HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Senin, 31 Juli 2017

Mengenang Kembali Horor Ravensbrück, Kamp Konsentrasi Nazi Khusus Perempuan



Sekelompok sipir perempuan Jerman pada 1946 diadili atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan di kamp konsentrasi. Tragisnya kasus mengerikan di Ravensbrück sekarang tak banyak diketahui.


Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.
Tujuh puluh satu tahun yang lalu, tepatnya pada 5 Desember 1946, pengadilan kejahatan perang Ravensbrück, di Kota Hamburg, dimulai. Terletak sembilan puluh kilometer utara dari Berlin dan dibuka pada 1939, Ravensbrück merupakan kamp Nazi perempuan terbesar dan paling jahat. Dari 16 orang yang diadili pada hari itu, tujuh di antaranya adalah perempuan. Salah satunya adalah Dorothea Binz, 26 tahun, seorang Asisten Kepala Penjara atau Oberaufseherin. Kejahatan Binz termasuk penembakan serta melepaskan anjing penjaga ke para tawanan. Ketika pengadilan berakhir di Juli 1948, 21 dari 38 individu yang dinyatakan bersalah adalah perempuan.
Kisah Ravensbrück menyingkap fakta sejarah menyakitkan dan kurang disorot tentang peran perempuan dalam Nazi. Ravensbrück dikenal sebagai fasilitas pelatihan utama bagi ribuan penjaga Nazi perempuan, dikenal sebagai Aufseherinnen. Sempat dilatih dalam bidang seni kekerasan—termasuk seni pelecehan secara psikologis, hingga menghajar dan mencambuk—para perempuan ini dikerahkan ke beberapa kamp Nazi. Contohnya Irma Grese, diberi julukan Hyena Auschwitz, yang memulai karirnya di Ravensbrück di 1942. Kamp ini juga dikenal karena hampir seluruhnya dioperasikan oleh Aufseherinnen, sementara Dorothea Binz menjabat sebagai kepala penjara.
"Kita wajib membicarakan struktur masyarakat yang sangat patriarkis di zaman itu maupun dalam struktur Partai Nazi. Kita mesti ingat itu," kata Dr Rochelle G. Saidel saat saya wawancarai lewat telepon. Dia adalah Direktur Eksekutif Yayasan Remember the Women Institute di New York dan penulis buku The Jewish Women of Ravensbrück Concentration Camp. "Para perempuan tidak bisa menjadi pasukan SS, yang ditujukan untuk lelaki. Perempuan dianggap sebagai peran pembantu saja. Banyak dari perempuan ini sangat brutal… Biasanya mereka datang dari latar belakang kelas menengah atau lebih rendah. [Menjadi sipir kamp konsentrasi] memberi mereka status sosial lebih tinggi dan mereka menyukainya."
Ketika Ravensbrück dibuka, kondisinya cenderung lebih ramah dibanding kamp-kamp lain. Komunis asal Jerman, Margarete Buber-Neumann yang menyambangi kamp setelah menghabiskan waktu di Gulag Rusia mengingat kesan pertamanya soal Ravensbrück. "Ini kamp konsentrasi?" 

Suasana ramah pada tahanan berubah, seiring Perang Dunia II makin meluas ke banyak front. Kondisi kamp semakin memburuk menjelang kejatuhan Adolf Hitler. Ravensbrück mulai penuh sesak. Banyak tahanan terjangkit penyakit dan kekurangan gizi. Untuk bisa memenuhi kebutuhan perang Jerman, tahanan dipaksa bekerja lebih keras dan lebih lama dalam kondisi mengenaskan. Dilaporkan 74 tahanan perempuan asal Polandia, dijuluki "kelinci" di Ravensbrück, mengalami siksaan eksperimen medis di tangan para dokter kamp.
Tahanan Yahudi di Ravensbrück. Foto berasal dari 1939 via Wikimedia Commons
Selama Perang Dunia II berlangsung, lebih dari 130.000 tahanan perempuan sempat masuk ke kamp ini. Tentu saja, tidak semuanya Yahudi. Termasuk diantaranya anggota pasukan pemberontak, komunis, cendekiawan, anggota komunitas Romani, dan banyak lainnya yang tidak mengikuti standar ideal feminitas ala Nazi. Beberapa perempuan datang dengan anak-anaknya, dan lainnya melahirkan di dalam kamp. Para tahanan datang dari berbagai negara Eropa jajahan Jerman saat itu: Rusia, Perancis, Jerman, Belanda, dan penyumbang terbesar, Polandia. Sekitar 26 ribu tahanan yang menghabiskan waktu di Ravensbrück diduga orang Yahudi.
"Kondisi kamp memang tidak kondusif bagi semua perempuan tapi dari penelitian saya, perempuan Yahudilah yang mengalami situasi terburuk. Mereka diperlakukan lebih kasar, dan kondisi hidup mereka lebih parah," kata Dr Saidel. Antara kurun 1942 dan 1943, tahanan Yahudi dipindahkan dari Ravensbrück. Kebanyakan dikirim ke Auschwitz serta ke kamas gas dekat Kota Bernberg untuk dihabisi.
Foto-foto tahanan di monumen mengenang korban Ravensbrück. Foto via Flickr milik akun ho visto nina volare
Tahanan politik Yahudi diberikan hukuman khusus, ungkap Dr Saidel. "Kalau anda tahanan politik tapi bukan orang Yahudi, anda memiliki kesempatan lebih besar bertahan hidup. Para perempuan Yahudi yang menjadi tahanan politik, entah karena dia berideologi sosial demokrat atau komunis, pasti langsung dibunuh. Perintah penahanan memiliki beberapa kolom berbeda: ada kolom 'tahanan politik' dan seterusnya. Ada juga kolom untuk 'Yahudi.' Perempuan-perempuan Yahudi masuk ke dalam dua kategori tersebut."
Selama penelitiannya, Dr Saidel berbicara dengan penyintas Ravensbrück dan saudara-saudari mereka. Dia menceritakan kisah luar biasa sosok tahana bernama Gemma La Guardia Gluck, adik perempuan dari Fiorello La Guardia, mantan wali kota New York. Gluck, seorang warga Yahudi kelahiran AS yang menikahi seorang warga Hungaria, tengah tinggal di Budapest ketika pasukan Nazi menyerbu Rumania. Dia dipenjara di Ravensbrück ketika berumur 65 tahun tapi berhasil bertahan hidup. Ketika dilepaskan, dia sadar bahwa salah satu anak perempuan dan cucunya juga ditahan di waktu yang bersamaan, dalam ruang isolasi.
Nazi menciptakan sistem yang membuat siapapun bersedia melakukan tindakan jahat paling bengis bisa dilakukan seorang manusia.
"Gemma menulis di memoarnya, "Saya melihat si bayi dan berpikir, 'Di mana saya bisa mengubur dia?' Dia baru berumur satu tahun dan dalam kondisi yang tidak baik," kata Dr Saidel menirukan pengakuan Gemma. "Untunglah setelah perang berakhir, Gemma dan keluarganya berhasil bertahan hidup di Berlin. Di saat itu Fiorello sudah menjadi kepala usaha bantuan pengungsi di AS. Dia tidak tahu di mana adiknya selama itu. Akhirnya sang adik berhasil menghubunginya. Dia orang yang keras, dan tidak mau melanggar peraturan bahkan untuk adiknya sendiri. Saat itu, hukum mengharuskan perempuan yang menikah untuk mengikuti kewarganegaraan sang suami." 

Seiring waktu, Gluck dan keluarganya pindah ke New York.
"Perempuan dianggap sebagai figur Ibu, pemelihara, pengasuh—lalu bagaimana anggapan ini bisa kita pakai melihat realitas dari Holocaust di berbagai kamp konsentrasi?" tanya Daniel Patrick Brown seiring kami membahas kamp Ravensbrück. Dia adalah penulis dari buku The Camp Women, salah satu penelitian pertama tentang peran perempuan dalam sepak terjang Nazi. "Saya selalu menyebutkan fakta bahwa pelatihan dan latar belakang mempunyai efek besar terhadap bagaimana seseorang beraksi dan bereaksi. Nazi menciptakan sebuah sistem yang bisa mendorong menjadi manusia paling kejam. Pelatihannya didesain untuk menjadikan para perempuan bersikap keras, bahkan melakukan apapun yang perlu dilakukan. Dalam banyak kasus, pendekatan ini sukses. Tapi tentu saja kita tidak boleh memaklumi kejahatan tersebut dengan hanya mengatakan, 'Oh, mereka dilatih untuk melakukan tindakan semacam itu.'"
Krematorium di dalam kawasan Ravensbrück. Foto via Wikimedia Commons
Banyak nama kamp lainnya menjadi perlambang kekejaman rezim Nazi, namun belum banyak yang tahu tentang cerita para penyintas dan korban dari kamp Ravensbrück dan siapa saja yang bertanggung jawab atas kebiadaban di sana. 

Saya bertanya ke Dr Saidel apakah kamp ini terlupakan dalam kajian sejarah populer alntaran tersebut berisikan perempuan? "Itu salah satu alasannya tapi ada alasan lain," ujarnya. 

"Ravensbrück berada di area yang nantinya akan menjadi Jerman Timur. Banyak orang dari Jerman Barat tidak bisa pergi ke sana. Saya beruntung bisa berkunjung ke sana awal 1980; ini adalah kejadian yang jarang terjadi. Ada sekitar 20.000 pasukan Soviet yang ditempatkan di sana saat itu. Ketika saya memulai penelitian, Perang Dingin sedang berlangsung antara AS-Soviet, sehingga lebih banyak perhatian tertuju ke perang dua negara adidaya tersebut. Memang banyak kamp lain di Jerman Timur yang ditujukan untuk lelaki dan mereka mendapatkan lebih banyak perhatian. Fakta bahwa Ravensbrück adalah kamp perempuan tentu saja tetap berkontribusi yang menyebabkan cerita mengerikan dari kamp ini agak diabaikan oleh banyak ahli sejarah."

Beberapa tahun terakhir, Ravensbrück dan peran perempuan dalam kamp Nazi baru mulai mendapatkan perhatian. Banyak penulis dan peneliti melanjutkan pekerjaan yang dibangun oleh Dr Saidel, Daniel Patrick Brown, dan lainnya. Biarpun cerita tentang perempuan Ravensbrück kini sudah menjadi bagian dari sejarah, pelajaran yang kita bisa tarik dari kisah Ravensbrück tetap sangatlah penting. 
Vice.Com 

Jumat, 28 Juli 2017

Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli

Jum'at 28 Juli 2017 WIB

Cerita para aktivis PRD yang ditangkap dan mengalami penyiksaan oleh aparat keamanan. Sebagian hilang tak tentu rimbanya

Deklarasi PRD. 
Foto

Pemerintah menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pada hari itu, kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati Sukarnoputri diserang oleh massa pendukung Soerjadi yang disokong tentara Orde Baru. Aparat pemerintah kemudian memburu aktivis PRD.

Pada 2 Agustus 1996, aparat militer, kepolisian dan kejaksaan menyerbu rumah Garda Sembiring di Bogor. Mereka gagal menangkap ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) cabang Jabodetabek itu. Setelah menyingkir ke belakang kampus IISIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dia dan teman-temannya kemudian menyebar. Dia memilih menginap di kos temannya seorang mahasiswa Fakultas Teknik UI di Kukusan Teknik, Depok, Jawa Barat.

Pada 11 Agustus 1996 pukul dua dini hari, kamar kos itu dibuka paksa oleh orang berpakaian sipil yang membawa senajata api. Garda bersama temannya, Victor da Costa, Puthut Arintoko, dan Ignatius Pranowo, ditangkap. Dengan mata tertutup dan diborgol, mereka didorong masuk ke dalam mobil. Tubuh mereka diinjak. Dari radio para penawan ini, Garda mendengar bahwa operasi harus dipercepat.

Perasaan Garda berkecamuk terlebih memikirkan nasib temannya yang masih muda. Putut misalnya, masih mahasiswa hukum semester satu di Universitas Jenderal Soedirman. “Kami merasa kalau kami akan jadi kambing hitam (peristiwa Kudatuli) dan akan diburu. Lalu kami melakukan evakuasi,” kata Garda yang saat itu berusia 26 tahun kepada Historia.

Garda ditahan di Wisma Sudirman di kompleks Sat.Lid Badan Intelejen ABRI. “Saya tahu namanya setelah saya diinterogasi selama seminggu. Belakangan saya tahu saya ditahan di wilayah Ragunan,” kata Garda. Di sana, rupanya sudah ada Budiman Sujatmiko (ketua PRD) dan Petrus Haryanto (sekretaris jenderal PRD) yang ditempatkan pada sel yang terpisah.

Dalam seminggu masa tahanan, Garda diinterogasi terus-menerus dan tidak diberi waktu istirahat yang cukup. Pada awal masa tahanan, seorang berseragam kejaksaan ditugaskan untuk menginterogasinya. Dia menjelaskan bahwa Garda dikenakan pasal subversi.

“Jadi, yang mewawancarai cuma satu, orang kejaksaan. Cuma orang-orang yang di sampingnya dari berbagai angkatan yang berbuat sesukanya,” ungkap Garda. Belakangan, interogasi tidak dilakukan oleh petugas kejaksaan. Aparat melakukan interogasi dengan berbagai siksaan: pukulan, tempelengan, bahkan membenturkan kepala ke tembok. “Rasanya sudah nggak ada bedanya apakah dipukul atau dibenturkan ke tembok. Awalnya saya merasa sakit tapi lama-lama saya mati rasa,” kata Garda.

Garda masih ingat pertanyaan yang dilontarkan selama interogasi. Kebanyakan pertanyaan seputar posisi teman-teman Garda yang juga jadi incaran aparat. Beberapa pertanyaan lebih bersifat mengonfirmasi karena aparat telah memiliki daftar nama yang harus mereka cari. Garda memilih diam, mengamankan temannya. Keteguhannya berbuah siksaan.

“Setelah sekian hari saya dikunjungi oleh Yorrys Raweyai. Dia membujuk saya untuk kooperatif tapi saya tidak mau. Saya ditawari teh dan rokok, tapi saya menolak. Yang saya butuhkan ketika itu adalah pisau cukur,” kata Garda.

Setelah seminggu ditahan dan disiksa, Garda akhirnya dipindahkan ke Kejaksaan Agung. Dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tertulis bahwa Garda ditempatkan di Kejaksaan Agung sejak awal. Dia menolak BAP itu karena tidak benar. “Ada beberapa nama yang saya ingat. Ada Kolonel Havel yang disebut bertanggung jawab atas nasib kami,” katanya.

Nasib hampir sama juga dialami oleh Wahyu Susilo, adik dari penyair Wiji Thukul. Puisi-puisinya membuat gerah penguasa Orde Baru. Aparat keamanan memburun aktivis PRD itu. Kisah mengenai persembunyian Wiji Thukul memang banyak terdengar. Sang adik ditangkap karena dituduh menyembunyikan kakaknya.

Pada 31 Agustus 1996, Wahyu ditangkap di Kantor Solidaritas Perempuan di Kawasan Otista, Jakarta Timur. Ada dua truk pengangkut polisi yang bertugas menggeledah Kantor Solidaritas Perempuan. Wahyu ditangkap dan dibawa ke daerah Kalibata, Jakarta Selatan, kemudian dipindahkan ke Pejaten, Jakarta Selatan. Dia menduga bahwa tempatnya ditahan dulu merupakan Kantor BIN sekarang. Senasib dengan Garda, Wahyu juga mengalami penyiksaan selama interogasi. Petugas menanyai keberadaan kakaknya, bila jawabannya tak memuaskan mereka, Wahyu dipukul bahkan disetrum.

Nia Damayanti, mantan aktivis SMID Surabaya juga ditangkap. Nia tidak disiksa secara fisik seperti Garda dan Wahyu, tapi ditekan secara mental.

Pada Malam 9 September 1996, Nia didatangi ketua RT dan Letnan Budi. Ayah Nia menolak menyerahkan anaknya dan mengantarnya ke tempat interogasi menggunakan mobil pribadi. Sedang Letnan Budi beserta anak buahnya mengendarai mobil yang berbeda. Dari tulisan yang tertera di kursi, Nia tahu bahwa tempat itu adalah Markas Komando Deninteldam V Brawijaya.

Pada hari pertama interogasi, Nia bertemu dengan Erli, Wulan, dan Atok, temannya sesama aktivis. Interogasi intens dilakukan hingga pukul tujuh pagi. Ditanyai terus-menerus oleh petugas bersenjata membuat Nia merasa tertekan. “Saya ditunjukkan sel yang pernah dihuni Marsinah,” kata Nia. Interrogator itu berkata, “Ini sel dulu ditempati Marsinah. Kamu tahu Marsinah, kan?”

Nia mengakui depresi selama masa interogasi. Dia tak bisa mengingat siang atau malam. Beberapa kali interogasi sempat dihentikan karena dia histeris. “Saya tidak mengalami siksaan fisik. Teman saya, Lisa Febrianti pernah dilempar asbak,” katanya.

Menurut Lilik HS penangkapan aktivis PRD paling besar dilakukan di Surabaya. Ada 26 anggota PRD yang ditangkap. “Sebagian besar yang ditangkap adalah mahasiswa, beberapa ada pula yang buruh,” kata Lilik. Penangkapan dilakukan di indekos, rumah, kampus, bahkan lokasi KKN (Kuliah Kerja Nyata).

“Mereka mengalami penyiksaan dan dilepas sekitar satu bulan kemudian. Saya ketika itu tidak ikut tertangkap,” kata Lilik. Kasus penangkapan aktivis di Surabaya kemudian dilimpahkan ke Polda Jawa Timur.

Garda, Wahyu, dan Nia hanya sebagian kecil dari banyak aktivis yang ditangkap. Bahkan, masih banyak yang hilang hingga sekarang. “Hingga kini banyak orang hilang atau dihilangkan secara paksa tidak jelas statusnya,” tutup Garda.

http://historia.id/modern/mereka-yang-diburu-pasca-kudatuli

Kemal Idris, "Jenderal Sampah" Penentang Presiden

Reporter: Iswara N Raditya | 28 Juli, 2017

Mayjen TNI Kemal Idris (kanan) dan Jenderal TNI Maraden Panggabean. FOTO/Istimewa
  • Kemal Idris adalah tokoh militer anti-Presiden Sukarno dan anti-PKI.
  • Setelah berjasa untuk Soeharto, Kemal Idris justru diasingkan dan kemudian berbalik melawan.
Kemal Idris adalah mantan Pangkostrad yang pernah bermasalah dengan dua presiden RI, Sukarno dan Soeharto.


Rasa sakit hati Kemal Idris terhadap Presiden Sukarno berawal pada 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa menegangkan di Jakarta itu, ia diperintahkan oleh A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) untuk mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara. Sebagai anak buah, tentu saja Kemal Idris dilarang menolak.

Yang terjadi kemudian adalah Nasution justru mundur dan membiarkan Kemal Idris menanggung sendiri akibatnya. Dan benar. Dalam pertemuan resmi selanjutnya, ia sama sekali tidak disapa oleh Presiden Sukarno. Bahkan, Kemal Idris sempat terkucil dari kancah politik selama beberapa waktu (Henk Schulte Nordholt, eds., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, 2008:148).

Panglima Pembenci Sukarno

“Sejak itu, saya berpandangan bahwa walaupun Sukarno mempunyai kharisma yang kuat, tapi ada kelemahan-kelemahannya. Pada peristiwa itu, beliau saya anggap bukan orang besar,” kenang Kemal Idris mengingat kejadian di depan Istana Negara yang berdampak pada hilangnya rasa hormat kepada Bung Karno itu.

“Kalau karena arah meriam itu menyebabkan beliau tersinggung, maka beliau bukanlah seorang pemimpin yang berjiwa besar, bahkan sebaliknya, berjiwa kecil!” imbuhnya (A. Kemal Idris & Rosihan Anwar, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, 1996:41).

Kejadian 17 Oktober 1952 yang memantik kebencian Kemal Idris terhadap Presiden Sukarno itu adalah peristiwa yang oleh Nasution disebut sebagai “percobaan setengah coup”, seperti yang diungkapkannya sendiri kepada presiden.

Baca Juga:

Nasution selaku KASAD bersama 7 panglima TNI, termasuk Kemal Idris, menuntut agar Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Sedangkan alasan moncong meriam dihadapkan ke arah Istana Negara adalah untuk melindungi Presiden Sukarno dari demonstrasi mahasiswa. Begitu dalih Nasution. Padahal, itu sebenarnya dilakukan untuk mendesak presiden agar segera membubarkan DPRS.

Meskipun Kemal Idris secara terang-terangan mengajukan protes kepada Nasution karena perintah tersebut, namun sejatinya ia memang tidak suka kepada Bung Karno. Itu terbukti dengan sikapnya mendukung demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran Orde Lama setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Salim Said (2016) dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto menyebut bahwa Kemal Idris adalah sosok militer yang anti-Sukarno sekaligus anti-komunis (PKI). Maka dari itu, tidak salah jika Soeharto mengandalkannya dalam operasi pembasmian PKI sekaligus upaya untuk menyingkirkan Sukarno dari tampuk kekuasaan.

Atas sikap politiknya itu, Kemal Idris memperoleh “hadiah” dari Soeharto yang nantinya mengambil-alih kursi kepresidenan dari Sukarno, untuk mengemban jabatan istimewa sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) sejak 1967.

Berjasa Lalu Disingkirkan

Ketika Soeharto benar-benar sudah menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia sejak ditetapkan sebagai presiden pada 27 Maret 1968, ia mulai khawatir orang-orang yang telah membantunya memperoleh kekuasaan tertinggi nantinya justru berbalik melawan, termasuk Kemal Idris.

Soeharto paham betul siapa Kemal Idris, bagaimana riwayat hidup serta karakternya sebagai seorang pejuang berwatak pemberang, berpendirian tegas, dan tidak kenal kompromi. Keberadaan jenderal seperti Kemal Idris di Jakarta akan membahayakan kekuasaan Soeharto. Maka, dimulailah rangkaian tindakan untuk “membereskan” Kemal Idris.

Baca Juga:

Pertama-tama, Soeharto melepas jabatan Kemal Idris dari Pangkostrad untuk menjauhkannya dari ibukota. Kemal Idris dikirim ke Makassar untuk menduduki posisi sebagai Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), lembaga yang baru saja diciptakan tanpa wewenang yang jelas (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013).

Itu rupanya belum cukup. Beberapa tahun berselang, ia memanggil pulang Kemal Idris ke Jakarta untuk diberikan tugas baru. Kali ini lokasinya sangat jauh. Kemal Idris ditugaskan sebagai Duta Besar RI untuk Yugoslavia dan Yunani. Kemal Idris yang tidak pernah membayangkan situasinya akan terjadi seperti ini pun mengajukan protes langsung kepada Soeharto.

Mendengar keluhan Kemal Idris, Soeharto berkata, “Kamu masih militer nggak? Kalau kamu masih militer, ini perintah!” 

Kemal Idris tidak punya pilihan lain selain menerima perintah presiden. Di samping itu, ia juga dituding berencana menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan (Tjipta Lesmana, Soekarno sampai SBY, 2009:115). Mau tidak mau, Kemal Idris terpaksa melaksanakan tugas sebagai duta besar meskipun ia tidak menyukainya.
Kemal Idris, \

Akhir Kisah “Jenderal Sampah”

Sepulangnya ke tanah air usai menunaikan tugasnya di Eropa, Kemal Idris beraksi. Ia turut menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980 bersama puluhan tokoh nasional lainnya, termasuk A.H. Nasution, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, Syafruddin Prawiranegara, Hoegeng Imam Santoso, Ali Sadikin, hingga A.M. Fatwa.

Soeharto dinilai telah menyalahgunakan Pancasila untuk kepentingan sendiri. Presiden menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, bahwa setiap kritik terhadapnya adalah kritik terhadap Pancasila (M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, 1991:306). Dengan kata lain, Soeharto menggunakan Pancasila “sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya.” 

Bahkan, di depan anggota DPR/MPR, Kemal Idris dengan tegas menyatakan, “Atas nama purnawirawan ABRI dari Angkatan '45 kami minta kepada Presiden Soeharto untuk segera melaksanakan pernyataan beliau untuk mundur.” (Forum Komunikasi Anak Bangsa, Lahirnya Gerakan Reformasi di Indonesia,1998:267).

Baca Juga:

Tentu saja seruan Kemal Idris itu tidak mempan karena parlemen pun sudah dikuasai pengaruh Soeharto. Dan, tentang orang-orang yang tergabung dalam kelompok Petisi 50, termasuk Kemal Idris, Soeharto berkata:

“Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot.” (Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi, 1991:298).

Gagal menghentikan langkah Soeharto, Kemal Idris memilih mundur teratur dan akhirnya benar-benar keluar dari kancah politik. Risikonya terlalu besar jika ia tetap melakukan penentangan terhadap presiden. Masih bisa bebas bernafas setelah Petisi 50 itu sudah merupakan keajaiban baginya.

Kemal Idris kemudian beralih profesi menjadi seorang pengusaha. Sempat mengurusi bisnis pariwisata, ia pada akhirnya justru dikenal dengan julukan “Jenderal Sampah” setelah mendirikan PT Sarana Organtama Resik (SOR) yang mengurusi persoalan sampah di DKI Jakarta.

Julukan tersebut ternyata tidak membuat Kemal Idris risih. Ia justru merasa bangga. “Orang sampai heran, kok ada jenderal mau mengurusi sampah. Sekarang saya membersihkan 7 kelurahan di Jakarta dengan 700 pegawai,” ucapnya (Eko Endarmoko, Memoar Senarai Kiprah Sejarah, 1993: 28).
Tanggal 28 Juli 2010, atau 12 tahun setelah Soeharto akhirnya berhenti menjadi presiden, Kemal Idris wafat. Usia yang sudah semakin renta ditambah komplikasi penyakit dan infeksi paru-paru menuntaskan pengabdian sang jenderal sampah yang berani menentang penguasa ini. 
Sumber: Tirto.Id 

Aksi Kamisan 500 Menggugat Janji Manis atas Pelanggaran HAM





Kamis, 27 Juli 2017

Sumarsih: Jokowi Menggunakan Penyelesaian Kasus HAM demi Meraup Suara

FABIAN JANUARIUS KUWADO
Kompas.com - 27/07/2017, 21:32 WIB

Ibu korban Tragedi Semanggi I, Maria Katarina Sumarsih mengikuti aksi Kamisan ke-500 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2017). Dalam aksi bersama itu mereka menuntut komitmen negara hadir menerapkan nilai kemanusiaan dengan komitmennya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. (ANTARA FOTO/FANNY OCTAVIANUS)

JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis hak asasi manusia Maria CatarinaSumarsih menilai Presiden Joko Widodo menggunakan isu penyelesaian kasus HAM hanya untuk meraup suara dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu.

"Yang mengganjal, saat Pak Jokowi debat capres-cawapres 2014, menggunakan penyelesaian kasus HAM berat yang menjadi komitmen untuk diselesaikan. Kemudian dia mengangkat orang yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM berat," ujar Sumarsih saat aksi Kamisan ke-500 di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/7/2017).

"Ini menunjukan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini digunakan untuk meraup suara supaya bisa untuk menduduki jabatan saja," kata dia.
Jokowi, lanjut Sumarsih, tidak melaksanakan beberapa poin Nawacita yang menjadi janji kampanyenya, terutama soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Di sana butir FF-nya mengatakan, 'Kami berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Semanggi I, II, Tisakti'. Dan butir GG-nya, 'Kami berkomitmen menghapus impunitas'," ujar Sumarsih.

Memang, dia melanjutkan pemerintahan Jokowi sempat membentuk tim komite gabungan pengungkap kebenaran dan rekonsiliasi. Namun, tim tersebut rupanya bukan untuk menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu seadil-adilnya, melainkan ke arah nonyudisial.

"Ya jelas kami itu menolak. Cara menolaknya bagaimana? Ya dengan mengirimkan 'surat' kepada Presiden setiap hari Kamis (aksi Kamisan)," ujar Sumarsih, yang merupakan ibu dari korban Tragedi Semanggi I, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan).

Sumarsih pun tetap mendorong agar pemerintahan Jokowi-JK menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sumber: Kompas.Com

Korban 1965 Sebut Jokowi Lebih Tanggapi Aksi Intoleran

CNN Indonesia

 
| Kamis, 27/07/2017 19:45 WIB


Bedjo Oentong menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang hingga saat ini belum pernah hadir ke aksi Kamisan di Istana. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)
JakartaCNN Indonesia -- Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Bedjo Oentong menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang hingga saat ini belum pernah hadir ke aksi Kamisan di Istana.

Padahal, Jokowi bersedia mengikuti Aksi 212 tahun 2016 lalu. Saat itu, Jumat (2/12) ia beribadah salat Jumat bersama dalam Aksi Bela Islam Jilid III di areal lapangan Monas, Jakarta.

"Bagi saya ini kontradiktif. Di satu sisi, aksi para intoleran agama ditanggapi, tapi aksi damai kami yang mengedepankan Bhinneka Tunggal Ika, tidak direspon," ujar Bedjo kepada CNNIndonesia.com di aksi Kamisan ke-500, Kamis (27/7).

Maka itu, Bedjo juga meminta Jokowi agar tak perlu bernyali kecil menghadapi ia dan rekan-rekannya sesama anggota YPKP 1965 maupun para inisiator aksi Kamisan.

"Jokowi tidak boleh takut, kami sederajat. Kami mendukung Jokowi, kok. Saat Pemilu kemarin kami pilih Jokowi," kata Bedjo.

Terlebih, jati dirinya sebagai seorang yang tidak punya sangkut paut dengan masa lalu, dianggap memudahkannya menyelesaikan masalah pelanggaran HAM.

"Karena Anda Yang Mulia, melakukan hukum, seperti yang direkomendasikan Komnas HAM, itu negara harus segara bentuk pengadilan adhoc. Negara wajib melindungi para korban khususnya yang tidak bersalah," ujarnya, ditujukan kepada Jokowi.

Bedjo Oentoeng sendiri merupakan korban pelanggaran HAM 1965. Pada tahun 1970, saat dirinya berusia 22 tahun, ia dipencara di Rutan Salemba selama sembilan tahun. Sebab, Bedjo saat ditangkap merupakan anggota Ikatan Pemuda Pelajar yang diduga bentukan Partai Komunis Indonesia.

Seperti diketahui, Kamisan adalah aksi yang digelar para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang menagih janji Presiden untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Aksi Kamisan digelar sejak 18 Januari 2007 dan kini sudah mencapai Kamis ke-500. (asa)

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170727193745-12-230820/korban-1965-sebut-jokowi-lebih-tanggapi-aksi-intoleran/

Aksi Kamisan: Jangan Lupakan Korban Pelanggaran HAM

CNN Indonesia


Budayawan yang juga aktivis HAM, Franz Magnis Suseno, menyampaikan orasi saat mengikuti aksi Kamisan yang ke-500 di seberang komplek Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7). (CNN Indonesia/Hesti Rika)
JakartaCNN Indonesia -- Franz Magnis Suseno meminta kepada Pemerintah untuk tidak melupakan para aktivis HAM yang hilang, seperti korban penghilangan paksa tragedi 1998, serta nasib keluarga korban pelanggaran HAM yang tewas di tangan angkatan bersenjata.

"Saya harap, adanya begitu banyak korban dalam sejarah bangsa tidak dilupakan dan tidak dikesampingkan," ujar pria yang akrab disapa Romo Magnis kepada CNNIndonesia.com, di sela-sela aksi Kamisan di depan Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/7).

Budayawan kelahiran Polandia itu menyebut, integritas suatu bangsa penting jika pemerintah dan masyarakatnya senantiasa mengingat sejarah bangsa, termasuk konflik dan tokoh di dalamnya.

Atas dasar itu, dia menyayangkan 'aksi diam' pemerintah terhadap pesan yang selalu disampaikan lewat aksi Kamisan yang pada hari ini adalah Kamis ke-500. Romo Magnis menyatakan lewat aksi Kamisan, publik ingin mengingatkan lagi pemerintah soal para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.

"Sudah 500 kali sudah terjadi aksi Kamisan ini. Aksi yang damai, aksi yang mau mengingatkan bangsa Indonesia akan korban dalam perjalanan bangsa, tapi masih dibiarkan," ujar Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tersebut.

"Tetapi kalau kita mengingat korban-korban itu, tak hanya soal keluarga mereka, melainkan juga mengingat korban penting bagi kesembuhan hati bangsa Indonesia," ucap Romo Magnis.

Romo Magnis mengatakan konflik yang terjadi dalam sebuah bangsa jangan sampai dibiarkan jatuhnya korban yang tak bersalah.

"Kita yang majemuk, dari berbagai suku, etnik, dan agama. Dari pemerintah, aparatur, angkatan bersenjata, masyarakat yang dijaga, kita perlu ingat korban itu," katanya

Romo Magnis juga menyebut Pemerintah seperti belum berani dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat, seperti Tragedi 1965-1966 yang menewaskan ribuan korban jiwa.

Adapun aksi yang bertema "500 Kamis, Cuma Janji Manis" ini merupakan ungkapan kekecewaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Para aktivis Kamisan menilai pemerintah seperti enggan menyelesaikan permasalahan HAM di masa lampau dan menghapus impunitas terhadap diduga para pelaku intelektual pelanggaran HAM.(osc/kid)

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170727160321-20-230763/aksi-kamisan-jangan-lupakan-korban-pelanggaran-ham/

Aksi Kamisan ke-500, Dirjen HAM Sadar Keluarga Korban Kecewa

CNN Indonesia


Untuk menjembatani ketidakpuasan keluarga korban dalam penanganan kasus HAM, pemerintah berniat memfasilitasi melalui Dewan Kerukunan Nasional. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
JakartaCNN Indonesia -- Aksi Kamisan yang digelar tiap pekan di depan Istana Negara hari ini digelar untuk ke-500 kalinya. Penyelesaian kasus hak asasi manusia belum juga dirasakan keluarga korban yang tak pernah surut mengawal aksi tersebut.

Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyadari ada ketidakpuasan keluarga korban atas penegakkan hukum, khususnya untuk pelaku Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II yang dikategorikan pelanggaran HAM berat.

"Sampai hari ini, itu kan selalu dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Pada prinsipnya, eksekutor peristiwa itu sudah dihukum. Tapi kami memahami dan memaklumi ketidakpuasan keluarga korban," kata Mualimin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/7).

Sebagai langkah untuk menjembatani ketidakpuasan keluarga korban dan penegak hukum, Mualimin menyebut pihaknya bersama Kemenko Polhukam sedang merencanakan pembentukan badan bernama Dewan Kerukunan Nasional.

Nantinya, Dewan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi aspirasi keluarga korban yang menuntut keadilan HAM, termasuk kendala dari pihak keluarga yang belum tuntas.

"Sebetulnya, sudah lumayan lama kami rapat di Kemenko Polhukam, karena yang berat adalah saat kita mau menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Peristiwa 1965, itu kasus yang sensitif, massal, dan penangannya harus arif," katanya.

Rencananya, Mualimin menuturkan, Dewan Kerukunan Nasional akan dibuat gugus tugas, baik pusat maupun daerah, yang tujuannya untuk mencari alternatif terbaik demi menyudahi masalah-masalah pelanggaran HAM di masa lalu.

Meski demikian, ia enggan merinci lebih lanjut struktur organisasi maupun kepemimpinan Dewan tersebut. Sebab, pihaknya dan Kemenko Polhukam masih memformulasikan cara kerja Dewan tersebut.

"Belum membicarakan sampai ke tahap itu," ujarnya.

Aksi Kamisan ke-382 memperingati sewindu aksi. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

Pelanggaran HAM Berat

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM, termasuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.

"Belum ada kemajuan aksi 10 tahun dari teman-teman Kamisan. Kami sedih dan prihatin," ujar Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron saat dihubungi melalui telepon.

"Pemerintah menyedihkan. Tidak ada respons apapun yang diberikan terkait teman Kamisan, termasuk respons terhadap berkas penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung," tambahnya.

Dalam hasil investigasi Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, KPP HAM menemukan tindakan pelanggaran HAM menggunakan institusi-institusi teritorial melalui Kodam dan Polda.

KPP HAM juga menemui kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian, termasuk alat-alat kekerasan secara tidak terukur terhadap masyarakat yang didukung dan dilandasi pada kebijakan strategis petinggi TNI dan kepolisian.

Berdasarkan hasil penyelidikan KPP HAM, ketiga kasus tersebut mencakup kekerasan yang keji dan tidak manusiawi, seperti pembunuhan yang sistematis dalam jangka waktu panjang. Tindakan pembunuhan dilakukan kepada mahasiswa demonstran, petugas medis, maupun masyarakat yang sedang melintas di lokasi demonstrasi.

Penganiayaan oleh aparat TNI dan Polri kepada mahasiswa di kampus Trisakti, Atma Jaya, dan wilayah Semanggi itu dilakukan demi membubarkan demonstran, hingga berakibat korban jiwa dan luka.

Foto para korban pelanggaran HAM digelar di Aksi Kamisan. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

Adapun kekerasan lainnya yang tercatat dalam hasil penyelidikan KPP HAM adalah pemerkosaan, penghilangan paksa terhadap 13 orang aktivitas pada Mei 1998, serta perampasan kemerdekaan fisik.

Sejak Soeharto mundur sebagai presiden yang dilanjutkan dengan pemerintahan B.J. Habibie, penanganan demonstrasi dilakukan secara represif, sebagaimana terjadi pada peristiwa Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13-14 November 1998), dan Semanggi II (23-24 September 1999).

Pemerintah pun sempat berupaya untuk memproses lebih lanjut perkara Semanggi I dan Semanggi II. Diikuti dengan DPR RI yang membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Namun, usaha pemerintah tersebut tak mampu mengobati kekecewaan keluarga korban. (pmg)

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170727133907-20-230713/aksi-kamisan-ke-500-dirjen-ham-sadar-keluarga-korban-kecewa/

Warga Penolak Tambang Emas di Banyuwangi Dijerat Pasal Komunisme

Kamis, 27 Jul 2017 08:18 WIB
Oleh: Hermawan Arifianto

Kepala Bagian Advokasi Walhi Jawa Timur, Ahmad Afandi, mengatakan penetapan tersangka itu merupakan bentuk kriminalisasi.

Aksi warga Desa Sumberagung menolak tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi. Foto: ANTARA

KBR, Banyuwangi - Gabungan aktivis lingkungan di Jawa Timur mendesak Kepolisian Banyuwangi menghentikan penyidikan terhadap empat warga Desa Sumberagung yang menolak tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu. 

Keempat warga desa itu telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyebaran ajaran komunisme. Kepala Bagian Advokasi Walhi Jawa Timur, Ahmad Afandi, mengatakan penetapan tersangka itu merupakan bentuk kriminalisasi. Selain itu, kuat diduga untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan utama yang dihadapi masyarakat Sumberagung.

Afandi menambahkan, masyarakat di kawasan Gunung Tumpang Pitu tengah menghadapi ancaman krises ekologi yang ditimbulkan dari pertambangan di daerah tersebut. Padahal kawasan itu berfungsi memenuhi kebutuhan air minum dan pertanian warga sekitar. 

“Ini jelas kita duga untuk melumpuhkan gerakan-gerakan rakyat yang sedang tumbuh yang sebenarnya sedang berjuang mempertahankan lingkunganya dan keselamatan ruang hidupnya. Ini jelas satu bentuk untuk memecah belah persatuan dari perjuangan warga yang ada di komunitas tersebut,” kata Ahmad Afandi, Rabu (26/7/2017) di Banyuwangi.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur juga mendesak pemerintah setempat menghentikan kegiatan tambang di Gunung Tumpang Pitu demi keselamatan warga. Pasalnya, tambang emas yang berada di sana merupakan tambang emas terbesar di Pulau Jawa. 

Tuduhan penyebaran ajaran komunisme itu bermula dari aksi demonstrasi yang dilakukan warga Desa Sumberagung. Mereka menggelar aksi pemasangan spanduk berisi penolakan terhadap tambang emas PT Damai Suksesindo, 4 April lalu. Saat 11 spanduk rampung dibuat, warga kemudian turun ke jalan dan memasang semua spanduk di sepanjang jalan mulai dari kantor kecamatan hingga Pantai Pulau Merah.

Tapi malamnya, warga dikejutkan dengan kedatangan anggota Kepolisian yang menuduh mereka menggambar logo palu-arit di spanduk-spanduk tersebut. Kepolisian pun menunjukkan foto sebagai bukti. Hingga pada 12 Mei 2017, Kepolisian menetapkan empat orang tersangka yakni Andrean, Trimanto Budiawan, dan Ratna. 

Editor: Quinawaty 


http://kbr.id/terkini/07-2017/warga_penolak_tambang_emas_di_banyuwangi_dijerat_pasal_komunisme/91342.html