Minggu, 12 Juni 2016

Amuk Para Pecundang

 ilustrasi

18 APRIL 1962. Setelah nyaris satu dekade keganasan perang, tujuh belas juta orang di Aljazair mencoblos ‘merdeka’ dalam jajak pendapat. Sejuta lebih sisanya menghendaki Aljazair tetap kekuasaan Prancis. Tiga Juli tahun yang sama, Presiden de Gaulle di Paris menyatakan koloni di ujung utara Afrika itu merdeka.

Pada hari itu Menhir, seorang serdadu di tanah jajahan, adalah seorang pecundang.

Tapi karier Menhir, yang hari ini dikenal luas dengan nama Jean-Marie Le Pen, tidak mati bersama koloni. Dengan satu mata yang cacat, ia kembali ke jalur politik. Sepuluh tahun berselang Menhir mendirikan Front National, bersama kaum kalah lainnya: para pendukung rejim Vichy (rejim kolaborator Nazi di Prancis), kelompok-kelompok anti-semit, dan eks-pengikut Charles Maurras (salah satu ideolog fasisme  Prancis 1930-an). Lingua franca Le Pen dan para karibnya adalah anti-komunisme dan anti-separatisme.

Aljazair enam dasawarsa silam adalah litmus test bagi golongan progresif Prancis. Anda kiri atau tidak, itu terlihat dari seberapa besar komitmen Anda mendukung kemerdekaan Aljazair. Dunia Anglo-Amerika boleh menyanjung Albert Camus sebagai filsuf kiri anti-otoritarian. Namun saat gerakan pembebasan nasional di koloni mencapai titik didih, reputasinya di dalam negeri remuk seketika. Camus tak sepakat Aljazair merdeka, kendati ia teguh membela hak orang Arab untuk bersuara. Camus sendiri lahir dan besar sebagai pied-noirs, kalangan pemukim (settlers) kulit putih, yang juga menulis dua novel berlatar belakang Aljazair. Alasan lain yang lebih sentimentil: ibunya tinggal di Algiers.

Sementara di kubu kanan, Aljazair adalah sarana rekrutmen simpatisan dan ajang demonisasi lawan-lawan politik. Jika Anda bertemu Le Pen saat itu, opini Anda tentang Aljazair akan sangat menentukan apakah Anda pantas disebut kawan atau sebaliknya: Komunis, Arab, Muslim, dan tetek-bengek label pengkhianat bangsa lainnya. De Gaulle saja, yang tujuh turunan dikutuk pemuda-pemuda kiri setempat, mendadak dicap musuh nomor satu lantaran memberikan opsi referendum.

Dan amuk adalah ekspresi khas gologan ultra-kanan ketika kekalahan ada di depan mata.

Upaya pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap berperan dalam kemerdekaan Aljazair telah berlangsung sebelum 1962 dan beberapa lama setelahnya. Sejarawan Malcolm Anderson mencatat antara 1954 hingga 1962, muncul banyak laporan tentang subversi dan aksi-aksi sabotase. 
Aktor utamanya adalah OAS (Organisation de l’armée secrète), gerombolan paramiliter yang didirikan oleh bekas serdadu-serdadu dari seantero dunia jajahan Prancis. Reputasinya dahsyat: percobaan kudeta, teror bom, penculikan dan penyiksaan aktivis, pembunuhan politik—dengan korban ribuan—adalah bagian dari jobdesk para opsir OAS. 
Setelah pentolan-pentolannya resmi dicokok, sebagian anggota OAS kabur ke Argentina dan sepuluh tahun kemudian, 1972, terlibat pembunuhan orang-orang kiri di bawah junta militer. Reputasi sebagai penyiksa ternyata tak hanya mendatangkan aib, tapi juga modal. Betapapun sangit aromanya, ia tetaplah mata uang yang bernilai tinggi dalam politik.

Le Pen bukan anggota OAS, namun ia merekrut bekas pemain-pemain organisasi centeng itu. Monsieur Menhir juga diduga kuat terlibat dalam penyiksaan aktivis pro-kemerdekaan selama petualangannya di Aljazair, dan ini membuat perolehan suara Front National melempem sepanjang dekade 1970an. Tapi Anda jangan senang dulu: pada pemilu 1988, ketika dua partai utama Prancis, RPR dan Partai Sosialis, semakin sulit dibedakan, Le Pen tiba-tiba menduduki peringkat keempat. Sejak itulah namanya mencuat sebagai ikon sayap kanan, posterboy anti-komunis, dan gerakan anti-imigran. Hingga detik ini.

Seorang Indonesia mau tak mau akan menemukan padanan Le Pen dalam sosok Prabowo, seorang perwira dengan sederet dugaan keterlibatan penyiksaan, penculikan dan pembunuhan dari Jakarta hingga Papua; pendiri partai ultra-kanan Gerindra, satu-satunya wadah oposisi di Parlemen yang dalam skenario terburuk bisa menjadi alternatif yang kelihatan masuk akal bagi pemilih di masa mendatang—apalagi di tengah merapatnya bekas-bekas Koalisi Merah Putih ke pemerintah dan sikap serba apologis banyak pendukung Jokowi.

Karier militer Le Pen memang tidak panjang, tak pernah pula ia punya mertua diktator. Namun dalam urusan mengorganisir pecundang, ia bisa disejajarkan dengan Prabowo. Terlebih lagi Gerombolan fasis yang dihimpun Le Pen tidak berbeda dari ampas-ampas Golkar, elit-elit serdadu jajahan, sisa-sisa laskar bentukan ABRI menjelang referendum Timor, ormas-ormas ultra-nasionalis, hingga kelompok-kelompok agama fanatik. Dan seperti kawanan Le Pen, bandit-bandit ini dipersatukan oleh bahasa yang sama: anti-komunisme dan anti-separatisme.

Tapi karena Timor Leste juga masalahnya tak berhenti di Prabowo dan lebih luas dari siapa-menghimpun-siapa. Bagaimanapun, orang harus memberikan kredit pada perwira-perwira lain yang merasa dikebiri oleh kemerdekaan di tanah jajahan; sebab, entah itu eks-ABRI Hijau atau ABRI Merah Putih, perwira-perwira ini sama-sama mencincang ribuan manusia di Timor, sama-sama merasa terancam ketika rakyat terjajah di tanah yang tak pernah mereka miliki itu menghendaki berdikari, dan lantas—layaknya OAS di Prancis—mengamuk membumihanguskan Dili saat klangenannya itu benar-benar bebas dari belenggu.

Lagi-lagi soalnya adalah kehilangan privilese. Bagi Kaum Militeris-Reaksioner Sedunia, lenyapnya kewenangan istimewa untuk merampok kaum jelata, memperkosa perempuan, dan memperbudak warga jajahan adalah sesuatu yang meresahkan lagi memalukan. Martabat dan nama besar golongan reactie ini tak lain adalah gelembung yang mustahil mekar kecuali dengan tiupan barbarisme berkedok agama dan martabat bangsa. Dan tentunya kehilangan Indonesia Nugini, sebagaimana kehilangan koloni Timor, akan menyurutkan legitimasi mereka di publik untuk merecoki urusan politik sipil sembari mengakumulasi jarahan di berbagai tempat.

Oleh sebab itu semboyan sampah ala ‘NKRI Harga Mati’ tak semestinya dianggap sepele. Jargon ‘Komunis Gaya Baru’ bisa saja terdengar konyol, tapi dalam praktiknya ia menyediakan wadah konsolidasi kaum militeris yang tak jarang bertikai, untuk membalik keberhasilan bertahap korban 1965 menuntut hak-haknya, termasuk hak atas kepemilikan mereka yang dirampas para serdadu  lima puluh tahun silam. Dari pengalaman Aljazair dan Timor, dan di tengah gairah  para pemuda Papua berbareng bergerak menyambut Bintang Fajar, tentu Anda bisa menebak  ‘NKRI Harga Mati’ akan digunakan untuk apa.

***

Akarnya menurut saya, tidak pada seragam, militeris atau sipil. Sejarah kepemimpinan sipil pada transisi reformasi, dengan jargon utama demokratisasi, ternyata malah membawa negeri ini jatuh makin dalam pada stelsel ultra kanan. Visi memperjuangan cita negeri ini didirikan, mutlak harus diawali dengan kritik yg radik bagi seluruh kelas dan oleh seluruh kelas!

0 komentar:

Posting Komentar