Kamis, 23 Juni 2016

Perjuangan Demokratik Nasional dan Perjuangan Kelas Buruh Melawan Histeria Anti Komunis [1]

Oleh: Leon Kastayudha dan Mahendra K
Jun 23rd, 2016


Hantu komunisme dan bahaya laten kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali dikomat-kamitkan serta digembar-gemborkan oleh rezim penindas yang berkuasa maupun oleh Oposisi Kanan Borjuis (OKB). Beberapa bulan lalu kita juga melihat homofobia dan rasisme mereka sebarluaskan. Para aparat, pejabat, dan konglomerat terjangkiti dan menularkan histeria anti-komunis kemana-mana. Apa saja, siapa saja, kapan saja, dan dimana saja mereka bisa menganggap melihat komunis dan histeris berteriak-teriak bahaya laten PKI.

Mulai dari kasus instagram Anindya Kusuma Putri, Puteri Indonesia 2015, yang memakai kaos Palu Arit dan mengatakan “I’m so Vietnam today”, langsung dikatakan Front Pembela Islam (FPI) sebagai bahaya laten komunis. 
Padahal kaos itu cuma suvenir yang didapatnya saat mengikuti Association Internationale des Etudiants en Science Economiques et Commercials (AIESEC). Melihat plakat-plakat Palu Arit di karnaval siswa dalam HUT RI ke-70 di Pamekasan, pihak Kodim memerintahkan pembakaran gambar dan penginterogasian kepala sekolah. 
Padahal itu hanya atribut karnaval bahkan ditujukan justru untuk mengingatkan peristiwa G30S/PKI. Begitu juga organisasi massa (Ormas) Komunitas Pengawas Korupsi (KPK) yang menghardik dan memukuli pengendara motor yang memakai pin palu arit. 
Demikianlah, mereka tidak bisa membedakan mana yang gaya-gayaan dengan mana yang ideologis.

Kemarin Kivlan Zen dan Ryamizard Ryacudu beserta para pendukungnya bahu-membahu menggosipkan adanya perayaan ulang tahun PKI pada 9 Mei 2016. Ironisnya ulang tahun PKI sebenarnya jatuh pada 23 Mei. Namun tentu saja mereka tidak akan membiarkan kebenaran menghalangi jalan mereka. 
Kaum reaksioner mengorganisir persekusi anti-komunis atau pemburuan sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang dianggap menyebarkan wacana komunis atau bersimpati terhadap komunisme secara besar-besaran.
Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Muslim (AM3) memprotes acara ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunis, mendukung Papua merdeka, dan pembenaran terhadap LGBT. 
FPI mengerahkan massa berusaha membubarkan acara Sekolah Marx di Bandung. 
Sedangkan di Yogyakarta, pada 3 Mei 2016, aparat mengerahkan satu truk polisi ditambah FKPPI dan Forum Anti Komunis Indonesia (FAKI) mengintimidasi serta membubarkan pemutaran dan bedah film “Pulau Buru Tanah Air Beta” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Kemudian di Sukoharjo, Jawa Tengah, aparat menyita buku-buku yang dianggap menyebarkan komunisme, di Yogyakarta aparat menyatroni penerbit Bintang Nusantara dan Resist Book.

Runtuhnya Kepemimpinan Kelas Borjuis

Krisis kapitalisme dunia yang meletus di tahun 2008 tidak kunjung menunjukkan pemulihan. Sebaliknya krisis kapitalisme bahkan merembet ke berbagai negara serta menjalar ke berbagai sektor dan dimensi.

International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional melaporkan bahwasanya krisis finansial dunia sekarang malah semakin memburuk dibandingkan dengan periode-periode lalu. Prediksi yang mereka publikasikan memperkirakan akan semakin merosotnya tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi dunia serta mencamkan bahwa negara-negara industri lanjut mesti mengambil langkah-langkah persiapan dalam menghadapi periode penuh guncangan itu. Selain itu IMF juga menjelaskan bahwasanya tingkat pertumbuhan jangka panjang di tahun 2001 hingga 2007 yang sebesar 2,2% akan merosot menjadi sekadar 1,6% untuk tahun 2015 hingga 2020. 
Kemudian pertumbuhan output potensial tahun 2015 – 2020 di negara-negara kapitalis lanjut diperkirakan IMF cuma sebesar 1,6% per tahun. Ini merosot dibandingkan dengan periode lalu yang sebesar 2,25% per tahun.

Dalam situasi demikian, rezim dan kelas kapitalis tidak bisa memberikan reforma ataupun konsesi serta kompromi bagi rakyat pekerja. Sebaliknya justru capaian-capaian rakyat pekerja akan dirampas kembali oleh rezim-rezim penguasa untuk menyelamatkan kelas borjuasi dan sistem kapitalisme yang sedang menderita krisis, termasuk di Indonesia. 

Ini bisa kita lihat salah satu contoh perwujudannya dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016 yang diajukan rezim Jokowi-JK dan disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jumlah besaran anggaran belanja APBN 2016 adalah Rp 2.095,72 triliun. Sedangkan anggaran pendapatan direncanakan sebesar Rp 1.822,54 triliun dengan rencana defisit sebanyak 13,1% atau sebesar Rp 273,178 triliun. Tumpuan utama APBN 2016 ada di pendapatan pajak dan cukai dengan jumlah keseluruhan sebanyak Rp 1.546,6 triliun atau sebanyak 84,8% dari penerimaan APBN 2016. Bagaimanapun juga ambisi meraup pendapatan APBN dari pajak ini tampak tidak realistis bila berkaca pada kegagalan rezim Jokowi-JK dalam mencapai target pajak baru.
Target yang ditetapkan APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294 triliun misalnya hanya bisa dicapai rezim pemerintah sebesar 64%nya atau Rp  828,93 triliun saja.
Bagaimana rezim Jokowi-JK menyelesaikan persoalan ini. Satu sisi, rakyat pekerja Indonesia sudah sangat tertindas dengan turunnya upah riil dan melambungnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Sedangkan di sisi lain Borjuasi di Indonesia bukan hanya sangat alergi terhadap (peningkatan) pajak namun juga merupakan pelaku pengemplangan pajak yang sangat besar. 
Kasus Gayus hanya menyeret pegawai perpajakan namun tidak menyentuh perusahaan-perusahaan yang berkomplot dengannya untuk mengemplang pajak, seperti perusahaan-perusahaan Bakrie misalnya. Bahkan menurut Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, terdapat sekitar 4.000 perusahaan asing yang tidak pernah membayar pajak selama setidaknya 20 tahun beroperasi di Indonesia. Dalam kasus ini, sama seperti rezim SBY sebelumnya, akhirnya Jokowi-JK lebih memilih mengencangkan penghisapan dan penindasan terhadap rakyat pekerja demi melonggarkan bahkan membantu kaum borjuasi. Ini salah satu contoh perwujudannya bisa kita lihat dari digulirkannya wacana Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak.

Kelas menengah Indonesia menurut data mengalami peningkatan jumlahnya. Hal tersebut dianggap menjadi bukti bahwa kondisi ekonomi Indonesia baik-baik saja. Namun salah satu karakter dari kelas menengah tersebut adalah budaya konsumtifnya. Budaya konsumtif yang ditopang dengan meningkatnya kredit konsumsi di Indonesia. Menurut statistik yang diterbitkan oleh OJK kredit konsumsi bank umum terus meningkat. Sepanjang tahun 2014 total nilai kredit konsumsi mencapai sekitar seribu triliun, tumbuh 11 persen dari tahun sebelumnya.

Sedangkan berbagai subsidi diturunkan atau bahkan dicabut. Total besaran subsidi di APBN 2016 hanyalah Rp 182,6 triliun dimana Rp 102,1 triliun untuk subsidi energi yang terdiri dari Rp 63,7 triliun untuk subsidi BBM dan gas sebesar ditambah Rp 38,4 triliun subsidi listrik. Kemudian ditambah Rp 30 triliun subsidi pupuk. Sementara itu iuran BPJS untuk kelas 1 dan 2 dinaikan menjadi 80 ribu dan 51 ribu untuk kelas 2. Harga BBM sendiri semakin diliberalisasi mengikuti harga di pasar internasional.

Tindakan-tindakan itu pun sebenarnya belum sanggup mengeluarkan Indonesia dari krisis kapitalisme. Sehingga rezim Jokowi-JK dipaksa semakin banyak mencari dan bergantung pada modal kapitalis global. Bagaimanapun juga karena sumber utama Indonesia untuk mencari kapital global, yaitu Imperialis AS dan sekutunya, juga dilanda krisis kapitalisme, sehingga menyurutkan tingkat aliran kapital ke negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, maka rezim Jokowi-JK harus mencari kucuran kapital di luar tuan Imperialis biasanya. Ini berarti rezim Jokowi-JK memperbanyak porsi kapital dari negara-negara di luar, atau bahkan negara-negara yang selama ini menjadi rival, saingan, bahkan musuh Imperialis AS dan sekutunya, dalam hal ini negara-negara tersebut salah satunya adalah Rusia dan Tiongkok.

Selain itu, krisis kapitalisme di Indonesia juga mewujudkan diri di sektor-sektor lainnya. Salah satunya berupa krisis infrastruktur dimana rasio elektrifikasi tidak mencapai angka sepenuhnya melainkan berkisar di 84%, lebih rendah dibandingkan Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2015 lalu, terdapat 28,52 juta orang atau 11,13% dari total penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini meningkat 780 ribu jiwa dibandingkan angka di tahun 2014 yang saat itu sebesar 27,73 juta jiwa atau 10,96% dari populasi.  Ini masih menurut angka resmi pemerintah. Sedangkan bila berdasarkan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM)—yang pertama kali dikembangkan Universitas Oxford Inggris bersama UNDP pada tahun 2010 dan sudah dipakai beberapa negara seperti Meksiko—menurut Lembaga Kajian Perkumpulan Prakarsa, yang turut memperhitungkan kondisi rumah tinggal sebagai bagian dari indikator miskin (termasuk: gizi, akses pendidikan, kondisi tempat tinggal, lama sekolah, sanitasi, air bersih, dan sumber penerangan), justru angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 30% dari total penduduk Indonesia. Tiga kali lebih besar dari persentase kemiskinan versi BPS.

Beriringan dengan itu kesenjangan sosial juga melebar. Ini ditunjukkan dengan rasio Gini, khususnya di perkotaan, naik dari 0,43 menjadi 0,47.  Laporan Bank Dunia di tahun 2014 bahkan menunjukkan 10% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 77% ekonomi negeri.

Angka kelaparan di antara rakyat Indonesia mencapai 19,4 juta jiwa.  Jumlah ini paling banyak terkonsentrasi di daerah-daerah Indonesia Timur seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku. Hampir 37 persen bayi berusia di bawah lima tahun (balita) yaitu sebanyak 7,6 juta jiwa di Indonesia menderita pertumbuhan terhambat akibat kekurangan gizi tingkat kronis. Terdapat 25 bayi yang kemudian mati tiap 1.000 kelahiran hidup dan 46 balita yang kemudian mati tiap 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu melahirkan juga mencapai 359 dari 100.000 kelahiran hidup.

Dalam kondisi seperti ini rakyat pekerja tidak punya pilihan selain melawan balik. Menghadapi hal ini, kelas dan rezim penindas yang berkuasa menjawabnya dengan semakin memperbesar intimidasi, represi, dan persekusi.

Pemberangusan serikat dan kriminalisasi terhadap buruh semakin marak. Sebanyak 23 buruh, dua pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, serta seorang mahasiswa dikriminalisasi karena melakukan aksi demonstrasi pada Oktober lalu untuk menolak Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Saiful Anam dan Eko yang mengungkap praktik sistem kerja kontrak di perusahaan tempat mereka memburuh dikriminalisasi dengan Undang-undang (UU) No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Abdul Hakam dan Agus Budiono yang memperjuangkan pengangkatan ribuan buruh outsourcing di pabrik PT Petro Kimia Gresik dipidanakan dan dipenjara dengan menggunakan dalih pasal perbuatan tidak menyenangkan. Eko Pamuji dan Saiful, buruh PT Nabu Plastic Indonesia sekaligus pengurus Serikat Buruh Bumi Manusia (SEBUMI) yang menulis ajakan memperjuangkan buruh kontrak dan mengungkap pengusiran buruh kontrak bernama Kartini dari pabrik oleh manajemen juga dijerat oleh peraturan yang sama dan diinterogasi oleh aparat kepolisian. Di Papua, sejak rezim Jokowi-JK sekitar ribuan aktivis pro kemerdekaan ditangkap. Sementara puluhan lebih aktivis menjadi tahanan politik.

Kemudian penindasan terhadap petani juga semakin masif. Terhitung tahun 2015 terdapat lima orang tewas, 39 orang ditembak, 124 orang dianiaya, dan 278 orang dijebloskan ke dalam penjara terkait konflik agraria, sebagaimana catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menggarisbawahi adanya peningkatan sengketa tanah sejak 2010. Selain itu pembubaran terhadap kegiatan kaum tani juga semakin gencar. Salah satu korbannya adalah acara pelatihan pemetaan agraria di Sambirejo, Sragen, yang diadakan oleh KPA.

Acara tersebut dibubarkan oleh aparat Kepolisian Sektor (Polsek) Sambirejo pada Sabtu 28 Mei 2016 siang dengan berdalih tidak ada izin dari Kejaksaan dan perkebunan. Padahal secara legal formal tidak ada peraturan perundang-undangan dan regulasi yang mensyaratkan itu. Namun ini menunjukkan bahwa aparat senantiasa menjadi alat represi rezim dan kapitalis. Kemudian tanggal 12 Mei 2016 juga ada intimidasi dan tindak kekerasan aparat terhadap para petani yang menolak pembangunan bandara di wilayah Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo. Sekitar 1000an aparat (empat bis dan enam truk), mayoritas merupakan aparat kepolisian dan militer, mendatangi Padukuhan Sidorejo merangsek ke tanah makam warga, membubarkan para demonstran, bahkan memukuli dan menendangi warga, yang menolak pematokan tanah makam untuk kepentingan bandara.

Selain itu penggusuran serta perampasan ruang hidup terhadap kaum miskin kota dan rakyat pekerja juga semakin merajalela. Penggusuran terhadap warga Kampung Pulo di Jakarta Timur, penggusuran 12 desa dari Kawasan Jatigede di Jawa Barat berdalih pembangunan dam, penggusuran demi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah.
Sedangkan di Yogyakarta kaum miskin kota bisa ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang lewat Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif seperti Perda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) no. 1 tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis. Selain itu hajat hidup dan usaha mencari nafkah dari kaum miskin kota juga semakin dirampas melalui Surat Edaran (SE) Gubernur DIY tentang Larangan Pengoperasian Becak Motor di DIY.

Krisis Kapitalisme Juga Krisis Politik Borjuis

Namun krisis kapitalisme tidak hanya mewujudkan diri di ranah ekonomi berupa semakin tajamnya penghisapan dan penindasan terhadap rakyat pekerja untuk menyelamatkan kapitalisme. Melainkan juga tampak dalam krisis politik borjuis. Saat krisis kapitalisme semakin tajam, semakin tajam pula persaingan dan perseteruan antar kaum borjuasi. 
Tidak ada satu kepemimpinan kelas borjuis di Indonesia yang bisa mendamaikan perpecahan di antara mereka. Bahkan sebaliknya, legitimasi kepemimpinan rezim borjuis semakin koyak-moyak. Bukan hanya pergesekan antar faksi borjuis semakin sengit, namun faksi-faksi tersebut secara terus-menerus juga mengalami pergesekan bahkan perpecahan internal. Berbagai Reshuffle kabinet, perubahan sekutu, gonta-ganti antara pendukung pemerintah dan oposisi, konsolidasi dan intrik, terus-menerus terjadi hampir sepanjang dua tahun masa kabinet kerja Jokowi dengan penuh gejolak tanpa satu pun masa damai dan stabilitas kapitalistis.

Salah satu tandanya bisa kita lihat dari diadakannya Simposium Nasional 1965. Simposium Nasional 1965 yang diselenggarakan 18 – 19 April 2016 lalu menandai pergeseran dalam sikap negara borjuis, khususnya rezim Jokowi-JK. Dalam segala segi, tentu saja Simposium ini tidaklah revolusioner, bahkan tidak progresif sama sekali. Bahkan sangat jauh kualitasnya bila dibandingkan dengan International People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat Internasional. Tidak ada pembahasan apalagi pengakuan bahwasanya PKI secara organisasional dan secara legal formal tidak bersalah karena tidak memberontak terhadap pemerintahan Demokrasi Terpimpin rezim Soekarno.
Tidak ada pembahasan apalagi pengakuan bahwasanya terhadap para korban Pembantaian 1965 yang dirampas Hak Asasi Manusia (HAM)nya, harus diberikan kompensasi seutuh-utuhnya. Oleh karena itu juga tidak ada pembahasan apalagi pengakuan bahwasanya kediktatoran militer Orde Baru pimpinan Harto, lah, yang merupakan pengkhianat sesungguhnya yang tidak hanya bertanggungjawab atas Pembantaian 1965 namun juga penghambaan Indonesia ke kaum Imperialis. Sehingga juga tidak ada pembahasan serta pengakuan perlunya penghapusan larangan atas kebebasan berorganisasi dan berideologi, khususnya pencabutan larangan atas ajaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme. Bahkan lebih parahnya lagi bisa kita simpulkan rencana rekonsiliasi pasca Simposium malah mensyaratkan ketertundukan para korban terhadap negara borjuis dan seluruh aparatusnya. 
Dus, bisa kita simpulkan sebenarnya Simposium dan seluruh rencana rezim Jokowi-JK setelahnya sebenarnya bukan diprioritaskan untuk menegakkan keadilan bagi para korban Pembantaian 1965. Melainkan untuk menegakkan kembali kredibilitas negara borjuis agar tidak terus dirongrong dari dalam negeri dan luar negeri atas segala pelanggaran HAM di pembantaian 1965. Sehingga rezim dan kelas penindas yang berkuasa bisa tenang menjalankan eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi kapital. Apalagi di masa krisis, dimana mereka semakin keras menjalankan kebijakan austerity, memotong anggaran publik, mencabut subsidi, serta di sisi lain semakin memberikan banyak pertolongan bagi kaum borjuasi.

Namun bagaimanapun juga penyelenggaraan Simposium Nasional 1965 juga menandai keretakan di antara rezim dan kelas penguasa, khususnya di antara aparatus militer. Satu sisi, Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo, putra Jenderal Sutoyo (salah satu korban Gerakan 30 September) memegang jabatan sebagai Ketua Panitia Pengarah Simposium. Selain itu, Luhut Pandjaitan (Menteri Politik Hukum dan Keamanan) juga merencanakan penggalian kuburan massal terkait Pembantaian 1965. Sementara di sisi lain, Prijanto, purnawirawan TNI angkatan 1975 sekaligus bekas Wakil Gubernur DKI Jakarta, mencela Simposium dan rencana lanjutannya sebagai perusak ketenangan, sedangkan Ryamizard Ryacudu (Menteri Pertahanan (Menhan) Kabinet Kerja Jokowi-JK), Letnan Jenderal Purnawirawan Suryadi (Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) serta Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen tidak hanya terang-terangan menolak Simposium, namun mereka bahkan mengorganisir Sekutu-Organisasi Anti Komunis.

Tanggal 13 Mei, Ryamizard menggelar silahturahmi bersama organisasi Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Balai Kartini Jakarta Selatan. Silahturahmi ini kemudian menyatakan menolak Simposium 1965 dan semua keputusan turunan serta rencana lanjutannya.

Kemudian tanggal 23 Mei, diadakanlah Festival Jalan Lurus, yang diadakan oleh Laskar Ampera Arif Rahman Hakim Angkatan ’66. Festival tandingan untuk membalas “Belok Kiri Fest” ini mempropagandakan sentimen anti-komunisme sekaligus berusaha mengorganisir aliansi kanan anti-komunis.
 Ormas yang diundang antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Korps Alumni HMI (KAHMI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Umat Islam (MUI), Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Kongres Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), Majelis Umat Kristen Indonesia, Serikat Islam Indonesia, Mahasiswa Pancasila, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). 
Festival Jalan Lurus tersebut juga mendeklarasikan “Negarawan Muda Anti-Komunis”. Sebagaimana diberitakan Tempo, deklarasi tersebut memuat enam poin. 
Pertama, mengucap janji setia memperjuangkan dan mengamalkan ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. 
Kedua, menolak penyebarluasan paham radikal teror, komunisme, marxisme, dan leninisme di Indonesia. 
Ketiga, mendeklarasikan dukungan pemerintah Indonesia untuk tidak meminta maaf kepada PKI. 
Keempat, mendukung terwujudnya kedaulatan negara di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. 
Kelima, gerakan yang disebut Negarawan Muda Indonesia akan mengawal jalannya proses pemerintahan dan mengawasi kebijakan para penyelenggara pemerintahan berdasarkan ideologi Pancasila. 
Keenam, bersatu dalam keberagaman sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dalam wadah NKRI.

Histeria anti komunis ini juga diikuti oleh para pejabat lainnya. Termasuk Dedi Junaedi, Pelaksana Tugas Kepala (PLT) Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang mendukung pemberangusan terhadap buku-buku kiri. Ia menyatakan, “Saya setuju. Karena dengan adanya buku-buku aliran kiri ternyata meresahkan. Zaman Orde Baru buku-buku itu dilarang untuk diedarkan. Untuk baca, harus ada izin kejaksaan.” Lebih lanjut ia menyatakan “Buku-buku semacam itu tidak sesuai dengan Pancasila…Kalau ada buku itu nanti meresahkan, nanti terprovokasi.” kata Dedi. Terkait hak pemberian International Standard Book Number yang ada di tangan Perpusnas, ia menyatkan, siap akan melaporkan seandainya ia menemukan permintaan ISBN untuk buku-buku terkait Kiri.

Selanjutnya demi menandingi Simposium Nasional 1965, diadakanlah Simposium anti PKI bertema “Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Ideologi Lain” pada 1 dan 2 Juni 2016 di Balai Kartini, Jakarta Selatan, dengan diketuai oleh Letjen Purnawirawan TNI, Kiki Syahnakri.  Ia menyatakan, “Kebangkitan PKI bukan hanya wacana. Ditandai peredaran buku komunisme, atribut PKI, festival belok kiri, kemudian simposium yang berisi LSM kiri semua,” tekannya. “Kita didukung pemerintah, sudah koordinasi dengan TNI dan Polri, mereka diam aja, berarti menyetujui (simposium), Pak Menhan (Ryamizard Ryacudu) juga bakal membuka acara ini dan mendukung penuh secara moril,” pungkasnya. Meskipun berkilah menandingi Simposium 1965 namun Kiki menyiratkan tindakannya dilakukan akibat penolakan Simposium 1965 terhadap dirinya. “Saya sangat setuju rekonsiliasi. Tapi kalau itu tujuannya (membangkitkan PKI) harus jalan bersama-sama (membawa serta Simposium yang akan diadakan). Kami sampaikan ide berupa TOR, tapi ditolak”, ujarnya.

Simposium anti PKI ini menghadirkan pembicara antara lain Rizieq Shihab, pimpinan Front Pembela Islam, FPI, Abraham Lunggana atau yang sering dipanggil Haji Lulung serta Try Sutrisno, salah satu bekas Wakil Presiden Soeharto di rezim kediktatoran militer Orde Baru, dan Cholil Ridwan, pimpinan MUI. Komposisi ini menunjukkan penggalangan sekutu antara militer Orde Baru, fundamentalis kanan, dan oposisi kanan borjuis. Bagaimanapun juga terdapat beberapa organisasi yang kemudian menyatakan nama dan lambangnya dicatut oleh panitia secara tanpa izin. Salah satunya Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Juventus Prima Yoris Kago, Presidium Pendidikan dan Kaderisasi PP PMKRI, memprotes dan menyatakan bahwasanya Simposium Nasional Mengamankan Pancasila Dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain menggunakan logo PMKRI pada spanduk tanpa izin. 
Sebagaimana keterangannya pada BBC Indonesia, Juventus mengatakan, “Kami meminta klarifikasi dan kami meminta pencopotan logo kami yang dicatut. Tapi, saat kami meminta hal itu, kami malah dibilang komunis oleh beberapa orang di acara tersebut. Kami jadi mempertanyakan, arah simposium ini.” Selain PMKRI, Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga menyatakan memprotes pencatutan terhadap nama dan lambang organisasinya.

http://www.arahjuang.com/2016/06/23/perjuangan-demokratik-nasional-dan-perjuangan-kelas-buruh-melawan-histeria-anti-komunis/

0 komentar:

Posting Komentar