Senin, 05 November 2012

Salah Kaprah dalam Sejarah

Bonnie Triyana | 5 November 2012


Sebuah buku yang menggugat sejarah sekaligus menyuguhkan versi sejarah yang baru.



Ilustrasi: Mickmeon. Sumber: Bad History, How We Got The Past Wrong karya Emma Marriott

BUKU ini dibuka dengan sebuah kutipan yang mengejutkan dari George Santayana tentang sejarah. 
“Sejarah adalah sekotak kebohongan tentang peristiwa yang tak pernah terjadi yang dituturkan oleh orang yang tak pernah berada di sana,” kata dia seperti dikutip di awal buku. Tak bisa dibayangkan bagaimana kebohongan diajarkan dari satu generasi ke generasi lainnya dan akhirnya diterima sebagai kebenaran. Namun buku ini mengajukan sejumlah kebohongan itu.
James Watt ternyata bukan penemu mesin uap yang mendorong lahirnya revolusi industri di Inggris. Tujuh puluh tahun sebelum Watt menemukan mesin uap, pada 1712 Newcomen telah lebih dulu menemukan mesin yang menggunakan uap air untuk menggerakan piston dan silinder. Mesin dengan prinsip kerja itulah yang kemudian dikembangkan oleh Watt.
Watt mengembangkan mesin tersebut ketika dia bekerja di Glasgow University antara tahun 1763 sampai 1764. Dia diminta untuk memperbaiki mesin Newcomen yang kerap panas dan silindernya harus didinginkan setiap saat. Watt kemudian memodifikasi mesin dengan menggunakan dua silinder dan menggunakan kondensor untuk mendinginkan dan memisahkan silinder dari ruang piston.
Namun sudah jadi keterlanjuran sejarah apabila nama James Watt dikenal luas sebagai penemu mesin uap. Sehingga dari anak sekolah sampai siapa pun pasti akan menyebut Watt sebagai penemu mesin uap. Tapi buku ini memorak-porandakan versi yang sudah keburu diterima sebagai kebenaran sejarah itu.
Tak hanya menggugat James Watt sebagai penemu mesin uap, buku yang ditulis oleh Emma Marriott ini juga mempertanyakan kisah "Wild West" dalam sejarah Amerika. Kata dia koboy yang digambarkan sebagai pria jantan petualang berkuda dan kerapkali duel pistol itu adalah isapan jempol belaka. Jumlah koboy pun satu banding seribu. Dan para koboy itu menurut Emma tak mati gara-gara duel pistol tapi karena sakit atau kecelakaan ketika menunggangi kuda.
Penggambaran sejarah secara berlebihan memang sering terjadi. Sebagian besar karena kencenderungan romantisme pada mereka yang mengenang masa lalu. Romantisme muncul karena dorongan untuk mencari rujukan akar persoalan atau penjelasan tentang apa yang terjadi di masa kini. Atau malah acapkali wujud frustrasi menghadapi kekinian yang tak pernah berpihak menjadi nasib baik.
Mengenang masa lalu pun bisa jadi salah satu bentuk tamasya. Serupa obrolan dengan kawan lama tentang segala macam pernak-pernik kisah masa lalu yang mengundang tawa juga air mata. Namun upaya menghadirkan kisah masa lalu pun seringkali memiliki kencenderungan untuk mengurangi atau melebih-lebihkan narasi peristiwa itu sendiri.
Itulah yang hendak digugat oleh buku ini: bahwa sejarah kadang-kadang diajarkan dengan cara yang salah, tak akurat, diputarbalikkan dan berlebihan. Mitos dalam sejarah, seperti cerita legenda, yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya bisa mendatangkan kehancuran ketika digunakan sebagai alat politik.
Kultus individu dalam sejarah sering terjadi dan selalu digunakan oleh para pendukung seorang tokoh untuk melanggengkan kekuasaan yang diwariskan dari si tokoh. Buku ini mengambil contoh Otto von Bismarck, bapak Jerman modern yang dikenang sebagai pahlawan bangsa Jerman. Dia diangap sebagai pemersatu bangsa Jerman yang seakan hidup tanpa cela.
Namun setelah Bismarck mengundurkan diri pada 1890 dan meninggal delapan tahun kemudian, kelompok konservatif dan liberal menuduhnya sebagai tokoh politik kejam yang menjalankan politik “besi dan darah”, mengambil judul pidatonya pada 1862. Mitologisasi Bismarck mendorong tokoh-tokoh politik Jerman di beberapa masa selanjutnya menjadikan dia sebagai rujukan kejayaan Jerman, termasuk Hitler yang menyalahgunakannya.
Buku ini juga membahas tuduhan kepada Colombus sebagai pembawa wabah sipilis ke daratan Eropa. Banyak yang percaya bahwa Colombus dan anak buahnya membawa penyakit itu dari benua Amerika yang ditemukannya pada 1492. Ternyata kabar itu hanyalah isapan jempol karena penyakit sipilis telah ada di daratan Eropa jauh sebelum Colombus menginjakkan kakinya di dunia yang baru itu.
Soal kedatangan Colombus ke Amerika pun penuh kontroversi, Gavin Menzies dalam bukunya1421: The Year China Discovered the World menyanggah versi yang menyebutkan Colombus sebagai penemu benua Amerika. Menurut Gavin bangsa Tiongkoklah yang menemukan Amerika pertama kali pada 1421.
Kekeliruan-kekeliruan dalam sejarah yang ditulis dalam buku ini meliputi beberapa hal, mulai kisah koboy Amerika, Joseph Guillotine sang penemu alat pancung guillotine, sampai James Watt yang ternyata bukan orang pertama yang menemukan mesin uap.
Dalam sejarah terdapat istilah accepted history atau sejarah –yang pada akhirnya– diterima sebagai sebuah kebenaran. Semisal soal dwitunggal Sukarno-Hatta, yang dipercaya banyak orang sebagai sebuah satu kesatuan tokoh Sukarno dengan Hatta. Mereka wujud dari simbol kesatuan tokoh perjuangan di dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Yang kemudian orang abai adalah konflik yang terjadi di antara mereka, yang justru tak sama sekali mencerminkan kebersatuan.
Serikali pula terjadi reifikasi dalam sejarah. Sebuah hal yang berpijak di atas cerita, legenda, mitologi atau bahkan propaganda politik yang disiarkan, direproduksi secara terus-menerus sehingga menimbulkan kesan bahwa itu benar adanya. Itulah yang dikritik oleh Emma Marriott lewat buku setebal 192 halaman ini.
Sejarah memang selalu jadi alat ampuh untuk melegitimasi kekuasaan atau bahkan mendelegitimasinya. Dalam suasana politik tertentu pengungkapan sejarah yang faktual justru bisa mendatangkan marabahaya. Di Indonesia, Orde Baru menjadi contoh terbaik bagaimana sejarah diajarkan secara sepihak dan digunakan untuk mengukuhkan posisi kekuasaan Soeharto. Buku ini pun memberikan contoh bagaimana Jerman di zaman Otto von Bismarck dan Kaisar Frederick dijadikan rujukan historis oleh Hitler untuk mengklaim dialah penerus kekaisaran ketiga (The Third Reich). Dan dari sanalah segala macam bencana kemanusiaan terbesar abad yang lalu bermula.
Tapi bukan sejarah kalau tanpa disertai perdebatan. Buku ini pun, sebagaimana yang diakui oleh penulisnya sendiri, mengandung banyak hal yang bisa diperdebatkan. Tawarannya untuk menelaah sejarah dari sudut pandang yang lain, pun mengundang perdebatan baru: apakah ini soal tafsir baru atau memang berdasarkan temuan baru?
“Sebagian orang boleh tak setuju,” kata Emma Marriott. Namun dia menegaskan bahwa dia tak bermaksud memaksakan versi dan temuannya sebagai sebuah kebenaran. Karena, mengutip sejarawan Pieter Geyl "sejarah adalah argumentasi yang tak pernah berakhir."
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar