dengan yang sewaktu di bawah pimpinan Suharto selama zaman Orde Baru, yaitu sebagai aparat yang reaksioner sekali di negara kita.


Berita tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut :


Upaya Kebangkitan Komunis Makin Nyata, kata Kasad 


Jakarta (ANTARA News) - Upaya membangkitkan ideologi komunis yang diusung Partai Komunis Indonesia (PKI) 43 tahun silam, kini semakin nyata, kata Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo.
"Kita makin merasakan berbagai upaya sistematis untuk menghidupkan paham komunis di Indonesia," katanya, dalam sambutannya pada tahlil dan doa bersama mengenang wafatnya tujuh pahlawan revolusi di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta, Selasa. 

Kasad Agustadi mengatakan, berbagai upaya nyata dan sistematis untuk menghidupkan kembali paham komunis antara lain pemasangan gambar dan slogan komunis pada media tembok, kaos dan media lainnya. 

Selain itu, tambah Agustadi, ada upaya sekelompok pihak dan golongan yang ingin menghambat dan menyimpangkan tujuan bangsa dan negara berdasarkan paham persatuan dan kesatuan berdasarkan Pancasila dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Tidak itu saja, lanjut dia. Upaya-upaya memecah soliditas TNIB Angkatan Darat khususnya, dan TNI sebagai `musuh` kelompok PKI juga makin nyata, sistematis dan transparan. 

"Upaya-upaya itu sangat sistematis dan transparan. Sehingga kita harus tetap mewaspadai segala upaya tersebut yang dilakukan simpatisan dan pengikut paham komunis," kata Kasad. 

Karena itu, tanpa ingin mengungkap luka lama dan menyebarkan dendam, maka semua pihak harus dapat mewaspadai segala upaya yang sistematis tersebut dengan tetap memegang teguh dasar negara Pancasila, asas persatuan dan kesatuan secara hati-hati, arif dan bijaksana, demikian Agustadi. (Antara, 30 September 2008)



Barang dagangan yang sudah usang

Pernyataan KASAD di malam tahlilan di Lubang Buaya malam tanggal 1 Oktober itu membuktikan bahwa walaupun Suharto sudah meninggal, “momok bahaya laten komunis” yang sudah diuar-uarkan dengan gencar dan terus-menerus selama puluhan tahun, sekarang masih dicoba untuk dijajakan terus seperti barang dagangan yang sudah usang dan makin tidak laku baik di Indonesia maupun di banyak negeri di dunia. 


Kita masih sama-sama ingat bahwa dalam jangka lama (puluhan tahun !!!) “momok bahaya laten komunis” telah dipakai rejim Orde Baru untuk menipu dan menakut-nakuti rakyat dengan tujuan untuk menjaga stabilitas dominasi rejim militer dan untuk mengintimidasi segala kritik, kecaman, atau perlawanan terhadap Suharto dkk. “Momok bahaya laten PKI” terus-menerus ditiup-tiupkan secara luas dan sistematis melalui berbagai cara dan jalan atau bentuk (antara lain : indoktrinasi, keharusan menonton film G30S/PKI, didirikannya monumen-menumen, diaporama, dan paksaan untuk kursus Pancasila dll dll.) 


Dan karena hebatnya propaganda tentang “bahaya PKI” ini, yang dilakukan oleh pemerintah dan juga media massa (TV, suratkabar dan majalah) maka,tidak sedikit orang yang terkecoh atau “termakan” olehnya. Dalam sejarah dunia, jarang ada penguasa negara yang melakukan pembunuhan massal sampai jutaan komunis, dan memenjarakan secara sewenang-wenang ratusan ribu orang tidak bersalah dan menyengsarakan puluhan juta orang keluarga para korban peristiwa 65 selama puluhan tahun (ingat : sampai sekarang !!!). Hanyalah Hitler, Franco, dan tokoh-tokoh reaksioner dan pro-AS (antara lain berbagai diktator militer di Amerika Latin seperti Pinochet ) yang telah melakukan hal-hal yang mirip dan setujuan dengan apa yang dilakukan Suharto.



Mengapa terus ditiup-tiupkan “momok komunis”


“Momok bahaya laten PKI” dipakai juga untuk menutupi dosa-dosa besar segolongan militer di bawah pimpinan Suharto dkk dan sekaligus juga berusaha “membenarkan” pelanggaran Ham yang luar biasa besarnya itu. Itulah sebabnya, ketika kekuatan PKI yang besar sekali sebagai pendukung Bung Karno sudah dihancurkan, selama puluhan tahun masih terus juga digembar-gemborkan “bahaya laten PKI”. “Bahaya momok PKI” juga digunakan dengan tujuan untuk mengintimidasi atau melumpuhkan kekuatan pendukung Bung Karno. Dalam banyak hal, Suharto dkk menghantam terus “bahaya PKI” sebenarnya berarti juga menghantam Bung Karno.


Sekarang, situasi di Indonesia sudah mengalami perubahan selangkah demi selangkah atau sedikit demi sedikit. Oleh karena banyaknya kesalahan dan kebusukan rejm Orde Baru (antara lain : pelanggaran HAM yang banyak, pencekekan kehidupan demokratis, penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan dan meluas, korupsi yang merajalela, kemerosotan moral yang parah, kemiskinan sebagian terbesar dari rakyat, pengangguran yang tinggi, kehidupan sehari-hari yang makin sulit bagi banyak orang) maka citra sisa-sisa pendukung Orde Baru (terutama golongan militer dan Golkar) sudah makin merosot. Bahkan, banyak sekali kalangan atau golongan yang makin yakin bahwa rejim militer Orde Baru adalah mala-petaka bagi negara dan bangsa Indonesia.


Sekarang, makin jelas bagi banyak orang, bahwa Suharto sama sekali bukanlah “pahlawan” yang menyelamatkan bangsa, dan bukan pula “bapak pembangunan” yang telah diagung-agungkan selama puluhan tahun. Tingkah lakunya dalam berbagai kasus KKN dan kehidupannya yang serba mewah dengan harta curian yang triliunan Rupiah (ingat kasus-kasus Tutut, Sigit, Bambang,Tommy) merupakan sebagian kecil dari kekobrokan Orde Baru. 



Perjuangan juga mencakup yang non-kiri dan non-PKI
 
Oleh karena itulah maka dalam belasan tahun terakhir ini, nampak bahwa perlawanan banyak orang terhadap sisa-sisa politik dan praktek-praktek Orde Baru makin meningkat. Sekarang juga makin jelas bagi banyak orang bahwa perjuangan – dalam berbagai bentuk dan cara -- terhadap sisa-sisa Orde Baru adalah adil, benar, dan luhur. Oleh karenanya, perjuangan ini tidak hanya terbatas dalam golongan kiri yang pernah didholimi secara biadab dalam jangka lama sekali, melainkan mencakup juga golongan-golongan lainnya, termasuk yang non-kiri atau non-simpatisan PKI. 


Situasi politik, ekonomi, sosial di negeri kita yang makin memburuk sekali akhir-akhir ini menyebabkan lahirnya gelombang besar aksi-aksi buruh, tani, pemuda dan mahasiswa yang menyuarakan berbagai tutntan, protes, dan kemarahan terhadap berbagai politik pemerintah SBY-JK. Aksi-aksi yang berbentuk lintas golongan atau lintas faham politik dan lintas agama ini telah dilakukan antara lain dalam merayakan Hari Buruh 1 Mei dimana dikibarkan banyak sekali bendera merah dan bahkan juga dilagukan Internasionale dan Darah Rakyat dll. Dalam banyak kegiatan-kegiatan masyarakat yang menentang kenaikan harga BBM, memperjuangkan kepentingan korban Lapindo dan banyak kasus-kasus lainnya, telah ikut berbagai kalangan dan golongan, termasuk golongan kiri dan simpatisan-simpatisan PKI yang mengambil bagian aktif.


Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa perjuangan melawan sisa-sisa Orde Baru, menentang berbagai politik buruk pemeritahan SBY-JK, dan juga sekaligus melawan neo-liberalisme (terutama AS) adalah bukan hanya urusan golongan kiri atau simpatisan PKI saja, melainkan urusan atau tugas banyak golongan dan kalangan. Jadi, kalau nantinya di kemudian hari timbul gelombang besar aksi-aksi untuk menuntut adanya perubahan mendasar dan besar, itu bukanlah hanya “hasil hasutan” atau akibat kegiatan berbagai unsur-unsur PKI, yang menurut KASAD Jenderal Agustadi, “mulai makin nyata”. 


Karena keadaan di Indonesia dewasa ini akan makin semrawut dan bobrok akibat berbagai kesalahan dan kejahatan para pengelolanya yang moralnya sudah rusak (dan imannya makin bejat) dan juga akibat resesi sistem kapitalisme di skala internasional maka pastilah akan muncul pula gerakan-gerakan rakyat luas untuk menuntut perbaikan di banyak bidang kehidupan. Seiring dengan bertambahnya kesulitan yang menyengsarakan banyak orang, pastilah akan bertambah juga perlawanan dari berbagai kalangan masyarakat, walaupun ada atau tidak ada “momok komunis”.



“Momok komunis” untuk mencegah perubahan fundamental
 
Bahwa banyak di antara simpatisan atau mantan anggota PKI mempunyai sikap yang anti Orde Baru, anti-golongan militer pendukung Suharto, anti-neo-liberalisme dan pro Bung Karno dan pro perubahan fundamental dan besar-besaran adalah wajar, karena ini sudah menjadi ciri PKI atau golongan kiri pada umumnya sejak lama. Jelaslah kiranya bahwa pendirian para simpatisan PKI yang demikian ini adalah sesuai atau sejiwa dengan pendapat dan aspirasi sebagian terbesar rakyat kita.


Perkembangan situasi dalamnegeri dan juga dalam skala internasional menunjukkan bahwa ungkapan KASAD Jenderal Agustadi mengenai momok “kebangkitan komunis” sudah “ketinggalan jaman”. Bukan itu saja! Ucapannya yang begitu itu juga memperlihatkan dengan jelas bahwa TNI yang di bawahnya tetap terus merupakan kekuatan yang menghambat atau menghalangi perubahan-perubahan besar yang mendasar yang menguntungkan sebagian terbesar rakyat. Ia masih tetap mau menggunakan “momok bahaya PKI” untuk mencegah adanya perubahan-perubahan besar dalam sistem kenegaraan kita, atau perubahan yang drastis di bidang politik, ekonomi dan sosial di negeri kita. 


Dalam situasi nasional seperti yang kita hadapi bersama dewasa ini, yang membutuhkan perubahan besar-besaran dan fundamental, yang dibarengi dengan gelora di dunia melawan neo-liberalisme (dan imperialisme AS) sikap seperti yang dipertontonkan Jenderal Agustadi jelas-jelas hanyalah merugikan kekuatan perjuangan bersama untuk membela kepentingan rakyat Indoneia. Sebab, seperti sudah ditunjukkan dalam sejarah dimana-mana di dunia, golongan kiri (termasuk simpatisan-simpatisan komuns) adalah unsur atau bagian yang amat penting dari kekuatan untuk mengadakan perubahan.


Dengan perkataan lain, TNI kalau terus-menerus berada di bawah pimpinan orang-orang yang sejiwa seperti Jenderal Agustadi maka akan tetap merupakan musuh dari perubahan yang bisa mengantar negara dan rakyat kita menuju masyarakat adil dan makmur, sesuai dengan gagasan-gagasan besar Bung Karno. Kalau TNI tetap terus dibawa kearah yang reaksioner dan selalu menentang segala yang menjadi aspirasi rakyat banyak, maka akhirnya tidak bisa lain, yaitu : menjadi musuh rakyat !!! 


Negara dan rakyat kita membutuhkan tentara yang dipimpin oleh orang-orang yang berjiwa non-Suharto atau non-Orde Baru, yang bisa menjadi peserta atau pengawal perubahan-perubahan besar, seperti yang ditunjukkan oleh Hugo Chavez di Venezuela dan negara-negara Amerika Latin lainnya.


Paris, 5 Oktober 2008


Catatan tambahan: tidak lama lagi akan disajikan tulisan lainnya yang berkenaan dengan “Hari Kesaktian Pancasila”. Tulisan itu akan menelanjangi kebohongan Suharto dan para penguasa Orde Baru lainnya bahwa mereka menjunjung tinggi-tinggi atau menghormati Pancasila. Kenyataan selama puluhan tahun rejim militer Orde Baru sudah membuktikan dengan jelas bahwa mereka telah mengkhianati, merusak, memalsu, atau melecehkan jiwa asli Pancasila-nya Bung Karno.Tulisan ini sedang disiapkan.

http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Momok%20komun%20is%20yang%20mulai%20bangkit.htm