Jumat, 07 Juli 2017

Suparna Sastra Diredja Dirajam Sejarah Kelam

Reporter: Iswara N Raditya | 07 Juli, 2017

Suparna Sastra Diredja. FOTO/Istimewa
Suparna Sastra Diredja adalah sosok pejuang dan tokoh nasional yang tersingkir selamanya dari bumi Indonesia sejak terjadinya Gerakan 30 September 1965.

tirto.id - Sejumlah anggota DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong) sedang berkunjung ke Cina pada pertengahan September 1965 itu. Sebelumnya, mereka telah menyambangi Korea Utara. Ada nama Suparna Sastra Diredja dalam rombongan wakil rakyat Indonesia tersebut.

Saat para anggota dewan yang lain kembali ke tanah air, Suparna tidak turut serta. Ia rupanya jatuh sakit sehingga harus dirawat dan beristirahat sejenak di Cina sebelum benar-benar siap diterbangkan ke Indonesia.

Malang baginya. Ternyata, Suparna tidak akan pernah pulang ke negeri kelahirannya. Bukan karena enggan, tapi situasi politik yang terjadi saat itu memaksanya untuk tetap bertahan di mancanegara demi keamanan. Bahkan, nantinya Suparna mencari perlindungan sampai ke Eropa.

Di Jakarta pada penghujung bulan itu, terjadilah peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S). Suparna Sastra Diredja adalah anggota parlemen RI dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Membela Bangsa Sedari Muda

Suparna Sastra Diredja lahir di sebuah desa kecil bernama Tarogong, terletak di Garut, Jawa Barat, tanggal 2 Juni 1915 (Emile Schwidder, Guide to the Asian Collections at the International Institute of Social History, 2001: 53). Ayahnya, Abdul Sastra Diredja, adalah guru sekolah dasar, sementara keseharian sang ibunda, Emi Resmi, sebagai ibu rumah tangga.

Terlepas dari apapun ideologi politik yang dipilihnya nanti, faktanya, Suparna merupakan sosok heroik yang gigih menjaga martabat bangsanya. Ia berjuang sejak era pergerakan nasional pada zaman kolonial Belanda, turut melawan kala Jepang berkuasa di Nusantara, ikut mengawal kemerdekaan Indonesia, juga masa-masa setelahnya.

Suparna menekuni jalan pergerakan sejak muda. Bayangkan, pada usia 22 tahun, ia sudah merasakan pengapnya meringkuk di balik jeruji tahanan kolonial. Pada 1937 itu, Suparna ditangkap lantaran penerbitan artikel di majalah Indonesia Moeda yang dianggap meresahkan dan berpotensi menghasut masyarakat.

Kendati tokoh-tokoh mumpuni macam Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Yamin berusaha membelanya habis-habisan dalam pengadilan kolonial Hindia Belanda di Batavia (Jakarta), namun Suparna tetap harus menjalani hukuman: ditahan selama 10 bulan.
Majalah Indonesia Moeda yang dikelola Suparna itu adalah media milik organisasi pergerakan dengan nama yang sama, yakni Indonesia Moeda. Perhimpunan ini merupakan gabungan dari Jong Java, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, dan Jong Sumatera, dibentuk 31 Desember 1930 dengan anggota sebanyak 2.400 orang serta punya 25 cabang di berbagai daerah (Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda, 2008:34).

Selain Suparna sebagai salah satu pimpinannya, banyak tokoh nasional lintas kalangan yang juga terlibat dalam kepengurusan Indonesia Moeda, sebut saja Amir Hamzah, Ani Idrus, Abdulrahman Saleh, Mohammad Yamin, Roeslan Abdulgani, Saridjah Niung (kelak dikenal sebagai Ibu Sud), Soedarisman Poerwokoesoemo, Armijn Pane, Soekarni, hingga Sutan Mohammad Rasjid.
Suparna aktif pula di Pergoeroean Rakjat, wadah pengajaran yang menyelenggarakan kursus mengenai berbagai cabang ilmu yang diperuntukkan bagi masyarakat luas. Perguruan ini didirikan oleh Sunario Sastrowardoyo dan Sugondo Djojopuspito di Batavia tidak lama setelah Sumpah Pemuda tahun 1928 (‎Djuariah Latuconsina, dkk., Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan, 1986:10).

Melawan Jepang, Mengawal Kemerdekaan
Saat Jepang merebut Indonesia dari Belanda sejak 1942, Suparna turut bergerak. Ia bersama para pemuda revolusioner seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, yang nantinya berperan penting dalam persiapan kemerdekaan RI, bergabung dengan laskar perjuangan bawah tanah. 

Laskar ini menjalankan pergerakannya dengan kedok Koperasi Rakyat Indonesia (Korindo) agar tidak menimbulkan kecurigaan meskipun pada akhirnya nanti ketahuan juga dan dibubarkan paksa oleh pemerintah militer Jepang (Rudolf Mrazek, et.al., Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, 1996:411).

Pada periode yang sama, Suparna terlibat aktif dalam Badan Penolong Prajurit Pekerja di Jawa Barat. Lembaga ini dibentuk untuk membantu keluarga romusha (Muhammad Abdul Aziz, Japan's Colonialism and Indonesia, 2012:240). Melalui Badan Penolong Prajurit Pekerja, Suparna mengelola dapur umum yang disediakan untuk rakyat yang dipekerjakan paksa oleh Jepang.
Suparna turut mengawal kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Seiring kembalinya Belanda (NICA) ke Indonesia sebulan berselang, ia turut membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Ini merupakan salah satu laskar perjuangan pemuda untuk menghadang tentara Belanda (Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution, 2006:118).

Tahun 1947, Suparna menjadi salah satu pendiri Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) dan menjabat sebagai sekretaris jenderal hingga 1965 (James C. Docherty & Sjaak van der Velden, Historical Dictionary of Organized Labor, 2012:236). Ia juga duduk sebagai anggota Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia atau SOBSI.

Selain itu, Suparna terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia, badan perwakilan rakyat sementara. Ia terlibat pula dalam berbagai perundingan penting antara delegasi Indonesia dengan Belanda, terutama tentang masalah perkebunan, hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI secara penuh sejak 27 Desember 1949. 

Tersingkir Selamanya Dari Tanah Air

Suparna bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang akan mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955. Setelahnya, ia menjadi anggota Dewan Kostituante (lembaga negara yang bertugas konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950) dari fraksi parpol kiri tersebut.

Presiden Sukarno membentuk DPR-GR pada 1960, dan Suparna terpilih menjadi salah satu dari 283 orang anggota dewan. Ada 19 fraksi di DPR-GR yang didominasi oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Masjumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan PKI.
Dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR-GR inilah Suparna turut dalam rombongan wakil rakyat yang berkunjung ke Korea Utara dan Cina pada September 1965 itu. Namun, setelah insiden G30S, sangat riskan baginya untuk pulang karena saat itu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI di tanah air.

Suparna tertahan di Cina selama 12 tahun. Pada 1978, ia pindah ke Eropa dan mendapat suaka politik dari pemerintah Belanda. Suparna aktif dalam berbagai kegiatan sosial di negeri kincir angin selain bergabung dengan Partai Komunis Belanda sejak 1982. Ia juga kerap menulis artikel yang seringkali mengupas tentang negara yang selalu dirindukannya, Indonesia.

Namun, untuk kembali ke tanah air, Suparna masih belum berani. Sejak terjadinya G30S tahun 1965, rezim Sukarno mulai menuai keruntuhannya dan kemudian digantikan oleh Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto yang sangat anti-komunis. 
Dari Amsterdam, Suparna hanya bisa menahan kangen terhadap negara yang dulu diperjuangkannya dengan segenap jiwa. Sang pejuang heroik ini tidak pernah sempat pulang hingga ajal menjemputnya pada 7 Juli 1996. Suparna Sastra Diredja wafat dalam usia 81 tahun, dengan tetap menyandang predikat sebagai pelarian politik rezim Orde Baru yang akhirnya tumbang 2 tahun berselang. 

(tirto.id - isw/nqm)
https://tirto.id/suparna-sastra-diredja-dirajam-sejarah-kelam-cr9b

0 komentar:

Posting Komentar