Sabtu, 01 Juli 2017

Palu Arit di Ladang Minyak

Sabtu 01 Juli 2017 WIB

Permigan didirikan untuk menandingi tentara dan sebagai konsesi untuk PKI. Dibubarkan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Chairul Saleh. 
Foto


Ketika Chairul Saleh menjadi Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam), Ibnu Sutowo tak yakin akan terus memimpin Pertambangan Minyak Nasional (Permina), yang menggarap ladang minyak di Sumatra Utara, karena dia tak suka dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Kamu terlalu keras kepala dan terlalu tentara (maksudnya pro-Nasution),” kata Chairul Saleh.
“Itulah cara saya, dan saya tidak akan berubah,” kata Ibnu Sutowo.
Chairul Saleh mengangkat bahu dan tertawa.
Chairul Saleh masih mempercayai Sutowo, yang terhitung 17 Juni 1961 menjabat presiden direktur PN Permina. Namun, untuk mengurangi kekuasaan Sutowo dan memperbesar kekuasaannya, Chairul Saleh mendirikan Permigan.
“Permina adalah perusahaan milik tentara,” tulis Anderson G. Bartlett III dalam Pertamina, Indonesian National Oil. “Untuk menandingi tentara dan sebagai konsesi untuk PKI, Chairul Saleh mendirikan PN Permigan (Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Nasional) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 199 yang berlaku dan diundangkan pada 5 Juni 1961.”
Selain Permina dan Permigan, pemerintah juga mendirikan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (Pertamin), yang menggarap ladang minyak di Jambi, Ogan (Sumatra Selatan), dan Bunyu (Kalimantan Timur). 
Secara tak langsung, ujar Purnawan Basundoro, dosen sejarah Universitas Airlangga, ada pembagian pengelolaan minyak bumi. 
“Tentara menguasai minyak di luar Jawa melalui Permina dan Pertamin, sedangkan sipil (kelompok kiri) menguasai minyak dengan sumber amat kecil di Jawa, khususnya Jawa Tengah,” katanya.
Permigan mendapatkan konsesi di Cepu yang mempunyai kantor pusat dan kilang minyak, Kawengan, serta Ledok yang membawahi kilang-kilang Nglobo, Semanggi, dan Wonocolo. 
“Terletak di salah satu daerah di Indonesia yang paling miskin dan cenderung komunis, PN Permigan tentu saja akan memiliki orientasi kiri,” tulis Anderson.
Orientasi itu tak terlepas dari keberadaan buruh minyak Cepu yang tergabung dalam Serikat Buruh Minyak (SBM). 
“Posisi SBM yang kuat dan didukung kelompok kiri mempersulit tentara untuk mengontrol Cepu,” kata Purnawan.
Menurut Anderson, sebagian besar dari sekira 1.200 buruh minyak Cepu adalah anggota SBM. Ketika PKI mendirikan kantor pusat SBM di Yogyakarta pada 1947, arah politik SBM segera menjadi jelas. Pada pertengahan 1948, hampir separuh buruh Cepu menjadi anggota SBM yang mendukung Front Demokrasi Rakyat (FDR), gabungan partai dan organisasi kiri, dipimpin Amir Sjarifuddin.
Ketika Peristiwa Madiun pecah pada September 1948, “SBM Cepu menjadi pendukung gerakan PKI di Madiun yang dipimpin oleh Musso,” kata Purnawan.
Beberapa hari setelah pertempuran, tulis Anderson, pemberontak lokal dan sekira seperlima anggota SBM masuk dan menduduki kilang Cepu. Di sana mereka menunggu kedatangan unit militer lain untuk bergabung. Ternyata, pasukan pemerintah tiba lebih dulu. Sebelum menyerah, para pemberontak menghancurkan banyak peralatan kilang.
Ketika agresi militer Belanda II, “ternyata Belanda tidak mempertimbangkan Cepu patut untuk diperjuangkan, bahkan setelah penyerahan kedaulatan, Shell tidak melakukan upaya serius untuk memulihkannya,” tulis Anderson.
Ladang minyak di Cepu pun terbengkalai.

Penyatuan yang Gagal

Situasi di Cepu dimanfaatkan Nirwono Judo, seorang tokoh SBM dan pengacara prokomunis. Dia membentuk Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI) untuk mengelola tambang minyak di sana. Pada Januari 1951, dia menyerahkan tambang minyaknya kepada seorang asisten dan berangkat ke Sumatra Utara untuk mengambil-alih tambang minyak di sana dengan alasan rencana penggabungan.
“Menurut beberapa orang yang mengenalnya, Nirwono Judo adalah seorang visioner: idealis, sosialis, dan sedikit tidak praktis. Dalam pandangan yang lain, dia hanya seorang oportunis politik. Meskipun bukan komunis, dia bisa bekerja dengan komunis,” tulis Anderson.
Pada 1953, Nirwono Judo ditunjuk sebagai pembantu Menteri Perekonomian Iskaq Tjokrohadisurjo yang mengkoordinasi masalah perminyakan. Di Sumatra Utara, dia menangani tambang minyak yang diperebutkan dua kelompok: Aceh oleh Abdul Rachman dan Langkat oleh Djohan, bekas pegawai Shell. Dia mengganti Abdul Rachman dengan ketua cabang Persatuan Buruh Minyak (Perbum) Aceh, Bachtiar Ali. Dia juga memecat Djohan dan kepala-kepala seksi, serta para pekerja pendukungnya.

Setelah itu, Nirwono Judo berencana mengekspor minyak mentah ke Singapura. Namun, Menteri Perdagangan dan Industri Sumitro Djojohadikusumo, bekerjasama dengan gubernur Sumatra Utara yang baru dipilih Abdul Hakim, menggagalkan rencana tersebut. 
“Kantor Nirwono Judo di Medan diserang karena dianggap melakukan ‘penyelundupan’ dan, dengan demikian rencanannya gagal, dan dia kembali ke Jawa,” tulis Anderson.
Pada Maret 1957 pemerintah mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang (SOB) karena terjadi pergolakan di berbagai daerah. Separuh kekuasaan negara berada di tangan tentara. Tentara mengambil-alih tambang minyak Sumatra Utara, yang kemudian dikelola Permina.

Menurut Purnawan, pengambil-alihan tambang minyak di Sumatra Utara oleh tentara menyakitkan hati kelompok kiri. Mereka berkonsentrasi di Jawa Tengah dan mendapat konsesi dari pemerintah untuk mengelola tambang minyak di Jawa Tengah. Pemerintah kemudian mendirikan Permigan yang dipimpin Nirwono Judo sebagai presiden direktur. Perusahaan ini dilindungi oleh Chairul Saleh.

Ketika Permigan dibentuk, perusahaan negara ini hanya mengelola tambang minyak tua berumur 30-40 tahun dengan peralatan seadanya. Produksinya sangat kecil, rata-rata 800 barel per hari. Bandingkan dengan Permina yang memproduksi 15.600 barel per hari dan Pertamin 30.000 barel per hari.

Pada Maret 1962, pemimpin Permigan berunding dengan Shell, yang menghasilkan persetujuan dan dilaksanakan pada 6 April 1962. 
“Perundingan itu menghasilkan keputusan, Indonesia membeli fasilitas-fasilitas permurnian dan produksi Shell di Jawa Tengah, termasuk kantor-kantor, rumah tempat tinggal, pipa minyak antara Cepu sampai Surabaya dengan harga 1,5 juta pounsterling dengan jalan diangsur dalam jangka waktu lima tahun,” tulis Mara Karma dalam Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi.
Menurut Purnawan, Shell terpaksa menjualnya karena buruhnya yang berhaluan kiri melakukan protes dan demonstrasi.

Kerjasama karena Ideologi

Pada pertengahan 1961, Chairul Saleh memberikan sinyal kepada misi dagang dari Rumania. Nirwono Judo terutama tertarik membangun kilang besar di Jawa. Ini akan menjadi kilang besar pertama di Jawa tapi juga yang terbesar pertama dikendalikan perusahaan negara. Proyek yang diusulkan, sebagaimana termaktub dalam spesifikasi proyek yang disepakati bersama tetapi tidak mengikat pada 26 Januari 1962, mencakup tiga fase.

Pertama, kilang akan dibangun di Gresik, Jawa Timur, dengan kapasitas sekitar 41.000 barel per hari. Biaya diproyeksikan $40 juta, dan Rumania menyediakan kredit $25 juta, sisanya meminjam negara lain. Tahap kedua, Rumania memasok peralatan pemboran senilai $15 juta untuk pengembangan kilang-kilang di Jawa Barat. Seperti dalam kasus kilang, kredit dengan negara lain diperlukan untuk item-item tertentu. Tahap ketiga meliputi aneka perlengkapan termasuk 300 gerbong kereta tangki yang akan dirakit di Indonesia, pabrik minyak pelumas dan asam sulfat, serta pabrik drum. Pelunasan kredit tidak dengan minyak melainkan bahan baku lainnya termasuk karet.

Kendati kedua pihak antusias, yang terealisasi hanyalah pengiriman 300 gerbong kereta tangki pada 1964 dan pengiriman minyak pelumas dari Rumania pada Februari 1965. Minyak pelumas itu pun mengalami sedimentasi (pengendapan) dalam perjalanan dan tiba dalam kondisi tidak memuaskan pada September 1965.
“Hal ini terjadi karena partai terdepan Rumania bersikap kritis terhadap kondisi lokal dan skeptis tentang kemungkinan implementasi dari kredit kepada negara ketiga,” tulis Anderson.
Selain dengan Rumania, pada awal 1965, misi dagang Rusia menawarkan pembangunan kilang-kilang di Jawa Barat, termasuk peralatan pengeboran dan suku cadang. Kontrak kredit ditandatangani pada 5 Juli 1965 antara perusahaan minya Rusia V.O. Machinoexport dan Permigan senilai sekitar $1,15 juta selama delapan tahun dengan bunga 4%.

Realisasinya tak berjalan mulus. Menurut Anderson, kedua pihak saling mengeluh. Rusia mengeluhkan kelambatan pengadaan letter of credit (L/C). Sedangkan Permigan mengeluh karena lima orang yang dikirim ke Moskow dan Kharkov malah mendapat pelatihan taksi.
“Permigan kerjasama dengan Rumania dan Rusia seolah-olah menjalin hubungan kerja sekaligus hubungan ideologi,” ujar Purnawan.
Namun kesamaan ideologi itu terbukti tak menjamin hubungan komersial yang baik.

Hubungan juga terjalin dengan Jepang. Menurut Alex Hunter dalam Industri Perminyakan Indonesia, “Permigan mengontrak suatu kelompok Jepang untuk merehabilitasi lapangan-lapangan tua Shell di Jawa dan cadangan-cadangan lainnya di beberapa pulau di Indonesia Timur.” Setelah melakukan ekspedisi ke kilang Bula di Seram, pada Agustus 1963 Permigan menandatangani kontrak dengan Mitsui untuk membangun kilang Bula di Seram, Maluku di bawah rencana bagi hasil.

Proyek lain Permigan dimulai pada pertengahan 1963 di bawah arahan Soemantri, seorang insinyur yang pernah bekerja di Permina. Proyek ini adalah rekonstruksi pabrik lilin di Cepu yang telah menganggur sejak sebelum perang. Permigan ingin menggunakan pabrik lilin untuk memproses residu dari kilang Cepu menjadi lilin. Namun, sampai pabrik lilin selesai pada 1964, Permigan hanya membakar residu.

Pembubaran Permigan

Pada 24 Agustus 1964, Chairul Saleh mengumumkan serangkaian perubahan dalam jajaran Permigan dan Pertamin. Soekotjo, direktur administrasi Permigan, menggantikan Saleh Siregar sebagai presiden direktur Pertamin. 
Pengganti Soekotjo di Permigan adalah Kusumo Utojo, pernah jadi karyawan pemasaran Stanvac dan berafiliasi dengan Perbum. Nirwono Judo ditugaskan ke Kementerian Perdatam, tak lama kemudian dia pensiun. Penggantinya sebagai presiden direktur Permigan adalah Sumarjo Legowo, wakil ketua II Perbum.

Selain itu, sekretaris dewan Permigan adalah Maladi Jussuf, bekas komandan batalyon dari Divisi Diponegoro, yang paling gigih dalam Peristiwa Madiun 1948.

Kerjasama dengan Rumania dan Rusia serta restrukturisasi pucuk pimpinan Permigan ternyata tak meningkatkan kinerja Permigan. “Hampir semua lapangan minyak yang dikelola Permigan menghasilkan minyak yang mengecewakan,” ujar Purnawan.

Hal itu, tulis Anderson, karena cadangan minyak di kilang-kilang Permigan hampir habis, kegagalan menerapkan teknik-teknik modern untuk memulihkan cadangan minyak, dan ketidakmampuan membuat ladang-ladang minyak lain berproduksi. Produksi Permigan dari tertinggi 2.700 barel 
per hari pada 1963, merosot menjadi hanya 1.800 barel per hari pada 1965.
“Peristiwa 30 September 1965, yaitu pemberontakan yang dituduhkan dilakukan oleh PKI menjadi jalan menuju kematian Permigan,” ujar Purnawan.
Ketika memenuhi undangan hari ulang tahun Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Oktober, Chairul Saleh menunjuk Ibnu Sutowo untuk menangani departemen Migas. 
“Ibnu Sutowo segera melarang Perbum dan organisasi buruh lainnya yang berafiliasi dengan PKI terlibat dalam industri perminyakan,” tulis Anderson.
Pada 12 Oktober 1965, Ibnu Sutowo membubarkan jajaran direktur Permigan dan menggantinya dengan pimpinan sementara: dirinya sebagai presiden direktur, Letnan Kolonel Sudarsono sebagai direktur teknis, Suhardi sebagai direktur administrasi, dan Sutan Assin sebagai pengawas produksi. Setelah dicopot, Soemarjo Legowo, Kusumo Utojo, dan Maladi Jussuf, ditangkap. Sepulang dari RRC, Chairul Saleh juga ditangkap dan meninggal dunia karena serangan jantung di Rumah Tahanan Militer.

Pada 4 Januari 1966, Permigan dibubarkan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 9/1966 semua kekayaan Permigan menjadi milik negara melalui Departemen Urusan Minyak dan Gas Bumi.

Menurut Mara Karma, pabrik pemurnian dan lapangan minyak tua di Cepu kemudian dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan. Di sana didirikan Akademi Minyak dan Gas Bumi. Fasilitas pemasaran diserahkan kepada Pertamin dan fasilitas produksi kepada Permina. Pada 20 Agustus 1968, Pertamin dan Permina dilebur menjadi Pertamina.

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar