Kamis, 23 Juni 2016

Mengapa saya memproduksi film tentang Pulau Buru

Whisnu Yonar |

Produksi film Pulau Buru Tanah Air Beta
Tahun lalu saya bersama sutradara Rahung Nasution dan seniman Dolorosa Sinaga meluncurkan film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta.

Film kami bercerita mengenai ziarah mantan tahanan politik Hersri Setiawan dan Tedjabayu ke Pulau Buru di Kepulauan Maluku tempat mereka ditahan bersama lebih dari 12,000 lelaki lainnya di akhir tahun 60-an sampai akhir 70-an. Mereka dibuang ke Pulau Buru tanpa pengadilan karena menjadi anggota organisasi kebudayaan Lekra atau anggota organisasi kiri lainnya.

Saya tidak pernah membayangkan pelarangan terhadap film sederhana mengenai ziarah dua manusia ke tempat yang penuh derita dan kenangan untuk mereka akan terjadi di masa keterbukaan saat ini. Namun itu yang terjadi.

Mulai dari pemutaran perdana film, kami mendapat tekanan. Kami harus memindahkan pemutaran perdana film kami dari Goethe Haus ke kantor Komnas HAM karena intimidasi kelompok yang menolak pengungkapan mengenai kekerasan yang tejadi Pasca-1965.

Pemutaran-pemutaran selanjutnya di beberapa daerah juga dilarang.
Ternyata salah anggapan saya bahwa negara ini lebih waras dibanding masa Orde Baru. Rezim berganti namun represi masih terjadi.


Saya lahir tahun 1980 dari keluarga yang tidak terlibat maupun tersangkut peristiwa seputar September 1965 dan setelahnya. Ketika saya masih duduk di bangku sekolah, kami jarang membicarakan politik. Kota saya Salatiga, adalah salah satu daerah penjagalan anggota Partai Komunis Indonesia dan pendukungnya. Namun teman-teman dan guru di sekolah tidak ada yang pernah membicarakan persoalan ini.

Pelajaran Sejarah dan Pendidikan Moral Pancasila yang saya terima di bangku sekolah mengajarkan bahwa komunisme dan Partai Komunis Indonesia sangat buruk. Film Pengkhiantan G30S/PKI yang saat itu diputar tiap tahun di televisi menjadi membangun citra bengisnya PKI dan Gerwani.

Ketika SMP saya pernah memiliki prasangka buruk pada seorang ibu paruh baya yang lewat di depan rumah sambil menggandeng anak. Pagi itu, saya duduk bersama ibu saya di teras rumah kami. Ibuku bilang kalau ibu paruh baya itu adalah anak PKI. Pendidikan dan stigma mengenai PKI dan Gerwani yang ditanamkan pada saya mengajarkan saya untuk bersikap demikian.

Rasa penasaran saya mengenai 1965 muncul ketika membaca seri Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya penulis dan mantan tahanan Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang saya beli di sebuah toko buku bekas saat SMA.

Timbul pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi pada masa 1965 dan setelahnya. Saya terkejut ketika tahu bahwa negara ini pernah membuang ribuan orang ke sebuah pulau bernama Buru. Sebegitu kejamkah pemerintahan Suharto saat itu?

Ketika kuliah koneksi internet pribadi masih belum secanggih sekarang. Untuk mengakses internet saya sering mengunjungi warung internet. Dari informasi di dunia maya dan dari buku-buku beragam versi cerita tentang kekejaman paska tragedi September 1965 banyak kutemukan. Semuanya di luar nalarku.
Kesadaran pribadi saya untuk ingin tahu lebih banyak soal 1965 muncul dari situ. Kepo kalau boleh dibilang.

Saya heran, bagaimana bisa sebuah rejim memerintah dengan penuh pujian ketika fondasinya bersimbah darah jutaan rakyatnya sendiri? Kebanyakan dari korban bahkan tidak pernah mengetahui apa kesalahan mereka dibunuh, dipenjara, disiksa ataupun diasingkan.

Ketika memproduksi film Pulau Buru Tanah Air Beta, saya bisa memahami isu ini lebih dalam. Saya menjadi tahu bagaimana pulau Buru pernah dipakai sebagai tempat pembuangan.
Saya berjumpa dengan mantan tahanan politik di sana dan mendengarkan cerita mengenai pengalaman mereka diperlakukan secara tidak manusiawi selama masa pembuangan. Ribuan orang yang ditahan di sana tidak tahu apakah keesokan harinya mereka masih hidup atau mati. Kapanpun nyawa bisa melayang.


Peneliti Benedict Anderson menyebutkan Gerakan 30 September di mana enam jenderal diculik dan terbunuh di 1 Oktober 1965 merupakan konflik internal Angkatan Darat yang dicarikan dalih untuk membinasakan kehidupan politik dan sosial jutaan rakyat lainnya. Penelitian terbaru dari sejarahwan John Roosa mengatakan bahwa segelintir petinggi politburo PKI merencanakan secara rahasia penculikan enam jenderal tersebut dan anggota partai yang lainnya tidak terlibat.

Apapun itu, yang terpenting dari persinggungan saya dengan isu ini adalah korban. Selama beberapa tahun terakhir saya bertemu banyak penyintas 1965 di Jakarta.

Mendengar langsung cerita dari mereka semakin meneguhkan bahwa masih banyak hutang sejarah yang harus ditanggung oleh generasi muda saat ini.
Hutang ini semakin nyata ketika berhadapan generasi muda. Saya bagian dari korban. Kita menjadi buta atas apa yang terjadi di seputar tahun 1965 dan meyakini kebenaran tunggalnya saat itu karena propaganda Orde Baru.
Sebagai bagian dari korban, kita semua patut mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di masa itu; persoalan geopolitik kala itu, apa yang terjadi malam 30 September 1965, dan pembunuhan/pembinasaan jutaan orang setelahnya.



Dari semua proses yang saya alami sesudah meluncurkan film Pulau Buru Tanah Air Beta, pengalaman yang sangat berharga adalah ketika bertemu dengan penonton muda.

Penonton-penonton muda ini bersemangat mengikuti diskusi sampai selesai. Generasi saya butuh kebenaran. Generasi saya tidak lupa ada hutang sejarah. Generasi saya ingin memiliki pengetahuan sejarah yang sehat.

Generasi kami bukanlah pembangkit PKI, yang hantunya pun sudah ikut mati dengan ribuan orang yang dibunuh, disiksa, ditangkap.

Generasi yang sedang tumbuh saat ini membutuhkan kebenaran tentang sejarah bangsanya sendiri, meski kelam.

Koreksi dari editor: Dalam versi sebelumnya editor salah menulis nama Hersri Nasution; seharusnya Hersri Setiawan. Editor meminta maaf atas kesalahan ini.
 
https://medium.com/ingat-65/mengapa-saya-memproduksi-film-tentang-pulau-buru-9d25adde87ab#.k64rupfpo

0 komentar:

Posting Komentar