HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Minggu, 26 Januari 2014

Lelaki Tak Dikenal Menyusup ke Pesawat Presiden


Pesawat kepresidenan batal terbang. Seorang penyusup mengancam keselamatan Presiden Sukarno.

SETELAH tujuh kali upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno, akhirnya pada 6 Juni 1962 pemerintah membentuk Tjakrabirawa. Resimen khusus ini ditugaskan untuk menjaga keselamatan presiden. Tugas berat diemban oleh Tjakrabirawa agar tak kecolongan lagi.

Ancaman pembunuhan Sukarno bukan berarti tak ada sama sekali. Itulah yang membuat Maulwi Saelan, wakil komandan Tjakrabirawa, tak mau lengah sedikit pun. Kalau perlu dia turun tangan untuk mengambil keputusan apapun demi keselamatan Presiden Sukarno.

Misalnya pada saat Presiden Sukarno berkunjung ke Filipina untuk menghadiri konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina, Indonesia), 30 Juli–5 Agustus 1963. Konferensi tersebut membahas penyelesaian pembentukan federasi Malaysia yang bakal membuat Filipina kehilangan sebagian wilayahnya di Sabah.

Delegasi Indonesia menggunakan dua pesawat. Satu pesawat Jetstar C-140 dan rombongan lain, termasuk pengawal presiden Tjakrabirawa, menumpang pesawat Garuda. Seminggu sebelum kedatangan Presiden Sukarno ke Manila, tim advance Tjakrabirawa telah lebih dulu tiba dan memastikan Manila aman untuk Presiden Sukarno.

“Ketika tiba, tak sedikit pun permasalahan keamanan yang ditemui rombongan baik selama di perjalanan maupun setelah di Manila,” ujar Maulwi dalam bukunya Penjaga Terakhir Soekarno.
 
Masalah baru muncul sesaat sebelum Presiden Sukarno pulang ke Jakarta. Pihak bandara Manila mengabarkan kepada Tjakrabirawa tentang seorang lelaki tak dikenal kepergok memasuki pesawat kepresidenan tanpa izin. Maulwi khawatir dan segera menghubungi Brigjen. Sabur, komandan resimen Tjakrabirawa, untuk meminta izin pemeriksaan langsung ke pesawat.

Ketika pesawat diperiksa, lelaki misterius itu telah pergi. Belakangan petugas bandara Manila berhasil menangkapnya. Ternyata pria penyusup itu penderita gangguan jiwa. 

Cemas ada apa-apa, Maulwi tetap memutuskan untuk memeriksa secara teliti setiap bagian pesawat. “Saya nggak bisa percaya begitu saja. Kita kan nggak tahu apa yang dia taruh, apa yang dia lakukan,” kenang Maulwi.

Dia pun mengambil keputusan agar Presiden Sukarno pulang ke Jakarta menggunakan pesawat Garuda. Sementara itu Maulwi, bersama beberapa anak buahnya, tetap tinggal di Manila. Memastikan pesawat kepresidenan steril dari ancaman apapun. 

“Kalau ada apa-apa, kita yang tanggung jawab,” kata lelaki yang masih terlihat bugar di usianya yang menginjak ke-88 tahun itu. Yakin tak ada hal mencurigakan, Maulwi dan pasukannya pulang keesokan harinya ke Jakarta dengan Jetstar C-140.

Laporan utama upaya pembunuhan terhadap Sukarno: "Membidik Nyawa Sang Presiden" di majalah Historia No. 14 Tahun II, 2013.
 
http://historia.id/modern/lelaki-tak-dikenal-menyusup-ke-pesawat-presiden

Jumat, 24 Januari 2014

Membebaskan Tjakrabirawa di Aljazair


Peringatan dasawarsa KAA di Jakarta pada April 1965 diputuskan Aljir ibukota Aljazair sebagai tuan rumah KAA II, yang rencananya akan digelar pada 25 Juni 1965. Setelah berkoordinasi dengan badan keamanan Aljazair, dikirim satu kompi advanced team berjumlah 200 personel Tjakrabirawa, resimen pengawal Presiden Sukarno. Tim ini datang dengan berpakaian preman dan berperalatan lengkap.

Tidak ada masalah ketika tim Tjakrabirawa tiba di sana, sampai munculnya kudeta terhadap pemerintahan Aljazair. Presiden Ben Bella mangkir, kekuasaannya direbut Kolonel Houari Boumediene dari faksi militer pada 19 Juni 1965.

Menurut Maulwi Saelan, mantan wakil komandan Tjakrabirawa dalam biografinya, Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno (Penerbit Buku Kompas, 2014), berita kudeta ini membuat bimbang Sukarno dan rombongannya yang sudah berangkat dari Indonesia dan singgah di Pakistan untuk mengisi bahan bakar. Sukarno belum tahu apakah akan tetap datang ke Aljazair. Namun, Kolonel Boumedienne tetap ingin menyelenggarakan KAA, dan menganggap kehadiran Sukarno sebagai hal yang istimewa karena dialah inisiator KAA. 
Sukarno memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Aljazair. Sampai munculah ledakan di gedung konferensi yang baru selesai diinspeksi Tjakrabirawa. Mereka pun terkena imbasnya.

“Setelah tiba di Aljazair,” kata Maulwi, “advanced team mempersiapkan diri, membuat rencana kerja, dan lain-lain dibantu angkatan bersenjata setempat.”

Menurut Tan Sing Hein, dokter pribadi Sukarno yang tergabung dalam advanced team, “baru lima menit setelah kami selesai menginspeksi gedung di mana konferensi itu akan berlangsung, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan dari gedung tersebut,” ujarnya dalam Memoirs of Indonesian Doctors and Proffesionals 2 yang disunting oleh Tjien Oei. “Konferensi yang sudah diwanti-wanti itu pun tidak pernah terjadi.”

Belakangan, diduga dalang pengeboman itu adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA), yang tidak ingin konferensi itu terlaksana. Kehadiran Guy Pauker, tokoh CIA di Aljazair pada saat itu dan gelagatnya saat mengunjungi Ny. Supeni, delegasi Indonesia, semakin memperkuat tudingan itu.

Sukarno bersama Presiden Mesir Gamal Abul Nasser, Perdana Menteri RRT Chou En Lai, dan Presiden Pakistan Ayub Khan, sepakat KAA II akan tetap dilaksanakan tetapi pelaksanaannya ditunda sampai awal November 1965.

Sementara itu, pemerintahan baru Aljazair mendapat kabar bahwa di Jakarta terjadi kudeta terhadap pemerintahan Sukarno oleh Resimen Tjakrabirawa yang terlebih dahulu tiba di Aljazair. Karena itu, advanced team Tjakrabirawa ditahan di kamp, sedangkan empat anggota Detasemen Kawal Pribadi Tjakrabirawa ditahan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Aljazair. Hampir satu bulan mereka ditahan sampai Kolonel CPM Maulwi Saelan datang dan berunding untuk membebaskan mereka.

“Satu bulan kemudian saya berangkat ke Aljazair melalui Paris, karena belum ada hubungan penerbangan langsung dari Indonesia ke Aljazair, untuk berunding dengan bagian keamanan Aljazair untuk memulangkan Tjakrabirawa ke Indonesia,” kata Maulwi.

Akhirnya, semua personel advanced team Tjakrabirawa dibebaskan dan diantar sampai Paris oleh polisi Aljazair. Semua senjata dan barang-barang milik advanced team dikembalikan.

Kamis, 23 Januari 2014

Tahun Terakhir Tan Malaka

Fajar Riadi | 23 Jan 2014, 18:47

Ki-ka: Bonnie Triyana, Harry A. Poeze, Asvi Warman Adam, dan Fadjroel Rachman, dalam diskusi buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4" karya Harry Poeze, di Jakarta, 23 Januari 2013. Foto: Micha Rainer Pali.

Di pengujung riwayatnya, Tan Malaka bergerilya di Jawa Timur. Saatnya menghidupkan kembali gagasan-gagasannya.


SETELAH dibebaskan dari penjara di Magelang pada 16 September 1948, Tan Malaka berupaya menghimpun lagi para pendukungnya. Bersama beberapa rekannya, pada 7 November 1948 dia membentuk Partai Murba dengan asas “antifascis, antiimperialis dan antikapitalis.”
Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam diskusi bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4, di Jakarta, 23 Januari 2013. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.
Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. 
“Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.”
Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik.
Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.”
Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya.
Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.”
Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek(Gerilya, Politik, Ekonomi) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia.
Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek.
Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.
Sukoco sempat mempertimbangkan menindak Tan sebagai seorang komunis yang mesti dijatuhi hukuman militer. Tapi kenyataannya berkata lain. 
“Sukoco orang kanan sekali dan dia beropini lebih baik Tan Malaka ditembak mati,” tutur Poeze.
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukoco. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Sukoco. 
“Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze.
Setelah pencarian panjang, pada 2009 silam diadakan penggalian makam yang diduga berisi jenazah Tan Malaka di Selopanggung. Sampai kini, penelitian para ahli forensik belum beroleh hasil pasti apakah jenazah yang digali benar-benar milik Tan Malaka atau bukan.
“Memang Tan Malaka ini jago menghilang selama hidupnya. Sampai matipun masih ada jagonya itu,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Asvi, publik perlu segera mendapat kepastian. “Namun apapun hasilnya mestinya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan Malaka memang di tempat itu,” tegasnya.
Asvi berpendapat sudah waktunya jenazah Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pemindahan ini menjadi penting sebab menjadi semacam pengakuan bersalah pemerintah Indonesia yang selama puluhan tahun Orde Baru melenyapkan nama Tan Malaka.
Nada sedikit berbeda disampaikan pemimpin redaksi majalah Historia Bonnie Triyana. Dia menganggap gagasan-gagasan Tan Malaka beroleh perhatian dan wajib disikapi lebih dahulu. 
“Menghidupkan kembali gagasan-gagasan Tan Malaka jauh lebih penting sekarang ini,” tuturnya. “Porsi besar pelajaran sejarah lewat kurikulum 2013 baru-baru ini, misalnya, memberi kesempatan supaya buku-buku Pak Harry ini mestinya sama-sama kita sebarluaskan.”
Sumber: Historia

Rabu, 15 Januari 2014

Malapetaka Politik Pertama

Peristiwa Limabelas Januari 1974 membuka topeng siapa sebetulnya rezim Soeharto. Titik awal kebangkitan otoritarianisme.
 


PENGULANGAN sejarah merupakan lelucon pada kali pertama dan akan menjadi tragedi pada pengulangan yang kedua. Demikian disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae, mengutip Karl Marx, dalam sambutannya di acara mengenang 40 tahun peristiwa Malari pagi tadi (15/01) di Jakarta. Turut pula hadir dalam acara itu Rahman Tolleng, Adnan Buyung Nasution dan sahibul hajat Hariman Siregar.

"Indonesia dijajah oleh Belanda, kemudian oleh Jepang. Dulu yang datang Jan Pieter Coen, kemudian datang Jan Pronk, seorang new left tapi datang sebagai Ketua IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) untuk melihat pembangunan di Indonesia. Kemudian Tanaka seorang shogun, datang menemui Soeharto,” ujar Dhakidae.

Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka memicu demonstrasi mahasiswa karena dianggap sebagai penjajahan ulang Jepang terhadap Indonesia. Namun pada kenyataannya demonstrasi itu berakar jauh kepada beragam persoalan. Mulai dari kritik atas dominannya Aspri (Asisten Presiden) dalam pemerintahan sampai friksi rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo untuk merebut pengaruh sebagai orang terdekat Soeharto.

Kalangan cendekiawan dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas tersebut. “Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disorot mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing khususnya Jepang,” tulis Muhammad Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda.

Puncak aksi protes itu akhirnya terjadi pada 15 Januari 1974. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma disambut dengan aksi demonstrasi yang berujung rusuh. Masa bulan madu antara mahasiswa dengan pemerintah, juga antara investor asing dengan masyarakat Indonesia umumnya, yang telah terjalin sejak jatuhnya Sukarno tahun 1966 pun berakhir.

“Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan Perdana Menteri Tanaka, dan aksi protes mereka adalah antiasing, terutama Jepang; antibirokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan antimiliter, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjanjian bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising.

Jakarta berasap, penghancuran dan penjarahan terjadi di mana-mana. Tidak hanya menyasar produk-produk Jepang, massa juga melampiaskan kekesalannya kepada perusahaan-perusahaan Tionghoa. Salah satunya adalah Astra yang menjadi distributor barang-barang otomotif dari Jepang. 

“Mobil-mobil dan sepeda motor buatan Jepang dan buatan asing lainnya dibakar, diceburkan ke sungai, atau, jika pemiliknya beruntung, hanya dikempeskan rodanya,” tulis Kees van Dijk, “Ketertiban dan Kekacauan di dalam Kehidupan di Indonesia,” termuat dalam Orde Zonder Order; Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965-1998.

Pada Peristiwa Malari ini, setidaknya sebelas orang tewas dan 300 lainnya luka-luka. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan ikut rusak. Toko-toko perhiasan pun tidak ketinggalan dijarah, sekitar 160 kg emas raib.

Sekitar 775 orang ditahan menyusul aksi pemerintah memadamkan kerusuhan tersebut, beberapa terdiri dari anak di bawah umur.

“Komandan Kopkamtib ketika itu, Jenderal Sumitro, bahkan mengenang bagaimana para demonstran yang bertemu di dekan Monumen Nasional di pusat Jakarta adalah ′anak-anak′, pelajar-pelajar dari sekolah dasar dan menengah, paling tidak berasal dari sekolah menengah atas. Di antara 472 orang yang ditahan pada tanggal 15 dan 16 Januari, terdapat 250 buruh dan anak sekolah,” tulis Kees van Dijk.

Sejumlah tokoh mahasiswa, seperti Hariman Siregar, Aini Chalid dan Judilhery Justam ditahan. Beberapa media massa besar dicabut izin terbitnya karena memuat pemberitaan yang dianggap mengganggu stabilitas negara, termasuk Nusantara, Abadi, Pedoman, dan Indonesia Raya. Soeharto juga melakukan perombakan di lingkaran kekuasaannya. Soemitro diberhentikan dari jabatan Panglima Kopkamtib. Jabatan Aspri dibubarkan. Aksi represi pemerintah terhadap masyarakat diperketat, juga lebih sistematis.

“Dengan Peristiwa Malari, Soeharto tampaknya mengambil sikap tegas: Go to hell with civil society. Dia sepertinya mengingatkan para cendekiawan/ mahasiswa who is the boss,” tulis Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005. “Pada titik ini tampaknya ′perkawinan′ antara Soeharto dan masyarakat madani bubar jalan.”

http://historia.id/modern/malapetaka-politik-pertama

Rabu, 08 Januari 2014

Pengakuan Korban PKI 1965, Bei Laka Dari Nurobo-Belu (Kini Malaka): Saya Diselamatkan Tuhan

8 Januari 2014   21:52


Buku terbitan hasil investigasi Majalah Tempo berjudul: Pengakuan Algoju 1965 sudah beredar luas di ranah publik. Buku itu merupakan hasil investigasi Majalah Tempo yang terbit tahun 2012. Dalam buku itu diceriterakan bahwa para korban yang diduga merupakan anggota PKI itu dibantai tanpa melalui prosedur Pengadilan yang sah. Di pulau Jawa, pihak Nahdatul Ulama (NU) beserta organisasi kepemudaan Anshor dan Bansernya memiliki sejarah kelam keterlibatan dalam pembantaian orang-orang yang diduga terlibat PKI tanpa pengadilan. Generasi HMI kini masih menyimpan sejarah kelam keterlibatan dalam pembantaian para terduga PKI, bersama tentu saja ABRI yang berasal dari unsur TNI dan Polisi. Sejarah kelam itu hingga kini tidak bisa terungkap secara jelas berapakah jumlah orang yang telah dibantai itu sesungguhnya. Namun mungkin puluhan juta orang-orang Indonesia tak bersalah telah dihukum mati tanpa pengadilan yang sah. Pembunuhan itu telah direstui oleh tokoh agama dan sesepuh masyarakat.
Sejarah memanglah tetaplah sejarah. Sejarah bersifat periodis. Norma yang dianut masyarakat pada tahun 1965pun berbeda dengan saat ini sesuai dengan konteks ekonomi, sosial, idiologi dan politik. Dari NTT, sebagaimana yang tertulis dalam buku itu muncul sejumlah kisah tentang pembantaian PKI di Sikka. Tulisan Yohanes Seo, kontributor Tempo untuk wilayah NTT mengisahkan tentang bapak Tengkorak dan kisah seorang pastor Katolik yang dipindahkan dari wilayah Sikka karena menolak pembantaian para terduga PKI. "Tentara seperti Tuhan", kata sang Pastor yang mengisahkan situasi pada saat itu (bdk. rizalflotim.wordpress.com).
Pembantaian PKI tahun 1965 meninggalkan kisah kelam dalam sejarah bangsa kita. Bahkan terlalu kelam untuk dikeluarkan dari kedalaman luka bathin. Namun apapun kelamnya, terpaksa harus kita keluarkan agar tidak menjadi duri dalam daging. Itu semua demi masa depan kita bangsa Indonesia sendiri. Nah...bila saya berbicara tentang pembantaian terduga PKI, saya selalu teringat akan kisah Bei Laka. Kisah ini sering saya dengar dari Bei Laka sendiri ketika dia masih hidup dan bersama kami di rumah adat besar suku asulaho Nurobo. Sosok Bei Laka ialah seorang kerabat jauh kakek dan nenek buyutku. Kami memanggil Bei Laka untuk menghormati ubanannya, meskipun mungkin tidak memiliki hubungan darah kandung dengan Bei Laka.  Ketika saya masih kecil, saya bersama mama dan saudara-saudariku sering berkunjung ke rumah adat besar Asulaho di Nurobo.
Rumah adat itu merupakan sebuah rumah panggung, di mana sering dilaksanakan acara-acara adat suku besar mamaku. Di sana, waktu itu (sekitar tahun 1985 ke bawah), sosok Bei Laka dianggap sebagai penjaga rumah adat suku besar. Ia hanya menjaga rumah adat saja namun bukan pemimpin suku besar. Hal itu saya tahu kemudian setelah bertanya tentang silsilah sosok Bei Laka kepada mamaku. Namun ia telah dianggap penjaga tradisi suku yang sah sepeninggalnya kakek-kakek kandungku di suku besar Asulaho-Nurobo. Tampang Bei Laka sekitar tahun 1985 ke bawah itu nampaknya sudah beruban.
Semua orang-orang sesubsuku mengakui bahwa sosok Bei Laka dikenal sebagai sosok penjaga tradisi suku besar Asulaho Nurobo ketika itu. Hanya sayang beliau tidak memiliki anak kandung. Isterinya ialah Bei Hoar yang merupakan keturunan dari salah seorang adik dari Bei Bot. Bei Bot merupakan ibu Bei Stanis Mali, leluhur kandungku.  Jadi dari segi hubungan kekerabatan, Bei Laka merupakan 'orang luar' yang menikah dengan orang dalam suku Asulaho. Dengan itu dia bukan seorang kepala suku besar dalam suku Asulaho namun "pangeran" luar yang menjaga rumah adat karena pernikahan dengan orang dalam yakni Bei Hoar. Siapa tidak menyangka bahwa dari mulut dan kedalaman bathin seorang penjaga rumah adat besar dari suku mamaku, ternyata menyimpan dan mengalirkan kisah kesaksian pribadi yang membuatnya begitu terkesan dan telah membekas dalam sanubarinya seumur hidup sebelum meninggal tahun 1985.
Kisah itu bermula ketika pada tahun 1964, Bei Laka diperkenalkan oleh seorang guru SR tentang pentingnya berkoperasi. Sebagai seorang penjaga tradisi, diapun ikut saja menjadi anggota Koperasi yang dimaksudkan oleh orang tersebut. Perkumpulan Koperasi itu berpusat di Betun, dipimpin oleh seorang tokoh Koperasi yang dikemudian hari dianggap oleh pihak intelijen dan tentara di Belu sebagai salah seorang tokoh pemimpin PKI di wilayah Belu, namanya Nahak Au Bot. Singkatnya, Bei Laka masuk anggota Koperasi pimpinan Nahak Au Bot di Betun. Beberapa kali, Nahak Au Bot mengundang semua anggota Koperasi untuk menonton Film hiburan layar tancap. Ternyata Film-Film itu kemudian diceriterakan kembali oleh para pemimpin Koperasi kepada masyarakat bahwa Film layar tancap itu sama dengan arwah-arwah nenek moyang yang telah hidup kembali. Seluruh adegan dalam Film itu dijelaskan bahwa merupakan arwah leluhur yang hidup kembali. Itulah sebab Nahak Au Bot memiliki pengikut banyak yang berasal dari orang kampung di tanah Malaka.
Pada tahun 1965, Koperasi pimpinan Nahak Au Bot di Belu dianggap merupakan organisasi massa binaan PKI. Pemimpin Koperasi itu, Nahak Au Bot akhirnya ditangkap oleh tentara lalu dipotong lehernya karena disangka merupakan pemimpin PKI di Belu. Sejak pemimpin Koperasi Nahak Au Bot itu dibunuh, para anggota Koperasipun diciduk untuk dibunuh tanpa pengadilan. Bei Lakapun ikut ditangkap dan di bawa ke lokasi pembantaian untuk siap dibantai tanpa pengadilan sah. Namun rupanya tangan Tuhan masih menyertai Bei Laka sebab dia karena hal-hal 'ajaib' tidak ikut dibunuh.
Bertahun-tahun kemudian, setelah bebas dari hukuman, Bei Laka menceriterakan bahwa tempat pembantaian para terduga anggota PKI di Belu ialah, areal tengah hutan jati Nenuk. Para terduga PKI ditangkap, diborgol dan di bawa menuju hutan Jati Nenuk untuk dipenggal lehernya. Sebelum dipenggal mereka diberi kesempatan untuk berdoa sambil berlutut menghadap lubang. Setelah berdoa, mereka dipancung lehernya. Bei Lakapun ikut panggil dan berlutut di hadapan lubang. Namun setiap kali akan dipenggal lehernya, tiba-tiba para algoju tidak melihat Bei Laka. Bei Laka seperti tidak terlihat, ia seperti menghilang sehingga algoju-algoju itu tidak melihat Bei Laka. Padahal Bei Laka sedang berada di muka lubang pembantaian. Ketika semua rombongan terduga PKI dibantai dan dikuburkan di lubang-lubang di dalam hutan Jati, Bei Laka ternyata masih hidup dan tidak ikut dibunuh padahal ia dipanggil 3 kali. Para algoju dan komandan algoju kemudian memintanya pulang kembali ke Nurobo. Bei Laka dibebaskan karena para algoju tidak melihatnya ketika akan dibantai.
Menurut Bei Laka, ini sebuah mukjizat yang Tuhan nyatakan bagi Bei Laka. Mukjizat itu nyata. Setelah pulang ke Nurobo, dia menceriterakannya kembali peristiwa itu kepada mamaku dan diteruskan kepada kami bahwa ia selamat dari pembantaian karena para algoju tidak melihatnya ketika akan dibantai. Ia pun berkeyakinan bahwa Tuhan telah menyelamatnya dari pembantai PKI. Tuhan telah menutup mata para algoju itu secara ajaib, sehingga mereka tidak melihat Bei Laka ketika hendak memancungnya di depan lubang pembantaian.
Rupanya orang seperti sosok Bei Laka, yang mengalami mukzizat Tuhan di tengah-tengah ceritera tentang pembantaian korban terduga PKI telah dikirim pulang oleh Tuhan bagi seluruh anggota keluarga untuk memuji kebesaran Tuhan sendiri. Bahwa Tuhan sungguh Maha Baik. Tuhan sungguh menyertai hambanya dalam kesulitan.
Korban terduga PKI yang hilang tak tentu rimbanya setelah diciduk oleh tentara dari rumah di Nurobo ialah Markus Berek. Markus Berek merupakan suami dari Maria Salan. Maria Salan seorang suku Ne' ne'e-Mamulak. Mereka (Maria Salam dan Markus Berek) baru saja menikah. Markus Berek ialah seorang guru Sekolah Rakyat (SR). Ketika Markus Bereka diciduk dari rumah di Nurobo oleh tentara, Maria Salan sementara mengandung seorang anak yang ternyata wanita. Anak keturnan dari Markus Berek-Maria Salan bernama Anna Ulu yang menikah dengan seorang pegawai peternakan (PNS) dan telah melahirkan beberapa putera dan puteri. Markus Berek, guru SR itu ternyata tidak kembali lagi ke rumah setelah ia diciduk.
Dugaan besar dan memang pasti bahwa guru Markus Berek, suami dari Maria Salan telah menjadi korban pembantaian oleh para algoju karena keterlibatannya di Koperasi pimpinan Nahak Au Bot di Betun. Ia telah dikuburkan massal di tengah hutan jati Nenuk bersama para korban lainnya di hutan Jati Nenuk sebagai Ladang pembantaian PKI 1965 di Belu-NTT. Ia dipancung lehernya bersama para terduga PKI lainnya dari seluruh wilayah Belu. Maria Salan kemudian menikah lagi dengan guru SDK Nurobo yang bernama Andreas Fatin dan menghasilkan seorang putera dan 2 orang puteri. Markus Berek tidak memiliki hubungan darah dengan kami, namun ia ikut menjadi keluarga Nurobo karena pernikahannya dengan Maria Salan dari Ne'e-ne'e, Malaka.
Inilah rekaman ceritera tentang tragedi besar yang bernama pembantaian PKI di hutan Jati Belu-NTT-Indonesia. Selain ceritera tentang pembantaian PKI 1965, juga ceritera tentang musim kelaparan pada tahun 1965. Pada tahun 1965,  kaka sulungku Vero Meko, baru saja lahir. Namun Bapak dan Mama telah membawa juga Ignasius Nana dalam keluarga kami. Ignasius Nana ialah saudara Mama yang terkecil. Ia telah dianggap sebagai anak pertama keluarga kami.  Orang-orang menceriterakan bahwa tahun 1965, merupakan tahun musim kelaparan yang hebat. Musim kelaparan itu diperparah dengan laju Inflasi yang amat tinggi.
Gaji Bapakku sebagai tenaga pembangun Ambachschool di misi Atambua (SSpS Halilulik) memang besar untuk ukuran para karyawan misi ketika itu namun barang-barang yang dibeli juga sangat mahal, jarang bahkan tidak ada. Ini membuat bapakku harus berjalan berkilo-kilo meter ke wilayah Mena-TTU hanya untuk membeli ikan dan ubi kayu. Pada saat itu hampir semua orang mengalami nasib yang sama. Orang memang kelimpahan uang namun kelangkaan barang-barang.
Bahkan Jagung dan ubi buruk misi untuk makanan babi di kandang babi misi malahan telah menjadi makanan paling bagus selama musim kelaparan tahun 1965. Inflasi dan kelaparan membuat keluarga terpaka harus mengkonsumsi tepung kanji dan sejumlah besar daging sapi untuk mempertahankan hidup. Tahun 1965 merupakan tahun tragedi, yakni tahun pembantaian PKI, tahun inflasi tertinggi, tahun awal berakhirnya kekuasaan Orla (Presiden Soekarno).
Tahun 1965 adalah tahun yang aneh dan penuh korban, darah dan air mati itu, semoga tragedi tahun 1965 ikut pergi untuk seterusnya dan jangan pernah kembali lagi menimpah sejarah bangsaku, bangsa Indonesia. Bagi mereka yang kelurganya menjadi korban pembantaian sebagai terduga PKI tahun 1965, tentunya tahun 1965 menjadi tahun terkelam. Yah..namun kita patut mengakui kekelaman itu demi masa depan yang cerah....!!
Sumber: Kompasiana 

Kamis, 02 Januari 2014

Oevaang Oeray, Pejuang Dayak Soekarnois

2 JANUARI 2014 | 18:08



Sejarah adalah milik para pemenang. Ungkapan ini memang terbukti dalam sejarah bangsa Indonesia, ketika  ada banyak nama pejuang bangsa ‘tenggelam’ atau ‘ditenggelamkan’ karena tidak mendapatkan penghormatan yang layak dari penguasa negeri.
Hal ini, misalnya, terjadi pada beberapa  Kepala Daerah Provinsi/Gubernur yang ketika  meletus  kemelut politik Gestok  tahun 1965 mengambil sikap politik pro Bung Karno dan pro ‘Kiri’. Beberapa nama  Gubernur yang ‘ditenggelamkan’  itu adalah Henk Ngantung (DKI Jakarta), Anak Agung Bagus Sutedja (Bali) dan Ulung Sitepu (Sumatera Utara). Diluar nama-nama itu, masih ada nama lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, yakni Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray  atau Oevaang Oeray, Gubernur Kalimantan Barat periode 1960-1966.
 Pejuang Dayak
Terlahir  pada tahun 1922 dari keluarga etnis Dayak Kayan penganut Katolik, Oevaang Oeray menjalani masa kecilnya di tengah ketertinggalan etnis Dayak di segala bidang pada masa penjajahan Belanda. Saat itu, masyarakat Dayak jauh tertinggal terutama dalam sektor pendidikan dibandingkan dengan etnis Melayu yang juga banyak bermukim di Pulau Kalimantan.
Hal ini tidak aneh bila ditinjau secara sosio-antropologis, sebab orang Melayu yang kebanyakan pedagang  telah mendirikan beberapa Kesultanan di Pulau Kalimantan beserta dengan berbagai ‘perangkat’ peradaban ‘state society’ lainnya. Sementara  orang Dayak yang masih berpola hidup ladang berpindah dan berburu-meramu di daerah pedalaman seakan tertinggal dari peradaban orang Melayu. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang  tidak mendukung kemajuan etnis Dayak.
Thambun Anyang (1996: 78) menjelaskan bahwa pada era kolonial, masyarakat suku Dayak tidak memiliki banyak peluang untuk mengenyam dan melanjutkan jenjang pendidikan. Sekolah-sekolah lanjutan pada masa itu kebanyakan adalah sekolah milik Belanda dan milik kesultanan-kesultanan Melayu. Dan bagi orang Dayak yang ingin masuk sekolah yang didirikan kesultanan Melayu, mereka  terlebih dahulu harus masuk agama Islam supaya tidak mendapatkan stigma  sebagai orang kafir yang suka mengayau (memotong) kepala orang. Tradisi mengayau memang pernah muncul dalam sejarah etnis Dayak, ratusan tahun sebelum kedatangan kolonial Belanda.
Hanya sekolah-sekolah milik Gereja Katolik atau Seminari yang relatif bisa menerima etnis Dayak. Hal ini jugalah yang terjadi pada Oevaang Oeray. Selepas lulus Sekolah Rakyat (SR), ia melanjutkan pendidikan ke Seminari Santo Paulus Nyarumkop, Singkawang. Di seminari inilah, mulai timbul pemikiran Oevaang untuk memajukan etnis Dayak.
Implementasi dari pemikiran itu awalnya ia tunjukkan dengan menulis surat kepada para guru sekolah Katolik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retreat (tur rohani) tahunan di Sanggau untuk mengajak kalangan pendidikan Katolik peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak. Ternyata ajakannya tersebut disambut baik oleh para peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh  beberapa guru Katolik seperti A.F. Korak dan M. Th. Djaman. Namun, penulisan surat tersebut harus dibayar mahal dengan dikeluarkannya Oevaang dari Seminari karena dianggap terlalu terlibat politik praktis oleh pihak Seminari.
Setelah membahas isi surat Oevaang itu, seluruh peserta retreat sepakat untuk  memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui organisasi politik. Untuk diketahui, berjuang dengan instrumen organisasi sebenarnya bukan hal asing bagi etnis Dayak. Pada tahun 1919, telah berdiri organisasi Sarikat Dayak di Kalimantan Tengah guna memperjuangkan nasib etnis Dayak.
Berangkat dari tekad Oevaang dan para peserta retreat itu, maka  lahirlah organisasi Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak pada tanggal 30 Oktober 1945 di Putussibau. Organisasi ini dipimpin oleh seorang tokoh Dayak yang juga guru SR, F. C. Palaunsuka. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi DIA bermetamorfosa menjadi Partai Persatuan Dayak (PD). Dan pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD melalui sebuah musyawarah bersama partai.
Tujuan utama dari Partai PD ini adalah mengangkat derajat penghidupan masyarakat Dayak. Selain itu, partai ini juga memiliki beberapa tujuan lain dalam skala yang lebih luas, yakni turut mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, mewujudkan suatu susunan pemerintahan berdasarkan kehendak rakyat serta ikut melaksanakan keadilan sosial dalam masyarakat. Semboyan Partai PD yang terkenal adalah “atas tenagamu, tergantung nasibmu”, sebagai refleksi dari semangat kemandirian etnis dan bangsa yang diperjuangkan partai ini.
Sementara itu, dinamika bangsa setelah kemerdekaan di proklamirkan pada tahun 1945 juga turut mewarnai perjuangan etnis Dayak dan Oevaang Oeray. Pada tahun 1947, tatkala perang kemerdekaan melawan Sekutu dan Belanda berkecamuk di seluruh penjuru tanah air, Komisaris Jenderal Belanda Van Mook membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dengan Kepala Daerah Sultan Hamid II, seorang Sultan Pontianak ber-etnis Melayu. Oevaang Oeray, yang tetap bertekad mengangkat derajat etnis Dayak di era kemerdekaan, juga turut masuk dalam ‘pusaran’ arus politik baru itu. Bersama dengan beberapa tokoh lainnya, Oevaang Oeray masuk dalam Badan Pemerintah Harian (BPH), yang berfungsi membantu pemerintahan DIKB.
Tindakan Belanda membentuk DIKB ini dianggap oleh berbagai kalangan yang pro Republik Indonesia (Republiken) sebagai upaya Belanda untuk menjauhkan Kalimantan Barat dari pemerintahan Republik Indonesia di Jawa.  Dengan dipelopori oleh Gabungan Politik Indonesia (GAPI), pada bulan November 1949 kaum Republiken mendirikan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) sebagai bentuk penentangan terhadap  DIKB. Pertentangan antara KNKB dengan DIKB ini terus berlangsung hingga ditangkapnya Sultan Hamid II oleh aparat pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada pertengahan tahun 1950 karena terlibat pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling di Bandung.
Persitiwa APRA itu sendiri meupakan perlawanan para eksponen KNIL (tentara Kerajaan Belanda di Indonesia) terhadap upaya pemerintah RIS melebur eksponen KNIL ke tubuh angkatan perang RIS. Jadi, dalam arti lain, peristiwa ini adalah suatu penolakan para loyalis Belanda yang masih tersisa pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 terhadap otoritas pemerintahan RIS. Dan tidak aneh bila Sultan Hamid II turut membantu pemberontakan itu, sebab yang bersangkutan memang pro terhadap Belanda sejak pembentukan DKIB tahun 1947.
Penangkapan Sultan Hamid II yang merupakan sultan Melayu tersebut berdampak pada pembubaran DKIB serta Kesultanan-kesultanan Melayu yang telah ada di Kalimantan Barat sejak era pra kolonial dahulu. Dan ketika RIS dibubarkan oleh Bung Karno dan bentuk negara Indonesia berganti menjadi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  terhitung sejak 17 Agustus 1950, Kalimantan Barat pun melebur ke dalam NKRI. Pada tahun 1957, Kalimantan Barat memperoleh status Provinsi dengan Gubernur pertamanya AP. Afllus.
Masa Kemunduran
Kiprah politik Oevaang Oeray pun terus berlanjut pasca meleburnya Kalimantan Barat ke dalam NKRI. Melalui Pemilu 1955, Oevaang Oeray terpilih mewakili partai PD sebagai anggota Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar (UUD) baru yang menggantikan UUDS 1950. Ketika perdebatan antara kelompok Islam dan Nasionalis mengenai dasar negara memuncak dalam sidang-sidang Konstituante, Oevaang Oeray adalah salah seorang anggota Konstituante yang gigih memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi Negara. Sedangkan kelompok Islam yang dimotori Masyumi dan NU menghendaki Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.
Bersama dengan kekuatan nasionalis pro-Pancasila lainnya seperti PNI, PKI dan IPKI, Oevaang Oeray memperjuangkan Pancasila agar tetap dinyatakan sebagai ideologi negara dalam UUD yang baru nanti. Menurut Oevaang Oeray, perubahan ideologi negara akan berdampak pada berubahnya pula tatanan  negara yang sudah berdiri (Risalah, 1957/V: 245-246, dan Risalah, 1957/V: 485-486).
Perjuangan kelompok nasionalis di Konstituante terus bergulir hingga akhirnya lembaga tersebut dibubarkan oleh Bung Karno dengan dukungan TNI-AD melalui Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit itu juga merupakan penegasan diberlakukannya kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950.
Selepas berjuang di Konstituante, Oevaang Oeray pun  kembali berkiprah di  tanah kelahirannya.  Figur sentralnya dalam Partai PD selaku partai pemenang pemilu 1955 di Kalimantan Barat membuat dirinya ditunjuk sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat oleh Bung Karno melalui  Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959. Oevaang Oeray pun ditetapkan sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960.
Jadilah Oevaang Oeray menjadi Gubernur Kalimantan Barat pertama yang berasal dari etnis Dayak. Hal ini menjadi pertanda kebangkitan etnis Dayak secara politik, setelah sekian lama dipandang sebagai etnis terbelakang. Bisa dikatakan pula, pengangkatan Oevaang Oeray oleh Bung Karno ini juga merupakan pengakuan pemerintahan Bung Karno atas eksistensi warga Dayak sebagai salah satu penduduk pribumi Kalimantan dalam bidang politik, setelah sejak era kolonial kancah perpolitikan Kalimantan Barat dikuasai oleh etnis Melayu.
Selain dipilihnya Oevaang, pengakuan tersebut juga dibuktikan dengan dipilihnya  beberapa tokoh Dayak sebagai Bupati di empat Kabupaten di Kalimantan Barat seperti MTH Djaman (Sanggau), GP Djaoeng (Sintang), Amastasius Syahdan (Kapuas Hulu) dan Agustinus Djelani (Pontianak). Terpilihnya para tokoh Dayak tersebut merupakan hasil kerja politik bersama antara Partai PD dengan PNI, partainya Bung Karno.
Sementara itu, disisi lain, kebijakan baru Bung Karno setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengharuskan seluruh partai politik harus memiliki cabang sedikitnya di tujuh provinsi untuk dapat melanjutkan aktifitasnya, secara otomatis membuat Partai PD tidak bisa lagi melanjutkan kiprahnya. Hal ini membuat  para tokoh dan kader partai itu berpindah ke berbagai partai  politik yang telah ada.
Secara garis besar, ada dua arus utama perpindahan para kader Partai PD seusai bubarnya partai itu. Arus pertama adalah perpindahan sebagian besar aktivis Partai PD ke Partai Indonesia (Partindo), sebuah partai nasionalis kiri yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno. Oevaang Oeray, merupakan ‘motor’ dari arus ini. Perpindahannya ke Partindo ini menjadikan Oevaang semakin dekat dengan Bung Karno.
Sementara arus kedua adalah  perpindahan sebagian aktivis Partai PD ke Partai Katolik. Kelompok ini dipimpin oleh tokoh pendiri Partai PD, Palaunsuka. Kelak kelompok Partai Katolik inilah yang turut memelopori demonstrasi menuntut pengunduran diri Oevaang Oeray dari jabatannya sebagai gubernur pasca tragedi Gestok 1965.
Tragedi Gestok 1965 memang turut merubah wajah perpolitikan Kalimantan Barat, sebagaimana juga ia mengubah wajah Indonesia secara drastis. Para kader dan simpatisan PKI yang dituduh sebagai dalang tragedi itu mengalami penangkapan, pemenjaraan hingga pembantaian hampir di seluruh penjuru Indonesia. Selain PKI, kekuatan politik pendukung Bung Karno pun turut terkena  ‘pembersihan’ itu,  termasuk para Gubernur yang menjadi pendukung Bung Karno seperti Oevaang Oeray.
Pembersihan terhadap kaum Soekarnois juga menjadi ‘pintu masuk’ bagi berbagai kelompok yang tidak suka terhadap Oevaang, terutama kalangan elit Melayu yang merasa Oevaang terlalu memihak etnis Dayak dalam berbagai kebijakannya. Selain itu, kelompok Dayak yang telah masuk Partai Katolik pun turut berupaya menjatuhkan Oevaang dikarenakan orientasi politik dan ideologis yang berbeda antara kelompok Partindo dan Partai Katolik. Kalangan Partai Katolik itu menuding Partindo, partainya Oevaang,  sebagai kelompok Kiri yang juga harus diberangus.
Pemecatan  Oevaang Oeray pun  dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat pada bulan Juli tahun 1966. Basuki Rachmat kemudian menunjuk Letkol Soemadi  BCHK sebagai gubernur baru menggantikan Oevaang.  Bahkan, empat Bupati yang berasal dari Partai PD  pun turut dipecat oleh  rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, sebagaimana yang dialami juga oleh banyak pegawai pemerintah yang berasal dari etnis Dayak.
Tersingkirnya Oevaang Oeray dari kursi kepemimpinan politik sekaligus menandakan kemunduran kembali kiprah etnis Dayak dalam sektor politik. Kiprah politik para tokoh Dayak yang mengalami masa keemasan di era Bung karno, seakan terpukul kembali pada masa Orde Baru yang kebijakannya memarjinalisasi warga Dayak dalam segala bidang.
Oevaang Oeray sendiri baru terjun kembali ke politik pada tahun 1977,  ketika ia masuk Golongan Karya (Golkar). Ia pun hanya dipercaya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1977-1982 dari golongan itu. Meskipun akhirnya masuk Golkar yang notabene merupakan penyokong Orde Baru, namun nama pejuang Dayak yang wafat tahun 1986 ini seakan masih ‘tenggelam’ dalam ‘pusaran’ sejarah hingga kini.
Hiski Darmayanakader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

http://www.berdikarionline.com/oevaang-oeray-pejuang-dayak-soekarnois/