HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Rabu, 30 Januari 2019

Hantu Politik Warisan (Ilmu Sosial) Orde Baru

Rabu 30 Januari 2019, 12:10 WIB | Hartmantyo Utomo

Tayangan "Mata Najwa" edisi "PKI dan Hantu Politik"

Jakarta - Mata Najwa mengudara pada malam 16 Januari 2019 dengan wacana PKI dan Hantu Politik. Berangkat pada merebaknya kasus penyitaan buku berhaluan "kiri" pada akhir Desember 2018 di Kediri dan berlanjut hingga awal Januari 2019 di Padang untuk dibawa pada lanskap kontestasi politik Pemilu 2019. Oleh karenanya, dihadirkanlah enam narasumber yang didudukkan dalam dua posisi. Sisi sebelah kiri Najwa Shihab terdapat Setiyardi Budiono sebagai Pemimpin Redaksi Obor Rakyat yang baru saja bebas dari tahanan, Mardani Ali Sera sebagai politikus PKS, Brigjen TNI Sisriadi sebagai Kapuspen TNI, dan Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein. Pada sisi sebelah kanan diisi oleh Adian Napitupulu sebagai politikus PDI Perjuangan dan Bonnie Triyana sebagai sejarawan.

Satu argumen yang menarik untuk dibahas berasal dari Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein. Sebagai seorang figur dalam Angkatan Darat Indonesia sedari masa bakti Orde Baru, posisinya jelas mendukung penyitaan buku berhaluan "kiri" yang dilaksanakan oleh tentara. Tidak lain berlandaskan pada trauma dan ketakutan terhadap kebangkitan Partai Komunisme Indonesia (PKI) dan aturan-aturan hukum yang melarang penyebaran buku "kiri" di tempat umum. Namun, tidak dengan universitas yang secara terang menjadi satu-satunya tempat yang sah bagi Kivlan Zein bagi peredaran dan pengajaran buku-buku tersebut.

Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana universitas di Indonesia mampu menjadi pemantik bagi peredaran dan pengajaran buku-buku berhaluan "kiri"? Bagaimana pula orientasi keilmuan universitas di Indonesia dalam membincangkan dan mengenalkan gagasan "kiri" yang dikenal sebagai gagasan yang kritis pada kekuasaan? Usaha menjawab pertanyaan tersebut dilakukan dengan penelusuran pada orientasi keilmuan era Orde Baru, terutama sekali keilmuan sosial yang menjadi salah satu basis penting bagi legitimasi kebijakan pada masa jabatan Presiden Soeharto.

Orientasi Ilmu Sosial Orde Baru

Hanneman Samuel dalam Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia dengan terang membagi orientasi keilmuan sosial Indonesia dalam dua zaman. Pertama adalah zaman kolonialisme Hindia Belanda yang berada di bawah kuasa lembaga KITLV (Koninklijk Instituut Vor Tall-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch- Indie) dengan orientasi keilmuan Indologi. Salah dua figur penting dalam pengembangan indologi adalah Snouck Hurgronje dalam kajian politik Islam dan J. H. Boeke dalam kajian dualisme ekonomi. Kedua adalah zaman pasca Kemerdekaan yang berkiblat pada Modernisme Amerika Serikat yang diusung oleh para ilmuwan sosial generasi awal Indonesia hasil didikan beasiswa tiga universitas terkemuka: Cornell University, Yale University, dan Massachusetts Institute of Technology. Hakikat kedua orientasi keilmuan tersebut sama: melayani kekuasaan rezim.

Orientasi Modernisme Amerikalah yang senyatanya masih bercokol kuat dalam tradisi pemikiran ilmu sosial Indonesia hari-hari ini. Dua hal yang menjadi fondasi bagi orientasi keilmuan tersebut adalah konteks kelahiran dan gagasan tekstual beserta praktik yang diwacanakan. Pertama adalah konteks kelahiran ilmu sosial modern yang, sebagaimana dijelaskan oleh Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae dalam kata pengantar bagi Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, berasal dari Perang Dingin sebagai upaya Amerika Serikat membendung laju gagasan Komunisme di Asia Tenggara secara umum dan Indonesia khususnya.

Kedua adalah gagasan tekstual yang diwacanakan oleh generasi awal ilmuwan sosial Indonesia yang menganut cara pandang Fungsionalisme dalam tradisi Talcott Parsons yang pada tahun 60-an hingga 70-an sedang menjadi teoritisi kanon dalam ilmu sosial global. Tesis dasar yang ditawarkan adalah bentuk-bentuk keharmonisan dalam setiap lembaga publik melalui konsep AGIL (Adaptation, Goal, Integration, dan Latency). Gagasan tersebut memuncak pada era Orde Baru melalui orientasi ideologis keilmuan sosial yang disebut oleh Ariel Heryanto dalam Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indonesia sebagai Pembangunanisme (Developmentalism).

Geger Riyanto dalam Selo Soemardjan Sang Penerjemah: Subjektivitas dalam Asal-Usul Cara Berpikir Sosiologis di Indonesia menjelaskan posisi generasi ilmuwan sosial awal, yaitu Selo Soemardjan yang memiliki andil besar dalam mengenalkan gagasan Modernisme Amerika. Berkat Selo Soemardjan, orientasi keilmuan sosial yang lekat dengan Pembangunanisme Orde Baru benar-benar tertanam kuat bertahun-tahun. Dikarenakan tidak saja menjadi dasar kurikulum di beberapa universitas awal, juga mampu mencapai pelajaran formal di jenjang sekolah hingga saat ini.

Puncak dari orientasi keilmuan tersebut adalah lahirnya birokratisasi ilmu sosial dan usaha-usaha normalisasi kampus. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada era Orde Baru didaulat sebagai lembaga yang bertujuan untuk melakukan legitimasi kebijakan pemerintahan. Siasat yang dilakukan adalah dengan mendudukkan kalangan akademisi yang berasal dari beberapa universitas sebagai pemangku jabatan struktural di LIPI. Sedangkan normalisasi kampus bertujuan untuk mengerdilkan gagasan ilmu sosial agar tidak melakukan penentangan pada kebijakan pemerintah melalui pembentukan pusat studi yang berpaku pada landasan ilmu pengetahuan yang objektif, netral, universal, dan solutif tentunya.

Pertautan yang sempurna antara konteks kelahiran dan gagasan tekstual berikut praktik-praktik yang dihasilkan adalah melahirkan sentimen anti-Komunisme sebagai salah satu wujudnya. Pemerintahan Orde Baru dengan sukses membendung laju gagasan Komunisme yang dilekatkan pada masa Demokrasi Terpimpin, sekaligus juga memberangusnya habis para penganutnya melalui tindak kejahatan kemanusiaan pada tahun 1965 hingga 1966 yang dibuktikan secara detail dalam Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional 1965. Posisi ilmu sosial jelas luruh dalam ideologi Pembangunanisme, bahkan menjadi alat legitimasi kebijakan Orde Baru.
Hantu Politik

Perdebatan dalam tayangan Mata Najwa edisi PKI dan Hantu Politik secara tegas membuktikan satu hal penting: bahwa ilmu sosial Indonesia saat ini belumlah mampu lepas dari cengkeraman Orde Baru. Karena senyatanya, meskipun terbilang lebih sah bagi perkembangan gagasan "kiri" dalam pandangan Kivlan Zen, universitas tidak serta merta mampu mengakomodasi dan mengembangkan gagasan keilmuan secara kritis. Malah sebaliknya, justru mewariskan dan melegitimasi sentimen anti-Komunisme yang sudah dibangun semenjak kekuasaan Orde Baru hingga saat ini melalui kurikulum pengajaran mata kuliah dengan kajian teoritik yang masih saja berkutat pada cara pandang Modernisme Amerika Serikat.

Tidak mengejutkan apabila penyitaan buku-buku berhaluan "kiri" masih akan terus berlanjut sebagai warisan paling gamblang dari ilmu sosial khas Orde Baru. Juga, narasi sejarah seputar gagasan Komunisme berikut nalar kelembagaannya tetap menjadi hantu politik yang masih saja "gentayangan demi kepentingan" kontestasi Pemilu 2019. Hantu politik yang turut lesap dalam stigma buruk setiap generasi tua hingga anak muda saat ini yang hampir mustahil memahami politik sejarah dan sejarah politik Indonesia secara mendalam dan kritis.

*Hartmantyo Utomo mahasiswa jurusan Sosiologi Fisipol UGM
 

Sumber: Detik.Com 

Babak Baru Perjalanan Dialita Membasuh Luka Tragedi '65


Oleh Reno Surya | 30 January 2019, 9:00am

Album kedua paduan suara para penyintas 1965 yang bertajuk 'Salam Harapan', dijanjikan bakal lebih terkonsep dibanding debut mereka, 'Dunia Milik Kita'.

Paduan Suara Dialita. Foto oleh Forumkotakhitam/Arsip dari Dialita

Dialita segera kembali menyapa telinga kita, lewat album kedua mereka yang berjudul Salam Harapan yang rencananya akan dirilis pada 31 Januari 2019 nanti. Kehadiran Dialita di kancah musik tanah air dibakukan pertama kali dengan lahirnya debut album bertajuk Dunia Milik Kita.

Melalui album yang kemudian akan membawa nama Dialita kerap terpacak di deretan album-album terbaik pada tahun itu, bahkan kami menyebutnya dua kali sebagai rilisan lokal terbaik 2016 versi VICE (serta layak dipertimbangkan sebagai album Indonesia terbaik sepanjang dekade kedua Abad 21.) Kali pertama dalam sejarah Indonesia penyintas pemenjaraan paksa 1965 bisa bebas merdeka menyanyikan lagu-lagu ciptaan mereka dan dibakukan pula dalam album.

"Meskipun isu tentang Komunisme selalu hadir, khususnya di tahun-tahun [politik] seperti ini, kami tidak pernah kehilangan harapan. Meskipun dalam keadaan negara sedang ‘gebuk sana, gebuk sini’,” tandas Uchikowati, salah satu anggota paduan suara Dialita, dalam sesi diskusi media bersama Dialita.

Hantu komunisme—kendati partainya sudah mampus lebih dari lima dekade lalu—memang kerap di bangkitkan pada masa-masa tahun politik. Wacana tersebut kemudian kembali di ’goreng’ sedemikian rupa, dengan tujuan tak ayal untuk kembali mempertebal fobia klasik, tentang kebangkitan komunisme di tanah air, yang faktanya tidak pernah terjadi.

Terlepas dari upaya goreng-menggoreng isu komunisme oleh buzzer politik, Dialita hadir semata-mata karena keinginan anggotanya untuk bernyanyi. Sebab nyanyian itulah yangbisa menumbuhkan semangat dan harapan, entah di penjara, entah pun kini ketika mereka sudah menghirup udara bebas.

Musik seolah hadir bak juru selamat bagi mereka. Musik menjadi perpanjangan tangan bagi Dialita untuk mendistribusikan narasi mereka tentang 1965. Mereka menyibak kabut gelap masa silam, dan mengantinya dengan sebuah Salam Harapan.

Sama seperti halnya album pertama, dalam prosesi penulisan album kedua ini, Dialita kembali berkolaborasi dengan musisi-musisi lain yang turut menyemarakkan kehadiran mereka. Bonita Adi, Junior Soemantri, Kartika Jahja, Endah Widiastuti, hingga penyanyi campurasari legendaris, Endah Laras, juga turut ambil bagian dalam Salam Harapan. Sebagian artis yang terlibat dalam pembuatan album adalah mereka yang dulu sempat urun tenaga dalam konser tunggal di Jakarta 2017 lalu.

Endah Widiastuti, satu dari dua personil kolektif Endah ‘N Rhesa mengaku pengalaman berkolaborasi dengan Dialita adalah sebuah pengalaman berharga. Hal senada juga diamini oleh Sita Nursanti, yang juga menjadi salah satu kolaborator dalam album kedua milik Dialita.

"Saya begitu tersentuh dengan lagu-lagu Dialita. Begitu bersahaja, indah dan begitu kuat mendalam maknanya. Semangat yang tulus para ibu untuk bernnyanyi dan berkarya menginspirasi saya untuk selalu berkarya dan bekerja dengan hati dan niat yg tulus," kata Sita.

Dibanding Dunia Milik Kita, album Salam Harapan dijanjikan akan lebih konseptual baik dari segi lirik maupun musik. Jika saja pada album pertama para penyintas bernyanyi secara otodidak dan terkesan ‘seadanya’, lewat polesan tangan Imada Hutagalung, Dialita kini berjanji menawarkan warna musik yang lebih rancak. Seluruh lagu yang akan dimuat dalam album kedua ini, ditulis oleh perempuan dan semuanya tercipta dari dalam bui.

"Kalau album sebelumnya kan ada yang ditulis sebelum tahun ’65, dan ada yang ditulis pada saat tahanan politik sudah dibebaskan setelah 1978. Lagu Salam Harapan yang sekaligus menjadi judul album ke-2 kami diciptakan oleh Ibu Murtiningrum, dari dalam penjara Bukit Duri," ujar Uchikowati, yang akrab dipanggil Ibu Uchi, kepada VICE.

Salam Harapan resmi dilahirkan pada 31 Januari 2019. Perayaan hadirnya album ke-2 Dialita rencananya disemarakkan denganpertunjukan musik dari Dialita, beserta seluruh kolaborator yang terlibat sepanjang proses pembuatan album ini, di Goethe-Haus, Jakarta.

"Kami tidak tahu peristiwa 1965 akan tuntas kapan. Mungkin saja besok, atau mungkin juga lusa. Bahkan mungkin tahun depan, atau sepuluh tahun lagi. Yang kami tahu," kata Uchi. "Kami telah berupaya dan ambil bagian untuk meluruskan sejarah panjang bangsa kita tentang peristiwa 1965."

Sumber: https://www.vice.com/id_id/article/d3mvxq/babak-baru-perjalanan-dialita?utm_campaign=sharebutton&fbclid=IwAR2P7dVvJ9OpUSkjSMHXDAj2eP67bvUYtGcpgY-dWkHdqUPg_hK3y_BZP8Q

Selasa, 29 Januari 2019

'Komunisme Itu Kayak Liverpool. Pernah Hebat, Sekarang Enggak Relevan'


Senin, 29 Jan 2018 14:55 WIB - Ria Apriyani

“Takut sama komunisme bangkit. Sekarang gini, kalau lu takut komunisme bangkit, di kepala lu tanamin gini; komunisme itu kayak Liverpool. Pernah hebat, sekarang enggak relevan." 

Rindradana, komika. Foto: Ria Apriyani/KBR.

KBR, Jakarta - Gelak tawa pecah dari ruang auditorium Abdurrahman Saleh, Gedung RRI, Jakarta, Sabtu sore lalu. Tujuh ratusan orang terpingkal tiap kali menyimak bit atau lelucon yang ditembakkan seorang komika. 
“Takut sama komunisme bangkit. Sekarang gini, kalau lu takut komunisme bangkit, di kepala lu tanamin gini; komunisme itu kayak Liverpool. Pernah hebat, sekarang enggak relevan. Lalu komunis dianggap bahaya laten. Di sini ada yang menganggap Liverpool itu bahaya laten? Tentu tidak,” seru Rindradana berstand-up comedy di atas panggung. 
Dia adalah Rindradana. Dan itu hari menjadi pertunjukkan tunggalnya. Di atas panggung, sesekali ia meneguk botol air yang diletakkan di sebelahnya sembari menyeka keringat.

Dengan gayanya lugas dan agak terbata-bata, Rindra kembali menembakkan punchline-punchlineyang berkisar tentang stigma, agama, dan segala hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan.

Saya menyaksikan dua jam pertunjukan Rindra. Semua kursi penuh terisi. Dan Sabtu itu, ia tampil dua kali; siang dan malam.

Sejumlah syarat pun diberlakukan ketika menonton. Pertama, tak dibolehkan mengambil gambar atau merekam dengan telepon genggam sepanjang acara berlangsung. Kedua, begitu memasuki ruang auditorium telepon genggam harus dimatikan. Jika ada yang melanggar, panitia berhak menghentikan acara secara sepihak.

Tata tertib itu sengaja diberlakukan demi menghindari ketidaksukaan sejumlah orang –yang mengutip kata Rindra di Twitter, mereka yang merasa tidak semua hal bisa dibecandain. Apalagi belakangan dua komika; Joshua Suherman dan Ge Pamungkas dilaporkan Forum Umat Islam Bersatu ke polisi.

Rindradana mulai mengenal dunia standup comedy pada 2012. Sejak itu, ia merasa bertemu jodoh. Medium dimana dia bisa menumpahkan keresahannya yang selama ini cuma jadi candaan di lingkungan pertemanan.

Dari awal, isu SARA memang selalu jadi tema besarnya. Sebabnya dia gerah melihat agama dijadikan alat menuduh orang sebagai penista, sesat, dan kafir. Akibatnya, banyak orang takut membahas hal itu di ruang publik karena ngeri jadi sasaran pelaporan ke polisi. Kritiknya juga tak hanya berhenti di fanatisme agama. Ada pula tentang aborsi atau penutupan kawasan prostitusi Dolly di Surabaya.

Dan yang menjadi pemantik tawa para penonton, ketika Rindra menyindir homophobic. 
“Takut sama homo. Homo homo homo! Homo itu katanya penyebar penyakit dan bertanggungjawab pada penyebaran setengah penyakit kelamin di dunia. Kalau setengahnya disebarkan sama homo, yang setengahnya lagi sama siapa? Ya sama yang enggak homo lah. Gimana sih?! Kenapa harus takut sama homo? Orang sama-sama nyebarin penyakit,” seru Rindradana berstand-up comedy di atas panggung. 
Bagi Rindra, ada banyak topik yang ogah dibicarakan masyarakat. Padahal, sikap menghindar itu justru berbahaya. Melalui lelucon, ia berharap kritik bisa tersampaikan tanpa melukai perasaan. 
“Enggak perlu jadi Tuhan buat orang lain. Kalau sudah kaku begitu, kita jadi mengesampingkan hal-hal yang patut dibahas. Buat saya, jalan yang tepat adalah menganggap SARA itu bukan sesuatu yang serius-serius amat. Kita berdamai dengan diri kita aja," tukasnya. 
"Dengan kita bisa menertawakan sesuatu yang tabu, kita akan menyikapi sesuatu lebih santai. Tidak merasa benar karena beda pandangan, tidak merasa kecil karena minoritas. Kita berdamai dengan keadaan-keadaan yang membatasi kita bisa akrab sebagai masyarakat,” sambung Rindra. 
Lima tahun menekuni standup comedy, dia sadar materi yang dibawakannya riskan. Beberapa kali Twitternya diserang dengan tudingan penghinaan dan diancam dibunuh. Selain Rindra, dua komika lain yakni Ge Pamungkas dan Joshua Suherman mesti berurusan dengan polisi lantaran materinya dianggap menghina agama Islam. Pihak yang mengatasnamakan Forum Umat Islam Bersatu itu melaporkan keduanya ke Bareskrim Polri.

Hal itu bermula dari video Ge Pamungkas dan Joshua yang viral di media sosial. Belakangan, ribuan cuitan dengan #BoikotGePamungkas dan #TangkapGedanJoshua bermunculan.

Hingga muncul perdebatan, apakah materi yang disampaikan Rindra, Ge, dan Joshua, bisa dikategorikan menghina agama?

Ramon Papana, salah satu pelopor standup comedy di Indonesia, mengatakan tidak ada batasan mengenai materi yang boleh dibawakan seorang komika. Hanya saja, seorang komika memang harus lihai mengolah bahan-bahan yang sensitif.
“Ini disebut juga personal comedy. Artinya yang dia bawakan isi hatinya dia, curhatnya dia, pengalaman hidupnya dia, pribadinya dia. Sangat personal. Di Amerika disebut smart comedy. Dia sampaikan isi hati dia dengan kecerdasan dan itu jadi bahan tertawaan orang, orang terhibur,” jelas Ramon ketika dihubungi KBR.
“Dengan kecerdasan seseorang bisa mengungkapkan perasaannya tanpa menista orang lain atau menyakiti orang lain. Kita kenal eufemisme, penggantian kata, pelembutan kata,” tambahnya.   
Seorang komika juga menurutnya, perlu menakar siapa audiens yang akan menyaksikan penampilannya. Menurut Ramon, biasanya setiap komika memiliki target audiens masing-masing. Dalam kasus Joshua dan Ge Pamungkas, hal itu jadi masalah ketika diunggah ke media sosial sehingga target audiens tidak lagi bisa dikontrol. Karena itu, akan sulit mengendalikan kemungkinan menyinggung seseorang.

Terlepas dari persoalan menghina atau tidak, dua jam pertunjukan tunggal Rindradana berjalan mulus. Tak ada cibiran, ujaran kebencian, maupun pelaporan polisi. Salah seorang penonton, Dika, menyikapi rentetan sindiran yang disampaikan Rindra di panggung dengan santai.
“Ketawa aja. Sebenarnya kalau di tongkrongan candaannya pasti keras. Tergantung orangnya aja nanggapinnya gimana,” ucap Dika. 
Editor: Quinawaty

Senin, 28 Januari 2019

Marx dan Kolonialisme Belanda di Indonesia

Pepijn Brandon
Batavia 1946. Kredit foto: Holandia bez tajemnic

Kawan-kawan sekalian,
SEBAGAI sejarawan kapitalisme yang mengkhususkan diri pada sejarah Belanda dan imperiumnya, saya selalu tergugah oleh bab-bab terakhir volume I dari Kapital-nya Marx. Di sana Marx memberikan gambaran yang memukau tentang fenomena historis yang seringkali penuh dengan kekerasan, yang berkontribusi bagi kelahiran sistem kapitalis, “menetes dari kepala ke kaki, dari setiap pori-pori, dengan darah dan kotoran.” Saya yakin bahwa kalian, sebagai pembaca IndoPROGRESS, sadar bahwa pada poin krusial dari eksposisi sejarahnya, Marx memberikan perhatian khusus pada kekerasan kolonial Belanda di Indonesia sebagai ilustrasi tentang proses yang terjadi secara umum ini. Dalam surat pertama saya ini, saya hendak mendiskusikan mengapa dan bagaimana Marx menggunakan contoh ini.
Marx menyebut tentang kolonialisme Indonesia beberapa kali dalam volume I Kapital, dan di beberapa tempat lain dalam karyanya. Tetapi bagian yang paling signifikan ada pada bagian awal bab tentang “Kelahiran Kapitalis Industrial”. Pokok bahasan bab ini adalah tentang perbudakan kolonial dan depopulasi brutal wilayah-wilayah jajahan yang mengiringinya. Setelah mengutip penilaian administrator kolonial Inggris Thomas Stamford Raffles bahwa sejarah kekuasaan Belanda di Asia adalah “salah satu hubungan paling luar biasa dari pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan ketidakadilan”, Marx melanjutkan:
Tidak ada yang lebih menggambarkan karakter dari sistem mereka yang menculik manusia untuk mendapatkan budak-budak untuk pulau Jawa. Sang penculik, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen utama dalam perdagangan ini. Orang-orang muda yang diculik dilemparkan ke penjara-penjara rahasia di Celebes, sampai mereka siap untuk dikirim lewat kapal-kapal budak. Sebuah laporan resmi mengatakan:
“Kota di Makassar ini penuh dengan penjara-penjara rahasia, yang satu lebih mengerikan daripada yang lain, dipadati oleh orang-orang tak beruntung, korban ketamakan dan tirani yang dirantai, dipaksa untuk berpisah dengan keluarga mereka.”
… Di mana pun [Belanda] menginjakkan kaki, kehancuran dan depopulasi mengikuti. Banyuwangi, provinsi di Jawa, pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80.000, di tahun 1811 hanya 18.000. Perdagangan yang manis!
Kemunculan kritik Marx atas kolonialisme Belanda di Indonesia dalam bab tentang “Kelahiran Kapitalis Industrial” adalah hal yang menarik secara teoretis. Meski judulnya menunjukkan bahwa teks tersebut akan berfokus pada tahapan-tahapan awal revolusi industri di Inggris, kenyataannya ia mengulas materi yang lebih luas. Bagian yang paling terkenal dari teks ini mengilustrasikan luasnya visi global Marx: “Penemuan emas dan perak di Amerika, pemotongan bagian tubuh, perbudakan, dan penguburan orang-orang Aborigin dalam tambang-tambang, awal penguasaan dan penjarahan Hindia Timur, Afrika yang diubah menjadi tempat resmi dari perburuan komersil orang-orang kulit hitam, menandakan terbitnya era produksi kapitalis. Perkembangan-perkembangan ini adalah momen utama akumulasi primitif.”
Tetapi pembahasan Marx tentang kekerasan tidak berhenti dengan relasi predatoris antara kekuatan-kekuatan Eropa yang tengah bangkit dan belahan dunia sisanya. Dalam bab tersebut, Marx juga membahas bagaimana peningkatan kompetisi global mengubah masyarakat Eropa dan institusi negaranya, menjelaskan perang-perang dagang antar kekuatan Eropa, juga munculnya hutang publik, pajak negara, dan sistem kredit internasional. Tidak ada bagian yang spesifik di mana Marx menjelaskan bagaimana persisnya elemen-elemen ini berkontribusi pada kebangkitan industri kapitalis. Justru teks tersebut menunjukkan variasi mekanisme. Barangkali yang paling jelas adalah bahwa ekspansi ke wilayah asing telah menolong bangsa-bangsa Eropa untuk memanen harta karun dunia yang dijadikan kapital. Secara signifikan, Marx merujuk kepada sistem kolonial Belanda sebagai contoh utama. “Harta karun yang diraup di luar Eropa lewat penjarahan, perbudakan, dan pembunuhan, diapungkan kembali ke ibu pertiwi dan di sana dijadikan kapital.” Mekanisme kedua yang dijelaskan oleh Marx adalah bahwa petualangan-petualangan militer negara ke tempat-tempat asing berfungsi sebagai pengungkit untuk mengonsentrasikan dana dalam jumlah besar di tangan orang-orang kaya, dan memungkinkan investasi mereka keluar dari batasan-batasan yang biasanya menjadi ciri dari sistem produksi lokal. Dengan demikian, negara-negara Eropa menganugerahi “uang dengan kuasa untuk beranak-pinak dan menjadikannya kapital”.
Namun mekanisme yang final dan terluas cakupannya menurut Marx dalam bab ini adalah bagaimana perang-perang ekspansi dan kolonialisme menyuguhkan model-model yang kuat dan contoh-contoh praktis tentang pemisahan pekerja dari alat produksinya untuk bertahan hidup, dan mengorbankan mereka untuk industri modern. “Sistem kolonial, hutang publik, pajak tinggi, proteksi, perang dagang, dll., anak-anak dari periode manufaktur ini, meningkat secara pesat selama masa-masa awal industri modern. Kelahiran yang terakhir ini ditandai dengan penyembelihan orang-orang tak bersalah. Seperti angkatan laut kerajaan, pabrik-pabrik dibangun lewat paksaan.” Inilah visi yang sangat jauh berbeda dengan paham liberal, yang juga popular di zaman Marx dan di antara sejarawan ekonomi modern, tentang kebangkitan industri sebagai kemenangan yang stabil dari buruh yang merdeka dan berkontrak. Marx paling kuat mengekspresikan pemikiran ini dengan berulang kali kembali ke isu “penculikan dan perbudakan anak” sebagai komponen yang niscaya dari “transformasi eksploitasi manufaktur menuju eksploitasi pabrik, dan pendirian ‘relasi yang benar’ antara kapital dengan tenaga kerja.” Bagi Marx, setelah perbudakan di Amerika, kekerasan kolonial di Indonesia menyuguhkan contoh yang prima tentang bagaimana kekerasan digunakan untuk menciptakan prakondisi perkembangan kapitalis. Dan dalam terang pembahasan di atas, tidaklah mengejutkan bahwa “penculikan orang-orang muda” lewat perdagangan budak Hindia Belanda menjadi pusat dari kritiknya.
Ada banyak alasan mengapa Marx sangat menyoroti sejarah kolonial Belanda di Asia dalam bab ini. Semoga kita dapat membahasnya dengan lebih detil di waktu yang akan datang. Salah satunya adalah keyakinan Marx, yang terekspresikan dalam artikelnya yang terkenal di tahun 1853 “Pemerintahan Inggris di India”, bahwa ekspansi Belanda di Asia yang lebih awal telah menyediakan model bagi penguasaan Inggris atas India. Latar belakang penulisan Marx juga dapat menjadi faktor besar. Belanda secara formal menghapuskan perbudakan di koloni Hindia Belanda-nya di tahun 1860, hanya tujuh tahun sebelum Marx menerbitkan volume I Kapital. Pada saat yang sama, kerja paksa sebagai instrumen kunci eksploitasi kolonial masih berlangsung dalam bentuk ‘sistem tanam’, dan Belanda melancarkan kampanye-kampanye militer dan perang dalam skala besar untuk memperluas cengkeramannya atas seluruh wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Akhirnya, contoh kolonialisme Belanda di Indonesia menolong Marx untuk menunjukkan bahwa jenis proses yang dia sebut “akumulasi asali”, walaupun beroperasi secara partikular di Inggris, pada dasarnya berciri transnasional. Sebagai “model bangsa kapitalis abad ke-17”, Republik Belanda dan kebijakan-kebijakan kejamnya di luar negeri menyediakan kasus yang jelas untuk melihat secara lebih luas dari kepulauan Britania.
Banyak sejarawan Marxis tentang asal-mula kapital yang belakangan mengabaikan proses dan perbandingan dalam skala internasional yang demikian. Mereka lebih berfokus pada “karakteristik spesial” yang menjadikan Inggris sebagai bangsa industrial pertama, sembari mengabaikan banyak aspek global dari argumen Marx. Sementara itu, banyak sejarawan Belanda telah secara sistematis menganggap enteng peran yang dimainkan oleh kekerasan kolonial dari negara ini di masa lalu, dan suara-suara balasan dari koloni-koloni lama Belanda telah lama diabaikan. Generasi sejarawan baru di Belanda kini menantang pandangan-pandangan ini dari perspektif kritis. Lewat surat ini, saya harap saya tidak hanya membagikan beberapa penemuan saya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengundang respons dan kritik dari kalian semua. Jadi tolong, kawan-kawanku sekalian, tulislah surat-surat balasan. Pertanyaan mengenai “akumulasi asali” adalah lebih dari sekadar minat sejarah. Ia merujuk pada sentralitas kekerasan dalam kapitalisme global di masa lalu, tetapi juga membangkitkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang hakikat kekerasan dalam eksploitasi ekonomi di dunia hari ini.***
____
Pepijn Brandon adalah Asisten Profesor dalam Sejarah Sosial dan Ekonomi di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan Peneliti Senior di International Institute of Social History. Ia juga berafiliasi dengan Huntington Library, University of Pittsburgh, dan Harvard University. Ia telah mempublikasikan secara luas penelitiannya tentang sejarah perang, kolonialisme, dan perbudakan di imperium Belanda, juga tentang ide-ide Karl Marx dan Rosa Luxemburg. Monograf-nya War, Capitalism, and the Dutch State (1588-1795) telah diterbitkan dalam seri Historical Materialism dari penerbit Brill/Haymarket.
Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.
Sumber: IndoProgress 

Manuver Politik Jelang Pemilu 1955


Nur Janti | 28 Februari 2019

Hiruk-pikuk pemilu nasional pertama pada 1955. Dari Kampanye yang penuh hiburan sampai polemik antar-elite.

Contoh surat suara yang digunakan NU dalam sosialisasi pemilu 1955. Sumber: KPU DIY.

SUARA gamelan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Warga desa berbondong-bondong langsung mendatanginya untuk menonton. Pentas ketoprak di lapangan kampung itu merupakan bagian dari kampanye yang dilakukan PKI.

Lantaran bagian dari kampanye, dialog para pemain dalam ketoprak itu banyak berisi slogan-slogan komunis. Para pemain ketoprak biasanya sudah ahli dalam menyisipkan slogan partai tanpa mengganggu isi cerita. Teknik ini sangat efektif dalam mempopulerkan slogan karena bisa lama diingat dan disukai warga desa.
“Orang-orang desa banyak berdatangan karena pada umumnya kekurangan hiburan. Sejauh itu, belum ada partai politik lain di Yogyakarta yang memiliki ide kampanye seperti PKI,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta.
Selain menggelar kesenian tradisional, PKI juga berkampanye dengan cara melakukan kunjungan langsung terhadap calon pemilih atau anjang sana. Untuk mencegah kejenuhan calon pemilih gara-gara dikunjungi kader yang itu-itu saja, PKI di Gunung Kidul membuat sistem rolling. Tiap kader mengunjungi tempat yang berbeda dalam satu periode. Cara ini cukup efektif karena pemilih yang rumahnya sering dikunjungi biasanya pakewuh kalau tidak memberikan suara.

Partai politik selain PKI biasanya membatasi diri pada ceramah tentang masalah yang sedang hangat, program partai, dan pemasangan poster partai. Ceramah biasanya dilakukan di tempat terbuka, semisal Stadion Kridosono. Partai yang tidak punya cukup anggaran kampanye, seringkali menarik pemimpin formal, informal, atau tokoh masyarakat berpengaruh sebagai kader untuk menjaring suara. Ikatan kekeluargaan bahkan menjadi jalan terbaik untuk melakukan pendekatan di desa.

Selain kampanye dari partai politik, sosialisasi mengenai pentingnya mengikuti pemilu, tugas konstituante, dan peran partai politik, juga dilakukan Kementerian Penerangan yang bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri. Tugas ini cukup sulit dilakukan mengingat angka buta huruf sangat tinggi. Di Yogyakarta, misalnya, angka buta huruf mencapai 60%.
 “Penduduk perkotaan biasanya mempunyai hubungan yang lebih erat dengan partai politik. Mereka lebih terdidik serta lebih paham dibanding penduduk di pedesaan,” tulis Selo Soemardjan.
Di masa kampanye untuk Pemilu 1955 itu, persaingan antarpartai sangat terlihat, terutama partai dengan sasaran massa yang sama semisal NU dan Masyumi –NU memisahkan diri dari Masyumi pada 1952. Kedua partai berbasis agama ini bersaing untuk menarik dukungan para santri.
Masyumi juga sempat bersitegang dengan Sukarno pada 1953. Kala itu, terjadi polemik antara Presiden Sukarno  dan pemimpin Masyumi Isa Ansyari. Sukarno menginginkan negara kebangsaan daripada negara Islam. Sementara, Isa Ansyari menganggap sikap Sukarno sebagai pengingkaran hak-hak demokratis orang Islam.

Sementara, PKI dan PNI bersaing untuk mendapatkan dukungan kaum abangan. Pejabat abangan dan elite sosial cenderung mendukung PNI karena identik dengan nasionalisme. PNI sangat membanggakan kedekatannya dengan Sukarno dan menggunakannya sebagai bahan kampanye. Mereka juga mengklaim punya peran besar dalam menentang kolonialisme. Dengan taktik kampanye ini, PNI cukup berhasil. Di Jakarta, para pegawai negeri sipil, kecuali pegawai Kementerian Agama, lebih banyak yang memilih PNI.

Alhasil, PNI mendapat suara terbanyak dalam pemilu 29 September 1955 yang diikuti 118 peserta dengan 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan. PNI tercatat memperoleh 22,3% suara. Meski jumlah suara yang didapat PNI lebih banyak dari Masyumi dengan 20,9%,  keduanya mendapat 57 kursi di DPR.

Sementara NU mendapat 45 kursi dengan perolehan suara 18,4%. PKI mendapat 39 kursi dengan perolehan 16,4% suara. 
"PKI, PNI, NU merupakan partai-partai besar di Jawa Timur dan Tengah. Sedangkan Masyumi kuat di semua provinsi, kecuali Jawa Timur dan Tengah," tulis William Liddle dalam Partisipasi dan Partai Politik.
Tingginya suara Masyumi di berbagai provinsi sudah dibuktikan pada pada pemilu percobaan di daerah. Tahun 1951 di Yogya, misalnya, Masyumi memenangkan 15 dari 40 kursi DPRD DIY. Selo Soemardjan menyebut, kemenangan Masyumi lantaran kuatnya Muhammadiyah di Yogyakarta.

Sumber: Historia 

Kamis, 24 Januari 2019

Usul Jaksa Agung Razia 'Buku PKI': Menyesatkan dan Inkonstitusional

Oleh: Haris Prabowo - 24 Januari 2019

Jaksa Agung HM Prasetyo menyampaikan paparan kinerja dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan razia buku PKI besar-besaran. Pernyataan ini menunjukkan dia tak paham hukum. Itu sudah lama dilarang MK.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan sesuatu yang konyol di era serba digital seperti sekarang: merazia besar-besaran buku cetak yang terindikasi menularkan “komunisme” dan ideologi terlarang lainnya. Hal ini ia katakan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu 23 Januari 2019.
“Mungkin perlu dilakukan razia buku yang memang mengandung PKI dan dilakukan perampasan di mana pun buku itu berada,” katanya.
Dikatakan konyol karena sebagai aparat negara ia pura-pura lupa bahwa razia tanpa proses peradilan tak lagi diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi—satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan Undang-Undang Dasar. Putusan yang dimaksud adalah putusan MK Nomor 20/PUU-VIII/2010 [PDF]. 

Menurut Prasetyo, razia besar-besaran perlu dilakukan karena pada beberapa kali razia sejak satu bulan terakhir, para pemilik toko yang bukunya disita mengaku apa yang mereka jual juga dijajakan di tempat lain. 

Pernyataan Prasetyo ini kontan dicibir banyak pihak, dan itu wajar belaka. 

Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, menegaskan usulan HM Prasetyo itu inkonstitusional.
“Itu tentu saja salah besar. Harusnya Jaksa Agung harus mengikuti putusan MK yang sudah jelas, sudah jelas sekali, tidak memperbolehkan lagi melakukan penyitaan dan razia buku. Bukan malah membuat pernyataan yang menyesatkan seperti itu,” kata Bivitri saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019) malam.
Dalam putusan tersebut, kata Bivitri, terdapat sejumlah pertimbangan hukum dan kewenangan aparat dalam urusan melarang buku.
“Jika memang seandainya buku itu bermasalah, maka harus ada proses pengadilan terlebih dahulu dan ada putusannya. Logikanya [Prasetyo] terbalik. Toko-toko itu protes karena dirazia, bukannya malah dirazia lagi. Razia itu salah,” kata perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 ini.
Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menilai ucapan HM Prasetyo untuk merazia buku secara besar-besaran membahayakan demokrasi di Indonesia.
“Ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan hukum di Indonesia,” kata dia.
Menurut Isnur, pernyataan HM Prasetyo tidak hanya inkonstitusional, tapi juga tidak menghormati MK sebagai institusi penegak konstitusi.
“Itu sebenarnya, bahasa kami adalah 'keparahan yang maksimal'. Kekeliruan yang sangat besar dan berbahaya,” tambahnya.
Isnur menyarankan agar HM Prasetyo membaca ulang dengan seksama dan menghargai putusan MK serta UUD 1945. Ia juga menyarankan para bawahan Jaksa Agung untuk melakukan hal serupa agar mereka tak melakukan apa yang bosnya katakan.

Jaksa Agung Harus Dievaluasi


Melihat pejabat sekelas Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan yang menyalahi hukum, Isnur mengatakan seharusnya DPR memberikan peringatan keras ke Prasetyo. DPR harus menegaskan mana yang benar dan mana yang salah sesuai aturan.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk bertindak. HM Prasetyo, katanya, harus dievaluasi.
“Presiden harus segera melakukan evaluasi terhadap Jaksa Agung. Presiden bertanggung jawab terhadap tindak tanduk Jaksa Agung, dan menghentikan usulan tersebut,” kata Anam. “Presiden juga harus menghentikan razia dan perampasan buku.”
Anam menilai tindakan HM Prasetyo tersebut tidak hanya berupaya menyeret kembali Indonesia ke masa otoritarianisme Orde Baru, namun juga mencoreng janji dan komitmen Jokowi untuk patuh dan taat pada hukum.

Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz

Sumber: Tirto.Id 

Menhan Sebut Masih Ada Gerakan Komunis, Rapatnya di Warung Makan

Kamis, 24 Januari 2019 | 12:01 WIB

Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu (kanan) menyapa perwira Kostrad.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mendukung upaya razia besar-besaran terhadap buku yang berisi ajaran komunisme. 

Beberapa waktu lalu, sejumlah buku yang disinyalir mengandung paham PKI atau komunis, dirazia di beberapa toko buku di Jawa Timur. 
Ryamizard menegaskan, tidak boleh ada lagi paham komunis di Indonesia pasca PKI pada 1965 lalu. Namun, ia mensinyalir kini ada lagi pergerakan-pergerakan komunis. 
"Kalau mereka tidak berbuat apa-apa, enggak ada masalah. Ini rapat sana, rapat sini. Bukan kita enggak tahu rapat apa. Itu mau apa? Basa sajalah. Kenapa rapat di tempat makan, kayak serius," ujar Ryamizard, di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 24 Januari 2019. 
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menjelaskan paham komunis memang masih ada saat ini di beberapa negara seperti Rusia, China maupun Korea Utara.
Bahkan, negara-negara itu berteman baik dengan Indonesia. Namun ia meminta agar masyarakat Indonesia tidak ada lagi yang suka dengan komunis. Sebab, komunis pernah membuat sejarah kelam di Tanah Air. 
Kata Ryamizard, komunis yang ada di Indonesia melalui PKI, sudah tiga kali memberontak yakni 1926, 1948, dan 1965.
"Sudahlah, saya sudah sampaikan kemarin, tidak usah suka komunis. Komunis di Rusia, China, teman semua kok, enggak ada masalah," katanya.
Beredarnya buku-buku komunis, menurutnya, juga sangat membahayakan. Maka, sesuatu yang masih kecil, harus diantisipasi agar tidak membesar. 
"Ini masalah dendam. Dendam itu. Ini kita kecilkan lagi, kalau gede susah lagi. Belum lagi paham radikal, sama itu. Saya ngerti, bahaya negara ini," katanya. 
Sumber: Viva.Co.Id 

Sabtu, 19 Januari 2019

Asahan Alhamdulillah Aidit: Yang Tersisa dan Terasing


Oleh: Irfan Teguh - 19 Februari 2019

Ilustrasi Asahan Alham yang disadur dari foto profil akun Facebook. tirto.id/fiz
"Betapa jemu dan jenuhnya hidup ini. Sejarah sudah tidak bisa dibetulkan dari belakang,” tulis Asahan Alham.
Abdullah Aidit menikah dua kali. Dari pernikahannya dengan Mailan, istrinya yang pertama, ia mempunyai empat orang anak: Achmad Aidit (Dipa Nusantara Aidit), Basri Aidit, Ibrahim Aidit, dan Murad Aidit. Sementara dari pernikahannya yang kedua, yakni dengan Marisah, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu Sobron Aidit dan Asahan Aidit.

Sampai tahun 1992, tiga orang anaknya yang pertama telah meninggal dunia. Ibrahim Aidit meninggal saat usianya belum genap sehari. Abdullah sendiri meninggal pada 1968. Saat menikah dengan Marisah, perempuan itu membawa dua orang anak yaitu Rosiah dan Muhammad Thaib. Maka dalam memoarnya, Sobron Aidit menyebut mereka sebagai tujuh bersaudara.
 “Kini kami yang dulu bertujuh saudara, tinggal tiga lagi. Saya di tengah. Abang saya Murad di Depok, dan adik saya Asahan Alham di Hoofddorp, Holland,” tulisnya dalam salah satu ceritanya yang dihimpun dalam buku bertajuk Potret Diri dan Keluarga (2015). Tulisan itu dibuat Sobron pada Desember 2002. Lima tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2007, ia meninggal dunia.
Sementara kakaknya, Murad Aidit menyusul setahun kemudian. Kini anak Abdullah Aidit tinggal menyisakan si bungsu, Asahan Aidit atau Asahan Alham. Asahan mengganti nama belakangnya saat ia mengajukan kewarganegaraan di Belanda pada 1984. Alham adalah singkatan dari Alhamdulillah. Warsa 2006, nama itu dipakai juga untuk judul roman memoarnya, yakni Alhamdulillah. Ia lahir di Tangjungpandan, Belitung, pada Desember 1938.

Setelah menyelesaikan SMA, ia mendaftar di Jurusan Sastra Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1961, Asahan mendapat beasiswa dari Universitas Persahabatan Patrice Lumumba di Moskow. Gelar Magister Humaniora ia raih pada 1966. Artinya, saat terjadi peristiwa G30S yang menewaskan kakak sulungnya, juga kemudian menyeret beberapa kakaknya yang lain ke dalam tahanan Orde Baru, Asahan tengah tinggal di Moskow. Ia tentu saja tak memilih pulang ke Indonesia, sebab bahayanya amat nyata. Mulai dari sinilah kehidupannya terombang-ambing di beberapa negara. Kehidupan yang memaksa, bukan kehendaknya, yang kemudian membuatnya “balas dendam” untuk membuat kehidupan sendiri, baik di dunia nyata maupun lewat sejumlah cerita.
 “Setiap kehidupan manusia adalah juga sebuah film dengan dua macam skenario: oleh dirinya sendiri atau oleh orang lain. Dua pertiga dari hidup saya telah dengan skenario orang lain […] Saya ingin menyelesaikan adegan dua pertiga dengan skenario orang lain ini dengan skenario saya sendiri dalam usia yang mendekati setengah abad dengan petualangan baru atas ongkos sendiri dan bukan oleh pemerintah atau partai politik,” tulisnya dalam Alhamdulillah seperti dikutip Henri Chambert-Loir dalam “Ideologi sebagai Penyakit Turunan: Dunia Asahan Alham” (Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan, 2018).
Seperti para eksil lainnya, Asahan menulis sejumlah buku. Mula-mula ia menulis dua kumpulan puisi, Perjalanan dan Rumah Baru (1993) serta 23 Sajak Menangisi Viet Tri (1998). Memasuki tahun 2000-an, empat bukunya terbit: Perang dan Kembang (2001), Cinta, Perang dan Ilusi: Antara Moskow dan Hanoi (2006), Alhamdulillah (2006), dan Azalea: Hidup mengejar Ijazah (2009). Para korban 1965 yang hidupnya diobrak-abrik Orde Baru tentu tak hendak melupakan pengalamannya begitu saja. Di dalam negeri, orang-orang yang di-Buru-kan menulis memoar. Pramoedya Ananta Toer yang menulis dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Hersri Setiawan dengan Memoar Pulau Buru dapat disebut sebagai contoh. Di luar negeri, mereka yang tak bisa pulang juga menulis. Bahkan dalam catatan Loir, autobigrafi yang ditulis para eksil lebih banyak dari yang ditulis para tapol. Jumlahnya mencapai 42 buah. Sobron Aidit misalnya, kakak Asahan ini menulis sejumlah buku seperti Surat kepada Tuhan, Cerita dari Tanah Pengasingan, Razia Agustus, dan lain-lain. Jika Pramoedya Ananta Toer dan Hersri Setiawan dalam buku yang disebutkan di atas menulis secara gamblang pengalamannya, Sobron dan terutama Asahan kerap agak menyembunyikannya dalam balutan fiksi, atau Sobron menyebutnya sebagai “seni estetika”.

Dalam Potret Diri dan Keluarga (2015) yang dalam sampulnya tertulis sebagai “kumpulan cerpen”, Sobron menyebut 85 persen tulisannya adalah kenyataan sesungguhnya, sementara sisanya adalah tambahan keindahan seni yang tidak bertentangan dengan kejadian yang sesungguhnya. Dalam hal ini, meski Sobron hendak mengukir tulisannya dengan apa yang ia sebut sebagai “seni estetika”, tapi nampaknya ia kesulitan untuk berkelit dari kenyataan yang sesungguhnya. Dan ia memang mengakuinya.
 “Barangkali inilah salah satu kelemahan tulisan saya, yaitu saya selalu menuliskan apa yang saya alami, apa yang saya lihat, dan apa yang saya rasakan. Dari semua tulisan saya yang ada hingga kini, tak lebih dari 5 persen yang bisa saya tuliskan secara fantastis. Kebanyakan dan mayoritasnya adalah kebenaran yang terjadi pada diri saya dan keluarga,” ungkapnya dalam pengantar Potret Diri dan Keluarga (2015).
Sementara Asahan dengan terang dan jelas menyatakan bahwa autobiografi memang tak ada dan tidak akan pernah bersih dari fiksi dan fantasi. Menurutnya, semua autobiografi paling hanya memuat 70 persen kisah yang berdasarkan fakta, selebihnya kembang susastra yang melekat dan tak bisa dipisahkan. Prinsip Asahan inilah yang kemudian digeledah oleh Henri Chambert-Loir dalam “Ideologi sebagai Penyakit Turunan: Dunia Asahan Alham”. Di luar dua kumpulan sajaknya, Loir menyelisik empat tulisan Asahan yang masing-masing dilabeli sebagai “roman”, “memoar”, “roman memoar”, dan “cerpen memoar”. 
 “Kita bisa langsung menduga bahwa roman memoar dan cerpen memoar adalah genre paduan yang dapat didefinisikan sebagai teks sastra (roman dan cerpen) yang diilhami kehidupan pengarangnya, atau sebagai memoar bercampur fiksi, tergantung apakah kita ingin menekankan unsur fiksional atau unsur otentik di dalamnya,” tulis Loir.
Klayaban di Uni Soviet, Vietnam, dan Belanda Setelah lulus dari Universitas Persahabatan Patrice Lumumba di Moskow, Asahan pindah ke Vietnam yang kala itu tengah dilanda perang. Menurut Loir, keputusan itu diambil karena disuruh oleh Delegasi Comite Central PKI yang dibentuk di Beijing, yang bertindak atas nama Partai dan memiliki wewenang atas semua anggota partai yang berada di luar negeri. 
 “Di sana, bersama beberapa puluh kawan, dia mengikuti latihan militer dan ideologi selama beberapa tahun, di bawah perintah bersama Partai Komunis setempat dan Delegasi. Jauh di kemudian hari, pada tahun 1974, barulah dia ditempatkan di universitas,” tulisnya.
Sementara menurut Harsutejo, penyunting Cinta, Perang dan Ilusi: Antara Moskow-Hanoi (2006), seperti ia tulis dalam pengantar buku tersebut, alasan Asahan pindah ke Vietnam berbeda dengan kawan-kawannya yang mendapat tugas Partai. Asahan diperkirakan jenuh dengan situasi yang dihadapinya di Uni Soviet. Namun, ketika sampai di Vietnam, semuanya sama saja, para pemuda itu disebut sebagai “belajar revolusi”.
 “Ketika kereta api yang membawanya memasuki perbatasan Vietnam dan Tiongkok, mereka sudah diperkenalkan dengan pemboman pesawat-pesawat Amerika Serikat. Sampai bertahun-tahun kemudian, dia dan kelompoknya mengalami perang besar yang dahsyat itu, baik dari pinggir maupun dari tengah-tengahnya,” terang Harsutejo.
Sebelum Perang Vietnam berakhir pada 1975, Asahan sempat menulis disertasi tentang perbandingan antara peribahasa Indonesia dan Vietnam. Lalu setelah itu, meski perang telah selesai, ia tak dapat segera meninggalkan Vietnam. Penderitaan masih datang bertalu-talu. Lapar dan kemiskinan mengancam. Perang juga telah menghancurkan “sekolah revolusi”-nya.
 “Sekolah revolusi saya telah hancur berantakan dirobohkan oleh guru-gurunya sendiri, lalu mereka pada lari lintang-pukang mencari rezekinya sendiri-sendiri. Setiap orang hanya memikirkan nasibnya sendiri dan mencari jalannya sendiri,” ungkapnya. 

Pemerintah setempat mengancam Asahan karena ingin meninggalkan Vietnam. Ia dan keluarganya diasingkan ke tempat yang sangat jauh dari Hanoi. Demi meninggalkan Vietnam, di tempat pengasingan ia melakukan protes dengan cara berbaring di tengah jalan raya yang ramai selama lebih dari dua belas jam. Perjuangannya tak sia-sia.

Di pengujung 1983, ia akhirnya mendapatkan kembali paspornya yang sebelumnya dinyatakan hilang. Sejak Oktober 1983 Asahan tinggal di Belanda. Kehidupan Asahan di luar negeri, setidaknya saat ia tinggal di Vietnam yang digambarkan lewat Cinta, Perang dan Ilusi: Antara Moskow-Hanoi (2006), menurut Harsutejo merupakan salah satu contoh tentang beratnya menjalani hidup sebagai kaum eksil. Ia menekankan hal tersebut karena banyak korban tragedi 1965 di Indonesia yang beranggapan bahwa kawan-kawannya yang bermukim di luar negeri hidupnya tenteram dan damai. “[Mereka menganggap kawan-kawannya yang tinggal di luar negeri] telah menikmati ‘sorga negeri sosialis’, dilanjutkan dengan ‘sorga negeri kapitalis’ tanpa dipikirkan tentang pelbagai gejolak, tekanan, pertentangan tajam, keadaan dan hari depan tidak pasti, iklim dingin menggigit bersama kesepian, rindu sanak saudara, dan tanah air yang mereka alami,” tulisnya.

Namun, “pembelaan” Harsutejo itu tidak serta merta menjadikan Asahan sama dengan para eksil yang lain. Dalam catatan Loir, beberapa hal mendasar, dilihat dari sejumlah karyanya, Asahan tidak menulis untuk memulihkan identitas Indonesianya sehingga dapat pulang dan diakui sebagai warga negara Indonesia lagi.
 “Tidak ada tuntutan identitas, tidak ada kebutuhan akan pengakuan. Dia tidak menulis supaya diakui dan diterima oleh khalayak mana pun,” ungkapnya. 
Menurut Loir, Alhamdulillah (2006) merupakan tulisan Asahan yang paling cermat merumuskan konsepsi tentang dirinya dalam sejumlah tulisan yang ia buat. Dalam roman memoar itu, alih-alih mengharapkan pengakuan khalayak, Asahan lebih menengok ke dalam dirinya.
“Saya ingin melihat diri saya di dalam apa yang saya pikirkan, saya fantasikan, saya abadikan dan karenanya saya menulis yang barangkali tidak cepat saya temukan dalam satu kali tulis, mungkin harus berkali-kali saya lakukan atau mungkin seumur hidup hingga saya menemukannya atau tidak pernah menemukannya,” tulisnya dalam Alhamdulillah seperti dikutip Loir. Ihwal karya-karyanya—terutama sajak—A. Kohar Ibrahim, kawan Asahan, pernah mengungkapkan kepada Fairuzul Mumtaz dalam buku yang judulnya seperti buku motivasi, yakni 50 Kisah Sukses & Inspiratif Diaspora Indonesia Lintas Negara, Lintas Bidang (2014).
Menurut Ibrahim, dari sekian banyak penyair Indonesia di luar negeri, karya Asahan ia anggap sebagai yang paling kuat,
 “Baik dalam keharmonisan pengungkapan isi maupun dukungan bentuknya. Kekuatannya terutama dalam menyatakan perasaan dan pikirannya yang lugu, bening dan cerah. Meskipun, mungkin saja, kecerahannya itu bagi sementara pembacanya dirasakan terlampau sekali. Hingga bukan lagi kesejuk-hangatan yang dirasakan, melainkan kegerah-panasan. Hingga menggelisahkan,” ungkapnya. Asahan menikah dengan Sen, perempuan Vietnam, anaknya yang bernama Tri meninggal secara misterius di pantai Inggris, di Dover.
“Ada dua pendapat bahwa Tri bunuh diri atau dibunuh entah oleh siapa,” tulis Sobron Aidit dalam Catatan Spiritual di Balik Sosok Sobron Aidit (2005)
 Meski Loir, lewat pembacaan karya-karya Asahan, lebih melihatnya sebagai eksil yang lebih menempuh perjalanan ke dalam diri, tapi penyair Mawie Anata Jonie seperti dikutip Fairuzul Mumtaz sempat menulis sajak “Kepada Penyair Heri Latief dan Asahan Aidit”, yang isinya menyiratkan kerinduan kepada tanah air.
“…Puisi adalah rumahku, senjata dan harta yang kita punya Tempat aku berteduh, hatiku menembus batas benua dan negeri Bilakah perahu yang kita tumpangi hari ini sempat merapat di dermaga Kita tidak tahu, mungkin saja kita sudah tidak bisa bicara lagi” Ya, mungkin saja, dan memang sangat manusiawi jika Asahan juga merindukan kampung halamannya. 
 Namun yang pasti, lewat Azalea: Hidup mengejar Ijazah (2009) yang menurut Loir dalam “Ideologi sebagai Penyakit Turunan: Dunia Asahan Alham” merupakan autobiografi paling introspektif di seluruh jenisnya di Indonesia, Asahan menulis: “[…] Betapa jemu dan jenuhnya hidup ini. Sejarah sudah tidak bisa dibetulkan dari belakang.”

Editor: Nuran Wibisono

Dilarang Baca Buku!


Sabtu, 19 Januari 2019

Foto: dok. detikcom
"Saya diperlakukan seperti binatang dengan ditampar, telapak kaki ditindih pakai kaki meja yang diduduki."
Pagi-pagi sekali, beberapa orang berpakaian preman memasuki gedung Laboratorium Analis Kimia Fisika Pusat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Mereka mencari seseorang bernama Bambang Isti Nugroho, karyawan pengantar surat di kantor tersebut.
 "Saya temui mereka. Salah seorang dari mereka bilang, 'Adik kamu yang di Semarang masuk rumah sakit'," ujar Isti menuturkan kisah yang terjadi tiga dasawarsa lalu kepada detikX di Jakarta, Selasa lalu.
Isti tak percaya omongan orang tersebut. Ia segera mafhum, tamu-tamu tak diundang itu bukan bermaksud beramah tamah dengannya. Beberapa minggu sebelumnya, seorang kawannya, Bambang Subono alias Bono, kena ciduk 'petugas'.
 "Saya sudah duga cepat atau lambat akan ikut tergigit," ujar lelaki kelahiran Yogyakarta, 58 tahun lalu, itu. Isti pasrah saja ketika digelandang ke luar gedung. Kekhawatirannya benar. Beberapa pria lainnya dengan pakaian loreng sudah menantinya.
Dengan segera Isti diminta menaiki sebuah mobil Toyota Hardtop yang sudah menunggunya. Prajurit yang duduk di sampingnya mengikatkan sehelai kain ke kepalanya untuk menutupi mata. Ia tak tahu akan dibawa ke mana. Setelah beberapa waktu kemudian penutup matanya dibuka, Isti baru menyadari dirinya berada di sebuah markas militer. Di gedung itu, markas Komando Distrik Militer 0734 Yogyakarta, sudah ada juga kawannya, Bono.

Bono, yang kala itu berusia 29 tahun, ditangkap di Sport Hall Kridosono, pada 9 Juni 1988, saat pertunjukan Teater Alam. Mahasiswa Jurusan Sosiologi UGM tersebut tertangkap sedang menjual beberapa stensilan buku novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Rumah Kaca dan Gadis Pantai. Sehari sebelum Subono ditahan, Jaksa Agung Sukarton Marmosujono baru meneken surat keputusan berisi pelarangan atas buku Gadis Pantai.

Rezim Presiden Soeharto sangat alergi terhadap karya-karya Pram. Semua karya Pram yang diterbitkan selepas dibebaskan dari Pulau Buru dicap barang haram untuk dibaca. Bumi Manusia yang dicetak pada Agustus 1980 diikuti Anak Semua Bangsa, oleh Kejaksaan Agung diberi stempel terlarang pada 29 Mei 1981. Novel Jejak Langkah yang terbit 1985 peredarannya dinyatakan terlarang pada 1 Mei 1986. Kemudian diikuti pelarangan Gadis Pantai. Semua novel sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat itu dinilai sebagai upaya menyebarluaskan ideologi komunisme secara diam-diam.

Das Kapital, buku karya Karl Marx, 'bapaknya' komunisme
Foto: dok. Getty Images

Pengakuan Bono dalam interogasi membawa militer pada nama Isti. Bono memang aktif dalam Kelompok Studi Sosial Palagan, sebuah grup diskusi yang didirikan Isti bersama dua kawannya, Ons Untoro dan Panji Patah. Isti bukan lulusan UGM. Anak purnawirawan tentara itu mendaftar sebagai pegawai di UGM dengan bekal ijazah sekolah menengah pertama (SMP). Namun ia disegani kawan-kawan diskusinya, yang sebagian besar mahasiswa UGM, karena pengetahuannya tentang sastra terbilang mumpuni.

Waktu-waktu lowongnya diisi dengan melahap segala macam buku. Ia juga aktif mengikuti berbagai macam diskusi, baik di UGM maupun luar kampus. Latar belakang itu membuat Isti Nugroho mampu menulis puisi, artikel sastra, dan esai kritik sosial untuk sejumlah koran di Yogyakarta. Bahkan dia menjadi editor rubrik sastra harian Masa Kini, Yogyakarya. Isti juga aktif di beberapa kelompok teater.
 "Saya sudah menulis naskah teater saat masih 17 tahun," ujarnya.

“Otot-ototnya keras seperti besi, sorot matanya tajam. Sampai sekarang Bono masih merinding kalau ingat orang ini."

Rekam jejaknya itu membuat Isti jadi sosok aktivis yang masuk dalam radar aparat militer. Setelah ditahan, rumah Isti digeledah. Lebih dari 100 judul buku dan sejumlah naskah drama disita. 
 "Perpustakaan saya dihabisi. Tak tersisa sehelai kertas pun," katanya. 
 Buku yang diambil di antaranya, The Cherry Orchad karya pengarang drama Uni Soviet Anton Chekhov, Anna Karenina karya Leo Tolstoy, dan Doctor Zhivago karya Boris Pasternak.

Buku-buku itu kemudian dipakai sebagai barang bukti untuk menjeratnya sebagai orang yang condong pada ideologi Marxis, tak peduli lagi apa sebenarnya isinya.
 "Hanya karena buku-buku itu dikarang sastawan dari Uni Soviet," ujar Isti sambil tertawa.
 Semasa menjalani pemeriksaan, Isti mengaku mendapat berbagai macam bentuk siksaan. 
 "Saya diperlakukan seperti binatang dengan ditampar, telapak kaki ditindih pakai kaki meja yang diduduki." 
 Tak hanya itu, dalam beberapa minggu, setiap malam Isti diinterogasi dalam sebuah bak berisi air dingin.
 "Saya merasa dinginnya sampai ke sumsum tulang ketika direndam sampai terdengar azan Subuh."
Isti masih ingat salah seorang tentara yang menginterogasinya, Letnan Sarjiman.
 "Otot-ototnya keras seperti besi. Sorot matanya tajam. Sampai sekarang Bono masih merinding kalau ingat orang ini," kata Isti.
 Dalam sebuah sesi pemeriksaan, Sarjiman bertanya soal isi novel Bumi Manusia. Isti menjawab novel itu bercerita tentang percintaan Minke dan Annelis. Seketika telapak tangan Sarjiman mendarat dengan keras di kepalanya.    
"Mereka baru puas kalau dalam jawaban saya itu ada kata-kata pertentangan kelas, keadilan, atau kritik terhadap penguasa."
Buku-buku sejarah soal PKI
Foto: dok. Detikcom

Setahun setelah Bono dan Isti ditangkap, Bonar Tigor Naipospos ditangkap di Jakarta. Bonar, yang biasa dipanggil Coki oleh teman-temannya, ditangkap tentara setelah ikut demonstrasi menentang kenaikan tarif dasar listrik di Jakarta. Menurut Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, Coki terlibat dalam kasus yang menjerat Bono dan Isti.
 "Saya terseret perkara Bono dan Isti," ujar Coki kepada detikX. Pria lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM itu ditangkap intel Kodam Jaya, diinterogasi, lalu dibawa ke Yogyakarta
“Seseorang tidak bisa dihukum atas apa yang dipikirkannya."
Coki, berdasarkan pengakuan Bono dalam interogasi, merupakan orang yang mendistribusikan buku-buku Pramoedya tersebut dari penerbit Hasta Mitra. Coki, yang kini Wakil Ketua Setara Institute, dituduh mendapat buku dari seorang karyawan penerbit yang bernama Kasto. Mereka bertiga kemudian diadili dengan dijerat pasal-pasal antisubversi.
 "Kami dicap menyebarkan paham komunisme dan membahayakan stabilitas nasional," ujar Coki.
Mereka bertiga masing-masing dituntut hukuman 10 tahun penjara. Bono pada akhirnya divonis majelis hakim 7 tahun penjara, Isti Nugroho 8 tahun, dan Coki dapat jatah hukuman 8,5 tahun penjara. Coki mendapat hukuman paling berat karena dinilai sebagai aktor intelektual dalam kasus itu.

Isti Nugroho, yang baru saja mementaskan pertunjukan 'Drama Sajak-sajak Rendra' di Taman Ismail Marzuki, mengatakan kasus yang menimpanya itu harus menjadi pelajaran. Dalam sebuah negara demokratis ekspresi pemikiran tidak bisa dipidana sepanjang tidak menganjurkan kekerasan.
Termasuk pemikiran yang dituangkan dalam sebuah buku.
 "Seseorang tidak bisa dihukum atas apa yang dipikirkannya. Termasuk HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) misalnya," katanya.
Buku-buku karya Mao Tse-tung, pendiri Partai Komunis Tiongkok
Foto: dok. Getty Images

Hanya sebulan setelah Jenderal Soeharto mulai menggilas Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ditunjuk Presiden Sukarno sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada Oktober 1965, pelarangan segala macam buku yang berbau komunis dimulai. Buku karya-karya Pramoedya, yang aktif di Lekra, lembaga kebudayaan yang punya hubungan dekat dengan PKI, turut diberedel

Pada 30 November 1965, Kolonel Drs Setiadi Kartohadikusumo, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan bidang Teknis Pendidikan, mengeluarkan keputusan pelarangan 70 judul buku. Beberapa hari kemudian, pelarangan itu berlanjut terhadap semua karya 87 pengarang yang dianggap punya kaitan dengan PKI. Selain Pramoedya, penulis lain yang karyanya diberangus keputusan Kolonel Setiadi di antaranya Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, S. Rukiah, Sobron Aidit, Joebar Ajoeb, H.R. Bandaharo, dan Bakri Siregar.

Pelarangan buku ini terus berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian. Aktivis pemuda Soe Hok Gie menuliskan kritik atas pemberangusan buku membabi buta saat itu.
 "Hati saya menjerit, protes keras ketika teman-teman saya dari Jurusan Sastra Indonesia dilarang membaca karya H.B. Jassin. Ketika buku-buku Sjahrir diam-diam disingkirkan dari Universitas sehingga mahasiswa Sejarah tak bisa lagi membaca Renungan Indonesia dan Jalan Tak Ada Ujung (karya Mochtar Lubis)," Soe menulis kritik dalam Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua.
Buku-buku itu dilarang, menurut Gie, bukan karena isinya yang 'berbahaya', tapi karena pilihan politik penulisnya.
 "Dulu atas nama Nasakom–sekarang atas nama Pancasila, Agama, dan Orde Baru," Gie menulis.
 Soe Hok Gie, yang meninggal saat mendaki Gunung Semeru, pada 19 Desember 1969, sebenarnya pernah jadi 'lawan' orang-orang komunis. Dia dekat dengan orang-orang sosialis yang jadi musuh PKI. Tapi dia mengkritik pelarangan buku Pramoedya.
 "Bagi saya adalah sama buruknya melarang membaca buku Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis pada tahun 1965 dan melarang membaca buku Cerita dari Blora karya Pramoedya A. Toer."
Dari dulu sampai hari ini, komunisme dan segala hal yang berbau, bahkan meski baunya hanya samar-samar sekalipun, termasuk buku, selalu dicurigai hendak menyebarkan ideologi itu.Beberapa hari lalu, prajurit-prajurit TNI di sejumlah tempat, di Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur, juga di kota Padang, Sumatera Barat, menyita beberapa buku dari lapak penjual buku. Dalihnya kurang lebih seragam yakni buku-buku itu dianggap menyebarkan komunisme. Di antara buku yang disita adalah Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie, Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965 karya sejarawan Ong Hok Ham, dan Mengincar Bung Besar – Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno yang ditulis tim Historia.

Melarang buku sejarah soal PKI atau komunisme atau buku soal apa pun di zaman internet ini sebenarnya agak sulit dimengerti. Semua orang, asalkan punya kuota internet, dengan gampang membaca Das Kapital karya 'nenek moyangnya' komunisme, Karl Marx, atau Negara dan Revolusi karya Vladimir Lenin atau surat terakhir yang ditulis gerilyawan Che Guevara kepada Fidel Castro. Bahkan versi berbahasa Indonesia-nya sekalipun. Pada 2010, majelis hakim Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah membatalkan kewenangan Kejaksaan Agung dalam hal pelarangan dan penyitaan buku. Pelarangan buku, menurut Mahkamah, mesti diputuskan lewat pengadilan.
"Kami amankan dulu, karena ini ada unsur PKI-nya. PKI sudah jelas dilarang," kata Komandan Koramil 01 Padang Barat-Padang Utara Mayor Inf. Parningotan Simbolon.
 Bagi Buya Syafii Maarif, alasan aparat merazia buku karena diduga menyebarkan komunisme tidak tepat. Komunisme, kata Buya Syafii dikutip detikcom, tak perlu lagi ditakuti.
 "Komunis itu sudah jatuh di mana-mana, kenapa takut sama komunis? Komunisme itu sudah diarak ke museum sejarah, kenapa harus takut lagi?"
Redaktur/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo