Minggu, 23 Juli 2017

Saya Senang Perppu Ormas

JUL 23, 2017
DANDHY LAKSONO

Kredit gambar: http://www.aktual.com
Ada bagian dari diri saya yang senang dengan pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menyusul diberlakukannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perrpu) No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sebab banyak hal yang akan membuat kita belajar.
Terutama karena belakangan orang makin enteng menyebut “sesat” ideologi atau keyakinan lain, sehingga ibadahnya layak diganggu atau pengikutnya bisa dibunuh seperti warga Ahmadiyah di Cikeusik (2011), dan sebelumnya dalam peristiwa di Bayan, Lombok Barat (1999).
Diaduk dengan kepentingan politik lokal, tahun 2012, 332 warga Syiah di Sampang, Madura, diusir dari kampung halamannya dan menjadi pengungsi di Sidoarjo, hingga kini. Kampanye pelarangan Syiah bahkan dilakukan secara terstruktur dan sistematis, padahal tak pernah kita alami sebelumnya.
Kampung pengikut Gafatar juga dibakar di Kalimantan Barat. Sementara dengan dalih tak berizin, orang diusir dari rumah-rumah ibadahnya, sembari berkhotbah bahwa “setiap jengkal tanah di bumi ini adalah tempat ibadah”. Orang-orang dengan pemikiran sefilosofis dan sedahsyat itu, tiba-tiba meributkan selembar IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
Tak hanya kegiatan ibadah, kegiatan “duniawi” pun tak luput dari pemberangusan. Pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Yogya, festival “Belok Kiri” di Jakarta, diskusi sejarah lagu “Genjer Genjer” di Banyuwangi atau pementasan teater “Tan Malaka” di Bandung, semua digeruduk massa yang mengatasnaman organisasi massa (ormas) tertentu.
Isu kebangkitan komunisme dikipas setelah pemerintah menggelar “Simposium 1965” yang mendudukkan para pihak untuk mencari dan mengudar apa sesungguhnya yang terjadi, dan seberapa jauh negara terlibat dalam pembantaian ratusan ribu hingga jutaan jiwa orang-orang yang dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi sejatinya itu hanya pemicu. Jauh sebelumnya, saat pemilihan presiden 2014, isu komunisme sudah digunakan dalam kampanye-kampanye hitam oleh pihak-pihak tertentu, misalnya akun Twitter @Ronin1946 yang pertama menyebut capres Joko Widodo memiliki orangtua anggota PKI.
Semua ini tentu tak ada sangkutan langsung dengan eksistensi HTI sebagai organisasi. Namun pemberangusan HTI lewat Perppu Ormas sama ngawurnya dengan pembubaran ibadah atau kegiatan diskusi dan teater. Kedua sama-sama melangkahi proses peradilan.
Acara nonton film atau festival yang dianggap “kekiri-kirian” langsung dibubarkan begitu saja tanpa perlu membuat aduan polisi dan menguji di pengadilan, benarkah aktivitas tersebut melanggar hukum, dan hukum mana yang dilanggar.
Begitu juga dengan pembubaran HTI. Dalam UU 17/2013 tentang Ormas, ada 18 pasal yang mengatur secara rigid tahap-tahap membubarkan sebuah organisasi. Dari mulai peringatan tertulis pertama sampai ketiga, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan status badan hukum. Dan semua itu harus melalui pertimbangan Mahkamah Agung atau proses peradilan.
Nah, dalam Perppu Ormas, semua ini nyaris diterabas. Tujuh hari setelah peringatan tertulis, pemerintah bisa langsung menghentikan kegiatan tanpa meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Jika tak diindahkan, lalu mencabut status badan hukum (pasal 62) yang juga tanpa melalui pengadilan.
Bahkan dengan ketentuan ini pun, pembubaran HTI tetap janggal. Perppu itu sendiri baru ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Sembilan hari kemudian, Kementerian Hukum dan HAM sudah mengumumkan pembubaran HTI. Alasannya, yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, tak perlu diberikan peringatan tertulis atau penghentian kegiatan.
Maka jelas, alasan pembubaran HTI tak sebatas urusan administratif, namun ideologis.
http://islambergerak.com/2017/07/saya-senang-perppu-ormas/

0 komentar:

Posting Komentar