Rabu, 08 Juni 2016

Kenapa Banyak Kekerasan atas Nama Agama?

Iman Purnama 
8 Jun 2016

Foto: wikipedia.org)

Dalam doaku yang khusyuk, Tuhan bertanya padaku, hambanya yang serius ini
Halo, kamu seorang pemeluk agama?
Sungguh saya seorang pemeluk agama yang teguh Tuhan
Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk
Benar kamu pemeluk agama?
Sungguh saya pemeluk agama, Tuhan
Tapi aku melihat kamu tak pernah memeluk
Kamu malah menyegel, merusak, menjual agama
Teguh si tukang bangso itu malah sudah pandai memeluk
Benar kamu seorang pemeluk?
Sungguh saya belum memeluk, Tuhan
Tuhan memelukku dan berkata:
Doamu tak akan cukup
Pergilah dan wartakanlah pelukanKu
Agama sedang kedinginan dan kesepian
Dia merindukan pelukanmu.
[Pemeluk Agama, Joko Pinurbo]

Agama merupakan kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Ia bisa menjadi landasan spiritual paling hakiki seorang individu, sekaligus dapat menjadi pemicu konflik antar kelompok yang menyebabkan pertumpahan darah begitu deras.

Sudah tidak perlu dijelaskan panjang lebar, tentu, banyak kekerasan atas nama agama terjadi di banyak tempat. Mulai dari skala global yang terjadi di masa silam seperti Perang Salib hingga skala lokal yang terjadi di masa kini seperti diskriminasi sosial pada penganut Ahmadiyah di Indonesia.

Sudah tentu fenomena itu pantas mengundang perhatian bersama. Satu pertanyaan sederhana bisa diajukan: kenapa agama yang katanya merupakan sumber cinta dan kasih dapat menjadi trigger bagi aneka konflik dan kekerasan?

Pertanyaan itu dapat dijelaskan jika menelisik terlebih dahulu agama bukan sebagai ritus ajaran Tuhan pada umat-Nya, melainkan sebagai identitas sosial yang eksis di masyarakat. Agama sebagai identitas sosial sudah tentu mengandung konsekuensi logis: ia dapat menjadi perekat bersama antar individu.

Ibarat kelompok-kelompok sosial lain yang eksis di masyarakat, katakanlah sekumpulan fans fanatik klub sepakbola, agama memberikan perasaan keterikatan, bahwa aku merupakan bagian dari orang lain yang memiliki tujuan dan kepentingan bersama. Dengan kata lain, agama memberikan perlindungan dan rasa aman tidak hanya secara psikologis, tapi juga sosial.

Sayangnya, rasa perlindungan dan rasa aman secara sosial itu kerapkali dimaknai sebagai benteng pertahanan diri yang harus mencurigai apa pun yang datang dari luar. Ia menjadi tidak luwes dalam menghadapi perubahan tantangan zaman dan bersinergi dengan kenyataan global.

Adanya berbagai cult (sekte) yang justru mengajarkan kefanatikan terhadap guru atau pemimpin spiritual tertentu, sudah tentu dapat menjadi satu indikator bahwa pemahaman agama terkadang masih rancu, jika tidak dikatakan sempit, di dalam benak sebagian besar masyarakat.

Kondisi demikian kemudian diperparah dengan banyaknya tekanan sosial yang berkembang. Mulai dari ancaman, kompetisi yang tidak sehat, antar kelompok sosial masyarakat yang memiliki perbedaan status ekonomi, etnik, atau ajaran/kelompok agama tertentu. Tendensi untuk bersikap curiga berlebihan atau bahkan menolak mentah-mentah undangan dialog menjadi satu kenyataan yang seringkali menjadi awal mula konflik yang lebih besar.

Tendensi sikap curiga itu kemudian biasanya dilatarbelakangi oleh perasaan ketidakadilan secara ekonomi, frustasi secara psikologis, diskriminasi dari aparat pemerintah, hingga transformasi kenyataan dunia global yang acapkali menyebabkan sebagian besar masyarakat merasa tertinggal.

Perasaan rendah diri di tengah arus perubahan kenyataan global tersebut, sadar atau tidak, sering menjadi landasan untuk memperkuat identitas sosialnya secara absolut hingga memandang kelompok lain yang memiliki identitas berbeda sebagai ancaman yang pantas dicurigai. Keaslian identitas sosial yang dimiliki takut dirusak oleh adanya kelompok lain tersebut.

Tidak heran, jika pada perjalanannya kemudian, situasinya berkembang menjadi sebuah oposisi biner: bahwa yang ada hanyalah “kami” melawan “mereka”. Ditambah ketidaktegasan hukum, aparat pemerintah yang acapkali represif dan diskriminatif, serta pemanfaatan kepentingan politik-ekonomi dalam skala lokal dapat membuat konflik atas nama agama begitu mudah tercipta.

Dengan demikian, konflik atas nama agama yang sering kali diberitakan di media massa, tidak sepenuh dan selamanya bersumber dari adanya perbedaan atau kebencian terhadap satu ajaran atau agama tertentu. Justru seringkali adanya perbedaan itu dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk mencapai kepentingan politik-ekonomi jangka pendek yang tidak jarang mengorbankan orang-orang biasa yang tidak punya kepentingan apa-apa.

Kondisi psikologis masyarakat pun menjadi panas, penuh rumor tak berdasar, hingga akhirnya berujung pada saling curiga satu sama lain. Banyak contoh kasus yang kiranya dapat menjelaskan perihal itu. Mulai dari Insiden Tolikara di Papua tahun 2015 silam, pelarangan pendirian rumah ibadah di berbagai tempat, diskriminasi terhadap penganut ajaran Ahmadiyah, dan lain-lain.

Sudah tentu berbagai peristiwa konflik itu harus menjadi pengingat bersama, bahwa agama yang seharusnya menjadi tempat bernaung paling damai dan nyaman jangan dijadikan kendaraan sesaat untuk mencapai kepentingan yang seringkali hanya menguntungkan segelintir pihak.

http://www.qureta.com/post/kenapa-banyak-kekerasan-atas-nama-agama?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=twitter&utm_source=socialnetwork

0 komentar:

Posting Komentar