HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Jumat, 30 November 2012

Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur


30 Nov 2012
  • Launching Buku Memori-memori Terlarang

Bagi kita sekarang tidak penting lagi menelusuri siapa dalang. Tapi yang penting adalah siapa yang menjadi korban. Tentu saja para jendral adalah korban. Tapi harus diingat ada korban kemanusiaan setelah Tragedi '65. Korban ini jauh lebih banyak dan sadis

Hal tersebut disampaikan Ketua PGI, Pdt. DR. A.A. Yewangoe dalam acara Launching Buku Memori-Memori Terlarang – Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di NTT, beberapa pekan lalu di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Menurutnya, Versi Orde Baru hanya beberapa ribu tapi versi lain hampir setengah juta. Oleh karena itu keprihatinan kita harus kepada manusia. Buka pro atau kontra tapi manusia yang utama.

Pdt. Yewangoe mengatakan, sejak PKI dilarang saat Supersemar dan ada penangkapan, maka ada penggolongan orang menjadi A/B/C (dibunuh, dibuang atau dilepas). Refleksi mengenai ini pernah ditulis oleh Pramodya Ananta Toer. Korban ini akan mengalami pembunuhan karakter, tidak hanya dia tetapi semua keluarganya. Ini dilakukan oleh Orde Baru.

Karena itu menurutnya, stigma ini yang harus dihapuskan. Ia mengaku senang bahwa presiden SBY mengatakan bahwa mau mengatakan permintaan maaf. “Saya termasuk yang diundang untuk pertimbangan presiden untuk meminta maaf. Kami sangat senang. Tapi sayang sekali ada ormas lain yang tidak setuju. Tapi marilah kita berjuang agar ia dapat meminta maaf, karena dapat menyembuhkan luka sejarah” tutur Pdt. Yewangoe.

Masih dalam kesempatan yang sama, Pdt. Yewangoe menuturkan, presiden Gus Dur pada masa jabatannya pernah berusaha menghapus Tap MPR berkaitan dengan PKI karena alasan kemanusiaan. Tetapi ditolak dan ia malah dianggap sebagai pendukung PKI. Apakah dengan demikian ia membenarkan PKI? Tidak! Ia memaafkan tetapi tidak melupakan. Ia berusaha rekonsiliasi tetapi berusaha agar ini tidak terulang lagi.

Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Afrika selatan, di mana Nelson Mandela menunjukan bagaimana ia memberi inspirasi bagi pemulihan suatu bangsa. Kita harus melepaskan diri dari beban-beban sejarah. Kalau kita terus ada dalam beban sejarah, maka kita tidak akan maju. Tapi saya yakin, kalian mampu menganalisa sejarah dan maju ke depan.

Mengenai buku menurut Pdt. Yewangoe ini adalah tindakan melukai diri sendiri agar ada perubahan. Banyak cerita yang mengharukan. Banyak kali gereja sendiri (GMIT dan GKS) tidak memperhatikan. Situasi waktu itu membuat gereja tidak mampu menganalisa dengan baik. Kita menyayangkan ketika tragedi ’65 gereja tidak mampu menjalankan tugas pastoralnya. Ini adalah self critic. Pada saat tragedi ada pendeta di Sumba tetapi tidak dapat menjalankan tugasnya. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi dan buku ini sudah ada. Marilah kita belajar untuk maju ke depan.

Sementara itu, Pdt. DR. Nicolas Woly dalam tanggapannya dikatakan, apa yang dihasilkan oleh JPIT ini, merupakan satu bentuk “bijaksana”. Mengapa? Karena menurutnya, melalui belajar kita akan terlebih dahulu menjadi bijaksana.

Dan juga menurutnya dengan buku ini, JPIT telah ikut serta dalam parade “masuk ke kekekalan”. Buku ini akan dibaca dalam rentang waktu lintas generasi. Buku ini akan menambah lagi deretan buku-buku yang dibutuhkan masyarakat dunia beradab yang salah satu agenda utamanya belajar membaca, karena “buku-buku adalah universitas keseharian kita”

Buku ini disusun oleh Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) bekerjasama dengan Fakultas Teologi Universitas Kristen ARTHA WACANA, ICTIJ dan Kerk in Actie ini terdiri dari 8 Bab, yakni  Memori-memori terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi '65 di NTT, SUMBA: * Korban Tragedi 1965 sebagai Orang Berdosa? (Sumba Barat), SABU: Penghancuran Perempuan Guru Sabu-Raijua oleh Negara, KOTA KUPANG : Peristiwa 1965 dan Aktivis Perempuan di Kota Kupang, KUPANG TIMUR : Ada Jurang di antara Kita: Kekerabatan, dan Peran Pastoral Gereja di Kupang Timur, TIMOR TENGAH SELATAN: Peristiwa 1965 dan Pergumulan Identitas Perempuan TTS,  ALOR: Janda Melawan Ketidakadilan di Alor dan EPILOG: Mulai Dengan Korban: Makna Tragedi '65 untuk Teologi.

Buku yang diedit oleh Pdt. Dr. Mery Kolimon dan Lia Wetangterah ini, juga memuat gambar-gambar tempat pembantaian, kuburan massal, selain foto penjara dan rumah-rumah tempat penahanan.

Selasa, 20 November 2012

Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965

20/11/2012

Oleh Yoseph Yapi TaumDosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Editor:  Putu Oka Sukanta; Tebal: 315 h.

Pengantar

KARENA judul buku ini adalah Memecah Pembisuan, saya ingin mengawali ulasan ini dengan menjelaskan istilah serupa, yaitu Breaking the Silence.  Breaking the Silence (BtS) adalah sebuah LSM Israel yang terletak di wilayah Barat Yerusalem, didirikan tahun 2004 oleh veteran tentara Angkatan Bersenjata Israel.[1] Kegiatan mereka antara lain mengumpulkan dan mempublikasikan kesaksian-kesaksian dan pengalaman para tentara dalam tugas dan operasi mereka di wilayah pendudukan: Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Timur Yerusalem selama Intifada Kedua. Misi LSM ini adalah ‘memecah pembisuan’ dalam diri tentara-tentara Angkatan Bersenjata Israel yang sudah kembali dalam kehidupan sipil di Israel dan ‘mengungkap adanya ganjalan yang mereka rasakan dalam menghadapi realitas di wilayah pendudukan dan pembisuan mereka di rumah.’

Sejak tahun 2004, LSM ini telah menerbitkan serial bunga rampai berjudul Kesaksian Para Tentara. Serial ini memuat ratusan kesaksian ‘dari para penjaga perbatasan, pasukan keamanan, dan mereka yang bertugas di wilayah pendudukan.’ Tujuan penerbitan buku itu adalah ‘memaksa masyarakat Israel melihat realitas yang sesungguhnya’ dan menyadari adanya ‘pelecehan, pengrusakan, dan penghancuran harta benda milik warga Palestina.’ Sebelumnya mereka dibisukan, seolah-olah perbuatan itu wajar dilakukan dan pembicaraan mengenai tindakan tentara Israel di wilayah pendudukan adalah tabu. Tentu saja organisasi ini dimusuhi pemerintah Israel. Tekanan pemerintah Israel semakin kuat ketika LSM ini mengungkap kesaksian tentara Israel yang ikut dalam pemboman Gaza tahun 2009.

Contoh kesaksian (1). ‘Saya tidak tahu apa yang dilakukan Hamas di kota Hebron, tetapi ketika terjadi ketegangan di Hebron, saya tidak pernah menyaksikan satu pun orang Arab yang mengancam keselamatan orang Yahudi. Maksudku, saya tidak pernah melihat adanya kekerasan yang dilakukan dari pihak orang Arab, atau tindakan mereka yang mengganggu orang Yahudi. Saya pikir tidak ada alasan apapun bagi orang Israel untuk takut. Orang Yahudilah yang selalu mengganggu dan membuat marah orang Arab. Mereka membuang sampah kotor ke halaman rumah orang Arab. Jika ada seorang anak Arab berlari mendekati tiga anak Yahudi, para tentara Israel akan memukul atau menghinanya. Ada begitu banyak pelecehan yang dilakukan terhadap orang Arab’ (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011).

Contoh kesaksian (2). Dalam serangan ke Gaza, ada 54 kesaksian tentara Israel yang mengungkap tentang penggunaan gas fosfor yang diarahkan ke pemukiman penduduk, pembunuhan korban-korban yang tidak bersalah, penghancuran ratusan rumah dan masjid tanpa tujuan dan alasan militer. Dalam serangan tersebut, taktik ‘Neighbor Procedure’ juga dipakai: penduduk sipil digunakan sebagai tameng dan dipaksa memasuki gedung-gedung bersama para tentara (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010).

Hal yang ingin saya sampaikan dengan cerita-cerita ini bahwa pelaku pembantaian (perpetrators)sebenarnya juga merupakan korban (victims) dari sebuah sistem yang dibangun. Ketika pelaku kejahatan ‘diharuskan’ menjalankan perintah atasannya untuk melecehkan, merusak, membunuh, memperkosa, ataupun melakukan kejahatan terhadap korban yang dipandang sebagai liyan, selalu ada sisi kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam. Bagi saya, ‘hukum’ ini merupakan sebuah kebenaran abadi.[2] Dalam sejarah pembantaian tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi, selalu ada orang seperti Schindler yang berjuang dengan berbagai resiko menyelamatkan sebanyak mungkin orang-orang Yahudi.

Perspektif semacam ini sangat jarang – untuk mengatakan tidak pernah terungkap dalam sejarah Tragedi 1965, kecuali di dalam karya-karya sastra Indonesia yang terbit tahun 1966-1970.[3] Yang ada dalam sejarah Tragedi 1965 adalah ‘penyesalan’ pelaku, seperti Sarwo Edhie Wibowo yang disampaikan Ilham Aidit. Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, yang dieditori oleh Putu Oka Sukanta ini memuat sebuah kisah ‘pertobatan’ itu. Bersama empat belas tulisan lainnnya yang diungkap dari perspektif korban Tragedi 1965, buku testomini semacam ini tentu saja sangat berharga untuk mengungkap tragedi bangsa Indonesia yang begitu dahsyat, yang saat ini cenderung diabaikan begitu saja.

Pertobatan: Pelaku sebagai Korban

Buku ini memberi kesempatan kepada seorang pelaku pembunuhan (eksekutor), seorang pensiunan polisi bernama Benny, untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam feature berjudul ‘Benny: Mencari Penyembuhan’ tulisan Nina Junita (h. 25-44), ada beberapa pokok kesaksian yang layak kita cermati.

Pada awalnya Benny ‘masih sangat yakin bahwa pembunuhan terhadap para anggota PKI adalah sesuatu yang harus dilakukan dan benar adanya.’ Namun, ia kemudian meragukan, apakah pembunuhan itu dapat dibenarkan?

Menurut Benny, kesalahan yang jelas-jelas dilakukan oleh aparat adalah: pertama, perintah dari Jakarta untuk membunuh semua tahanan di penjara di SoE (pembunuhan tahap pertama: kasus pencurian, perkelahian, pembunuhan). Tahanan ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI; kedua,pembunuhan tahap kedua dan ketiga: sekalipun ada pemeriksaan, tetapi dasarnya tetap tidak jelas, yaitu hanya karena seseorang menjadi anggota PKI dan berafiliasi pada ormas PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Benny bersaksi bahwa masyarakat penerima bantuan BTI (seperti jagung, beras, gula pasir, pakaian, cangkul, benang) terdesak oleh kelaparan di Pulau Timor akibat gagal tanam dan gagal panen.
Mereka tidak peduli dengan ideologi di balik pemberian bantuan itu. Bantuan seperti itu pun diberikan oleh Gereja Masehi Indonesia Timur.
Tetapi pada saat itu, semua orang percaya bahwa PKI-lah yang membunuh para jendral di Lubang Buaya. Tidak ada orang yang berani mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Benny bersaksi bahwa pembunuhan itu perintah Soeharto. ‘Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak Kapolres memerintahkannya pada kami. Saat itu tak ada orang yang berani mempertanyakan keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban dianggap bersimpati pada PKI dan bisa ikut dibunuh’ (hlm. 34).

Masyarakat diyakinkan bahwa PKI adalah partai yang berbahaya karena (1) mengkampanyekan land-reform yang melawan tuan-tuan tanah; (2) mereka telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati; dan (3) mereka adalah kaum ateis yang tidak mengenal Tuhan, karena ideologi mereka komunis. Benny tidak percaya pada isu tersebut karena: pertama,  bagaimana mungkin PKI akan menyerang mereka karena mereka tidak punya senjata sama sekali; dan kedua, orang-orang yang dibunuh itu sangat khusuk berdoa.

Dengan jelas, Benny merekonstruksi pola pembantaian terhadap orang-orang PKI yang mereka lakukan sebagai berikut. (1) Orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI dijemput dari rumah mereka dan ditahan; (2) Tentara (sebanyak 30 orang, kebanyakan suku Jawa, datang dari Kupang) menentukan giliran siapa yang dibunuh terlebih dahulu; (3) Para tahanan diperintahkan menggali lubang pemakaman mereka sendiri di siang hari; (4) Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, para tahanan disiksa hingga babak belur, tangan mereka diikat dan disuruh naik truk; (5)
Sebelum tiba di tempat eksekusi, mata mereka ditutup; (6) Tiba di lokasi eksekusi, mereka disuruh menghadap regu tembak membelakangi lubang; (7) Orang-orang PKI diberondong peluru. Jika setelah ditembak masih belum mati, mereka ditusuk dengan sangkur dan didorong masuk ke dalam lubang; (8) Lubang ditutup dan regu penembak meninggalkan tempat itu (hlm. 35-36).

Selama dua tahun, 1966-1967, Benny mengaku telah membunuh 17 orang PKI. Hal itu hampir membuatnya gila (mei nawa, pusing darah). Seorang temannya, Baltazar, dari Flores benar-benar menjadi gila dan berhenti dari dinas kepolisian.

Kisah selanjutnya adalah menyeruaknya rasa bersalah, pertobatan, dan pemulihan batin Benny. Tiga tahun setelah menikah, mereka tak dikaruniai anak. Pada saat yang sama, perilaku Benny menjadi sangat temperamental, rasa bersalah karena telah membantai manusia layaknya membantai binatang selalu menghantuinya. Atas saran beberapa orang, Benny menjalankan ritus penyembuhan adat dan agama. Ketika pada tahun ketiga lahir putri sulung mereka,Maria, Benny percaya bahwa Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.

Sebuah fenomena lain yang muncul, yang barangkali akan menemukan momentumnya adalah dendam dan pembalasan dari pihak korban. Dalam kisah Benny, seorang anggota keluarga korban mendatangi rumah Benny dan menudingnya sebagai pembunuh anggota keluarganya. Hal yang menarik dari kisah ini adalah visi dan semangat anak-anak Benny (seluruhnya berjumlah tujuh orang), yang berusaha untuk mengenal dan berdamai dengan keluarga korban: para istri dan anak-anak orang PKI yang ditinggalkan. Mereka bahkan merekam cerita-cerita keluarga korban ini tentang penderitaan dan kekuatan mereka dalam bertahan hidup, sebagai bagian dari upaya untuk penyembuhan luka batin dan trauma kolektif.

Beberapa Skenario Soeharto yang Terbantahkan

Sejak berakhirnya rezim totaliter Orde Baru di tahun 1998, kisah-kisah mengerikan yang dialami korban Tragedi 1965 mulai dipublikasikan.
Beberapa di antaranya adalah: Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko (2003); Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra karya Suyatno Prayitno (2003); Tahun yang Tak Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-esai Sejarah Lisan karya John Rossa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004); Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Diburu di Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004);  Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur karya R.A.F Webb dan Steven Farram (2005), Dari Kalong sampai Pulau Buru karya Adrianus Gumelar Demokrasno (2006); Kidung pada Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol karya Hersri Setiawan (2006); Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi karya Antonius Sumarwan (2007); dan Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66 karya Putu Oka Sukanta (2011). Daftar ini agaknya masih akan terus bertambah.[4]

Membaca dan mempelajari buku-buku kesaksian tersebut, tampak jelas bahwa skenario, grand design atau big picture yang dibuat di Jakarta oleh rezim Orde Baru mengenai G30S, seperti yang terungkap dalam Buku Putih Sekretariat Negara RI (1994), Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf), tidak terbukti.

Disebutkan  bahwa Gerakan 30 September merupakan sebuah gerakan massal. Gerakan itu tidak hanya dilakukan di Jakarta (Lubang Buaya), melainkan secara serempak direncanakan, diketahui, dan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam Bab IV ‘Persiapan Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ dijelaskan persiapan ‘perebutan kekuasaan’ yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bali, dan NTT. Dalam Bab V ‘Pelaksanaan Aksi Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ diungkap pelaksanaan G30S di berbagai wilayah di Indonesia (seperti disebutkan di atas, ditambah daerah Kalimantan Selatan dan daerah-daerah lain).

Sudah banyak sekali kesaksian yang telah beredar dan membuktikan bahwa gambaran-gambaran tersebut tidak benar serta sangat tidak beralasan. Perhatikan beberapa kesaksian berikut ini.
(1)  Tentang dokumen PKI dan senjata yang sudah disebar ke daerah-daerah

Asman Yodjodolo (ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Sulawesi Tengah, yang memiliki sekitar 60.000 anggota): mengaku dipaksa menandatangani secarik pengakuan ‘buatan’ yang menyatakan bahwa ia menerima beberapa senjata untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Jika menolak mengakuinya, dia akan menerima siksaan bertubi-tubi.[5]
Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara): selalu ditanyakan tentang dokumen G30S PKI yang konon sudah tersebar ke Buton. Dituduhkan juga bahwa ada sebuah Kapal TNI AL yang singgah dan menurunkan 500 pucuk senjata untuk melakukan kudeta di kawasan Buton. Lambatu dan tahanan-tahanan lainnya membantah dengan keras bahwa dia mengetahui dokumen dan senjata-senjata itu. Akibatnya sangat jelas: mereka mengalami siksaan di luar peri kemanusiaan yang adil dan beradab (hlm. 71-72).

Wardik (Medan): ditahan, disiksa, dan dipaksa untuk mengaku bahwa dia menyembunyikan senjata PKI dalam jumlah banyak. Bukan hanya Wardik yang disiksa tetapi juga kakak perempuannya. Ayah Wardik bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas (hlm. 294-296).

(2)  Tentang lubang-lubang yang sudah disiapkan di daerah
PKI di daerah-daerah disebutkan telah menggali lubang dan berencana membunuh polisi, tentara, dan bupati. Benny, pensiunan polisi yang menjadi salah satu algojo dalam pembantaian PKI di SoE, NTT, tidak melihat kemungkinan itu karena dia tahu bahwa PKI tidak memiliki senjata (hlm. 33). Adapun Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara) membantah tuduhan bahwa pengurus PKI telah menyiapkan lubang-lubang untuk mengubur para korbannya (hlm. 71).

Penutup

Dalam delapan tahun, BtS Israel telah mempublikasikan ratusan testimoni mengenai perlakuan di luar perikemanusiaan tentara Israel terhadap warga Palestina. Dalam 47 tahun pasca-Tragedi 65, testimoni korban Tragedi 1965 belum mencapai ratusan. Buku ini menyumbang 15 buah testimoni para penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali, Kupang, dan Pulau Sabu. Semakin banyak kesaksian yang membuktikan bahwa pembantaian pasca-Tragedi 1965 tidak hanya terjadi di Jawa dan Bali saja, melainkan hampir merata di seluruh pelosok tanah air, termasuk daerah pelosok yang sangat terisolasi.

Mengingat Tragedi 1965 merupakan salah satu Tragedi terdahsyat di dunia pada abad ke-20, kita membutuhkan lebih banyak lagi testimoni untuk menghalau lupa yang terlalu mudah menyerang bangsa kita. Tragedi 1965 tidak boleh dilupakan. Ia perlu terus direnungkan agar kita senantiasa mendapat pelajaran darinya untuk tidak mengulanginya lagi di masa depan.

Salah satu model publikasi yang belum banyak dilakukan di Indonesia adalah menuliskan berbagai macam kesaksian tentang berbagai tragedi yang terjadi dalam bentuk cerita anak-anak dengan ilustrasi yang menarik untuk dikonsumsi anak-anak. Berbagai contoh penerbitan seperti ini mudah kita temukan. Untuk tragedi Holocaust, terdapat buku anak-anak seperti: The Underground Reporter: Kisah Nyata (Kathy Kacer), Hanna’s Suitcase (Karen Levine). Dalam tragedi Pol Pot Khmer Merah, buku-buku seperti First They Killed My Father: A Daughter of Cambodia Remembers (Luong Ung), When Broken Glass Floats: Growing Up Under the Khmer Rouge (Chanrithy Him), dan Stay Alive My Son (Pin Yathay), yang benar-benar ditujukan untuk dikonsumsi anak-anak.

Kisah-kisah nyata yang dialami anak-anak pada zamannya dapat dituturkan secara mengagumkan sekaligus mengharukan. Dengan demikian, anak-anak sekarang dapat mengetahui perjuangan anak-anak dan pemuda Indonesia dalam masa-masa gelap (dark past). Dengan memahami berbagai tragedi bangsa yang besar, yang membawa korban ribuan nyawa dan harta benda, anak-anak sekarang dapat tumbuh dengan sense of history dan membangun kesadaran serta penghormatan akan hak-hak dasarnya sebagai manusia.
——————————————
Catatan Redaksi:
Review ini sebelumnya merupakan makalah yang dibacakan dalam acara Peluncuran Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, (Putu Oka Sukanta, Ed, 2011 Jakarta: Lembaga Kreativitas Kemanusiaan), tanggal 29 Januari 2012.
Penulis saat ini tengah melakukan studi tentang ‘Representasi Tragedi 1965: Sebuah Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra Tahun 1966-1998.’ Dapat dihubungi di email: khmer_rouge2000@yahoo.com).

[1] Eksekutif Direktor BtS adalah Yehuda Shaul dan Direkturnya adalah Mikhael Manekin. BtS muncul tahun 2004, diawali dengan pameran foto tiga personel tentara (Avichai Sharon, Yehuda Shaul, dan Noam Chayut) yang pernah bertugas di Hebron. Ketiga personel ini berkeinginan untuk membuka mata orang Israel tentang apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Pameran ini menarik minat banyak orang untuk bergabung dan terbentuklah LSM BtS. (lihat Breaking the Silence: Woman’s Soldiers’ Testimonies, Booklet, Printed in Jerusalem, 2009. Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in Jerusalem, 2011. (Breaking the Silence: Soldiers’ Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in Jerusalem, 2010). Buku-buku ini tersedia secara online di: http://www.breakingthesilence.org.il.
[2] Saya tidak percaya pepatah yang menyebut “homo homini lupus” (manusia cenderung menjadi serigala yang memangsa manusia lainnya). Istilah itu hanya benar pada level hasrat kekuasaan tetapi bukan pada naluri purba insani.
[3] Lihat cerpen Di Titik Kulminasi karya Satyagraha Hoerip, Perempuan dan Anak-anaknya karya Gerson Poyk, Ancaman karya Ugati. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari juga memperlihatkan simpati dan tindakan tokoh Rasus yang menyelamatkan Srintil. Dalam permenungannya tentang fungsi dan peranan tentara, Rasus memutuskan untuk ‘keluar’ dari dinas ketentaraan karena tentara Indonesia di tahun 1960-an tidaklah seperti yang diidealkan masyarakat Jawa: serupa Gatot Kaca.
[4] Selain itu, telah hadir pula kesaksian-kesaksian dalam bentuk VCD.
[5] Asman memberi kesaksian bahwa tahun 1965, PKI di Sulawesi Tengah sangat maju karena pimpinannya hebat, serba bisa.

Dipetik dari indoprogres.com

Sumber: SKP-HAM 

Senin, 19 November 2012

Kami Bukan PKI

19/11/2012


“Saya bukan PKI! Kami hanyalah korban tragedi 1965- 1966 yang menyisakan penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi kami dan orang terdekat kami. Kami dipaksa menerima stigma buruk yang disematkan oleh pemerintah yang berkuasa saat itu.”
Itulah sepotong komentar Rafin Pariuwa (74) ketika menerima Mercusuar di kediamannya di Kelurahan Kayumalue Pajeko, Palu Utara, Kamis (15/11) pekan lalu. Dialah saksi sekaligus korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih hidup karena dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan raut wajah sedih, Rafin menceritakan masa kelamnya di tahun-tahun penyiksaan itu.
Rafin muda adalah Pimpinan Pemuda Raya Kecamatan Tawaeli. Ketika ditangkap pada tahun 1965, usianya baru 27 tahun dan bekerja sebagai Guru di SDN Negeri Bale Tawaili. 
“Saya ditahan karena sebagai Pimpinan Pemuda Raya di sini (Tawaeli). Pokoknya disapu rata, biar bukan orang PKI. Saya punya orang tua biar bukan PKI tetapi juga ditahan, malah bapak saya ikut wajib lapor di Palu lagi bukan Koramil (Tawaeli) selama sebelas bulan,” cerita Rafin.
Ia masih ingat pertama kali ditangkap pada 12 November 1965 hingga baru bisa mengirup udara bebas 5 Desember 1979. Selama 14 tahun mendekam sebagai tahanan politik (Tapol), tidak sedikit penderitaan yang diperoleh, mulai dari penyiksaan fisik hingga harus menahan malu akibat ditelanjangi karena dipaksa mengakui kesalahan yang tidak satupun diperbuat. 
“Waktu diperiksa, saya disiksa karena saya tidak mau mengaku. Saya ditelanjangi dan juga disetrum. Sebab kita tidak tahu persolan yang di Jakarta yakni gerakan 30 September 1965,” tutur Rafin.
Pada tahun 1966 atau setahun masa penahanan, para Tapol setiap hari dibawa keluar untuk melakukan kerja paksa dari pagi hingga malam. Rafin dan ratusan rekannya hanya diberi makan sekali sehari tanpa dibayar. Kerja paksa pertama yang ia rasakan adalah pembendungan Sungai Palu di Kalikoa untuk pembuatan tanggul sejak 1966 hingga 1967.
Saat peristiwa itu, pemerintahan di Sulteng masih berumur belia dan dipimpin oleh Gubernur pertama, Anwar Dato Madjo Basa Nan Kuning. Sebanyak 650 kasus kekerasan dialami laki-laki dan 143 kasus dialami perempuan, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 1.210 orang Tapol.
Rafin mengingat, pada peristiwa kelam 14 tahun itu, satu orang Tapol hilang/hanyut, banyak yang jatuh sakit akibat kelelahan fisik dan tak tahan dengan penyiksaan.
Senada diceritakan Asman Yojodolo (69). Pada tahun 1965, ia menjabat sebagai pimpinan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Ia kemudian dijebloskan karena IPPI waktu itu dicap sebagai organisasi PKI. “Saya ditangkap padahal saya sudah jelaskan organisasi saya ini organisasi pelajar bukan PKI, namun kekuasaan waktu itu kekuasaan militer yang otoriter. Mereka tidak punya bukti namun memaksakan tanpa alasan yang tidak jelas juga,” ujarnya.
“Penyiksaan demi penyiksaan kami alami, tenaga kami diperas secara gratis, bahkan bila telat sedikit saja kita harus disuruh berendam di sungai pada waktu tengah hari dalam keadaan telanjang,” cerita Asman
Para korban pelanggaran HAM ini mengungkapkan keinginan mereka kepada pemerintah. Minimal nama baik mereka di masyarakat dipulihkan, karena stigma terlanjur telah disematkan pemerintah Orde Baru yang membatasi hak-hak hidup mereka sebagai warga Negara. Walaupun telah bebas dari penjara, mereka tetap diwajibkan melapor. Bahkan di KTP dibubuhi tanda ET atau eks Tapol. Akibatnya, keluarga mereka tidak mendapat hak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun militer. Yang lebih menyakitkan adalah dikucilkan dalam pergaulan di masyarakat.
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulteng mencatat ada 173 laki-laki korban pelanggaran HAM korban kerja paksa 1967-1978. 71 orang di antaranya sudah meninggal dunia. Mereka diperkerjakan di Jalan Palu-Parigi, Palu-Kulawi, membendung Sungai Palu, di rumah-rumah pribadi penguasa militer saat itu, dipekerjakan di sawah sebagai pengganti kerbau, kerja pengaspalan di Kalukubula membangun gedung-gedung pemerintah seperti kantor camat, dan kantor gubernur.
Sementara itu, korban perempuan yang tercatat 57 orang, 25 orang di antaranya meninggal dunia. Para korban perempuan juga mengalami pekerjaan berat. Setelah apel mereka kemudian dipekerjakan tanpa diberi makan. Antara lain di kantor Camat Tavaili atau di rumah pejabat.
***
Laporan : ANDI BESSE FATIMAH
Sumber berita: HarianMerusuar.com
Sumber: SKP-HAM 

Minggu, 18 November 2012

Perempuan yang Selalu Menggelitik Pinggangku

Cerpen Martin Aleida (Kompas, 18 November 2012)


QUEENARAKU, kuingat benar. Jauh sebelum Ibu-Bapakmu memperkenalkan dunia luar dengan mendaftarkanmu ke playgroup, berkali-kali kau memintaku lagi untuk mendongeng. Kau menarik-narik lengan bajuku, membelai jenggotku. Merengek meminta aku memulai. Tapi, aku tak pernah bisa, kecuali mengulang cerita Si Kancil yang cerdik dan buaya yang besar kuat tetapi dungu. Pendiam, pemalu, acapkali salah tingkah, itulah takdir kakekmu ini. Aku bukan si pencerita yang baik untuk kau, cucu semata loyangku. Yang kupunya hanya kaki yang selalu enteng menghampirimu, dan tangan, yang acapkali semutan, untuk mengecup kening dan rambutmu. Mengagumi matamu….
Manakala pelupuk matamu sudah kuyu, sementara dongengku belum sudah, sadarlah aku sesungguhnya kau sudah bosan. Ya, jangankan kau, Si Kancil yang cemerlang dan buaya yang bebal itu pun mencibirku sebagai seorang yang majal daya khayalnya.
Aku bukan seorang pencipta. Lebih sebagai pengelana. Dari pengembaraanku aku ingin memetikkan sebuah kisah untukmu.
Kemarin, setelah bertahun tak pernah dicium kamoceng, aku bersih-bersih di kamar. Kutata kembali buku-buku yang sudah renta dan berdaki kulitnya. Di celah buku ketemukan ini. Guntingan koran L’Unita yang terbit di Roma setengah abad lampau. Kertasnya sudah kusam. Kalau jatuh ke tangan pemulung, dia hanya layak untuk pembungkus terasi. Kliping itu mengingatkan aku pada pengalaman yang menceriakan hati, tetapi juga meninggalkan luka lantaran kecewa.
Tataplah guntingan koran ini. Lihat. Di bawah fotoku, yang sedang melambaikan tangan (dengan peci yang membuat aku kelihatan dungu) setiba di stasiun kereta-api Stazione Termini Roma, mengalir sebaris keterangan: Seorang mahasiswa Indonesia berkunjung ke Italia sebagai tamu resmi L’Unita.
Foto dan kata-kata di guntingan koran ini seperti kerlip rama-rama yang datang mengantarkan terang, memancing fantasiku untuk menguntai cerita untukmu, sekarang. Golekkanlah kepalamu di lenganku. Akan kupejamkan matamu dengan belaian kisah tentang bagaimana kekaguman pada seorang perempuan, yang telah menenung Kakekmu ini, sehingga dia menjadi begitu pandir dalam kesetiaan. Aku percaya, kau akan sakit perut terpingkal-pingkal dikocok tawa. Bagaimana mungkin aku bisa jadi sebodoh itu, seperti buaya yang dikadali sang kancil.
Nanti, pengalamanku itu akan kutuliskan baik-baik dengan tulis-tangan tebal-tipis di atas kertas bergaris halus-kasar. Gaya menulis orang “jadul,” sebagaimana kata Ibumu. Dan akan kuselipkan di antara buku-bukuku. Kalau kau sudah dewasa, dan aku mungkin sudah tiada, bacalah! Saat itu kau tentu sudah memahami arti ketulusan hati dan kesetiaan seseorang yang pandir. Dan orang itu adalah Kakekmu ini, ketika dia masih seorang mahasiswa di sebuah negeri bersalju.
Beruntung, hampir lima puluh tahun lalu, aku dapat beasiswa belajar teknik kapal selam di Moskow. Sungguh mati, Uni Soviet waktu itu bukan surga di bumi. Tetapi, aku sudah merasa seperti berdiri di pintu masuk sebuah taman yang menjanjikan. Setiap bulan aku menerima stipendiya (beasiswa) 90 rubel, dipotong dua rubel untuk bayar obsyezitie (asrama). Dengan uang itu, setiap akhir bulan aku leluasa ngluyur di tokok-toko buku, yang menjual bacaan dengan murah. Dalam bahasa Rusia, aku membaca The Call of the Wild dan The White Fang, yang mencitrakan anjing, binatang kesayangan kita, sebagai lambang pencari kebebasan, karangan novelis Amerika Serikat, Jack London. Novel-novel itu laris seperti kerupuk di Uni Soviet.
Gara-gara buku aku jadi tak bisa menabung. Padahal, aku sudah lama berangan-angan melihat Italia, negeri di mana catatan peradaban masa lalu bisa dibaca dalam berbagai peninggalan berbatu pualam. Alamnya menawan. Cuma ada beberapa kawan yang coba mementahkan hajatku itu. “Jangan pernah ke Italia! Orang-orang tak bersahabat di sana. Banyak pelancong yang tertipu. Penjambret di mana-mana, seperti lalat yang tak pernah kenyang. Karena itu Takhta Suci dibangun Tuhan di sana.”
Tapi, aku keras kepala. Kuturuti kehendak hatiku. Tak punya duit, aku tak kehabisan akal. Di kios-kios penjualan surat kabar di Moskow hanya ada koran partai komunis dari berbagai penjuru dunia. Kubeli L’Unita, dan dengan bahasa Italia yang terbata-bata, dibantu kamus, aku mengadu nasib. Kulayangkan surat pembaca ke koran itu.
“Signore,” nekat aku menyapa. “Saya mahasiswa Indonesia di Moskow. Sejak kecil mimpi mau ziarah ke Italia. Tapi, tabungan saya hanya cukup untuk membeli tiket kereta-api. Saya siap bekerja apa saja untuk membiayai hidup beberapa hari di sana.”
Kiambang bertaut. Surat itu dimuat dan dapat tanggapan. Beberapa keluarga bergairah ingin menjadi tuan rumahku. Namun, belum sempat aku menyurati mereka, tiba-tiba datang telegram dari L’Unita yang mengambil-alih semua kebaikan hati orang-orang yang bersimpati padaku. Koran itu menyatakan siap menyambutku sebagai tamu resmi.
Begitulah, ke mana saja singgah aku disambut. Tak kulupakan bagaimana hangatnya aku didaulat di kantor koran tersebut. Juga anak-anak muda yang menerimaku dengan tulus. Tetapi, bukan itu benar yang ingin kukisahkan kepadamu. Pun tidak tentang kota maupun wanita Italia berambut jagung yang memang cantik jelita.
Musim panas, Sabtu sore, minggu ketiga Juli 1962. Kutinggalkan stasiun kereta-api Bellorusskii Wokzal menuju Belarus, terus menyeberang ke Polandia. Aku menempati coupe paling ujung untuk dua penumpang. Temanku satu coupe seorang perempuan berusia 60-an. Melihat perawakannya yang tidak begitu tinggi untuk rata-rata orang Rusia, dan gerak-geriknya yang gesit seperti marmut, kukira dia berasal dari Asia Tengah. Dia mendapat tempat-tidur sebelah bawah, aku di atas. Kalau siang, tempat-tidur bertingkat itu kami lipat jadi tempat duduk.
Uni Soviet diperintah orang-orang bertangan besi, tetapi mencintai musik. Di sana, perempuan tak bisa meninggalkan negerinya seorang diri. Karena itu, saya terheran-heran melihat perempuan teman sekeretaku itu yang mengelana sebatang kara. Mungkin dia seorang pejabat, kupikir. Tetapi, yang kudengar, pejabat yang bepergian ke luar negeri, harus ada yang mengawal. Khawatir kalau-kalau membelot mencari kebebasan ke negara musuh. Atau memang ada pengawal yang mengawasinya dari gerbong lain?
Ah, itu urusan dalam negeri di mana aku hanya sekadar menumpang. Tapi, perempuan ini memang unik. Selama perjalanan dua malam, sebelum sampai di perbatasan Polandia, di Brest-Litovsk, aku sering dia bangunkan dengan sikap yang kaku, agak kasar malah. Mencolek pinggangku dari bawah.
Molodoi celowek [Anak muda], tolong tanya kondektur, sudah sampai mana kereta kita?”
Seperti seekor tupai yang terusik, turunlah aku mencari kondektur ke gerbong lain sambil ngedumel di dalam hati: “Cerewet amat Ibu Rusia ini, kayak suaminya saja aku dia perlakukan, sesuka hatinya menggelitikku di tengah malam begini.”
Senin siang rangkaian kereta berhenti di Brest-Litovsk. Di perbatasan itu kereta tertahan dua jam lebih, karena harus mengganti roda, dari yang lebar (di Soviet rel kereta-api lebih lebar) ke yang lebih sempit di Polandia. Selama ganti roda, kami memilih tetap berada di dalam gerbong. Aku duduk menghadapnya seperti seorang anak yang sedang menanti nasihat dari ibunya.
“Anda datang dari mana?” Senyum, tanpa menatap mataku, dia memantik percakapan.
Iz Indanezii [Dari Indonesia].”
Selama ngobrol hampir dua jam lebih, wajahnya yang semula mengesankan seorang yang tertutup, tidak supel, lama-lama mencair, dan menampakkan jati diri seorang ibu yang berhati terbuka.
“Setiap tahun saya mengunjungi tiga makam orang yang saya cintai.” Kontan pikiranku yang nakal berbisik, tentulah waktu mudanya dia cantik sekali sehingga dia punya banyak kekasih. “Yang pertama di Ukraina, yang kedua di sekitar Moskow, dan yang ketiga di Polandia,” sambungnya lagi.
Cinta pertamanya adalah suaminya, seorang komandan pasukan tank, yang gugur dalam Perang Dunia II. Yang kedua, putra pertamanya, seorang perwira infantri, yang tewas di sekitar Moskow. Ketiga, putra bungsunya, yang sirna di Polandia sebagai penerbang pesawat tempur.
Saat berbicara kelihatan dia bersusah-payah menyembunyikan kesedihan di wajahnya. Katanya, dia menghabiskan beberapa tahun untuk mencari makam putra bungsunya yang tewas di Polandia itu. Semua biaya perjalanan selama mencari anaknya itu, katanya, ditanggung pemerintah. Sampai akhirnya dia menemukan makam putra bungsunya itu di Katowice, Polandia. Kalau sebelumnnya saban tahun dia mengadakan perjalanan ziarah ke kedua makam di negerinya sendiri, maka untuk perjalanan duka yang ketiga dia harus melintasi perbatasan.
Kereta bertolak kembali. Tiap setengah jam dia menggelitik pinggangku dari bawah, memintaku menemui kondektur, menanyakan sudah sampai di mana kami. Senin sore, kereta berhenti di Katowice. Ibu yang telah memberikan tiga yang terbaik dalam hidupnya untuk Patrioticeskaya Woina, perang patriotik habis-habisan dalam Perang Dunia II, di mana jutaan tentara maupun rakyat biasa Soviet terbunuh, menunjukkan kebaikan hatinya kepadaku. Kuanggap sebagai imbalan untuk gelitik dan kerepotanku mondar-mandir mencari kondektur. Kedua pojok mulutnya tersungging, dia senyum menatap mataku, dan dengan enteng tangannya memberikan semua bekalnya kepadaku: roti hitam, apel, keju serta sosis. “Salamku untuk Emakmu,” katanya mengelus kedua pipiku. Dia juga meninggalkan alamat, dan berharap aku berkenan mengunjunginya suatu ketika.
Desember 1962. Bingkai tingkap asramaku memutih dibalut es. Kujenguk keluar. Hanya ada warna putih. Seluruh alam berselimut salju. Pada saat seperti itu terasa benar bahwa aku berada di perantauan yang jauh, di mana batang kelapa, pohon singkong maupun akar bakau adalah mimpi di balik dunia yang lain. Aku teringat Emakku. Dengan siapa aku cinta dan hormat begitu tinggi. Perempuan Rusia teman segerbongku itu tertawa seperti dikocok perutnya ketika kuceritakan bahwa aku tidak hanya mencium Emakku menjelang tidur. Aku juga kerap menggumulnya, mencium pipinya, merenggut kakinya untuk kucium, hingga dia merasa malu melihat kebiasaanku yang berlebihan itu.
Pahit rasanya kalau rindu tak terpuaskan. Entah bagaimana, lamunanku pada kampung halaman mendorong hatiku untuk melangkahkan kaki ke luar asrama. Berdesak-desakan dengan angin yang perih membekukan pipi, aku menguak butir-butir salju menuju Ceremuskinskaya Ulitsa, tempat tinggal perempuan Rusia, kawan seperjalananku.
Begitu tiba, buru-buru kuketuk pintu. “Ibu! Ini aku, mahasiswa Indonesia. Kawanmu!” kataku mantap. Beberapa kali kuulangi ketukan dan kuucapkan kembali kata-kata itu. Diam. Hanya butir-butir salju yang menyahut, menumpuk di sepatuku.
Aku terpacak di bendul pintu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pintu terkuak. Dia berdiri dengan anggun. Kujulurkan tanganku. Cepat dia tangkap dan genggam kuat-kuat. Tanpa canggung-canggung kudekap dia. “Aku rindu negeriku, kangen Emakku, maka aku ke sini,” ucapku tanpa malu-malu.
Melihatku kedinginan, dia langsung mempersilakan aku masuk. Dia sibuk menyiapkan minuman, nyamikan, dan menghidangkannya. Sebagai balasan kuberikan majalah Druzhba, sekalipun kusangka dia sudah membacanya. Di situ aku menulis kisah pertemuanku dengannya, terutama upayanya bertahun-tahun mencari jiwa manusia ketiga yang telah dia sumbangkan untuk tanah airnya. “Hatimu Seputih Salju”.
Begitulah aku memujanya yang kuungkapkan dalam judul tulisanku itu.
Dia letakkan album foto di pangkuanku, membukakan halaman di mana dia kelihatan sedang berdiri di samping suaminya. Di lembar foto yang lain, dia tampak begitu hangat dengan kedua putranya. Mereka tertawa lepas, saling beradu pipi.
“Liliana meninggal musim gugur lalu,” katanya seperti menggigil sambil mengusap airmatanya. “Kecelakaan lalu lintas.”
“Yang di dalam foto-foto ini adalah Ibu.”
“Bukan. Bukan. Saya saudara kembar Liliana.”
“Apa salah saya, sehingga Ibu harus berbohong. Kalau Ibu tak mau saya kunjungi, katakan terus terang. Saya datang dari negeri yang jauh. Mengapa Ibu memperdaya?”
Dia gugup, menghampiri pangkuanku, mengatupkan album foto yang terbuka di pangkuanku, dan membawanya ke dalam kamar.
“Saya tahu saudara mengasihi, mengagumi, Liliana. Terima kasih. Saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan saudara,” katanya bergetar.
Aku mematung di sofa. Tak percaya dengan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Perlahan aku bangkit dan beringsut mau pergi. Dari belakang terasa tangannya memegangi bahuku. “Maafkan…” ucapnya lembut tersendat. Aku tak memalingkan muka, terus melangkah menerabas bulir salju. Merasa sedang dipermainkan.
Seminggu kemudian, aku datang kembali. Ketika bersalaman, kuperhatikan baik-baik jarinya, terutama telunjuknya yang suka menggelitikku. Aku mematut-matut diri di depannya. Aku tak salah ingat, tinggi kami sama. Kutatap matanya lama-lama. Juga kening dan kerut di lehernya. Aku tak pernah salah, dialah perempuan itu. “Maaf, Liliana sudah tak ada….” Begitulah dia terus mengulang-ulang kata yang menyakitkan itu. Dia membiarkan aku masuk. Membiarkan aku termangu.
Minggu berikutnya aku datang lagi. Dan datang, datang lagi, dengan keyakinan persahabatan tak boleh mati. Hatiku kecut ketika menerima surat dari dosenku, yang meminta aku supaya berhenti berkunjung ke rumah perempuan itu. Dasar kepala batu, aku tetap saja datang bertandang. Mengapa persahabatan harus dibungkam dengan cara licik begitu, pikirku. Sampai pun ketika sepasang Tentera Merah mencegatku di pintu, mencekal leher bajuku. “Durak…!” Sinting! Maki mereka berbareng, meludahi mukaku. Aku beranjak, menepiskan ludah yang membeku di pipiku. (*)
(Kepada Djoko Sri Moeljono, ilham cerita ini)
https://lakonhidup.com/2012/11/18/perempuan-yang-selalu-menggelitik-pinggangku/

Rabu, 14 November 2012

Purnawirawan Jenderal Angkatan Darat masih takut komunis

Rabu, 14 November 2012 12:15 | Reporter : Baiquni


Letkol Untung. wikipedia.org

Masa reformasi yang menghendaki kebebasan dianggap justru membangkitkan paham Komunisme. Ini terlihat dari munculnya beberapa gerakan yang mendukung adanya pengadilan ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) terkait peristiwa 1965. Para purnawirawan Angkatan darat masih khawatir komunisme bisa muncul dan tumbuh di Indonesia. [ian]

"Sinyalemen kebangkitan komunisme sudah terang-terangan, salah satunya dengan menuntut didirikannya pengadilan ad hoc untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM," ujar Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), Letjen (Purn) TNI Soerjadi di sela Sarasehan di Mess PPAD, Jl Matraman Raya, Jakarta, Rabu (14/11).

Soerjadi mengatakan, gerakan ini menuntut rekonsiliasi seperti rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM. "Mereka juga menuntut ganti rugi atas tuduhan kudeta yang mereka jalankan," kata dia.

Selanjutnya, Soerjadi merasa janggal atas tuntutan yang diminta gerakan itu. 

"Ini masalah kudeta. Ini jadi persoalan yg aneh di suatu negara," kata dia.
Lebih lanjut, Soerjadi menambahkan, kebangkitan komunisme patut diwaspadai lantaran menggunakan cara yang halus dan tidak terlihat. Bahkan, kata dia, komunisme kini sudah masuk di lingkungan penyelenggara negara.

"Mereka kini bersembunyi di tempat yang terang, terutama di kursi penyelenggara negara," pungkas dia.

Sumber: Merdeka.Com 

Senin, 12 November 2012

12 November 1926: Hari Pemberontakan Anti-Kolonial

13 November 2012 | 2:35


12 November tahun peringatan Pemberontakan kita di Indonesia Ya! ya! ya! Itulah yang akan, mendatangkan dunia kemerdekaan. Dari itu bersiaplah segera Hayo rapat kawan kita semua Hancurkanlah pengkhianat dunia Hayo rapat kawan kita semua… Berpuluh kawan di tiang gantungan Beratus-ratus melayang jiwanya. Laki dan istri dalam buangan Beribu-ribu di dalam penjara. Ya! ya! ya! Itulah yang akan, mendatangkan dunia kemerdekaan.

Itulah lirik lagu perjuangan “12 November”. Lagu ini mengingatkan kita pada peristiwa 12 November 1926. Dalam sejarah resmi Indonesia, peristiwa 12 November 1926 disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ironisnya, kendati pemberontakan ini diarahkan kepada penguasa kolonial, sejarah resmi Indonesia tak memberi apreasiasi secuil pun. Negara juga tidak memberikan penghormatan apapun terhadap peristiwa heroik itu. Sebaliknya, sejarah resmi berusaha memberi pengertian negatif terhadap pemberontakan 12 November 1927.

PKI menyiapkan pemberontakan ini selama setahun. Awalnya, pemberontakan ini digagas melalui sebuah Konferensi di Prambanan, 25 Desember 1925. Setelah setahun bersiap, dengan berbagai polemik yang menyertai internal PKI, pemberontakan 12 November 1926 pun pecah di tengah-tengah kekuasaan kolonial.

Awal pemberontakan bermula di Jakarta. Gerakan pemberontakan sudah berlangsung sejak sore hari 12 November. Menjelang tengah malam, gerakan pemberontak sudah bergerak menyerang polisi, merusak sambungan telpon, dan menyerbu penjara Glodok. Ratusan orang juga menyerang polisi di daerah meester cornelis (Jatinegara).

Pemberontakan serupa juga terjadi di Tangerang, Banten, Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kediri, dan Surakarta. Pemberontakan paling keras terjadi di Priangan dan Banten. Di kedua daerah itu, momen pemberontakan bertemu dengan keresahan luas di kalangan kaum tani. Sebagian besar pemberontak hanya bersenjatakan pisau dan kelewang. Hanya sebagian kecil yang menggunakan senapan.

Di Sumatera, pemberontakan PKI baru dimulai tanggal 1 Januari 1927. Pusat pemberontakan berlangsung di Sawahlunto (Silungkang). Di sini pemberontakan dipimpin langsung oleh PKI dan Sarekat Rakyat (SR). Sejumlah opsir berdarah Indonesia juga berpartisipasi dalam pemberontakan.

Pemberontakan PKI berhasil dipatahkan penguasa kolonial. Beberapa catatan menyebutkan, akibat pemberontakan menemui kegagalan, sekitar 13.000 orang ditangkap di seluruh Hindia-Belanda. Beberapa orang langsung ditembak. 5000 orang ditempatkan dalam penahanan untuk pencegahan. Lalu, 4500 orang dipenjara setelah pengadilan. Dan 1300-an orang dibuang ke Boven Digul, Papua.

Banyak kelompok kiri, termasuk bekas PKI seperti Tan Malaka, menyalahkan pemberontakan itu. Tan Malaka menganggap pemberontakan itu tindakan “advonturis” dan berakibat hancurnya satu generasi PKI. Baginya, sebelum PKI memutuskan pemberontakan, seharusnya dukungan rakyat sudah dipastikan.

Bagi seorang Ali Archam, seorang pemimpin PKI, tak ada yang patut disalahkan dari pemberontakan tersebut. 

Ia sendiri bilang, “suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara.”

Njoto, salah seorang pimpinan PKI di tahun 1950-an, juga menyampaikan apresiasinya yang besar terhadap pemberontakan itu. Njoto bilang, “pemberontakan itu mempunyai arti yang besar dalam membangkitkan kesadaran massa dan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri serta keyakinan akan kemenangan di hari depan.”

Hal senada diungkapkan DN Aidit, pimpinan CC-PKI, pada peringatan HUT PKI ke-35 tanggal 23 Mei 1955. Aidit tegas mengatakan, “satu hal yang tak bisa dilupakan, bahwa pemberontakan ini telah menunjukkan kepada Rakyat Indonesia, bahwa Belanda bisa dibuat kalang-kabut; kekuasan kolonial dapat digoyangkan; bahwa kekusaan kolonial bukan kekuasaan mutlak.”
 
Takashi Shiraishi, dalam bukunya “Zaman Bergerak”, juga memberikan pendapat mengenai pemberontakan itu. Katanya, sekalipun pemberontakan itu berakhir dengan kematian yang memilukan, tetapi sejak itu ide dan bentuk-bentuk pergerakan telah menjadi pengetahuan umum dalam bahasa melayu dan Indonesia.

Benar saja, tak lama setelah pemberontakan, generasi baru dari nasionalis radikal, dengan Sukarno sebagai tokohnya, telah muncul kembali di gelanggang pergerakan. Sukarno banyak mewarisi tradisi radikal dan revolusioner-nya PKI. Partai yang didirikan Soekarno, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), jelas-jelas mengambil jalan “Non-Koperasi”.

Soekarno sendiri mengakui hal itu. Dalam bukunya, Sarinah, tahun 1947, Soekarno mengatakan, “Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum Komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjuangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia.”

Lalu, saat menyampaikan pidato di HUT PNI ke-38 di Stadion Gelora Bung Karno, 25 Juli 1965, Soekarno kembali menegaskan penilaiannya terhadap pemberontakan PKI pada 12 November 1926 itu. Menurut Soekarno, pemberontakan PKI itu pada pokoknya sudah benar, karena bertekad merebut kekuasaan dari tangan kolonialis Belanda. Hanya saja, kata Sukarno, PKI salah dalam caranya, yakni kurang persiapan dalam menyiapkan pemberontakan.

Belakangan, ketika aura anti-komunisme menguat pasca G.30.S, Sukarno menolak untuk menghapus pengorbanan PKI dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Di hadapan Komando Aksi Mahasiswa (KAMI), 21 Desember 1965, Sukarno mengakui, karena perjuangan PKI mendatangkan Indonesia merdeka, 2000 pimpinan PKI dibuang ke Boven Digul. “Di sana mereka hidup, hidup sengsara sekali. Banyak yang mati di Boven Digul,” tandasnya.
Sukarno menandaskan, seperti juga kaum nasionalis dan agamais yang melakukan pengorbanan, PKI juga melakukan pengorbanan. Sukarno kemudian kuat-kuat mengingatkan, “jangan kau lupakan ini, saudara-saudara, bahwa PKI komunis, katakanlan PKI komunis, juga menyumbang kepada kemerdekaan Indonesia ini. Mereka pun berkorban habis-habisan untuk Indonesia Merdeka. Malahan aku yang menyaksikan segala hal itu berkata, pengorbanan mereka (PKI) dalam perjuangan Indonesia Merdeka lebih besar daripada pengorbanan yang partai-partai lain dan golongan-golongan lain telah adakan.”

Kini, 86 tahun setelah kejadian itu, kita sebagai sebuah bangsa seakan menapikan pengorbanan para pejuang kemerdekaan pada peristiwa ini. Tidak sedikit diantara mereka adalah patriot-patriot kemerdekaan. Cita-cita mereka pun cukup jelas: mendatangkan dunia kemerdekaan! Karena itu, sangat pantas jika tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Pemberontakan Anti-Kolonial atau Hari Anti-Kolonialisme.

Kita harus lapang-dada dalam melihat sejarah. Prasangka buruk, apalagi ketidakberdayaan akibat rekayasa sejarah, hanya akan membuat kita “tidak berlaku adil sejak dalam fikiran”. Kalau itu terjadi, kita tidak akan pernah bisa melangkah dengan kaki sempurna menuju masa depan. Sebab, satu kaki kita ditawan oleh sejarah.

Mahesa Danu
 
http://www.berdikarionline.com/12-november-1926-pemberontakan-anti-kolonial-pertama/

Rabu, 07 November 2012

Bung Hatta terjepit Soekarno dan Soeharto

Rabu, 7 November 2012 09:47 | Reporter : Ramadhian Fadillah

Mohammad Hatta. image.bzlink.us

Soeharto menganggap Soekarno terlibat G30S. Soeharto pula yang memenjarakan Soekarno dalam tahanan rumah hingga akhirnya proklamator Republik Indonesia ini meninggal. Saat Orde Baru memang Soeharto memberangus semua hal yang berbau Orde Lama.

Dengan alasan ini wajar jika Soeharto tak mau memberikan gelar pahlawan Nasional untuk Soekarno. Tapi efeknya, gelar pahlawan nasional untuk Mohammad Hatta juga terganjal. Padahal Hatta tak punya masalah apa-apa dengan Soeharto. Secara politik, Hatta juga sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden Soekarno jauh sebelum peristiwa 65 terjadi.

Baru hari ini juga Mohammad Hatta mendapat gelar pahlawan nasional bersama Soekarno. Padahal Hatta mempunyai jasa besar pada Republik, baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka. Kenapa Soeharto juga ikut menunda pemberian gelar pada Hatta?
"Karena Soekarno-Hatta itu adalah dwitunggal. Mereka adalah bagian yang terpisahkan. Jika saat itu Soekarno hanya memberikan gelar pahlawan untuk Hatta, tentu ada pertanyaan kenapa hanya Hatta yang diberi," kata pengamat politik Ray Rangkuti saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu (7/11).
Jika hanya Hatta yang diberi gelar maka pasti akan jadi sorotan di masyarakat. Dosa apa Soekarno pada Soeharto sehingga tidak diberi gelar pahlawan nasional, sementara Hatta dapat.
"Maka mungkin Soeharto berfikir lebih baik tidak diberikan keduanya," kata Ray.
Maka puluhan tahun jasa Bung Hatta dinafikan karena politik. [ian]

Sumber: Merdeka.Com 

Senin, 05 November 2012

Salah Kaprah dalam Sejarah

Bonnie Triyana | 5 November 2012

Sebuah buku yang menggugat sejarah sekaligus menyuguhkan versi sejarah yang baru.



Ilustrasi: Mickmeon. Sumber: Bad History, How We Got The Past Wrong karya Emma Marriott

BUKU ini dibuka dengan sebuah kutipan yang mengejutkan dari George Santayana tentang sejarah. 
“Sejarah adalah sekotak kebohongan tentang peristiwa yang tak pernah terjadi yang dituturkan oleh orang yang tak pernah berada di sana,” kata dia seperti dikutip di awal buku. Tak bisa dibayangkan bagaimana kebohongan diajarkan dari satu generasi ke generasi lainnya dan akhirnya diterima sebagai kebenaran. Namun buku ini mengajukan sejumlah kebohongan itu.
James Watt ternyata bukan penemu mesin uap yang mendorong lahirnya revolusi industri di Inggris. Tujuh puluh tahun sebelum Watt menemukan mesin uap, pada 1712 Newcomen telah lebih dulu menemukan mesin yang menggunakan uap air untuk menggerakan piston dan silinder. Mesin dengan prinsip kerja itulah yang kemudian dikembangkan oleh Watt.
Watt mengembangkan mesin tersebut ketika dia bekerja di Glasgow University antara tahun 1763 sampai 1764. Dia diminta untuk memperbaiki mesin Newcomen yang kerap panas dan silindernya harus didinginkan setiap saat. Watt kemudian memodifikasi mesin dengan menggunakan dua silinder dan menggunakan kondensor untuk mendinginkan dan memisahkan silinder dari ruang piston.
Namun sudah jadi keterlanjuran sejarah apabila nama James Watt dikenal luas sebagai penemu mesin uap. Sehingga dari anak sekolah sampai siapa pun pasti akan menyebut Watt sebagai penemu mesin uap. Tapi buku ini memorak-porandakan versi yang sudah keburu diterima sebagai kebenaran sejarah itu.
Tak hanya menggugat James Watt sebagai penemu mesin uap, buku yang ditulis oleh Emma Marriott ini juga mempertanyakan kisah "Wild West" dalam sejarah Amerika. Kata dia koboy yang digambarkan sebagai pria jantan petualang berkuda dan kerapkali duel pistol itu adalah isapan jempol belaka. Jumlah koboy pun satu banding seribu. Dan para koboy itu menurut Emma tak mati gara-gara duel pistol tapi karena sakit atau kecelakaan ketika menunggangi kuda.
Penggambaran sejarah secara berlebihan memang sering terjadi. Sebagian besar karena kencenderungan romantisme pada mereka yang mengenang masa lalu. Romantisme muncul karena dorongan untuk mencari rujukan akar persoalan atau penjelasan tentang apa yang terjadi di masa kini. Atau malah acapkali wujud frustrasi menghadapi kekinian yang tak pernah berpihak menjadi nasib baik.
Mengenang masa lalu pun bisa jadi salah satu bentuk tamasya. Serupa obrolan dengan kawan lama tentang segala macam pernak-pernik kisah masa lalu yang mengundang tawa juga air mata. Namun upaya menghadirkan kisah masa lalu pun seringkali memiliki kencenderungan untuk mengurangi atau melebih-lebihkan narasi peristiwa itu sendiri.
Itulah yang hendak digugat oleh buku ini: bahwa sejarah kadang-kadang diajarkan dengan cara yang salah, tak akurat, diputarbalikkan dan berlebihan. Mitos dalam sejarah, seperti cerita legenda, yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya bisa mendatangkan kehancuran ketika digunakan sebagai alat politik.
Kultus individu dalam sejarah sering terjadi dan selalu digunakan oleh para pendukung seorang tokoh untuk melanggengkan kekuasaan yang diwariskan dari si tokoh. Buku ini mengambil contoh Otto von Bismarck, bapak Jerman modern yang dikenang sebagai pahlawan bangsa Jerman. Dia diangap sebagai pemersatu bangsa Jerman yang seakan hidup tanpa cela.
Namun setelah Bismarck mengundurkan diri pada 1890 dan meninggal delapan tahun kemudian, kelompok konservatif dan liberal menuduhnya sebagai tokoh politik kejam yang menjalankan politik “besi dan darah”, mengambil judul pidatonya pada 1862. Mitologisasi Bismarck mendorong tokoh-tokoh politik Jerman di beberapa masa selanjutnya menjadikan dia sebagai rujukan kejayaan Jerman, termasuk Hitler yang menyalahgunakannya.
Buku ini juga membahas tuduhan kepada Colombus sebagai pembawa wabah sipilis ke daratan Eropa. Banyak yang percaya bahwa Colombus dan anak buahnya membawa penyakit itu dari benua Amerika yang ditemukannya pada 1492. Ternyata kabar itu hanyalah isapan jempol karena penyakit sipilis telah ada di daratan Eropa jauh sebelum Colombus menginjakkan kakinya di dunia yang baru itu.
Soal kedatangan Colombus ke Amerika pun penuh kontroversi, Gavin Menzies dalam bukunya1421: The Year China Discovered the World menyanggah versi yang menyebutkan Colombus sebagai penemu benua Amerika. Menurut Gavin bangsa Tiongkoklah yang menemukan Amerika pertama kali pada 1421.
Kekeliruan-kekeliruan dalam sejarah yang ditulis dalam buku ini meliputi beberapa hal, mulai kisah koboy Amerika, Joseph Guillotine sang penemu alat pancung guillotine, sampai James Watt yang ternyata bukan orang pertama yang menemukan mesin uap.
Dalam sejarah terdapat istilah accepted history atau sejarah –yang pada akhirnya– diterima sebagai sebuah kebenaran. Semisal soal dwitunggal Sukarno-Hatta, yang dipercaya banyak orang sebagai sebuah satu kesatuan tokoh Sukarno dengan Hatta. Mereka wujud dari simbol kesatuan tokoh perjuangan di dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Yang kemudian orang abai adalah konflik yang terjadi di antara mereka, yang justru tak sama sekali mencerminkan kebersatuan.
Serikali pula terjadi reifikasi dalam sejarah. Sebuah hal yang berpijak di atas cerita, legenda, mitologi atau bahkan propaganda politik yang disiarkan, direproduksi secara terus-menerus sehingga menimbulkan kesan bahwa itu benar adanya. Itulah yang dikritik oleh Emma Marriott lewat buku setebal 192 halaman ini.
Sejarah memang selalu jadi alat ampuh untuk melegitimasi kekuasaan atau bahkan mendelegitimasinya. Dalam suasana politik tertentu pengungkapan sejarah yang faktual justru bisa mendatangkan marabahaya. Di Indonesia, Orde Baru menjadi contoh terbaik bagaimana sejarah diajarkan secara sepihak dan digunakan untuk mengukuhkan posisi kekuasaan Soeharto. Buku ini pun memberikan contoh bagaimana Jerman di zaman Otto von Bismarck dan Kaisar Frederick dijadikan rujukan historis oleh Hitler untuk mengklaim dialah penerus kekaisaran ketiga (The Third Reich). Dan dari sanalah segala macam bencana kemanusiaan terbesar abad yang lalu bermula.
Tapi bukan sejarah kalau tanpa disertai perdebatan. Buku ini pun, sebagaimana yang diakui oleh penulisnya sendiri, mengandung banyak hal yang bisa diperdebatkan. Tawarannya untuk menelaah sejarah dari sudut pandang yang lain, pun mengundang perdebatan baru: apakah ini soal tafsir baru atau memang berdasarkan temuan baru?
“Sebagian orang boleh tak setuju,” kata Emma Marriott. Namun dia menegaskan bahwa dia tak bermaksud memaksakan versi dan temuannya sebagai sebuah kebenaran. Karena, mengutip sejarawan Pieter Geyl "sejarah adalah argumentasi yang tak pernah berakhir."
Sumber: Historia.Id