HUTAN MONGGOT

“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]

SIMPOSIUM NASIONAL

Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan

ARSIP RAHASIA

Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)

MASS GRAVE

Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..

TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]

Kamis, 30 Juni 2016

Rekaman Testimoni Soeharto soal G30S

Catatan: Tia Pamungkas 
30 Juni 2016 | 18.35 wib



Kalau dicermati penjelasan Suharto (alm) dalam video ini nampak beberapa pernyataan yang menyimpan ambiguitas (meskipun disampaikan melalui alur yang bersifat kronologis alias berdasarkan urutan peristiwa). 
Disana sebenarnya nampak 'ketelanjangan' (nakedness) sebuah rezim yang modalnya adalah memanfaatkan 'kekisruhan' yang kukira tidak semata-mata disebabkan oleh faktor tunggal. Kini video ini muncul menyeruak ditujukan untuk kepentingan apa? Klaim atas sejarah masa lalu untuk kepentingan kini? Siapa saja yang berkepentingan untuk mengklaim sejarah masa lalu itu? Dalam video kita menyaksikan tokoh-tokoh yang waktu itu masih muda dan kini berada di pusaran kekuasaan. 

Ini catatan saya sebagai seorang sosiolog, tentang bagaimana orang-orang 'Indonesia' (yang multikultur yah) menyatakan 'pendapat'nya dalam konteks perubahan sosial dan politik. Saya menyepakati satu poin penting dari tesis marxisme dalam Sosiologi yang membahas tentang perubahan sosial yaitu sejak kolonialisme mendunia 'hampir tidak ada peradaban yang sepenuhnya otentik dan tidak terkontaminasi oleh modernitas.'
Itu mengapa karyamu tentang jubah emas itu menjadi minat kepoismeku Titarubi


Sekedar tambahan: apakah penting siapa saya yang hanya rakyat biasa? bukan keturunan bangsawan? bukan turunan elit penguasa?

Semisal kisah tentang kakak ayahku, seorang mantan anggota tentara pelajar yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswa dan menjadi salah satu pengawal HB IX? Pentingkah ceritanya? Mungkin ya mungkin tidak. Tetapi pernyataan Suharto membuktikan sesuatu bahwa 'pakde saya almarhum' yang dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta (wafat 1989, hanya berjarak 1 tahun sejak wafatnya HB IX) pernah mengalami 'DITURUNKAN' kepangkatannya dari TNI AD, tak mendapat pemulihan setelah itu. Ia dan juga keluarga besar kami sejak 1967 "dimiskinkan" oleh Orde Baru!!!


Poin lain, mengapa Suharto memanfaatkan momentum 'acara peringatan umat Muslim' untuk mempengaruhi Presiden Sukarno agar menyatakan pernyataan yang menjatuhkan PKI? dan mengapa Presiden Sukarno 'kekeuh' tidak mematuhinya? 

Silahkan menjadi PR bagi generasi muda kita!


Kaum muda jangan terjebak pada kategori oposisi biner dalam melacak kebenaran sejarah! Tetapi...eitss...ada tetapinya...ketika kita berbicara tentang "keberpihakan" tidak bisa berangkat dari abu-abu: "take it or leave it!" Sekarang atau tidak sama sekali! Kalau saya sendiri udah bosan jadi JONGOS di negeri manapun. Danke dararangke Titarubi

_______

TRIBUNJOGJA.COM - Beredar rekaman di media sosial mantan Presiden Soeharto berbicara panjang lebar tentang peristiwa G30SPKI hingga Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).

Video itu sudah ditonton lebih dari 50 ribu kali setidaknya pada Selasa (28/6/2016) sore. Selanjutnya video itu diunggah ulang di Youtube.
Di video itu Soeharto mengungkapkan bertemu dengan Soekarno dan Presiden pertama RI pertama berkata kepada Soeharto dalam bahasa Jawa "Har aku iki arep kowe kapakke ?". (Har aku ini mau kamu apakan?).

Sejarah peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto memang menjadi momentum penting catatan sejarah negeri ini.

Beberapa poin penting antara lain keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.

Editor: iwe| http://jogja.tribunnews.com/2016/06/28/beredar-rekaman-presiden-soeharto-blak-blak-berbicara-g30s-pki 

Tragedi 65, Komnas HAM Yakin Jokowi Penuhi Komitmen

Kamis, 30/06/2016 12:09 WIB   
Oleh : Wydia Angga

Presiden Joko Widodo. Foto: Danny Setiawan/KBR

KBR, Jakarta- Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah yakin Presiden Joko Widodo akan memegang komitmennya untuk melaksanakan Nawacitanya terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Ini disampaikan Komnas HAM menanggapi penyataan Jokowi yang tidak akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). 

"Pak Presiden mungkin mempertimbangkan begitu banyak soal politik di tingkat nasional mengapa kemudian ada beberapa langkah yang sudah direncanakan pemerintah belum terlaksana. Nah itu yang sebenarnya kita dorong supaya Bapak Presiden tetap berada dalam posisi untuk melaksanakan berbagai rencana yang sebenarnya sudah menjadi komitmen Bapak Presiden, Nawacita untuk melaksanakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu," ujar Roichatul di kantor Komnas HAM (29/6/2016).

Roichatul menambahkan, Komnas HAM telah melakukan berbagai dorongan di tingkat nasional agar pemerintah melaksanakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan mekanisme yang ada. Antara lain, kata dia, mekanisme yudisial di UU no 26 tahun 2000 dan perencanaan di RPJMN untuk proses penyelesaian tragedi tersebut.

Sementara di tingkat daerah, Komnas HAM lakukan identifikasi berbagai inisiatif seperti yang ada di Palu. Harapannya rekonsiliasi di tingkat lokal seperti di Palu dapat menular ke daerah lain.

“Permintaan maaf yang dilakukan Wali Kota Palu sebelumnya, Rusdy Mastura, dapat menjadi referensi di tingkat nasional.“
 

Soal ini, bekas Wali Kota Palu Rusdy Mastura mengusulkan adanya rekonsiliasi korban tragedi 65. Ia sendiri telah melakukannya lewat Peraturan Wali Kota yang telah di keluarkannya semasa menjabat. Kebijakannya telah ia tuangkan pula ke dalam buku berjudul "Palu & Godam Melawan Keangkuhan" yang diluncurkannya hari ini (29/6/2016) di kantor Komnas HAM. 

"Kalau tidak ada minta maaf, ya penyesalan. Kalau tidak bisa minta maaf ya penyesalan bahwa ada kejadian itu. Saya sesudah itu membuat Peraturan Wali Kota, Perwali tentang rencana aksi HAM," ungkap Rusdy (29/6/2016) 

Ia menyebutkan beberapa langkah pemenuhan hak kepada korban tragedi 65 yang sudah dilakukannya di Kota Palu. Bentuknya, bantuan perumahan, pemberdayaan ekonomi, juga beasiswa bagi anak korban dimana pendanaannya lewat APBD. (mlk)

 
http://kbr.id/06-2016/tragedi_65__komnas_ham_yakin_jokowi_penuhi_komitmen/82676.html

Kisah Wali Kota Pelaku Tragedi 1965 Minta Maaf ke Korban

, CNN Indonesia

Membangun Kedaulatan Kebudayaan Rakyat

Hersri Setiawan | 30 Juni pukul 9:49
Pidato Pembukaan Konferensi Warisan Otoritarianisme | Kampus Universitas Indonesia, Depok 5-7 Agustus 2008

Hersri Setiawan (Foto: lentera di atas bukit) 

1. Kebudayaan bukan Anak-Bawang Kehidupan
 
Walaupun kata benda “kebudayaan” atau “budaya” selalu disebut paling akhir dalam urutan pasangannya, politik-ekonomi-kebudayaan (di jaman penataran Suharto dulu dikenal istilah “ipeloksesbud”), tapi tidak bisa dipungkiri bahwa peranan kebudayaan tidak lebih kecil atau lebih rendah dari kata-kata pasangannya itu.


Contoh: 

(a) menyadari kekalahannya di Indonesia, Belanda (1950) segera berusaha merebut kembali jajahannya yang hilang dengan jalan ‘penetration pacifique’ dalam bentuk Sticusa dan MMB (Misi Militer Belanda); 
(b) Gang-4 Ziang Chin mencoba mempertahankan RRT melalui “Revolusi Kebudayaan”. 
Tapi kedua-duanya gagal. Yang pertama karena perlawanan rakyat, yang kedua karena terlambat diintrodusir.

Rejim militer Orba Indonesia dbp Jendral Suharto lebih cerdik dan pandai menangkap dan memanfaatkan momentum. Segera sesudah jenasah lima jendral dan satu perwira pertama dimakamkan, ketika tanah kubur masih merah dan emosi masih teraduk-aduk, segera dilakukan berbagai manuver kebudayaan yang jitu, antara lain: 

(a) Uril (Urusan Moril) di departemen AD diperluas bidangnya dengan mengambil model dan peranan Lekra; 
(b) Pepadi, organisasi pedalangan, dikuasai dan diserahkan kepemimpinannya bukan pada Ki Dalang Nartosabdo atau dalang lainnya, tapi pada seorang Jendral Sudjono Humardani; 
(c) menghancurkan simbol-simbol budaya lama dan membangun yang baru – paling mencolok dalam contoh ini dihitamkannya nama Jameela Aljazair , simbol kebangkitan dan perlawanan rakyat Asia-Afrika (lagu komposisi Mochtar Embut), dihancurkan dan diganti dengan Jamilah pekerja seks Pasar Senin yang konon “penari harumbunga”.


2. Sikon Kebudayaan Indonesia Pasca-G30S-65

Sesudah '65, kebudayaan menjadi milik penguasa, kaum modal dan para elite. Situasi dan kondisi semacam itu sebenarnya masih terus berlangsung sampai sekarang. Timbul alienasi antara kebudayaan di satu pihak dengan rakyat di lain pihak, karena rakyat sudah tidak lagi “the owner”, juga bukan “the partner”, melainkan sudah menjadi samasekali “the other” – “liyan” (Jawa) “yang lain” (Indonesia). Pemikiran ini barangkali juga melanda sementara para cendekiawan, budayawan, dan aktivis LSM, mereka tampil seakan-akan punya mandat untuk mewakili rakyat merumuskan kebudayaan. Tanpa pernah merumuskan terlebih dahulu apa itu “kebudayaan” dan apa itu “rakyat”.


Kebudayaan rakyat atau kebudayaan yang berasal dari rakyat pun lalu dianggap sebagai "liyan”, atau “lain" atau "the other". Sadar atau tidak sadar pemikiran kebudayaan yang ekslusif ini dan kadang dengan mengatasnamakan “kebudayaan kiri” itu (apa itu “kiri” dan “kanan”?), justru mendukung penguasa dan modal untuk tidak memperhatikan kebudayaan rakyat. 

Padahal dahulu, tepatnya tahun 1960 di depan Kongres Nasional Lekra di Taman Sri Wedari Solo, Presiden Soekarno menegaskan, bahwa kebudayaan harus untuk rakyat dan dari rakyat. Lebih tegas ia dari Lekra yang berkredo “kebudayaan (untuk) rakyat”. Bung Karno sangat benar. Karena jika hanya “untuk”, maka berarti menempatkan rakyat sekedar sebagai obyek. Tapi jika “dari” dan “untuk”, maka rakyat ialah subjek dan sekaligus objek. Ia samasekali bukan “liyan” (other) atau “rekan” (partner), tapi dialah si Empunya (the Owner). 

Dengan demikian, jika mengamati sikon kebudayaan dewasa ini, sejatinya ternyata telah terjadi perubahan isi dan/atau pergantian nilai-nilai budaya. Isi dan nilai budaya “the leisure class” lalu menjadi isi dan nilai budaya bangsa. 

Tidak salah sebenarnya pendapat kaum marxis ketika mengatakan, bahwa “kebudayaan suatu bangsa ialah kebudayaan klas yang berkuasa”. Sedemikian rupa pergantian nilai atau perubahan isi budaya itu, sampai berdampak pada pemiskinan sekaligus pendangkalan jatidiri kosakata. Misalnya, kata “aktor” dan “aktris” sekarang nyaris hilang karena terdesak oleh kata “artis” yang rancu arti dengan “selebritis”. 
Padahal “artis”, yaitu ahli seni atau seniman/seniwati, yang semestinya sebagai kata cakupan untuk “aktor” dan “aktris”, sekarang tinggal menjadi sesempit dan sedangkal kata “selebritis” alias “bintang”, yang lebih menunjuk pada penampilan (outer appearance) ketimbang isi atau bobot (inner value). Seniman atau seniwati susut nilai dan isinya tinggal menjadi sekedar “pelipur lara” atau, pinjam istilah Jacques Leclerc, “kaum suka hibur” belaka.

Tirani otoritarian bukan hanya terdedahkan dalam tindak kekerasan di dunia kasatmata, tapi bahkan juga berimbas pada dunia yang nirkasatmata, seperti dunia linguistik misalnya. Perhatikan saja dunia kosakata sport yang justru penuh dengan kata-kata yang samasekali tidak sportif! Misalnya: Rafael Nadal gebuk Federer, Jatim sabet tuan rumah, Rusia lumatkan Belanda ... dsb dst.



3. Kebudayaan Kuda Troya Tirani Modal

Rezim militer Orde Baru Suharto bukan hanya kekejamannya saja yang menarik diamati. Tapi juga karena terbukti ia seorang dalang yang cerdik – atau kalau menjadi dalang terlalu pintar, maka setidaknya ia robot yang handal. Sesudah dengan efektif berhasil membersihkan kaum kiri, dimainkannya (atau dipermainkannya?) kelompok ekonom muda Indonesia yang dikenal dalam sebutannya “Mafia Berkeley”. Kelompok inilah yang mengemban tugas rezim untuk menyusun blueprint pembangunan ekonomi masadepan Indonesia. Tentu saja kelompok ini bukan ibarat “bayi tiban” yang datang sekonyong-konyong tanpa diketahui dari mana asal-muasalnya.


Kelompok Mafia Berkeley adalah bagian dari manuver kapital untuk mempersiapkan hegemoni kebudayaan, melalui pembangunana elemen-elemen kebudayaan dan kelompok yang akan menjadi alat untuk melancarkan ekspansi kebudayaan kapitalis. 

Mafia Berkeley sudah disiapkan sebagai bagian dari program yang dimulai tahun 1956 dan didanai oleh Ford Foundation. Langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, kebudayaan rakyat mati dilanda oleh kebudayaan ekonomi kapitalis dari kelompok Mafia Ekonomi ini. 
Kelompok ‘Manikebu’ dan media massa yang anti-Soekarno dan anti-gerakan kiri saat itu pasti tidak bisa dipisahkan dari strategi global kaum modal internasional. Dalam kerangka ini bisa ditambahkan banyak lagi, antara lain: politik “massa mengambang”, orpol-ormas dilarang masuk ke tingkat di bawah kabupaten, sambil sementara itu digalakkan “ABRI Masuk Desa”. Barangkali tidak bisa diabaikan juga dalam hubungan ini ialah politik “normalisasi kampus” Daoed Joesoef yang sambil memberlakukan NKK sekaligus melarang eksistensi Dema (Dewan Mahasiswa).

Dengan demikian pengaruh tirani modal bukannya baru muncul sekedar sebagai kecenderungan saja, melainkan sudah merupakan bukti kasatmata, yaitu dengan dimatikannya elemen-elemen kebudayaan rakyat dan pendukungnya. Suara dan ruang hidup rakyat dimatikan, dan jeritnya yang lemah tinggal terdengar melalui suara sementara kaum budayawan, intelektual, dan aktivis LSM yang merasa peduli terhadap haridepan rakyat dan budayanya. Sekarang ini budaya leisure class yang tanpa akar itu melanda sampai ke pedesaan dan pegunungan, melalui produk-produk mutakhir teknologi. Budaya konsumtif yang sesaat dan tanpa ruh itu bukan hanya subur di mal-mal di kota besar saja, tapi juga sudah menyusup di pasar-pasar tradisional dan pasar desa yang nyaris tergusur “kemajuan jaman” . 

Ingatlah peristiwa ditukargulingkannya sebuah SMP di Pematang Siantar pada sebuah penguasa besar beberapa hari lalu.Kalau anak-anak itu berdemo tentu bukan karena mereka sontoloyo. Karena yang sontoloyo ialah orang-orang yang berkuasa itulah!


4 Lalu bagaimana?

Apa yang sekarang diperlukan ialah kebijakan pembangunan yang bisa menjamin masadepan yang adil, masuk-akal, dan demokratis. Itulah logika pembangunan. Pembangunan bukan untuk membantu beberapa gelintir orang menjadi kaya, membangun industri demi manfaat kaum elite, membukakan pintu ‘Sogo’ untuk orang kaya kota sambil mengabaikan kaum miskin di kampung dan pedesaan dalam kesengsaraan mereka. Pembangunan ialah masalah mengubah masyarakat, memperbaiki kehidupan si miskin, memungkinkan setiap orang untuk mempunyai kesempatan memperoleh sukses dan memperoleh akses untuk perawatan kesehatan dan pendidikan.


Sejalan dengan itu kebudayaan rakyat harus diberi tempat. Dalam hal ini peranan budayawan dan aktivis LSM menjadi tumpuan. Adapun caranya? Bung Yoshi dan kelompoknya di Yys Pondok Rakyat Yogya, dan Bung Ngurah Termana di Taman 65 Denpasar (tentu juga ada di daerah-daerah lain), telah memberi contoh. Antara lain dengan cara membuka “ruang negosiasi” antar-para pendukung kebudayaan, sehingga memori kolektif tentang kebudayaan rakyat setempat bisa dibangunkan, dan pemahaman bersama tentang persoalan kebudayaan yang aktual bisa dirumuskan bersama.


Ruang negosiasi semacam itu memang harus dibuka sendiri atau “direbut”, dan tanpa menunggu kemudahan yang dikucurkan atau terkucur dari atas – yang tak lebih serba berupa remah-remah belaka: remah-remah kekuasaan politik (“pesta demokrasi”, misalnya), remah-remah kekuasaan ekonomi (Bantuan Langsung Tunai, misalnya), dan remah-remah kebudayaan (tontonan Indonesian Idol, misalnya).


Melalui “ruang negosiasi” itulah Ruh Kebudayaan Rakyat akan menemukan kembali jasad dan kekuatannya, raga dan dayanya. Jasad dan daya itu bisa terdapat di dalam lagu-lagu rakyat, dongeng-dongeng rakyat, ornamen-ornamen tradisional, dan berbagai kearifan lokal yang tak terbilang dan tak ternilai.

Melalui “ruang negosiasi” kita juga bisa memerangi pembodohan dan pemiskinan rakyat, yang diakibatkan oleh kekuasaan kapital dan sistem yang anti-demokrasi; demikian juga bisa dicegah hilang-punahnya hasil budaya lokal, bahasa dan huruf. Berita punahnya tujuh bahasa lokal di Papua Barat belum lama ini, mestinya harus ditangkap sebagai “alarm budaya” yang mengerikan, dan bukan “disyukuri” karena memberi lahan subur untuk “bahasa persatuan”! Bahasa persatuan, bagaimanapun juga, di hadapan bahasa ibu, adalah bahasa asing. Bahasa-bahasa lokal atau suku justru harus dikembangkan, jika bahasa persatuan diinginkan agar tumbuh subur dan berakar kuat. Itulah maknanya wasiat kultural Empu Tantular “bhinneka tunggal ika”.


Melalui “ruang negosiasi” tentu juga akan cepat diketahui dan diatasi agar jangan sampai kecolongan lagi dan lagi, sesudah lagu Rasa Sayange dan Reyog Ponorogo!


***
https://www.facebook.com/hersri.setiawan/posts/10153855734369200 

Mantan Wali Kota Palu Tulis Buku Bela Korban Tragedi 1965

Penulis: Endang Saputra
08:04 WIB | Kamis, 30 Juni 2016

Mantan Wali Kota Palu Rusdy Mastura. (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Wali Kota Palu, Rusdy Mastura, mengatakan keluarga korban peristiwa 1965-1966 di negeri ini yang masih menderita secara lahir maupun batin tak terkecuali di Kota Palu Sulawesi Tengah.
 
“Mereka terjerat dengan stigma yang membuat terpenjara di tengah kota, mereka hidup, tapi seperti tak hidup karena Hak Asasi Manusia (HAM) mereka sejak lama terampas,” kata Rusdy dalam peluncuran bukunya dengan judul 'Palu dan Godam Melawan Keangkuhan Kisah di Balik Permohonan Maaf pada Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966 di Jalan Latuharhary nomor 4 B Menteng Jakarta Pusat, hari Rabu (29/6).

Rusdy menilai mereka (para korban) tidak lagi memikirkan politik, bagi mereka urusan dasar HAM saja sudah sulit meraka capai.

“Satu hal yang diperjuangkannya adalah rehabilitasi, dan banyak di antara mereka yang sebenarnya bukan pelaku, tetapi terlanjur dihukum,” kata dia.
Rusdy mengaku dirinya bukan pahlawan, karena ia sadar bahwa yang memperjuangkan ini bukan seorang diri, mereka datang dan bicara diawali di forum-forum terbatas. Lalu muncul keberanian, dan didorong oleh inisiatif sejumlah LSM.

“Untuk menujukkan mereka benar, mereka harus berani bicara. Inilah kemudian menyakinkan saya bawa demi HAM, permintaan maaf itu harus dilakukan,” kata dia.

Menurut dia, ini adalah salah satu jalan rekonsiliasi. Dengan kekuasaanya sebagai wali kota dua periode 2005-2015 ini, Rusdy mengambil sejumlah kebijakan hukum yang dapat mengangkat harkat dan martabat mereka sejajar sebagai sesama manusia. Menurut sejumlah catatan, ia merupakan satu-satunya pemimpin politik di Indonesia  yang melakukan langkah kemanusian seperti ini. Tak heran kalau sejumlah pihak memberikan apresiasi.

Pertama apresiasi dari Pakar Hukum dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik (2003-2008), Jimly Asshiddqie. "Orang seperti Pak Rusdy ini harus didukung, dan diberi penghargaan, tetapi yang penting adalah dukungan politik dan moral (kebijakan dia) jangan disalahkan, tapi diberi penghargaan," kata Jimly.

Kedua, mantan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan periode 1998-2004) Saparinah Sadli. "Yang menarik dari Pak Rusdy ini adalah, bagaimana proses hingga akhirnya beliau mengambil keputusan tegas melakukan permohonan maaf kepada korban peristiwa pelanggaran berat HAM ini. Saya pikir pemimpin lain bisa meniru langkah seperti yang dilakukan oleh mantan wali kota Palu ini," kata dia.

Selanjutnya ketiga, Komisioner HAM Nur Kholis mengatakan," Sebagai Mantan Wali Kota Palu Rusdy telah membuka jalan baru dari kebuntuan yang berlangsung hampir 13 tahun dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM masala lalu.Langkah ini dapat kita jadikan sebagai jalan untuk mendorong komitmen nasional," kata dia.

Editor : Eben E. Siadari
 
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/mantan-wali-kota-palu-tulis-buku-bela-korban-tragedi-1965 

Rabu, 29 Juni 2016

Tidak Ada Karpet Merah Untuk Dokumenter


29th Jun 2016 
 

Hujan turun di antara pohon-pohon, orang berteduh di bawah payung sambil melihat ke satu arah. Seorang perempuan setengah baya menerobos hujan menuju kerumunan orang yang tampak sedang menggali tanah. Dia melihat dengan seksama lubang yang digali, seperti mencoba mencari sesuatu yang penting tanpa memperdulikan hujan. 
Di dalam lubang itu beberapa orang terlihat sedang berusaha mengeluarkan tulang dari dalam tanah. Kelak kita tahu itu adalah proses penggalian kuburan massal korban pembunuhan tragedi 1965 di sebuah desa di Wonosobo. Perempuan yang menerobos hujan dalah anak salah satu korban yang mencari tulang bapaknya yang menjadi salah satu korban.

Adegan di atas adalah pembuka film ‘Massgrave’ yang dibuat oleh Lexy J. Rambadeta. Film itu saya tonton pada awal tahun 2000 di sebuah pusat kebudayaan di Yogyakarta. Setelah bertahun-tahun hanya tahu film dokumenter membosankan yang disajikan oleh televisi, ‘Massgrave’ memberikan sebuah pengalaman menonton dokumenter yang berbeda, saya bisa terlibat secara emosional dengan karakter yang ada di film ini, bahkan bertahun-tahun kemudian, saya masih teringat dengan ekspresi dan nuansa yang dibangun oleh film ini. 
Yang lebih penting lagi, sebagai gerenasi yang dibesarkan dalam hegemoni pemerintah orde baru, film ini memberikan perpektif yang baru dalam hal cara melihat tragedi 1965. ‘Massgrave’ adalah film pertama yang membuat saya tergugah untuk menjadi pembuat film dokumenter.

Kesempatan untuk menyutradarai film dokumenter pertama saya datang pada tahun 2005 melalui program Eagle Award yang digagas oleh In-Docs (Indonesia Documentary) dan Metro TV. In-Docs adalah salah satu lembaga nirlaba yang bertujuan untuk mempromosikan film dokumenter serta memberikan pelatihan untuk pembuat film dokumenter pemula di Indonesia. 
Sejak tahun 2002, In-Docs sudah mengadakan lokakarya di 13 kota di Indonesia. Dari lokakarya tersebut, In-Docs menemukan bakat-bakat baru yang kualitasnya diakui di tingkat nasional dan internasional. Saat ini, In-Docs memperluas cakupan ruang kerja mereka, tidak hanya bekerja untuk mempromosikan dan mendukung pembuat film dokumenter di Indonesia tetapi mencoba pada lingkup Asia Tenggara karena ada kesamaan persoalan yang dihadapi pembuat film dokumenter di wilayah itu, yaitu kurangnya infrastruktur dan dukungan untuk membuat film dokumenter yang berkualitas.
Mulai tahun 2016, bekerjasama dengan BRITDOC membuat program Good Pitch2 Southeast Asia, juga program ‘Dare to Dream’ adalah yang merupakan kerjasama dengan STEPS, sebuah lembaga nirlaba, berbasis di Afrika Selatan yang dijalankan oleh Don Edkins dan Iikka Vehkalahti, dua orang paling berpengaruh di lanskap dokumenter dunia.

Dokumenter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh televisi, bentuk dan temanya seragam, dengan anggaran yang sangat kecil, dokumenter televisi dibuat dalam waktu yang singkat dengan waktu syuting yang singkat. Bagi kebanyakan orang, ketika kita menyebut film dokumenter, maka yang mereka bayangkan dalah acara televisi berupa kehidupan liar, profil pariwisata sebuah daerah, proses pembuatan barang-barang tradisi seperti batik dan sejenisnya. 
Tema kearifan lokal, benturan tradisi dan modernisme juga paling sering diangkat. Tidak ada cerita, karakter dan emosi dalam film-film seperti ini, yang diberikan hanyalah informasi, penonton dianggap entitas yang pasif yang hanya bisa menerima tanpa diberi ruang untuk menafsir dan ‘mengalami’. Pendekatan ini yang membuat film dokumenter dianggap membosankan dan tidak populer, padahal film dokumenter bisa kaya akan tema dan bentuk pendekatan. Dokumenter bisa juga intim dan puitis.

Beberapa tahun belakangan film dokumenter di Indonesia mulai mengenalkan dan merespon bentuk-bentuk baru dalam pembuatan film dokumenter. Salah satu yang mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan ini adalah program yang dibuat oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Goethe-Institut Indonesien yang menghasilkan film ‘Denok & Garenk’, ‘Layu Sebelum Berkembang’ dan ‘Negeri di Bawah Kabut’. 
Film ini menggunakan pendekatan observasional. Tanpa adanya wawancara sebagaimana sangat umum di film dokumenter tradisional, tiga film ini terlihat seperti film cerita ketimbang film dokumenter. Film ini berhasil mengaburkan batas antara fiksi dan dokumenter. Ketiga film ini berhasil mecatatkan diri menjadi film pertama dari Indonesia yang pernah berkompetisi di seksi bergengsi di beberapa festival dokumenter terbesar di dunia seperti seksi First Appearance di International Documentary Film Festival Amsterdam dan Young Cinema Competition di Dok-Leipzig di Jerman.

Kekuatan dokumenter adalah ia berangkat dari sebuah realitas, tetapi harus difahami bahwa dokumenter bukan fotokopi kehidupan. Dokumenter adalah perlakuan kreatif terhadap realitas. Karena berangkat dari realitas, dokumenter menjadi mempunyai dampak yang berbeda ketika kita menontonnya. Ia mempunyai kemampuan persuasif yang lebih kuat dibandingkan film cerita sebab kita sadar bahwa ketika menonton dokumenter, kita menonton sebuah cerita yang sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata, dengan karakter yang nyata, bukan cerita rekaan yang dimainkan oleh aktor.

Dokumenter yang baik adalah yang mampu menggambarkan kedalaman sebuah tema atau karakter, mempunyai dimensi cerita yang membuat penontonnya mampu memahami lebih jauh apa yang hendak disampaikan oleh film tersebut, karena itu film dokumenter yang baik mampu menepis stereotype terhadap etnis tertentu yang banyak diproduksi dan direproduksi oleh media arus utama. Karena berangkat dari realitas, dokumenter juga akan memberikan emosi dan ekspresi yang tulus dari karakternya, bila dalam film cerita, hanya aktris sekelas Christine Hakim yang bisa mencapai kualitas emosi dan ekspresi itu.

Saat ini saya sedang membantu sebuah produksi film dokumenter di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibuat oleh sutradara lokal. Bercerita tentang lelaki 27 tahun bernama Nokas yang ingin menikahi pacarnya yang bernama Ci. Ci bekerja sebagai pengurus kandang ayam potong di dekat rumahnya. 
Bayangkan kalau film ini dibuat dalam format film cerita, maka adegan mereka pacaran adalah di sebuah lokasi yang romantis, misalnya di tepi pantai saat sunset atau di pegunungan saat kabut turun. Dalam film dokumenter ini, Nokas dan pacarnya pacaran di kandang ayam. Inilah salah satu kekuatan lain dokumenter, sementara televisi, film dan media arus utama terus memproduksi cerita dan karakter yang terprediksi yang membuat selera dan cara hidup penontonnya seragam, dokumenter seringkali bisa menawarkan kesegaran dalam melihat sebuah persoalan melalui pendekatan dan karakter-karakternya. Adegan dan percakapan antar karakter sering tidak terpikirkan oleh penulis skenario film cerita terbaik sekalipun sebab dokumenter tidak sedang kompromi dengan pasar. Dokumenter mampu menyajikan sebuah kenyataan yang seringkali tidak muncul di media arus utama.

Dokumenter menjadi penting untuk negara sebesar dan seluas Indonesia. Dengan lebih dari 1.300 suku, lebih dari 700 bahasa daerah, dokumenter yang baik bisa menjadi catatan sejarah sebuah realitas pada sebuah tempat dan waktu, bisa menjadi dokumentasi kebudayaan dan tradisi tanpa menjadi membosankan. Dokumenter bisa menjadi medium preservasi atas bahasa dan cara bertutur sebab dalam dokumenter, penutur adalah orang asli. Dalam dokumenter tidak akan terjadi salah dialek seperti yang terjadi di film cerita karena, misalnya film yang syuting di Nusa Tenggara Timur tetapi menggunakan dialek dari Papua. Dengan itu dokumenter bisa menjadi medium untuk saling mengenal antar wilayah di Indonesia yang berpuluh tahun dihegemoni oleh kebudayaan Jawa.

Riset yang baik adalah kunci sebuah dokumenter yang bagus. Terlepas proses syuting akan memakan waktu sepuluh tahun, atau sepuluh bulan atau hanya sehari, riset yang dalam sangat penting. Dengan riset kita mengetahui kekuatan karakter dan potensi cerita. Dengan itu kita akan mengetahui apa saja yang dibutuhkan untuk membuat film ini, berapa hari yang dibutuhkan untuk syuting, peralatan dan berapa uang yang dibutuhkan. Anggapan bahwa dokumenter cukup mengambil kamera dan mulai merekam adalah salah. 
Sebagaimana produksi film cerita, proses pra-produksi sangat penting, bahkan lebih penting sebab dalam dokumenter kita tidak bisa memprediksi seratus persen apa yang akan terjadi. Dengan pra produksi yang matang, kita bisa melakukan improviasi untuk mencapai kualitas film yang kita inginkan.

Sebagai pembuat film dokumenter, wajib untuk menonton sebanyak mungkin film untuk memperkaya referensi, apalagi kalau kita tidak sekolah film. Kita bisa belajar banyak dari film yang dibuat orang lain, juga supaya kita bisa tahu apa yang sudah dibuat di luar sana. ‘Negeri di Bawah Kabut’, misalnya, sangat dipengaruhi oleh film dari Prancis berjudul Etre et Avoir. 
Sebelum syuting, saya juga banyak menonton film yang menggunakan pendekatan visual seperti yang saya inginkan untuk mempelajari bagaimana mereka merekam film itu. Dengan mempunyai referensi film, kita akan lebih mudah mengkomunikasikan dengan kru film seperti apa yang akan kita buat.
Sekarang, untuk mendapatkan film dokumenter berkualitas sudah sangat mudah. Banyak situs yang menyediakan jasa menjual film baik dengan streaming atau donwload. Misalnya dafilms.com yang dikelola oleh tujuh festival film dokumenter di Eropa. Vimeo juga sudah menyediakan jasa tersebut, juga yang paling umum dan populer seperti iTunes. 
Bisa juga datang ke festival film seperti Festival Film Dokumenter di Yogyakarta, Denpasar Film Festival, Arkipel – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, atau mendatangi ruang pemutaran seperti Kineforum, Paviliun 28 dan Kinosaurus di Jakarta, Minikino di Denpasar, Kineruku di Bandung. Pemutaran serupa juga sering diadakan di lembaga kebudayaan seperti Goethe-Institut dan IFI atau di kampus-kampus.

Pada perhelatan Oscar tahun ini, Louise C.K. yang bertugas membacakan pemenang pada kategori Dokumenter Pendek Terbaik mengatakan dengan satir, bahwa film dokumenter bisa mengubah hidup orang, tetapi pembuat filmnya tidak akan pernah kaya selama mereka masih hidup dan membuat dokumenter. Iya, sebagian besar pembuat film dokumenter itu bekerja karena kecintaannya pada subjeknya, pada sebuah isu yang ingin dia angkat dan pada bentuk dokumenter itu sendiri. Jangan memilih dokumenter kalau ingin kaya, sebab seringkali pembuat film dokumenter harus membiayai filmnya sendiri. 
Di Indonesia, belum ada dukungan terstruktur dari negara untuk film dokumenter. Betul, bahwa saat ini ada dukungan di tingkat pusat oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat film dokumenter pendek, tetapi dukungan ini tidak punya sistem yang jelas untuk perkembangan film dokumenter dalam jangka panjang. Program ini terlihat sporadis dan terkesan sebagai program untuk menghabiskan uang pada akhir tahun anggaran. Pembuat dokumenter di Indonesia masih sangat bergantung pada kemurahan hati para lembaga donor atau lembaga kebudayaan seperti Goethe-Institut dan Ford Foundation. Tentu saja hal ini tidak sehat dalam jangka panjang sebab ada ketergantungan terhadap bantuan lembaga asing tersebut. Peran pemerintah belum terlihat sama sekali. Negara-negara di Eropa terutama negara-negara Skandinavia adalah contoh yang bagus dimana dukungan untuk pembuat film dokumenternya sangat kuat. Setiap negara mempunyai dana santara lima sampai dua puluh lima milyar setiap tahun. 
Sekitar sepuluh persen dari anggaran itu bahkan bisa diakses oleh negara lain termasuk Indonesia. Tetapi prosesnya tetap rumit. Maka kesabaran dan kecintaan pada dokumenter adalah kunci menjadi pembuat film dokumenter yang tangguh.

Membuat dokumenter adalah sebuah jalan yang sunyi. Bila mengejar popularitas jangan memilih dokumenter. Tidak ada gelaran karpet merah dengan hujan cahaya dari kamera yang menyilaukan di festival film dokumenter, tidak ada wawancara dengan media terkenal dan jauh dari gemerlap selebritas. [SS]

- Dimuat di majalah Rollingstone Indonesia bulan April 2016. Versi tanpa edit jadi caur as usual.
- Foto oleh Manuel Alberto Maia

http://hujantropis.com/post/146644769616/tidak-ada-karpet-merah-untuk-dokumenter

Selasa, 28 Juni 2016

[memorial] Mendiang mBah Suti

catatan: Uchicowati Fauzia | Lilik HS
 

Kabar duka dari Boyolali: Ibu Hardjo Sutiyem yang sering dipanggil mBah Suti usia 93 tahun meninggal dunia Selasa, 28 Juni 2016, malam dan akan dikebumikan Rabu 29 Juni 2016, pukul 13.00 wib dari rumah duka rumah pak Subagyo di Desa Tembalang, Kecamatan Musuk, Kab. Boyolali.

Mbah Suti, adalah aktivis perempuan anggota Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang kemudian menjadi Gerwani. Semasa muda mbah Suti adalah Ketua Gerwani Boyolali. Pernah ditahan oleh pemerintah Orba. Suaminya meninggal bunuh diri pada peristiwa 65.  

Penderitaan yang berat ini membuat mBah Suti hidup sebagai perempuan yang kuat dan tegar. Hingga usia 90 masih hidup sendiri dan mengurus warung yang kecil namun lengkap. 
 Ia juga mendirikan kelompok usaha Wiji Asih.

Satu per satu para pejuang ini meninggalkan kita. Sementara itu penuntasan kasus pelanggaran HAM terutama terkait Peristiwa 65 belum jua selesai.
Mari kita tundukan kepala, untuk mBah Suti, Penyintas Tragedi 1965 yang tidak pernah berhenti berjuang untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM. Selamat jalan Bu Suti....
_______

Usianya 95 tahun, tinggal di desa Musuk, Boyolali. Suaranya yang semula lemah berangsur meninggi. Dengan sorot mata berbinar dan bahasa tertata, ia berkisah: 

Sejak tahun 1951 aktif di GERWIS (Gerakan Wanita Istri Sedar), cikal bakal organisasi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). 
Kemudian terpilih sebagai Ketua Anak Cabang (setingkat kecamatan) Gerwani Kecamatan Musuk, Boyolali. Nyaris saban hari ia jalan kaki keliling ke ranting-ranting di wilayahnya, untuk ceramah dan mengecek perkembangan organisasi, mendirikan TK Melati, bikin kursus-kursus, dan gerakan PBH (pemberantasan buta huruf). 
Semua dilakukan secara cuma-cuma. Gurunya, dari kader-kader Gerwani; juga tidak dibayar. Semua guyup dan penuh semangat. 
(Heiii…pada 31 Desember 1964, penduduk Indonesia usia 13-45 tahun, kecuali di Irian Barat, dinyatakan bebas buta huruf. Ibu-ibu inilah salah satu ujung tombaknya!) 

Tahun 1965, Suti dan suaminya, mBah Hardjo, ditangkap dan diseret ke penjara. Bertahun-tahun kemudian, saat ia pulang dari kantor tentara untuk laporan rutin; didapatinya mBah Hardjo tewas; gantung diri. 
Dibantu oleh sedikit orang (yang lain masih takut bersentuhan dengang orang PKI), mBah Suti mengubur suaminya. Ia terpukul, nyaris gila bertahun lamanya. 
Tapi mBah Suti enggan menyerah. Ia ikut kegiatan PKK di kampungnya, meski suara-suara tetangga terus berdengung di kupingnya: 
“Kamu ndak tak boleh ngomong, ndak boleh usul, ndak boleh jadi pengurus.”

mBah Suti‘mbudheg. Cuek. 
“Yang penting bisa srawung (bergaul) sama tetangga. Nggak ngelangut, nggak kepikiran macam-macam,” katanya.

Di usia 95 tahun, ia hidup sendiri. Anaknya semata wayang yang tinggal di lain desa menawarinya tinggal serumah. 
Ia menolak : ”Saya masih kuat apa-apa sendiri. Gak enak bikin repot”.

Di lereng gunung Merapi, yang berhawa dingin dan tiap hari berlapis kabut, siang itu ia leyeh-leyeh di sofa butut sambil menatap layar tivi. 
Serombongan anak usia SD mengetok warung kecilnya, beli sebungkus mie, permen dan makanan kecil plastikan plainnya. 
Tiap hari, untung bersih yang diperolehnya tak lebih dari Rp. 10 ribu.

Pengadilan PBB Keluarkan Surat Penangkapan Wiranto Terkait Pelanggaran HAM








Komunisme dan Bangkitnya Rezim Pengecut


Oleh: Arman Dhani - 28 Juni 2016

Sejumlah anggota ormas membakar bendera komunis saat deklarasi gerakan masyarakat anti komunis di Plaza Balaikota, Bogor, Jawa Barat, Senin (23/5).

Deklarasi itu menyerukan kepada seluruh warga negara kesatuan republik indonesia untuk bersatu padu, siaga dan waspada terhadap kebangkitan komunisme gaya baru yang mengatasnamakan penegakan HAM dan keadilan. antara foto/arif firmansyah/foc/16.

Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi. Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu peristiwa pelanggaran.

Senator Amerika dan anggota partai Konservatif, Ted Cruz, menjadi perhatian publik pada Maret lalu ketika ia menganjurkan pada pihak kepolisian Amerika melakukan patroli di komunitas muslim. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak terorisme. 

Ted Cruz dikecam karena dianggap xenopobik dan rasis terhadap umat muslim. Tapi apa yang dilakukan Ted ternyata diteladani di Indonesia. Belakangan, pihak aparat baik militer dan kepolisian, melakukan razia terhadap segala yang berbau komunisme. 

Di Yogya, penerbit-penerbit buku dirazia oleh kepolisian untuk mencegah beredarnya buku-buku kiri. Polres Grobokan malah dengan sigap telah menyita beberapa buku yang dianggap kiri pada sebuah pameran buku. Hal serupa juga dilakukan oleh Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, yang mengamankan puluhan buku bertema komunisme dan kiri di pameran buku murah yang digelar di Kota Tegal. 

Padahal pada 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan kejaksaan melarang buku. Pelarangan buku dianggap tidak melalui proses peradilan. Setelah pencabutan peraturan ini, pelarangan buku baru bisa dilakukan setelah melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan. 

Lalu apa dasar hukum yang digunakan polisi dan tentara untuk merazia dan menyita buku-buku tersebut? Pihak polres dan Kodim berdalih buku-buku tersebut menyebarkan paham komunisme yang dilarang pemerintah. Tapi apa sebenarnya menyebarkan paham komunisme itu? Apakah menjual buku bertemakan komunisme? Buku yang membahas sejarah 1965? Atau buku yang membahas pemikiran Karl Marx? 

Tidak ada definisi jelas tentang menyebarkan paham komunisme. Ketakutan akan komunisme melahirkan hal-hal yang konyol. Seperti penangkapan penjual kaus band Kreator di Blok M Jakarta karena mengandung simbol palu arit. Polisi tampaknya tidak punya panduan yang jelas tentang apa itu definisi menyebarkan komunisme yang dimaksud oleh Tap MPRS. Yang menggelikan, Kodim 0505 Jakarta Timur menyita dan menganggap buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Sulistiyo Hermawan, padahal buku itu menjelaskan latar belakang pembantaian yang dilakukan kepada PKI, bukan membenarkan komunisme. 

"Sebenarnya sudah ada Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966 yang mengatur tentang larangan paham-paham komunisme dan pembubaran PKI, sehingga sampai hari ini masih berlaku," kata Mensesneg Pramono Anung saat jumpa pers di Kantor Presiden, seperti yang dikutip via Antara. 

Peraturan itu berisi tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap komunisme dan juga penyebaran dan mengembangkan paham-paham komunisme, Leninisme dan Marxisme. Jokowi juga memerintahkan Kapolri untuk menangani gaduh perihal komunisme ini. 

Kapolri sendiri mengatakan mengatakan selain Polisi, pengawasan di lapangan terhadap kegiatan-kegiatan berbau komunisme akan dibantu oleh aparat TNI. Padahal banyak di kampus-kampus, mata kuliah Marxisme masih diajarkan, sedangkan definisi menyebarkan paham komunisme, Leninisme dan Marxisme tidak dijelaskan lebih rinci. Apakah berjualan kaos dengan lambang palu arit adalah masuk penyebaran paham Marxisme? Atau memakai kaos dengan nama PKI bisa disebut mengembangkan paham komunisme? Ketakutan akan komunisme dan aturan pelarangan penyebaran Marxisme digunakan aparat untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan. 

Rabu 10 Mei lalu empat aktivis di Ternate, Maluku Utara, ditangkap aparat TNI dari Komando Distrik Militer 1501 Ternate. Di antara mereka, tercatat dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara: Adlun Fiqri, dan Supriyadi Sawai. Dua orang lainnya berstatus mahasiswa, Muhammad Yunus Alfajri (Universitas Khairun Ternate), dan M. Radju Drakel (Universitas Muhammadiyah Maluku Utara). Mereka diamankan karena mengoleksi sejumlah kaus dan buku yang dianggap memuat ajaran komunisme. Kronologi penangkapan itu termuat dalam rilis AMAN Maluku Utara. 

Menurut aparat, penangkapan dilakukan berdasarkan laporan warga yang menyebut bahwa Adlun memiliki kaus berbau komunisme. Padahal kaus yang dimaksud adalah kaus Pecinta Kopi Indonesia yang disingkat menjadi PKI. Saat penangkapan, aparat TNI juga menyita buku dan kaus yang mereka anggap berbau ajaran terlarang seperti Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965, Buku terbitan Tempo, Lekra dan Geger 1965, Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan dan kaus merah bertuliskan Pencinta Kopi Indonesia (PKI) dan kaus bergambar Munir dengan teks "Melawan Lupa". 

Banyak aktivis demokrasi yang menyayangkan dan mengutuk tindakan ini. Dhyta Caturani, feminis dan aktivis prodemokrasi, menyebutkan ada pola khusus pemberangusan ide di Indonesia. 

“Ada tiga hal yang menjadi sasaran penangkapan, pembubaran, penyitaan dan intimidasi: komunisme/PKI, LGBT dan Papua (separatisme),” katanya. 

Ia khawatir bahwa jika ini didiamkan bukan tidak mungkin akan rezim anti kritik akan bangkit dan berikutnya setiap pendapat dibungkam. Dalam laporan yang dibuat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) disebutkan bahwa sejak Januari 2015 hingga Mei 2016 terjadi berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat yang dilakukan dengan banyak cara. Seperti pelarangan acara (57, 9 persen), intimidasi (50 persen), pembubaran (21,1 persen), interogasi (10,5 persen), perusakan (5,3 persen), pembredelan (2,6 persen), dan lain-lain. 

Damar Juniarto dari Safenet mengungkapkan ada 41 peristiwa sejak Januari 2015 – Mei 2016 pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat. Frekuensi pelanggaran kebebasan berkumpul dan berpendapat kepada warga negara menunjukkan tingkat yang tinggi.

Mulai tahun 2016, terjadi 4-5 kali pelanggaran dalam sebulan kebebasan berkumpul dan berpendapat. Artinya, setiap minggu ada satu peristiwa pelanggaran. Safenet menyebut Polisi sebagai pihak pelaku tertinggi pelanggaran hak berkumpul dan berpendapat, disusul oleh ormas kekerasan seperti FPI, FUI, GPK, FAKI, dll.

Polisi disorot karena seharusnya bukan menjadi pelaku pelanggaran itu sendiri, melainkan menjadi pelindung bagi penyelenggara acara dari teror. Persoalannya adalah pelaku di lapangan ini bukan aktornya. Polisi dan Ormas kerap kali melarang dan mengancam membubarkan acara pemutaran film (39,5 persen) dan diskusi atau seminar (28,9 persen).

Sebagian besar acara itu dituduh sebagai acara komunis karena menyuarakan kritik terhadap isu sosial seperti Tanah Air Beta garapan Rahung Nasution atau film karya Dhandy Laksono.

Segala bentuk pelarangan diskusi atau pemutaran film sebenarnya melanggar kebebasan sipil. Undang-undang menjamin setiap Warga Negara Indonesia untuk berpendapat. Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan bahwa warga Indonesia berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas sekaligus memperoleh perlindungan hukum.

Ini selaras dengan Pasal 19 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.


Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Pada 2010, MK mencabut Undang-undang nomor 4/PNPS/tahun 1963 yang membolehkan Kejaksaan melarang buku.


Musim Paranoia PKI Belum Berlalu


Oleh: Arlian Buana - 28 Juni 2016

Komandan kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, di Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, Tabu (11/5). Kodim 0712 Tegal mengamankan sebanyak 90 buku PKI dari stand buku pada pameran di salah satu mal, karena dinilai melanggar hukum di Indonesia. antara foto/oky lukmansyah/ama/16


Isu kiri ini berlalu lagi untuk kemudian suatu hari nanti dibangkitkan lagi dan hilang lagi dan muncul lagi dan terbang lagi tanpa penyelesaian berarti. Tanpa penyembuhan luka-luka sejarah. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai segala yang kiri. tirto.id - Adlun Fiqri harus berurusan dengan polisi lagi.

Belum sampai setahun setelah ia bikin gara-gara pertama dengan korps berbaju cokelat muda itu, kali ini mereka dengan senang hati mencocoknya dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme. Adlun menghadapinya dengan santai, ia menikmati bermain-main dengan aparat negara. Di profil Facebook, ia mencantumkan "Mantan Tahanan" di "Kepolisian Republik Indonesia" sebagai profesi di kolom pekerjaan.

Pada 10 Mei 2016 malam, seperti biasa Adlun menghabiskan waktu di Sekretariat AMAN Maluku Utara. Dua orang bertubuh tegap masuk tanpa mengetuk pintu. Adlun saat itu sedang berselancar di depan laptopnya di kamar paling belakang.
"Kamu Adlun? Ikut kami," kata salah satu dari mereka.
"Ada apa ini?" tanya Adlun.
"Pokoknya ikut kami," kata orang itu.
Dengan sepeda motor Adlun dibawa ke kantor Kodim. Di sana ia ditanyai tentang kaos yang sehari sebelumnya ia pamerkan di Instagram dan Facebook. Kaos itu bergambar palu-arit yang tercelup di cangkir kopi dan bertuliskan “Pecinta Kopi Indonesia”.

Tahulah Adlun bahwa ia dicokok karena ribut-ribut kiri. Adlun bilang, kaosnya ada di kamar kontrakannya. Mereka meminta Adlun untuk kembali ke sana bersama mereka dan mengambil barang yang dimaksud. Adlun patuh. Bukan satu kaos yang dianggap bermasalah itu saja yang diamankan. Beberapa helai kaos yang dianggap "membahayakan kedaulatan NKRI" juga disita, berikut beberapa judul buku koleksi Adlun.

Penangkapan Adlun adalah satu dari sekian banyak aksi yang diterjemahkan dari perintah Presiden Joko Widodo untuk menertibkan segala yang berbau komunis.

Menurut laporan majalah Tempo, instruksi untuk menindak “sesuai aturan hukum” semua yang dianggap berbau PKI itu bermula pada rapat terbatas presiden bersama Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala BIN Sutiyoso, dan KASAD Jenderal Mulyono.

Setelah pertemuan itu, pada Senin, 9 Mei 2015, Jenderal Badrodin segera menggelar jumpa pers.
“Sekarang kalau kamu lihat lambang palu-arit, apa pandanganmu?” kata Badrodin kepada wartawan.
Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan arahan presiden untuk menangani masalah peredaran atribut-atribut kiri yang merebak di masyarakat. Ini diduga sebagai ancaman yang dapat melahirkan kembali komunisme dan Partai Komunis Indonesia.
“Tadi presiden katakan, gunakan pendekatan hukum,” kata Badrodin.
Dasar hukum yang dipakai antara lain TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme; dan UU 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.
“Makanya jangan main-main. (Ini masalah) Serius. Baca saja UU itu,” katanya.
 Menyusul kemudian razia atribut PKI oleh aparat kepolisian dan tentara di berbagai daerah. Aparat bergerak memburu pemakai atribut kiri di berbagai tempat umum.

Di Gunung Kidul, Yogyakarta. Kodim 0730 menggeledah beberapa perusahaan sablon rumahan. Kodim 733/BS Semarang merazia toko barang antik di Pasar Klitikhan, mereka menyita satu topi dan dua set pin berlambang bintang kuning berlatar merah yang dianggap kekomunis-komunisan.

Di Blok M, Jakarta, Di Grobogan, Jawa Tengah, polisi menyita buku-buku tentang sejarah dan tokoh-tokoh PKI dari berbagai toko buku. Penyitaan buku berlanjut di Kediri dan Tegal dan Cirebon. Di Gresik, sebuah bazar buku dilarang oleh pemerintah kota. Di Bandung, para penjual buku diinterogasi.

Di Yogyakarta, dua penerbit dan satu toko buku didatangi petugas. Selasa, 10 Mei 2016, sekitar pukul 10.00, tiga orang berpakaian berbadan tegap mendatangi Toko Buku Budi di kawasan Caturtunggal. Mereka bertanya-tanya tentang buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula terbitan Ultimus. Olihin, penjaga Toko Budi menjawab tidak ada. Sorenya harinya, tiga orang berbeda, dan keesokan harinya lima orang lain lagi, datang dengan pertanyaan yang sama.
“Orangnya beda-beda, tapi mobil yang dipakai sama,” kata Olihin.
Di hari yang sama, sekitar pukul 12:00, dua orang yang mengaku dari intel Polda Yogyakarta mendatangi Penerbit Narasi. Hasnul Arifin, pemimpin redaksi penerbit Narasi menerima keduanya. Mereka memberitahukan bahwa hari itu ada aksi dari sekelompok massa di kantor Polda DIY yang mengancam akan merazia buku-buku Kiri.

Demi menghindari aksi ricuh bila massa menuju alamat penerbit, kedua polisi itu menyampaikan niat baik mereka untuk mengamankan. Kedua intel itu tak lupa bertanya seputar buku-buku yang diterbitkan Narasi, termasuk buku Peristiwa 1 Oktober 1965: kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution (2012) dan Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965.

 Khusus dua buku itu, keduanya menuntut penjelasan kepada Hasnul. Dengan tenang Hasnul mengatakan bahwa dua buku itu adalah buku sejarah. Sebelum pulang, mereka meminta sampel dua judul buku , masing-masing satu eksemplar.
“Untuk dipelajari oleh atasan,” kata Hasnul menirukan permintaan mereka. Selepas kepergian dua petugas, Hasnul segera meminta bawahannya untuk mengecek demonstrasi di depan Polda DIY. Jarak antara kantor Narasi dan Polda DIY hanya 7 menit dengan kendaraan bermotor. Tapi tidak ada tanda-tanda atau bekas-bekas aksi massa hari itu.
Rabu, 11 Mei 2016, sekitar pukul 09:30, dua orang yang mengaku dari Polsek Sleman datang ke penerbit Narasi membawa motif yang sama dengan dua petugas sebelumnya. Mereka langsung bertanya soal buku Komunisme ala Aidit. Aksi aparat ini memicu protes berbagai kelompok masyarakat sipil. Terutama kecurigaan dan penyitaan terhadap buku-buku, ini dianggap sebagai kemunduran besar. Pemberangusan pengetahuan hanya akan melahirkan kebodohan satu ke kebodohan lainnya.
“Buku kiri diterbitkan untuk dibaca luas dan dipelajari, untuk memajukan peradaban manusia, bukan untuk dilarang negara,” kata Bilven Sandalista.
Pada 17 Mei 2016, bertepatan dengan peringatan Hari Buku Nasional, Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) yang terdiri dari insan-insan perbukuan Yogyakarta menyampaikan 7 maklumat:

SATU. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media, termasuk persamuan seni-budaya dan penerbitan buku, adalah amanat Reformasi dan Konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinnekaan sebagai bangsa.

DUA. Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.

TIGA. Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang berwewenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan.
Prosedur hukum yang dimaksud salah satunya seperti termaktub dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.

EMPAT. Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.

LIMA. Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah, menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

ENAM. Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua ekosistem yang bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem Perbukuan Nasional yang demokratis.

TUJUH. Mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai salah satu dari asosiasi penerbit buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah berpengalaman dalam sejarah panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil peran yang signifikan dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat dengan elemen-elemen masyarakat yang plural. Sekretaris MLY Muhidin M Dahlan menilai, sweeping terhadap yang kiri-kirian ini soal laten. Reguler, tiap tahun mesti saja ada. Entah sampai kapan terus dipelihara, dan tahun ini diperparah lagi dengan keterlibatan perangkat negara.
“Dua unsur masyarakat yang selalu senewen sama komunis: di sudut agama ada masyumi dan kelompok yang memiliki ikatan batiniah dengannya. Wah, Masyumi dan PKI ini dulu tiada hari tanpa berantem di koran. Nyaris tiap hari PKI memaki-maki Masyumi. Dendam, tho? Nah, unsur kedua tentu saja Angkatan Darat dan laskar-laskar pemuda yang deket dengan AD di mana Soeharto dianggap sebagai The Godfather,” kata Muhidin.
“Dua unsur itu, Ya Tuhan, sengitnya abadi, Bung!” 
Kedua kelompok antikomunis itu, menurut Muhidin, hingga saat ini masih belum bisa membuka mata mereka mengenai upaya pelurusan sejarah peristiwa 1965, usaha rekonsiliasi nasional, dan Marxisme sebagai ilmu. Bahkan hingga di era ketika informasi sudah demikian terbuka ini, mereka masih termakan mentah-mentah propaganda orde baru bahwa semua yang kiri itu busuk dan harus dibuang jauh-jauh.

Di media sosial, razia sambung-menyambung yang dilakukan oleh aparat ini mendapat perhatian cukup luas oleh netizen. Mereka menjadikan aksi aparat yang main berangus itu sebagai olok-olok dengan macam-macam meme, dan banyak yang mengomentari rezim Jokowi sebagai orde baru gaya baru. Mendapati reaksi netizen yang terpantau melalui iPad-nya, Presiden Jokowi tidak bisa tidak resah. Komentar yang menyebut bahwa pemerintahannya represif seperti orde baru sangat mengganggu perasaan presiden.
“Ada sebagian aparat yang dianggap kebablasan dalam menerjemahkan perintah Presiden,” kata juru bicara presiden Johan Budi. Kamis, 18 Mei 2016, presiden Jokowi memangil beberapa orang kepercayaannya untuk diajak bicara tentang perkembangan terakhir dan langkah yang harus diambil.
Setelah mendengar masukan dari orang-orang dekatnya itu, Jokowi segera menghubungi Kapolri Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Beliau meminta tindakan berlebihan yang dilakukan aparat agar segera dihentikan.
“Presiden meminta aparat menghormati kebebasan berpendapat,” kata Johan. “Kami kira Panglima TNI dan Kapolri bisa menerjemahkan itu dengan baik.”
Maka demikianlah, isu kiri ini berlalu lagi untuk kemudian suatu hari nanti dibangkitkan lagi dan hilang lagi dan muncul lagi dan terbang lagi tanpa penyelesaian berarti. Tanpa penyembuhan luka-luka sejarah. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai segala yang kiri. Musim paranoia itu belum berlalu.

Indonesia belum sepenuhnya bebas dari stigma dan prasangka khas orde baru. Pelarangan acara-acara berbau kiri dan pemberangusan buku-buku kiri kemungkinan masih akan berulang lagi di waktu mendatang.


Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Presiden Jokowi minta ada pendekatan hukum untuk peredaran hal-hal yang berbau kiri.